Gambaran Hukum Hindu Alukta

Pakaian Sembayang Hindu Aluk Todolo
MAMASA-- Umat Hindu memang memiliki cara pelaksanaan upacara yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Kendati demikian Umat Hindu tidak mempermasalahkan itu, sebab perbedaan merupakan hal yang biasa dalam umat Hindu. Yang utama dalam umat Hindu yakni kedamaian dalam perbedaan.

Selain dalam cara upacara, umat Hindu juga memiliki hukum yang berbeda dalam menyelesaikan masalah. Hal ini tergantung dari tradisi yang telah menjadi kesepakan dari suatu daerah ( Hukum Adat). Seperti halnya Hindu Aluk Todolo (Alukta) di kabupaten Mamasa Propinsi Sulawesi Selatan.

Umat Hindu Alukta memiliki hukum dresta sendiri yang disebut “pangngadaran”, yaitu lembaga hukum yang berazaskan norma-norma Hindu Alukta. “pangngadaran” kemungkinan besar berasal dari kata “adak”, dimana adak berarti adat. Sebagai hukum agama, maka jenis-jenis aturan, pelanggaran dan sanksinya tentu ditampilkan menurut nilai-nilai agama Hindu Alukta.

Selain bersifat sekala (nyata atau positif) juga bersifat niskala (tidak nyata/ keyakinan). Lembaga Hukum dresta ini didukung dan mengatur kelompok masyarakat hukum yang disebut tondok adak, yang dipimpin oleh seorang tomakaka. Secara sosio-religius, masyarakat (hukum) Hindu Alukta memiliki stratifikasi sosial yang disebut tanak, meliputi empat segmen yaitu tanak bulawan, tanakbassi, tanak karurung, dan tanak koa-koa. Keempat segmen masyarakat sebagai pendukung Hukum Hindu Alukta, secara konseptual dalam hemat penulis identik dengan konsep catur warna dalam Kitab Suci Veda, serta mengalami proses pembiasaan makna dalam perjalanan sejarah sehingga menjadi konsep kasta.

Proses penyelesaian perkara hukum disebut dengan ma‘bisara, yang di dalamnya terdiri dari: aparat hukum yang disebut toma‘bisara, dan pihak yang terlibat dalam perkara hukum disebut todibisara. Toma’bisara sering juga disebut totorro allak. Totorro allak artinya orang yang berada di tengah-tengah, orang yang netral.

Lembaga hukum, pangngadaran terdiri atas lima prinsip hukum, yaitu : Pertama, Lima randanna aluk mangngolo lako dewata yaitu azas religius. Norma-norma yang berlaku bersumber dan bersandar pada aluk (ajaran Hindu Alukta). Pelanggaran terhadap norma akan dikenakan sangsi yang bersifat sosial-religius; disamping dikenakan sangsi yang sifatnya sosial seperti membayar denda, di dalamnya juga ada upaya untuk memelihara dan mengembalikan aluk pada kemurniannya. Terjadinya pelanggaran diyakini mengakibatkan penodaan pada aluk sehingga harus dikembalikan (dinetralisir) dengan pemalak (upacara yadnya).

Kedua, Tokabuk botting-bottingna nakendekanni pangngadaran yaitu azas kemanusiaan; artinya betapa tersiksa dan menderita seseorang akibat kesalahan yang diperbuatnya tetapi ada komitmen dalam dirinya untuk mengakui kesalahan dan berjanji untuk kembali ke jalan yang benar maka diberi pengampunan dan penghargaan atas hak-haknya sebagai warga adak.

Ketiga, Pangngadaran uppa’batu laulung, artinya prinsip keadilan sejati. Hukum tidak boleh terpengaruh oleh segala sesuatu yang palsu, termasuk upaya suap tetapi senantiasa berdiri kokoh pada kebenaran. Uppa’batu Laulung artinya memakai batu yang sangat keras.

Keempat, Tolayang tandukna tolenggen palasanna napappai pangngadaran, yaitu prinsip kesamaan di hadapan hukum. Siapa yang memang “bersalah” (tola yang tandukna tolenggen palasanna) menurut hukum harus dihukum (napappai) oleh lembaga hukum itu sendiri (pangngadaran). Dalam konteks ini, menurut hemat penulis, dimana “napappai” artinya dikembalikan kepada tempatnya sehingga hukuman adalah proses pembinaan bukan penganiayaan atau balas dendam. Karena itu, prinsip kelima disebut Totibambang tarakdena anna ukkita bubunganna adak, tuomi tang mate, artinya orang yang kehilangan martabat (totibambang tarakdena) karena melakukan perbuatan yang melanggar hukum tetapi (anna) menyadari dan menghargai hukum (ukkita bubunganna adak) maka dia patut diberi perlindungan hukum (tuomi tang mate = hidup kembali dan terhindar dari kematian).

