Makalah Tata Susila "Tri Hita Karana"

Skema Tri Hita Karana
HINDUALUKTA-- Kemajuan peradaban manusia dan pola hidup masyarakat pada masa modern ini. Gejala yang mendasar yang kita rasakan dekade abad ini adalah perubahan sosial budaya yang sangat cepat jarak antara waktu dan ruang demikian nisbi sehingga kontak sosial dan budaya tidak terelakkan. Kontak sosial akan berpengaruh terhadap sikap dan pola-pola perilaku yang modusnya perubahan yang bersifat surface structure. 

Sedangkan kontak budaya bermuara pada perubahan system nilai, pandangan hidup, filsafat, keyakinan yang medannya adalah deep structure. Surface structure and deep structure akan berdampak langsung (direct and indirect imfact), terhadap tata laku dan cara menjalani hidup dan kehidupan itu sendiri. Keseluruhan proses globalisasi, pada gilirannya akan membawa dampak psikologis yaitu adanya perubahan-perubahan kognitif, perubahan-perubahan tuntutan individu dan akhirnya akan membawa pembentukan nilai-nilai baru terhadap hal-hal yang bermakna bagi hidupnya.
 
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kecenderungan manusia Indonesia dalam era globalisasi dewasa ini? Karena bagaimanapun juga, manusia Indonesia termasuk masyarakat Hindu Indonesia di dalamnya tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Sebagai gambaran kecenderungan manusia Indonesia dewasa ini, berdasarkan pengamatan para sarjana Psikologi Universtas Indonesia bahwa manusia Indonesia, antara lain:

  1. Di berbagai kota besar muncul tingkah laku-tingkah laku tertentu seperti ketidakacuhan, kesibukan urusan pribadi, ketidak pedulian terhadap sesama yang kurang beruntung. Ini berarti bahwa rasa kesetiakawanan cenderung meluntur.
  2. Berbagai keluhan dari berbagai organisasi, instansi baik swasta maupun pemerintah tentang munculnya berbagai pola tingkah laku seperti jalan pintas, jadwal waktu yang tidak dipenuhi, unjuk kerja yang seadanya, tuntutan fasilitas yang berlebihan. Munculnya pola tingkah laku seperti ini, banyak menganggap terdapat kecenderungan menurunnya ethos kerja.
  3. Di samping itu di berbagai tempat, dijumpai tingkah laku seperti mau menang sendiri, kurangnya kepatuhan terhadap hukum, dan pelangaran-pelanggaran tata tertib yang berlaku. Oleh sementara ahli, hal ini dinyatakan sebagai kecenderungan menurunnya disiplin pribadi dari manusia-manusia Indonesia.
  4. Munculnya tingkah laku yang dapat digolongkan tingkah laku kekerasan baik yang berupa pengrusakan, perampokan, pemerkosaan dan pertikaian fisik, tindak kejahatan dengan kekerasan. Hal ini sering dipandang sebagai kecenderungan meningkatnya agresivitas manusia Indonesia.
  5. Kesenangan yang berlebihan terhadap barang-barang symbol teknologi canggih dan hidup nyaman. Oleh sementara ahli dianggap sebagai meningkatnya kecenderungan gaya hidup materialistic. Khusus mengenai penggunaan yang berlebihan terhadap produk teknologi canggih tanpa memperhatikan kondisi lingkungan.
  6. Meningkatnya frekuensi dan intensitas perkelahian antar kelompokremaja dan dewasa muda, oleh beberapa ahli dianggap sebagai kecenderungan kurangnya kemampuan menalar, komunikasi dan penyelesaian masalah melalui dialog diantara pelaku-pelakunya.
  7. Kesibukan kota besar dengan gerak hidup cepat, bertubi-tubinya rangsangan kegiatan dan mobilitas pribadi yang tinggi, menempatkan individu yang dilematis. Situasi tersebut, membuat individu harus memilih antara pencarian kegiatan yang didasari oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan dan fungsi utama keluarga sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup bermasyarakat. 
Oleh para ahli keadaan ini dianggap sebagai kedenderungan melunturnya fungsi utama keluarga. Berdasarkan beberapa insiden kritikal itu, seseorang dengan mudah menyimpulkan bahwa manusia Indonesia dewasa ini cenderung bersikap, instrumental, egosentris, kurang peka terhadap lingkungan, konsumtif dan melakukan jalan pintas untuk mencapai kepuasaan pribadi.

Kondisi seperti ini sesungguhnya, kita dihadapkan dengan berbagai tantangan, gangguan dan hambatan, dalam kerangka membangun masyarakat yang hidup dalam tatanan sosial kehidupan yang sejahtera, damai rasa saling membutuhkan, saling memerlukan untuk bisa terjalin kehidupan yang harmonis dan penuh kedamain dalam suasana teduh.

Demikianlah halnya kita sebagai manusia yang dibekali sabda, bayu dan idep menyadari bahwa kita dapat memenuhi segala kebutuhan hidup dan menjalankan misi kehidupan ini bersumber pada Hyang Widhi dan Ibu Pertiwi juga tidak terlepas dari bantuan sesama makluk hidup. Sehingga sudah menjadi kewajiban dan kesadaran kita semua, untuk saling berhubungan secara harmonis satu dengan yang lainnya.

Bab II
LANDASAN VEDA TENTANG
TRI HITA KARANA

Perbuatan adalah karma, dan mati dalam karma. Karmalah sumber baik dan buruk, dosa atau kebajikan, laba atau rugi, kebahagiaan atau kesedihan, sebenarnya karmalah penyebab kelahiranmu. Karma sesungguhnya adalah pencipta manusia. Karena itu kita harus berhati-hati dengan karma-karma yang kita lakukan. Seluruh hidup ini dipengaruhi karma kita masing-masing. 

Setiap perbuatan mempunyai akibat atau hasil; dengan kata lain setiap karma ada pahala atau setiap perbuatan ada hasilnya. Selanjutnya buah itu melahirkan perbuatan baru lagi. Rentetan perbuatan dan hasil, hasil dan perbuatan yang tiada putusnya ini berujud seperti benih dan pohon. Benih dan pohon juga timbul bergantian, benih menjadi pohon,dan pohon menghasilkan benih atau buah.
 
Untuk itu jangan mengira bahwa perbuatan itu soal yang tiada berarti. Mungkin permulaannya merupakan sebuah bibit/benih yang kecil, tetapi lama kelamaan akan menjadi pohon yang besar akan memberikan buah kepada yang menanam benih/bibit tersebut. Apakah buah itu memberikan kebahagiaan atau kesengsaraan kepada diri kita, sangat tergantung terhadap benih yang kita tanam.
 
Demikian antara karma dan pahala merupakan siklus alamiah di dunia ini. Untuk itu sangat relevan sekali apa yang dituangkan oleh Bhagawan Wararuci dalam Sarasamucaya, seloka 4 yang dinyatakan sebagai berikut:

Layam hi yonih prathama
Yonih prapaya jagatipate
Atmanam sakyate tratum
Karmabhih subhalaksanah

Artinya:
Kelahiran menjadi manusia sungguh utama, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik.

Jadi perbuatan suci seseorang, lahir dari perbuatan yang tulus, karena dengan pengabdian inilah kita akan memperoleh kemuliaan, dari kemuliaan yang kita peroleh kita mendapat kehormatan. Dengan kehormatan yang kita peroleh maka kita dapat melakukan kebenaran (dharma).

1. Pengertian Tri Hita Karana
Istilah Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata Tri, Hita dan Karana. Tri berarti tiga; Hita berarti baik, senang, gembira,lestari; Karana berarti penyebab atau sumbernya sebab. Tri Hita Karana berarti tiga buah unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan. Ketiga unsur yang dimaksudkan dalam Tri Hita Karana itu yaitu unsur jiwa (atma); unsure tenaga, kekuatan, prana; unsur badan wadah (sarira). 

Perilaku hubungan yang selaras, serasi dan seimbang manusia terhadap sesama-Nya, terhadap Tuhannya, terhadap alam semesta beserta isisnya akan menjadikan manusia utama. Jadi Tri Hita Karana sebagai perwujudan kesejahteraan dan  kebahagiaan dimana ketiga unsur Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan (Super natural power), Manusia (Microkosmos), dan alam semesta/Bhuana (Macrokosmos) harus saling menjaga.

Karena manusia itu adalah bagian dari alam ini, ia juga tunduk pada hukum alam /rta tersebut. Dengan tunduk pada rta, manusia akan hidup harmonis dengan alam, dan keharmonisan ini membawa ketentraman dan kenikmatan hidup. Segala apa yang kita rasakan, kita lihat, dengar dan sebagainya dari lingkungan, kita tanggapi sebagai sesuatu yang indah, yang manis, bila orang telah mengikuti rta itu . Beberapa sloka dinyatakan dalam Rg Veda dalam kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana dan rta ini, sebagai berikut:

Madhu vata rtayate
Madu ksaranti sindhuvah
Madhvir nah sanvosadhih
(Rg Veda I.90.6)
Artinya:
Untuk dia yang mengikuti rta, angin akan penuh dengan rasa manis, sungai mencurahkan rasa manis, begitu banyak pohon penuh rasa manis untuk kita.

Lebih lanjut dalam Rg Veda I.90.8, dinyatakan sebagai berikut:
Madhuman no vanaspatir
Madhu man astu suryah
Madvir gavo bhavantu nah
Artinya :
Semoga kaya hutan penuh rasa manis bagi kita, penuh manis matahari, dan penuh manis sapi bagi kita.

Hal inilah yang menjadi pola dasar tatanan kehidupan umat Hindu, yang dijadikan budaya perilaku sehari-hari, sehingga muncul konsep Tri Hita Karana yang mengajarkan pola hubungan yang harmonis (selaras, serasi, dan seimbang) di antara ketiga sumber kesejahteraan dan kebahagiaan ini, yang terdiri dari unsur:

1. Parahyangan, harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta (Brahman)
2. Pawongan, harmonis antara manusia dengan sesame manusia (Microcosmos)
3. Palemahan, harmonis antara manusia dengan lingkungan/ alam semesta/Bhuana (Macrocosmos)

2. Sosialisasi ajaran Tri Hita Karana
Menuju kehidupan yang harmonis umat Hindu baik secara makluk pribadi maupun dalam tatanan kehidupan social kemasyarakatan, konsep Tri Hita Karana menjadi bagian yang tidak pernah bisa dipisahkan.

Dalam posisinya sebagai makluk pribadi (individu) maka areal yang mengitarinya adalah rumah tangga (keluarga). Karena rumah tangga pada dasarnya dianggap sebagai dunia yang hidup lengkap dengan konsep Tri Hita Karana-nya antara lain:

a. Kawasan Parahyangan
Di areal atau kawasan Parahyangan juga disebut Uttama Mandala (daerah yang paling utama dan disucikan) sehingga ditempatkan di daerah hulu (Timur atau Kadya/ arah Giri/Gunung). Kawasan ini memiliki wawasan pelinggih sebagai tempat melakukan persembahyangan sebagai rasa hormat dan bhakti kepada manifestasi Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan termasuk roh suci leluhur dari keluarga bersangkutan. Yang secara umum dikenal sebagai tempat pemujaan keluarga (Sanggah/Pemerajan).

b. Kawasan Pawongan
Di areal atau kawasan Pawongan juga disebut sebagai Madya Mandala (daerah sedang). Kawasan ini wawasannya adalah rumah tempat tinggal semua keluarga itu sendiri yang terdiri dari pasangan suami dan istri beserta putra-putrinya, termasuk keturunannya dengan segala aktivitas kehidupan sehari-harinya. 

Kawasan ini wawasannya berupa bangunan tempat tinggal suami-istri dan keturunannya. Misalnya, Gedong tempat Guru Rupaka (orang tua), bangunan dapur, dan balai tempat kegiatan Panca Yadnya seperti upacara perkawinan, tiga bulanan, otonan, potong gigi, pawintenan, ngaben, nyekah dan lain sebagainya.

c. Kawasan Palemahan
Di areal kawasan palemahan memiliki wawasan seluruh tanah pekarangan dengan segala isinya. Itu dianggap sebagai badan keluarga, artinya wawasan palemahan dengan melestarikan lingkungan dengan sebaik-baiknya.

Dalam kedudukannya sebagai makluk sosial, areal yang mengitari adalah wilayah tempat tinggal. Kawasan tempat tinggal inilah yang menjadi jasmani (tubuh), rohani(jiwa), dan pikiran (budhi-manah-ahamkara). 

Kemudian mengalami proses penyucian, karena tatanan kehidupan yang sejahtera, bahagia dan damai sebagai out come konsep Tri Hita Karana pada areal Desa/tempat terjadinya hubungan yang selaras serasi dan seimbang antara manusia (Microcosmos/Bhuana Alit), wilayah Desa (Macrocosmos/Bhuana Agung), jiwa manusia dan jiwa alam semesta raya (Atma/Brahman) diwujudkan adanya:
  • Bangunan tempat Suci (Parahyangan)
  • Adanya penghormatan dengan alam semesta (Palemahan)
  • Adanya penghormatan dengan sesama manusia
Adanya perilaku penghormatan dan mencintai sesama manusia adalah perilaku prema (kasih) dengan asas dasar Tat Twam Asi, Aku adalah Kamu dan Kamu adalah Aku, sesama manusia adalah sama, cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri. Sosialisasi tersebut melahirkan sikap kekeluargaan dan gotong royong, yang maknanya adalah diantara kita satu sama lain harus berperilaku saling kasih mengasihi, saling memperhatikan dan saling tolong menolong dalam irama kerjasama yang harmonis.

Bab III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari urainan tentang Tri Hita Karana yang telah dipaparkan di depan, maka dapatlah disimpulkan bahwa ternyata kehidupan jasmani yang bersifat lahiriah, di dalamnya ada suatu kekuatan kasih sejati (rohani) yang mendekati kebenaran Hyang Widhi. Jasmani merupakan landasan menuju kebersihan rohani. 

Oleh karena itu , maka sangatlah tepat apa yang ditandaskan dalam Veda Smrthi V.109, bahwa badan disucikan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran, jiwa disucikan dengan tapa brata, dan budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (Adbhirgatrani suddhyanti, manah satyena suddhyanti, widhya tapobhyam bhutaatma, budhi jnena suddyati).

Dengan kesucian lahir-bathin, dan jiwa mengalami ketenangan mendalam maka budhi menjadi suci sehingga cinta kasih universal dapat dilakukan dalam tata laku kehidupan sehari-hari; yaitu harmanis terhadap Hyang Widhi, harmonis terhadap Ibu Pertiwi/alam semesta/bhuana dan harmonis terhadap sesama manusia.

B. Saran
Pada akhir tulisan tentang Tri Hita Karana ini, saya ingin menyampaikan beberapa saran kepada seluruh umat manusia:
  1. Bahwa kehidupan kita kali ini merupakan buah karma, agar kehidupan menjadi lebih baik berkarmalah yang baik (Subhakarma);
  2. Hyang Widhi adalah sumber dari kebahagiaan itu, maka dekatkan diri kita dengan tidak dibatasi ruang dan waktu. Dengan demikian, maka kebahagiaan itu akan kita peroleh;
  3. Perilaku Prema dan sevanam adalah perwujudan kasih sejati, yang mengantarkan tata kehidupan menjadi tentram, sejahtera dan damai
Om Santih Santih Santih Om 

Catatan: Bab I Pendahuluan 

0 Response to "Makalah Tata Susila "Tri Hita Karana""

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel