Advaita Vedanta dalam Teks Śvetāśvatara Upaniṣad

HINDUALUKTA-- Advaita Vedanta dalam Teks Śvetāśvatara Upaniṣad. Kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia khusunya yang ada di Bali, belakangan ini tengah menghadapi pergolakan internal yang kian memanas. Polemik keberadaan sampradaya di Bali dalam hal ini International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) kini melibatkan Komnas HAM yang turut memberikan surat rekomendasi kepada Gubernur Bali agar menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan dari para pengikut ISKCON di tempat yang selama ini mereka gunakan untuk beribadah, menyediakan ruang dialog dan menetapkan zona damai di masing-masing tempat ibadah dalam upaya penanganan permasalahan ini dengan memberikan ruang kepada PHDI untuk memfasilitasi upaya dialog; serta rekomendasi Komnas HAM juga menyebut Gubernur Bali agar menjamin pemenuhan hak atas rasa aman dengan mengedepankan dialog partisipatif antar-elemen masyarakat dan menghindari pendekatan keamanan dan ketertiban dalam penyelesaian sengketa yang ada.





Hal ini mengakibatkan Majelis Desa Adat (MDA) provinsi Bali turut memberikan respon dengan melayangkan surat Tanggapan atas Rekomendasi Komnas HAM tersebut yang dimana MDA menyatakan bahwa ISKCON bukanlah kasus HAM tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, melainkan para tokoh dan anggota ISKCON telah melakukan perbuatan yang tercela yaitu ingin menghancurkan Hindu dresta Bali dengan massif dan sistematis dengan mengganti tradisi, ajaran dan konsep keyakinan yang telah dipegang teguh selama ribuan tahun. 

Mencuatnya polemik sampradaya serta friksi yang kerapkali muncul dalam memahami aspek ketuhanan memunculkan kembali ingatan kita terhadap sistem filsafat ketuhanan dalam agama Hindu yaitu: Dwaita, Visisthadvaita dan Advaita. Polemik terkait keberadaan sampradaya khususnya yang ada di Bali, menjadikan umat Hindu mulai berpikir tentang perbedaan-perbedaan esensial yang menjadikan Hindu Bali dan sampradaya (salah satunya adalah Hare Krisna yang topiknya paling panas) memang berbeda dan akan sulit untuk bersatu secara kelembagaan. 

Penulis dalam hal ini tidak akan membahas terkait polemik yang terjadi dalam kehidupan keberagamaan umat Hindu di Bali, namun dalam tulisan ini, penulis ingin mempertegas pentingnya pembahasan terkait dengan ajaran Advaita Vedanta dalam Śvetāśvatara Upaniṣad, agar pembaca mengetahui bahwa agama Hindu sendiri memiliki beberapa aliran filsafat Ketuhanan, yang salah satunya akan dibahas dalam tulisan ini, sehingga masyarakat dapat bijak menyikapi bahwa perbedaan itu memang ada dan diakomodir oleh agama Hindu. Oleh sebab itu, mengkaji sistem filsafat ketuhanan dalam agama Hindu menjadi menarik untuk dilaksanakan guna menunjukkan arah filsafat ketuhanannya serta merujuk pada pustaka suci yang menganut paham dari filsafat tersebut sehingga antara filsafat ketuhanan serta pustaka suci yang mendukung ajarannya terlihat jelas hubungannya. 

Pertanyaan yang muncul pertama adalah mengapa yang dikaji adalah Upaniṣad bukan pustaka atau kitab suci lainnya. Hal ini dikarenakan Upaniṣad merupakan pustaka suci yang erat kaitannya dengan kita suci lokal atau yang tergolong kedalam kelompok Nibandha dalam kodifikasi Veda, yakni lontar-lontar yang ada di Bali. Ajaran Tattva dalam lontar-lontar yang ada di Bali sangat erat kaitannya dengan ajaran dalam Upanisad, sehingga mengkaji Śvetāśvatara Upaniṣad akan menunjukkan salah satu aliran filsafat Hindu yakni Advaita Vedanta yang memiliki relevansi dengan mazhab Siva Siddhanta yang dianut oleh masyarakat Hindu Bali. 

Upaniṣad merupakan bagian penyimpulan dari Veda dan kronologis Upaniṣad diturunkan pada akhir zaman Veda, oleh sebab itu Upaniṣad merupakan tujuan pokok dan arti dari ajaran Veda. Rangkaian Upaniṣad merupakan susastra yang terus berkembang sejak zaman dahulu kala. Jumlahnya melebihi dua ratus, walaupun tradisi menyebut jumlahnya seratus delapan. Upaniṣad pokok dikatakan jumlahnya sepuluh. Samskara menyebutnya sebelas, yaitu: Isa, Kena, Katha, Prasna, Mundaka, Mandukya, Taittirya, Aitareya, Chandohya, Brhadaranyaka, dan Śvetāśvatara (Radhakrishnan, 2008). Śvetāśvatara Upanisad merupakan salah satu dari Upanisad pokok yang ajarannya perlu dikaji untuk dijadikan pedoman kehidupan ataupun sebagai bahan pemecahan masalah dalam kehidupan sesuai dengan tujuan dari keberadaan kitab-kitab upanisad yakni membantu berbagai generasi manusia dalam merumuskan pandangan mereka tentang masalahmasalah pokok kehidupan dan keberadaan.

Śvetāśvatara Upaniṣad termasuk kedalam aliran Taittiriya dari Yajur Veda. Nama ini diambil dari Rsi yang memberi ajaran ini. Ajarannya bersifat tauhid dalam karakternya menyamakan Yang Maha Tinggi Brahman dengan Rudra yang diartikan sebagai penyebab kebendaan dan penyebab yang berdaya guna dari alam semesta dan bukan saja penciptaannya melainkan juga pelindungnya dan pembimbing. Unsur-unsur yang ada dalam setiap upanisad seperti aliran Ketuhanan, kepribadian, Tuhan, dan Bhakti kepada Tuhan juga termuat dalam Śvetāśvatara Upaniṣad. Penekanannya bukan dalam Brahman yang mutlak dengan kesempurnaan yang menyeluruh yang tidak memungkinkan adanya perubahan ataupun perkembangan, namun lebih menekankan kepada kepribadian Isvara yakni perwujudan brahman Yang Maha tahu dan maha kuasa.

Śvetāśvatara Upaniṣad secara umum mengajarkan tentang manunggalnya jiwa-jiwa dan alam semesta dalam Yang Nyata dan Yang Maha Tinggi. Upanisad ini juga dapat mempertemukan pandangan falsafah dan keagamaan yang berbeda dalama masa penyusunannya, sehingga mengkaji terkait pandangan filsafat ataupun aliran ketuhanan yang terdapat dalam Śvetāśvatara Upaniṣadmenjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti mengingat Śvetāśvatara Upaniṣad merupakan salah satu bagian dari Upaniṣad- Upaniṣad Utama, serta terjadinya suatu kondisi yang kurang kondusif dalam kehidupan agama Hindu khususnya di Bali pada saat ini akibat perbedaan aliran ketuhanan ataupun paham filsafat yang dianut.

II. PEMBAHASAN

1.1 Advaita Vedanta dalam Śvetāśvatara Upaniṣad

Pejabaran berikutnya mengenai istilah Vedanta yaitu istilah tersebut berasal dari kata Veda yang artinya pengetahuan, dan Anta yang berarti akhir. Vedanta menjadi salah satu dari enam sistem filsafat India.yang mengacu pada filsafat Upaniṣad yang muncul sesudah periode Veda, dan bertanggung jawab terhadap sistem-sistem yang heterodoks. Terdapat beberapa intepretasi-intepretasi utama dari Vedanta yaitu: (1) Pandangan yang paling luas dikagumi dan diterima adalah pandangan Sri Sangkara, yakni Advaita Vedanta yang berisikan interpretasi non-dualitas dimana Brahman merupakan satu-satunya realitas. Dunia adalah tampakan (maya, semu). Brahman identik dengan atman; (2) Interpretasi Ramanuja mengakui realitas allah, diri-diri, dan dunia, kendati dua yang terakhir berada sebagai tubuh atau wujud allah, yang mempunyai dua bentuk; (3) Interpretasi Madhva memungkinkan individualitas permanen allah, diri-diri, dan materi, dan menyediakan suatu interpretasi organic atas hakikat hal-hal yang ada (Bagus, 2005). Didasarkan oleh penjelasan tersebut maka advaita merupakan salah satu interpretasi utama dari Vedanta, dan mengidentifikasi ajaran Advaita Vedanta dalam Śvetāśvatara Upaniṣad menjadi hal yang penting untuk dikaji.

Orang pertama yang secara sistematis menguraikan filsafat Advaita adalah Gaudapada, yang merupakan Parama Guru (gurunya guru) dari Sri Sankara. Govinda, guru dari Sri Sankara adalah murid dari Gaudapada. Gaudapada dalam Mandukya Karika-nya yang terkenal itu telah menguraikan ajaran inti dari Advaita Vedanta, tetapi Sri Sankaralah yang melahirkan bentuk akhir yang indah dari filsafat advaita ini dan memberikannya sentuhan akhir dan kesempurnaan. Advaita Vedanta yang diajarkan oleh Sri Sankara ini merupakan filsafat yang kaku dan mutlak. Menurut Sri Sankara segala sesuatunya adalah Brahman yang merupakan kebersamaan yang mutlak dan segala perbedaan yang ada merupakan khayalan belaka. Ajaran-ajaran dari Sri Sangkara dapat disimpulkandalam penggalan sloka yaitu: “Brahma satyam jagan mithya, jivo brahmaiva na aparah” yang artinya: bahwa brahman (yang mutlak) sajalah yang nyata, dunia ini tidak nyata dan jiwa atau roh pribadi tidak berbeda dengan brahman. Inilah yang merupakan saripati dari filsafat Advaita (Maswinara, 1999). 

Filsafat Advaita membahas tentang atman, brahman, alam, maya, jiwa, dan samsara. Atman merupakan sang diri yang nyata, ia merupakan intisari dari setiap manusia. Keberadaanya tak dapat diingkari sebab ialah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan manusia, mengingkari atman sama artinya dengan mengingkari keberadaan sang diri. Esensi dari atman adalah sama dengan Brahman, sehingga kontemplasi dalam tahapan yoga menjadi tahapan yang penting untuk dilaksanakan guna dapat menyatukan frekuensi antara atman dengan Brahman.

Brahman bukanlah suatu objek, brahman bersifat adrsta (tak dapat dilihat dengan mata), oleh sebab itu Upaniṣad menyatakan Brahman tersebut neti-neti (bukan ini, bukan itu). Meskipun demikian, bukan berarti Brahman ini tidak benar-benar ada, Brahman ada, Ia memenuhi segala yang ada, tak terbatas, tak berubah, ada dengan sendirinya, Ia adalah intisari dari segala yang ada dan bersifat Svarupa. Ia adalah pengamat (drstha), transenden (turiya) dan saksi bisu (saksi). Brahman tertinggi dari ajaran Sri Sangkara adalah Nirguna Brahman (tanpa atribut atau guna), tak berkepribadian, nirakara (tanpa wujud), nirvisesa (tanpa ciri-ciri tertentu), abadi, tidak berubah-ubah, dan akarta (bukan pelaku ataupun perantara). Ia selamanya merupakan subjek penyaksi dan tak akan pernah menjadi objek, sebab ia mengatasi pencapaian dari indra-indra. Brahman ialah yang Esa, tiada duanya, tidak ada yang lain disisnya, tak memiliki pembedaan, Brahman tak dapat digambarkan karena penggambaran hanya akan menyatakan perbedaan-perbedaan. Konsep Brahman dalam filsafat Advaita menegaskan bahwa Brahman bukanlah suatu objek pemujaan sehingga konsep bhakti antara yang dipuja dan yang memuja tidak ada dalam Advaita Vedanta, konsep tersebut dianut oleh paham Dvaita Vedanta, oleh sebab itu untuk mencapai Brahman dalam Advaita Vedanta dapat dilakukan dengan kontemplasi sehingga ajaran yoga menjadi sangat berkaitan dengan filsafat Advaita karena melalui kontemplasi dalam yoga maka atman dapat bersatu dengan Brahman.

Nirguna Brahman atau Tuhan yang bersifat neti-neti kemudian menjadi Saguna Brahman atau Tuhan yang berpribadi (personal god) oleh karena Ia terkena pengaruh maya. Saguna brahman dan nirguna brahman bukanlah dua brahman, Nirguna brahman tidak bertentangan dengan saguna brahman. Nirguna Brahman yang sama tampak sebagai saguna brahman bagi para pemuja yang taat dan tekun. Ia merupakan kebenaran yang sama dari dua titik pandang yang berbeda. Perbedaan titik pandang ini hanya untuk memudahkan si pemuja untuk mewujudkan Tuhan yang ia puja, sebab sangat sulit memuja Tuhan yang tak terpikirkan serta tak berwujud. Nirguna brahman merupakan brahman yang lebih tinggi, dipandang dari sudut pandang transendental (paramarthika), sedangkan saguna brahman merupakan brahman yang lebih rendah, dipandang dari sudut pandang relative (vyavaharika) (Maswinara, 1999).

Alam semesta menurut Sri Sankara merupakan kenyataan yang relatif (vyavaharika satta) sedangkan brahman merupakan kenyataan mutlak (paramarthika satta). Alam merupakan hasil perbuatan maya atau avidya. Brahman yang tak berubah tampak sebagai alam yang berubah melalui maya, yang merupakan daya misterius yang tak dapat digambarkan dari Tuhan yang menyembunyikan yang nyata dan mewujudkan dirinya sebagai tidak nyata. Maya itu tidak nyata, karena ia akan lenyap apabila kita mencapai pengetahuan dari yang abadi (brahman). Jadi penumpangan dari alam kepada brahman disebabkan oleh avidya atau kebodohan.

Jiva atau roh pribadi menurut Sri Sankara hanyalah kenyataan relatif dan kepribadiannya berakhir hanya selama ia merupakan subjek terhadap upadhi yang tidak nyata atau kondisi terbatas yang disebabkan oleh avidya. Jiva menyamakan dirinya dengan badan, pikiran, dan indra-indra, apabila ia diliputi oleh avidya. Ia berpikir, berbuat dan menikmati juga disebabkan oleh avidya, dimana sesungguhnya Ia tidaklah berbeda dengan brahman yang mutlak.

Menurut Sri sangkara, kelepasan dari samsara merupakan penggabungan mutlak sang roh pribadi dalam brahman, hal ini disebabkan oleh pembebasan dari dugaan salah bahwa roh berbeda dengan brahman. Brahman tetap abadi dan kekal, ia tak merubah dirinya menjadi alam. Brahman menjadi penyebab alam melalui maya yang merupakan daya sakti misterius yang tak dapat dimengerti. Bila avidya atau selubung kegelapan dihancurkan dengan pengetahuan yang abadi atau apabila mithya jnana atau pengetahuan palsu dilepaskan dengan pengetahuan yang sebenarnya tentang realitas kehidupan, maka manusia akan bersinar dalam kecemerlangan dan kemuliaan ilahi yang sebenarnya murni atau manusia dapat mencapai moksa (Maswinara, 1999). 

Adapun beberapa sloka dalam Śvetāśvatara Upaniṣad yang menunjukkan bahwa Upaniṣad ini mengandung paham Advaita Vedanta ditunjukkan oleh: 

“eṣa ha devaḥ pradiśo’nu sarvāḥ pūrvo hi jātaḥ sa u garbhe antaḥ. Sa eva jātaḥ 
sajaniṣyamāṇaḥ pratyaṅ janāṁs tiṣṭhati sarvato-mukhaḥ.”

‘ Dia sesungguhnya adalah Tuhan yang ada dimana-mana. Dia adalah terlahir pertama (sebagai Hiranya garbha) dan dia yang ada dalam kandungan. Dia telah terlahir dan akan terlahir. Dia berdiri berhadapan dengan semua orang, dan memiliki muka yang menghadap ke segala jurusan.’ (Śvetāśvatara Upaniṣad II.16)

“ eko devas sarva-bhūteṣu gūḍhas sarva-vyāpī sarva-bhūtāntar-ātma.
Karmādhyakṣas sarva-bhūtādhivāsas sākṣī cetā kevalo nirguṇaś ca.”

'Tuhan Yang Esa yang bersembunyi pada setiap mahluk ada dimanamana, atman dari semua mahluk, penguasa dari semua Tindakan-tindakan, yang bersemayam di semua mahluk, saksi yang mengerti, yang satu, yang tidak punya sifat.’ (Śvetāśvatara Upaniṣad VI.11)

“ yo devo’gnau yo’psu yo viśvam bhuvanam āviveśa, ya oṣadhīṣu yo vanaspatiṣu
tasmai devāya namo namaḥ.”

‘Tuhan yang ada di api, yang ada di air, yang memasuki semua alam semesta, Tuhan yang ada pada Tumbuh-tumbuhan, yang dipohon, puja kepada Tuhan itu, ya puja kepada Tuhan.’ (Śvetāśvatara Upaniṣad II. 17)

Filsafat Advaita dalam mantram-mantram diatas dan mantram-mantram lainnya yang terdapat dalam Śvetāśvatara Upaniṣad secara tersurat menunjukkan bahwa segalanya sesuatu yang ada di dunia ini adalah Tuhan (Brahman) sehingga hal ini memang sejalan dengan konsep dari filsafat Advaita yakni yang mutlak ada adalah Tuhan. Mantram-mantram tersebut juga menunjukkan Imanensi Tuhan yang sangat erat kaitannya dengan panteisme.

Tuhan yang imanen berarti Tuhan berada didalam struktur alam semesta dan turut serta ambil bagian dalam proses-proses kehidupan. Sejalan dengan Tuhan yang Imanen, Panteisme merupakan suatu paham yang meyakini dimana-mana serba Tuhan atau segala aspek kehidupan yang ada diresapi oleh Tuhan. Imanensi merupakan proses materialisasi unsur-unsur spirit dari Tuhan (top down), hal ini juga merupakan salah satu ciri khas dari konsep ketuhanan yang panteisme. Śvetāśvatara Upaniṣad memiliki beberapa sloka yang mendukung konsep ini, beberapa diantaranya adalah:

"yo devānāṁ prabhavāś codbhavaś ca viśvādhipo rudro maharṣiḥ. Hiraṇyagharbham janayāmāsa purvām sa no buddhyā śubhayā samyunaktu." (Śvetāśvatara Upaniṣad III.4)

'dia yang merupakan sumber dan asal para dewata, penguasa semuanya, Rudra, rsi yang agung, yang mula pertama memberikan kelahiran pada benih emas (Hiraṇya-gharbha), semua Dia memberikan pandangan yang jernih kepada kiya.'

"tileṣu tailaṁ dadhinīva sarpir āpas śrotassu araṇīṣu cāgniḥ. Evam ātmātmani
gṛhyate’sau satyenainaṁ tapasā yo’nupaśyati."

‘seperti minyak salam buah wijen, seperti mentega dalam cream, seperti air pada dasar sungai, seperti api dalam pemantik, demikian juga atman akan diperoleh dari jiva seseorang melihat kepada-Nya dalam kebenaran tapa.’ (Śvetāśvatara Upaniṣad I.15)

“sarvavyāpinam ātmānam kṣīre sarpir ivārpitam. ātma-vidyā-tapo-mūlaṁ tad
brahmopaniṣat param, tad brahmopaniṣat param.” 

‘atman yang ada pada setiap benda, seperti juga mentega yang ada pada susu, yang merupakan akar dari pengetahuan tentang diri dan tapa, itulah brahman, ajaran gaib maha tinggi. Itulah ajaran gaib yang maha tinggi,’ (Śvetāśvatara Upaniṣad I.16)

Mantram-mantram diatas menunjukkan konsep imanensi Tuhan di dalam Śvetāśvatara Upaniṣad dan juga menunjukkan konsep Panteisme karena Tuhan merupakan sumber segalanya, berada dalam setiap ciptaan-ciptaan-Nya, ada dimana-mana, meresap disetiap ciptaan meskipun tidak terlihat, namun beliau ada di dalam ciptaannya. Seperti minyak dalam buah wijen, seperti mentega dalam cream, seperti air pada dasar sungai, seperti api dalam pemantik, seperti juga atman yang menjiwai setiap mahluk, demikianlah Tuhan meresapi segala ciptaannya. Secara umum, konsep ketuhanan yang Pantheistik ini memang menjiwai setiap Upaniṣad-Upaniṣad yang ada. Adanya materialisasi unsur-unsur spirit dari setiap Upaniṣad-Upaniṣad menunjukkan bahwa Tuhan merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada didunia ini. Proses materialisasi unsur-unsur spirit (top down) ini adalah salah satu ciri khas dari konsep Ketuhanan yang Panteisme.

Uraian berkaitan dengan panteisme banyak ditemukan dalam sloka-sloka Bhagavadgita dan mantram-mantram Upanisad, seperti: bhutanam asmi cetana (Bhagavadgita X: 22) ‘Aku (Tuhan) adalah kesadaran didalam materi’. Meruh sikhannam aham (Bhagavadgita X: 23) ‘Aku (Tuhan) adalah Mahameru diantara gunung-gunung’; Sarasam asmi sagarah (Bhagavadgita X: 24) ‘diantara danau Aku (Tuhan) adalah samudera’ juga dalam Bhagavadgita X:25-37 (Donder, 2006). 

Sloka Bhagavadgita yang sesuai dengan konteks panteisme juga adalah sloka-sloka berikut ini:

Maya tatami dam sarvam, jagad avyaktamurtina
Matsthani sarvabhutani, na ca ham tesav avassthitah. (Bhagavadgita IX: 4)

‘alam semesta ini diliputi oleh Aku; dengan wujud Ku yang tak nyata; semua mahluk ada padaku; tetapi aku tidak berada pada mereka’ (Maswinara, 2003).

Ihaikastham jagat kristsnam; pasya’dya sacaracaram Mama dehe gudakesa; yac canyad drastum icchasi. (Bhagavadgita XI: 7)

Lihatlah seluruh alam semesta ini, yang bergerak dan yang tidak bergerak, apa saja yang ingin engkau lihat, O Arjuna semuanya berpusat pada badanKU (Maswinara, 2003).

1.2 Ajaran Yoga sebagai jalan untuk memurnikan sang atman

Upaya-upaya manusia untuk mencapai Tuhan dalam agama Hindu disebut sebagai yoga. Secara mendasar yoga berarti persatuan (union). Kata yoga berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari akar kata “yuj” yang berarti menikmati, menyatu, dan berhubungan. Menyatu disini adalah penyatuan diantara roh individu (atman) dengan roh universal (paramatman). Kata yoga kemudian menjadi asal bahasa Inggris “yoke” (kuk, atau kekang yang dipasang pada leher dua ekor sapi yang menarik bajak). Dari sini ia berarti metode bagi satu persatuan spiritual. Satu yoga adalah satu metode -satu dari banyak- dengan mana seorang individu dapat disatukan dengan Tuhan (Brahman), mencapai persatuan ini adalah menjangkau keadaan yoga yang sempurna (Putu Putra, 2011).

Yoga merupakan ajaran yang bersumber pada kitab suci Veda yang dimana atas karunia Tuhan menyediakan berbagai metode untuk mencapai penerangan rohani. Metode-metode itu diajarkan sesuai dengan tingkatan perkembangan rohani seseorang. Metode inilah yang disebut sebagai yoga. Adapun definisi lain mengenai yoga yakni: (1) Untuk mengendalikan pikiran yang terobyektifkan dan kecenderungan alami pikiran; (2) untuk mengatur semua pemikiran-pemikiran dan kegelisahan-kegelisahan dan tetap tak terpengaruh; (3) penyatuan antara kesadaran unit dan kesadaran kosmik (Kamajaya, 2000).

Yoga yang secara umum diketahui oleh masyarakat merupakan gerak olah tubuh yang terlihat seperti senam namun sulit. Orang duduk tegak diam berjamjam, atau berdiri terbalik dengan kepala bertumpu di lantai, atau badan berlipat, dan sebagainya. Ini merupakan satu bagian dari yoga yang disebut hatha yoga atau yoga tubuh, yang sebenarnya merupakan persiapan dasar bagi yoga yang lain. Yogasutra Patanjali merupakan naskah dasar yang menjadi acuan tertua dari sistem filsafat yoga. Maha Rsi Patanjali memberikan penjelasan tentang konsep yoga yang disebut sebagai Astangga Yoga yang artinya yoga dengan delapan tahapan. Kedelapan tahapan tersebut dalam yogasutra II.29 disebutkan yama, niyamāsana, āsana, prāṇāyāma, pratyāhāra, dhāraṇa, dhyāna, samādhi yo stavanggani. Pengekangan diri (yama), kepatuhan yang mantap (niyamā), sikap badan (āsana), pengaturan nafas (prāṇāyāma), penyaluran (pratyāhāra), pemusatan atau konsentrasi (dhāraṇa ), perenungan (dhyāna), dan penyerapan (samādhi), semua ini adalah bagian dari disiplin yoga.

Pustaka suci Śvetāśvatara Upaniṣad juga memuat ajaran-ajaran yoga baik hatha yoga maupun tahapan lebih tinggi yang mengacu pada penyatuan dengan Tuhan. Adapun beberapa sloka-slokanya yakni:

“pranan prapidyeha samyukta-cestah ksine prane nasikayo’ cchvasita. Dustasvayuktam iva vaham enam vidvan mano dharayeta pramattah.” (Śvetāśvatara Upaniṣad II. 9)

‘mengendalikan nafasnya (dalam raga), hendaklah dia yang sudah mengendalikan seluruh geraknya, bernafas melalui lubang hidung, dengan nafas yang semakin halus; hendaklah orang yang bijaksana mengendalikan pemikirannya dengan keras seperti juga seorang kusir kereta mengendalikan kuda-kuda yang buas.’

“laghutvam arogyam alolupatvam varna-prasadam svara-sausthavam ca, gandhas subho mutra-purisam alpam yoga-pravrttim prathamam vadanti." (Śvetāśvatara Upaniṣad II.13)

'perasaan ringan, perasaan sehat, ketegaran, kemantapan, perkataan yang menyenangkan, bau badan yang enak, buang kotoran sedikit inilah mereka katakan sebagai hasil pertama dari yoga.'

Mengendalikan ataupun melatih gerak tubuh merupakan bagian dari yoga asana. Pranayama juga merupakan tahapan awal yang harus dilatih serta dikuasai agar seluruh badan dapat dikendalikan dengan baik. Tubuh manusia terbiasa dalam melakukan banyak aktivitas-aktivitas yang terekam oleh alam bawah sadar sehingga pikiran akan selalu bergerak tanpa henti meskipun badan kita beristirahat. Oleh sebab itu, Asana dan pranayama menjadi tahapan awal untuk mengendalikan gerak pikiran, nafas serta badan, sehingga pikiran dapat dikendalikan sedikit demi sedikit seperti seorang kusir kereta yang mengendalikan kuda-kuda liar.

Rutin melaksanakan asana dan pranayama akan terasa manfaatnya baik secara lahir maupun bathin. Perasaan menjadi lega, perasaan menjadi ringan, badan menjadi sehat, hati dan jiwa juga akan merasa lebih tenang merupakan manfaat yang sudah pasti dirasakan apabila melaksanakan yoga asanas dan pranayama, oleh sebab itu, dewasa ini orang-orang dari berbagai belahan dunia menjadikan yoga sebagai suatu life style atau gaya hidup. Yoga asanas menjadi salah satu bukti dari keuniversalan ajaran agama Hindu, sehingga orang-orang non-Hindu pun turut melakukan yoga demi mendapatkan manfaat-manfaatnya. Namun, tentunya masyarakat dominannya hanya mempelajari serta mempraktekkan yoga asanas dan pranayama semata atau disebut sebagai hatha yoga, sedangkan tahapan-tahapan selanjutnya dari astangga yoga mungkin akan sulit mendunia seperti yoga asanas disebab pada tahapan selanjutnya erat berkaitan dengan tujuan dari agama Hindu yakni mencapai moksa, tujuan ini tentunya berbeda dengan tujuan dari agama-agama lainnya. Śvetāśvatara Upaniṣad juga menjelaskan apa yang akan dihasilkan apabila manusia melaksanakan yoga tahap lanjutan, seperti yang ditunjukkan oleh sloka berikut:

“prthvyapyatejo’nilakhe samutthite pancatmake yoga gune pravrtte. Na tasya rogo na jar ana mrthyuh praptasya yogagni-mayam sariram.” (Śvetāśvatara Upaniṣad II.12)

‘ketika lima sifat dari yoga dihasilkan, seperti kemunculan tanah, air, udara, api, dan antariksa, kemudian tidak akan ada lagi penyakit, umur tua, tidak ada kematian, bagi dia yang memperoleh raga yang dibuat oleh apinya yoga.’

te Dhyana-yoganugata apasyan devatma-saktim sva-gunair nigudham, yah karanani nikhilani tani kalatma-yuktany adhitisthaty ekah.” (Śvetāśvatara Upaniṣad I.3)

‘Mereka yang tiada hentinya (berbakti dengan) samadhi melihat kekuatan diri Tuhan yang tersembunyi dalam sifatnya sendiri. Dialah penguasa semuanya dari semua sebab-sebab dari waktu sampai kepada jiwa.’

“jnatva devam sarvapasapahanih ksinaih klesair janma-mrtyu-prahanih. Tasyabhidhyanat trtiyam deha-bhede visvaisvaryam kevala apta-kamah.” (Śvetāśvatara Upaniṣad I.11)

‘Dengan mengerti Tuhan maka akan terjadi lepasnya semua ikatan; Ketika penderitaan berakhir maka tidak akan terjadi kelahiran dan kematian. Dengan samadhi kepada-Nya, akan ada keadaan yang ketiga; dengan leburnya raga, penguasa alam; hanya ada wujud, keinginannya terkabul.’

Pada permulaannya yang harus dikuasai adalah hatha yoga untuk mengendalikan gerak tubuh serta pengaturan nafas, kemudian harus ada peningkatan pada tahapan samadhi yaitu menyamakan frekuensi diri dengan frekuensi Tuhan sehingga sang atman mulai terlepas dari siklus kelahiran, kehidupan, kematian, kebahagiaan, dan penderitaan. Hal inilah yang menjadi tujuan dari sang atman yakni melepaskan ikatan-ikatan maya atau ikatan keduniawian yang membelenggu sang atma itu sendiri (Ambarnuari & Widyawati, 2021)

Yoga memegang peranan sebagai metode dalam usaha untuk purifikasi unsur unsur material yang kaya akan unsur maya. Memurnikan unsur maya yang meliputi manusia sama artinya dengan meningkatkan level kesadaran spiritual dari atman sehingga mampu kembali menjadi entitas spirit yang murni tanpa unsur maya atau kembali pada entitas paramatman (Moksa) (Harsananda, 2021). Kembalinya atman pada paramaatman ini dapat dikaitkan dengan konsep monisme. Monisme adalah sistem kepercayaan yang mempercayai bahwa segala sesuatu di alam semesta ini akan kembali kepada Tuhan. Perbedaan antara monisme dengan panteisme adalah panteisme berbicara masalah datangnya, dan monisme berbicara masalah perginya atau kembalinya.

Konsep yoga sendiri telah dikembangkan dalam naskah Jawa Kuno seperti Tattwa Jnana, Jñāna Sidhanta, Bhuana Kosa, dan Wrhaspati Tattwa berasal dari kitab Upaniṣad (Ambarnuari & Widyawati, 2021). Hal ini juga menyebabkan ajaran dalam kitab-kitab Upaniṣad sangat erat kaitannya dengan teks-teks Tattwa khususnya yang ada di Bali. Terdapat sebuah istilah yang termuat dalam Teks Jnana Siddhanta bab 16. Pada bab yang berjudul sang Hyang Atma-Lingalingodbava sloka 3 dijelaskan “ Atmanah svayam utpanam sva-lingam iti cocyate valingam purvam utpanannam svalingam procyate budhaih” yang artinya “ Kelahiran atma sendiri dinamakan Svalinga karena svalingga terwujud terlebih dahulu, maka ia dinyatakan sebagai sva-linga oleh para bijak”, didasarkan pada kutipan teks tersebut, maka istilah Sva-lingga dinilai lebih layak menjadi istilah yang mewakili proses “ materialisasi unsur – unsur spiritualitas” dalam ajaran Tattwa tersebut (Harsananda, 2021).

Ajaran Tattwa dalam teks Jnana Siddhanta menguraikan konsep Sva-linga atau proses materialisasi unsur - unsur spiritual serta ajaran mengenai Atma Linga yaitu suatu proses purifikasi yang berusaha menyaring unsur – unsur spiritual yang telah terkena unsur material (maya) atau bisa dikatakan suatu proses, spiritualisasi unsur – unsur material. Jnana Siddhanta yang memiliki konsep tentang panteisme sekaligus monism dalam satu teks, sama seperti yang dimiliki oleh Śvetāśvatara Upaniṣad. Keterkaitan keduanya dapat dilihat pada bagan berikut ini:


Panteisme berkaitan dengan imanensi sedangkan monisme berkaitan dengan transendensi. Imanensi merupakan proses materialisasi unsur-unsur spirit sedangkan monisme merupakan spiritualisasi unsur-unsur material. Dengan demikian maka Advaita Vedanta dalam Śvetāśvatara Upaniṣad mengakomodir dua paham ketuhanan sekaligus yakni panteisme dan monism, sama halnya dengan yang terdapat dalam Jnana Siddhanta. Oleh sebab itu, antara Upaniṣad dan Tattwa di Bali memiliki keterkaitan yang erat.

III. SIMPULAN

Filsafat Advaita pada mantram-mantram yang terdapat dalam Śvetāśvatara Upaniṣad secara tersurat menunjukkan bahwa segalanya sesuatu yang ada di dunia ini adalah Tuhan (Brahman) sehingga hal ini memang sejalan dengan konsep dari filsafat Advaita yakni yang mutlak ada adalah Tuhan. Imanensi Tuhan dalam Śvetāśvatara Upaniṣad juga sangat erat kaitannya dengan panteisme yang merupakan suatu paham dengan meyakini dimana-mana serba Tuhan atau segala aspek kehidupan yang ada diresapi oleh Tuhan. Imanensi merupakan proses materialisasi unsur-unsur spirit dari Tuhan (top down), hal ini juga merupakan salah satu ciri khas dari konsep ketuhanan yang panteisme.

Śvetāśvatara Upaniṣad juga memuat ajaran Yoga yang merupakan jalan untuk menyatukan atman dengan Brahman. Pada permulaannya yang harus dikuasai adalah hatha yoga untuk mengendalikan gerak tubuh serta pengaturan nafas, kemudian harus ada peningkatan pada tahapan samadhi yaitu menyamakan frekuensi diri dengan frekuensi Tuhan sehingga sang atman mulai terlepas dari siklus kelahiran, kehidupan, kematian, kebahagiaan, dan penderitaan. Hal inilah yang menjadi tujuan dari sang atman yakni melepaskan ikatan-ikatan maya atau ikatan keduniawian yang membelenggu sang atma itu
sendiri. Yoga memegang peranan sebagai metode dalam usaha untuk purifikasi unsur-unsur material yang diliputi unsur maya. Memurnikan unsur maya yang meliputi manusia sama artinya dengan meningkatkan level kesadaran spiritual dari atman sehingga mampu kembali menjadi entitas spirit yang murni tanpa unsur maya atau kembali pada entitas paramatman (Moksa). Demikianlah ajaran Advaita Vedanta yang terdapat didalam Svetasvatara Upanisad.

Oleh: Mery Ambarnuari1; Hari Harsananda2
Dari: Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar2
Judul: Advaita Vedanta dalam Teks Śvetāśvatara Upaniṣad


Related Posts

0 Response to "Advaita Vedanta dalam Teks Śvetāśvatara Upaniṣad"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel