Makna Filosofi Banten Peras
Banten Peras |
Kata “Peras” berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras”bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah diwujudkan sebagai sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya. Disebutkan juga bahwa, banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi “Perasaida” artinya “Berhasil”.
Dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan, bilamana upakaranya tidak disertai dengan Banten Peras, maka penyelenggaraan upacara itu dikatakan “Tan Paraside”, maksudnya tidak akan berhasil atau tidak resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah sebagai lambang kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai berupa konsep hidup sukses. Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah terkemas suatu pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk mencapainya
Dalam Lontar “Yadnya Prakerti” disebutkan bahwa Peras dinyatakan sebagai lambang Hyang Triguna Sakti demikian juga halnya dalam penyelenggaraan “Pamrelina Banten” disebutkan Peras sebagai “Pamulihing Hati” artinya kembali ke Hati, yaitu suatu bentuk Sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu keinginan serta mencapai tujuan yang diharapkan.
Perlengkapan Peras
Banten Peras terdiri dari beberapa komponen/ bagian berupa Jejahitan / Reringgitan / Tetuasan, antara lain :
Taledan / Tamas / Ceper
Sebagai dasar dari semua bagian jejahitannya, pemakaian taledan sebanyak 2 lembar, yang mana taledan pertama hanya dibingkai/sibeh yaitu dibawah dan atas (arahnya sama). Sedangkan taledan satunya lagi berbingkai (sibeh) keseluruhan sisinya. Makna dari Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga).
Tampelan, Benang Tukelan dan Uang
Ini berupa dua lembar sirih yang telah diisi pinang dan kapur diletakkan berhadapan lalu dilipat dan dijahit, disebut Tampelan atau Base Tampelan disatukan meletakkannya dengan Benang Tukelan warna putih dan Uang. Makna dari Tampelan ini adalah (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti. Makna dari Benang Tukelan adalah kesucian dan alat pengikat sifat satwam, merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. Dan Makna dari Uang adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
Tumpeng
Dibagian depan dari Base Tampelan, Benang Tukelan dan Uang diletakkan Tumpeng Dua buah (simbol rwa bhineda – baik buruk) lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatukan baru bisa berhasil (Prasidha), Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.
Tumpeng terbuat dari nasi yang dibentuk mengkerucut besarnya seukuran kojong terbuat dari janur dan daun pisang. Fungsi dari Tumpeng adalah sebagai suguhan kehadapan Hyang Widhi. Bentuk kerucut yang letak lancipnya di atas adalah melambangkan Tuhan itu Tunggal adanya dan tempatnya tinggi di atas tiada terbatas, yang oleh umat-Nya akan dituju dengan jalan pemusatan pikiran yang suci melalui pengendalian hawa nafsu.
Rerasmen
Rerasmen (lauk pauk) terdiri dari kacang-kacangan yang digoreng, saur, sambal ikan (telur, ayam, teri), terung, kecarum, mentimun dan lainnya disesuaikan dengan Desa Kala Patra. Sebagai alasnya dapat dipergunakan Tangkih / Celemik atau Ceper kacang yang ukurannya lebih kecil dari Ceper canang. Pada suatu daerah dipergunakan sebagai tempat Rerasmen adalah Kojong Rangkada yaitu berupa satu taledan berbentuk segitiga ukurannya agak besar dan didalamnya diletakkan empat buah kojong janur masing-masing dijahit agar tidak terlepas. Memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). Mengenai sisi pokok Rerasmen yaitu : Kacang dan Ikan, dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” dijelaskan sebagai berikut :
- Kacang nga ; ngamedalang pengrasa tunggal, komak nga; sane kekalih sampun masikian. Artinya : Kacang-kacangan itu menyebabkan perasaan menjadi satu, Kacang Komak yang terbelah dua itupun melambangkan kesatuan.
- Ulam nga; iwak nga; ebe nga; rawos sane becik rinengo. Artinya : Ulam itu ikan yang dipakai sebagai Rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
- Buah
Dibagian belakang tumpeng dan rerasmen diletakkan buah-buahan seperti mangga, apel, salak atau bisa buah-buahannya disesuaikan dengan keadaan setempat. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan sebagai berikut :
Sarwa Wija nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan. Artinya : Segala macam dan jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam (Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Jajan
Jajan ada banyak jenis dan macamnya. Penggunaannya juga disesuaikan dengan jenis banten yang akan disajikan. Jajan untuk banten Peras, dipergunakan Jaja Begina, Uli, Dodol, Wajik, Bantal, Satuh dan lainnya. Untuk jajan ini ditegaskan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut: Gina/ bagina nga; wruh, Uli abang putih nga; Iyang apadang nga; patut ning rama rena, Dodol nga; pangan, pangganing citta satya, Wajik nga; rasaning sastra, Bantal nga; pahalaning hana nora, Satuh nga; tempani, tiru, tiruan.
Artinya :
Gina lambang mengetahui, Uli merah/putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru Rupaka, Dodol lambang pikiran menjadi setia, Wajik adalah lambang kesenangan akan belajar sastra, Bantal adalah lambang hasil dari kesungguhan dan tidak kesungguhan hati, Satuh lambang dari patut ditirukan, Satuh sama dengan patuh.
Sampyan Peras
Berupa sampyan khusus yang dipergunakan hanya untuk Peras, disebut juga “Sampyan Metangga”, jenisnya ada 2 macam yaitu : pertama berbentuk kecil dan sederhana yang biasa dipergunakan pada banten sorohan dan kedua bentuknya agak besar yang dipergunakan pada pejati wujudnya bertingkat, karena itulah disebut sampyan metangga. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan : Sampyan nga; ulahakena, tegesnia pelaksanane, artinya : segala perbuatan. Perlengkapan dari sampyan ini adalah porosan dengan sirih, kapur dan pinang. Dimana porosan secara keseluruhan mencerminkan saktinya Tri Murthi. Buah pinang disebut juga dengan “Sedah Woh” disebutkan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Sedah woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matutalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :
Sedah woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih.
Artinya :
Sirih dan pinang itu perlambang dari yang membuatnya kesejahteraan dan kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.
Demikianlah adanya arti dan makna daripada beberapa bagian dari banten Peras. Dalam kehidupan keagamaan Peras sebagai sarana persembahan rasa bhakti dan hormat umat manusia kehadapan Hyang Widhi, yang berfungsi sebagai sarana untuk mensahkan dan atau meresmikan dan juga sebagai ungkapan hati untuk memohon kehadapan Hyang Widhi atas keberhasilan suatu tujuan. Dalam setiap akhir persembahan dari Peras ini, dilakukanlah “Natab Peras” dan dengan menarik beberapa bagian dari tiga lembar janur yang dilipat ujungnya saat menjahitnya dengan posisi dijajarkan dan dijahit pada alas banten Peras.
Adapun mantra Peras adalah sebagai berikut :
Om Suddha bumi suddha akasa
Om Suddha dewa suddha manusa
Om Siddhir astu tad astu
Om Ksama sampurna ya namah swaha
Om Mili mili maha amrtham
Suksma parama siwa ya namah
Om Ung ung Om Ang Ung Mang.
Om Ekawara, Dwiwara, Triwara
Caturwara, Pancawara
Peras prasiddhanta
Parisudha ya namah swaha, Om.
0 Response to "Makna Filosofi Banten Peras"
Post a Comment