Pangngadaran merupakan norma-norma hukum yang mengatur setiap orang yang ada di dalamnya, tidak terkecuali aparat hukum (pemimpin adak), bahkan lebih luas dari pada masyarakat pada umumnya. Berdasarkan informasi yang sempat penulis catat dari penuturan tokoh-tokoh Hindu Alukta, bahwa seorang pemimpin adak dalam kehidupannya dilarang untuk melakukan perbuatan:

  1. Berbuat zinah,
  2. Bermain judi termasuk sabung ayam,
  3. Memikul sesuatu,
  4. Memanjat pohon,
  5. Jika berada di bawah pohon buah-buahan, maka dilarang menengok ke atas, karena (konon.) pohon itu tidak berbuah lagi.
  6. Ussusu tallo’na yaitu korupsi atau memeras rakyatnya sendiri, Ussusu tallo’na secara harfiah berarti mengisap (ussusu) telurnya sendiri (tallo’na).
  7. Mencari ikan di sungai karena (konon) mengakibatkan sungai tidak berisi ikan dari sumber daya lainnya, yang pada akhirnya negerinya tertimpa krisis,
  8. Membawa wadah kosong, (konon) bisa mengakibatkan negerinya mengalami krisis.
  9. Membagi daging seorang pemimpin adak tidak boleh terlibat langsung di tempat pembagian daging pada saat ada upacara keagamaan.
  10. Menebang pohon kayu, setelah musim tanam padi karena menyebabkan hama (tikus) merajalela.
  11. Menipu dan berdusta, dan,
  12. Mengubur mayat.

Sedangkan bagi masyarakat umum, dilarang untuk melakukan:

  1. Berjudi,
  2. Menipu dan berdusta,
  3. Bersina,
  4. Menebang pohon atau merabas hutan setelah musim tanam padi selesai,
  5. Melakukan sabung ayam sesudah musim tanam padi, dan
  6. Membongkar/merehabilitasi rumah setelah musim tanam padi.

Hukum Hindu Alukta mengatur masalah norma-norma yang harus dipatuhi dalam berperilaku di masyarakat. Tentu, tidak hanya itu. Hukum Hindu Alukta juga mengatur masalah tuduhan yang tidak terbukti/tidak benar/fitnah, pertikaian baik non fisik maupun fisik, hingga pembunuhan, pencurian, sengketa tanah atau warisan, termasuk perceraian. Yang jelas. Hukum Hindu Alukta mengatur masalah norma- norma kehidupan masyarakatnya.

Hal ini akan dijelaskan selanjutnya dalam kaitannya dengan sangsi hukum. Apabila ada pelanggaran terhadap hukum Hindu Alukta maka tentu ada sangsi sebagai ganjarannya, sesuai dengan tingkatan hukumnya. Empat tingkatan sangsi hukum menurut Hindu Alukta, yaitu:


  1. Sangsi sepu’lo’bang yaitu sangsi terhadap pelanggaran yang paling ringan. Sepu’ artinya tempat sirih dalam masyarakat etnis Toraja, sedangkan lo’bang artinya kosong. Hemat penulis, bahwa pelanggaran yang ringan tentu bisa diselesaikan secara musyawarah dan penuh kekeluargaan. Secara filosofis, sepu’ sebagai tempat menyimpan sirih, pinang dan kapur mengandung makna bahwa kedua belah pihak bisa menyimpan kesalahan dan kekeliruan yang diakibatkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan. Dan yang terpenting adalah mengembangkan pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci. Dalam masyarakat Hindu Alukta, sirih adalah lambang lidah/perkataan, pinang adalah lambang hati/perasaan dan kapur adalah lambang pikiran yang suci.
  2. Sangsi ma’kayunan manuk yaitu sangsi terhadap pelanggaran yang termasuk kategori sedang. Yang terbukti bersalah didenda dengan ayam, kemudian disembelih untuk upacara perdamaian.
  3. Sangsi ma’bullean bai yaitu sangsi yang termasuk ketegori pelanggaran berat. Bagi yang terbukti bersalah didenda dengan seekor babi untuk upacara perdamaian. Dalam upacara ini dilakukan pemujaan kepada roh leluhur dan Puang Matua (Tuhan) dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Pencipta, dengan harapan agar kedua belah pihak tidak mengulangi perbuatannya dan perdamaian pun tetap langgeng.
  4. Sangsi ma’rendenan tedong, sangsi terhadap pelanggaran yang paling berat. Bagi yang terbukti bersalah didenda seekor kerbau.


  • Hukum Perzinahan

Berzinah, yaitu melakukan perbuatan seksual yang tidak dibenarkan menurut konsep Aluk, termasuk orang yang menuduh orang lain melakukan hal itu tetapi tidak terbukti (fitnah). Perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran ini antara lain:

a) Tosibulai yaitu melakukan hubungan seksual yang tidak sah hingga mengakibatkan kehamilan. Bagi mereka yang melakukannya dikenakan sangsi dipa‘lokkoran. Dipa‘lokkoran merupakan sangsi berupa penyembelihan seekor babi atau kerbau secara diam-diam oleh aparat adak. Jika yang melakukan pelanggaran ini adalah keluarga atau kerabat pemimpin adak maka yang dilokko’ adalah kerbau, sedangkan apabila yang melakukan adalah bukan keluarga atau kerabat pemimpin adak maka yang jadi sasaran adalah babi. Setelah melakukan pa’lokkoran, aparat adak memberi tahu pemilik dan meminta informasi tentang harga hewan miliknya.

Besarnya denda adalah dua kali lipat dar harga yang telah ditentukan oleh pemilik hewan yang harus dibayar oleh kedua belah pihak. Kerbau atau babi yang dilokko’ dibawa ke gunung atau bukit di sekitar desa untuk dijadikan sesajen upacara. Upacara ini disebut ma‘rambu padang yaitu upacara pembersihan secara niskala terhadap tondok (desa) yang telah tercemar akibat perbuatan zinah dan juga pembersihan pada diri si pelaku. Sesajen pada upacara ma’rambu padang dibuang dengan harapan bisa dimakan oleh binatang buas. Sesajen ini merupakan simbol pengembalian sifat-sifat binatang pada tempatnya. Perbuatan zinah dianggap perbuatan binatang, sehingga dengan upacara ini tondok dan warganya bebas dari sifat binatang.

b) Tome pawi-pawi, yaitu melakukan hubungan seksual dengan sesama kerabat keluarga yang terdekat. Hubungan kerabat yang dimaksud dalam analisa penulis adalah hubungan dengan saudara kandung, orang tua dengan anak, anak dengan bibi atau paman, termasuk sepupu satu kali (anak dari anak bapak/ibu). Walaupun dalam masyarakat Hindu Alukta perkawinan sangat dianjurkan diluar sepupu tiga kali namun kenyataan di masyarakat sering terjadi perkawinan dalam batas kerabat dimaksud, namun dengan persyaratan upacara tertentu.

Orang yang melakukan pelanggaran ini diberikan sanksi berupa dipa‘lok-koran dan massuru’ tallungallo. Sanksi pa ‘lokkoran sama dengan sanksi Tosibulei. Adapun sanksi massuru’ tallung allo adalah melakukan upacara selama tiga hari, yaitu secara berturut-turut diawali dengan upacara sumorong, dengan persembahan pokoknya adalah seekor babi. Pada hari kedua melalukan upacara umbaba’ pemali dengan hewan persembahan berupa seekor anjing dan seekor ayam jantan merah, dan pada hari ketiga adalah upacara membuttu sebagai pengakuan bersalah dengan mempersembahkan seekor babi kepada Puang Matua sebagai Pencipta dan seekor ayam (manuk rame) kepada Dewata Wai (Manifestasi Puang Matua sebagai penguasa air).

c) Tosikakdillea; yaitu orang yang sudah bercerai namun kedapatan melakukan hubungan seksual atau melakukan hubungan seksual dan mengakibatkan kehamilan. Mereka didenda sama dengan hukuman tomepawi-pawi.

d) Tosilambik, yaitu mendapatkan istri atau suami berbuat zinah dengan orang lain, maka dikenakan sanksi yang disebut Ma’bakke’ tambing. Secara harfiah berarti membangun kembali rumah tangga. Dalam hal ini dilakukan upacara perdamaian dengan menyembelih seekor babi. Proses perdamaian ini disebut ussikokoi tongo’ artinya mereka sama-sama menyadari kesalahan dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama.

e) Tosirappa, yaitu merampas istri atau suami orang lain yang masih sah sebagai suami istri. Mereka yang melakukan pelanggaran ini dikenakan sanksi yang disebut massorong. Massorong artinya menyerahkan, yaitu orang yang merampas istri atau suami orang lain menyerahkan seekor kerbau kepada suaminya atau istrinya.

f) Tosilarian, yaitu orang yang membawa lari anak gadis, baik karena suka sama suka maupun karena paksaan. Mereka yang melakukan hal ini harus dikawinkan. Apabila orang laki-laki membawa lari anak gadis orang lain namun tidak dikawini maka dia dikenakan sangsi yang disebut ma‘rinding lindo. Ma‘rinding lindo artinya melindungi martabat keluarga. Dalam hal ini pihak laki-laki menyerahkan satu ekor kerbau kepada pihak perempuan.

g) Toma’kadai tanglandak, yaitu orang yang sudah melamar dan resmi diterima, kemudian dibatalkan secara sepihak baik yang dilakukan oleh pihak laki-laki maupun oleh pihak perempuan. Pihak yang melakukan pelanggaran seperti ini dikenakan sangsi yang disebut ma’rinding lindo yang ditandai dengan denda satu ekor kerbau. Denda berupa satu ekor kerbau ini diserahkan oleh pihak yang membatalkan kepada pihak yang menjadi korban.

h) Puduk sarepa, yaitu perbuatan menuduh orang lain melakukan perbuatan zinah namun kenyataannya tidak demikian. Puduk artinya mulut, yaitu orang yang berbicara.  Sedangkan sarepa artinya kotor, tidak baik atau tidak benar. Orang yang melakukan pelanggaran ini dikenakan sangsi yang disebut dipa’lokkoran. Pa’lolloran yang dimaksud sama dengan sangsi pada pelanggaran yang telah disebutkan sebelumnya. (BERSAMBUNG) WHD No. 448 Juni 2004.


0 Response to "Gambaran Hukum Hindu Alukta"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel