Sejarah dan Makan Naga Banda Dalam Upacara Ngaben
Sejarah dan Makan Naga Banda Dalam Upacara Ngaben |
HINDUALUKTA-- Naga Banda adalah seekor naga yang merupakan kisah dari Dalem Waturenggong tatkala menguji kesaktian Ida Dang Hyang Astapaka yang sebagaimana dijelaskan telah membangun Pura Tamansari sebagai salah satu kahyangan di Bali. Disebutkan pula bahwa penggunaan Naga Banda dalam pelebon merupakan tradisi yang lahir pada zaman Gelgel, sekitar abad ke-15.
Sejarah lahirnya tradisi penggunaan Naga Banda ini pun tergolong unik. Saat Dalem Waturenggong wafat, dibuatkanlah Naga Banda yang mengiringi jenazah sang Raja menuju alam sunya. Sejak saat itulah, upacara pelebon Raja Gelgel dan keturunannya menggunakan Naga Banda. Selain Raja, sulinggih seperti Pedanda Budha juga "berhak" menggunakan Naga Banda. Keluarga bangsawan yang mendapat anugerah dari Raja Gelgel pun diberi "hak" menggunakan Naga Banda.
Panjangnya 2,5 Km NAGA Banda memang diwujudkan dalam bentuk boneka naga berukuran raksasa. Namun, ukuran Naga Banda yang kini kerap dilihat orang sejatinya masih jauh lebih kecil dari ukuran seharusnya. Penulis buku-buku agama Hindu, almarhum I Gusti Ketut Kaler dalam bukuNgaben: Mengapa Mayat Dibakar? menjelaskan panjang patung seekor Naga Banda seharusnya 1.600 depa (satu depa sama dengan satu rentangan tangan).
Bila satu depa sama dengan sekitar 150 cm (rentangan tangan orang dewasa), maka Naga Banda ini panjangnya mencapai 2.400 meter atau hampir 2,5 km. Bila memenuhi ketentuan itu, tentu Naga Banda akan menjadi sangat panjang. Hal ini tentu akan cukup merepotkan dalam pelaksanaan upacaranya. Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga jauh lebih besar. Karena itu, ukuran patung Naga Banda pun disiasati. Agar Naga Banda tidak terlalu panjang tetapi aturannya juga tidak dilanggar, maka ukuran yang digunakan adalah depa anak-anak. Badan sang naga dibuat formalitas dengan tali sederhana saja.
"Hanya kepala dan bagian tertentu serta ujung ekornya saja dibuat seindah mungkin. Bagian badan di tengah-tengah digulung hingga antara kepala dan ekor tetap memenuhi estetika yang serasi dan seimbang," jelas Kaler.
Naga Banda akan diletakkan berdampingan dengan jenazah raja yang meninggal sejak menjelang dan sampai hari pabersihan. Penempatan Naga Banda pun ada aturannya dan bersifat mutlak. Kepala Naga Banda menghadap ke arah Kelod-Kauh (Barat Daya) serta ekornya di Kaja Kangin (Timur Laut).
"Dengan posisi itu, sawa mendiang bagaikan diikat oleh Naga Banda," kata Kaler.
Kaja-Kangin merupakan daerah ulu (hulu) yang menurut pengider-ider dikuasai Sang Hyang Sambu. Sementara Kelod-Kauh merupakan daerah paling teben (hilir) dengan dewata yang berkuasa, Sang Hyang Ludra.
Pada hari pabersihan, Naga Banda bersama-sama kajang, bade dan perlengkapan pelebon lainnya di-pelaspas dan di-urip ("dihidupkan"). Menjelang pemberangkatan ke tunon (tempat pembakaran), Naga Banda dipanah oleh Ida Pedanda yang muput karya (pemimpin upacara yadnya).
Anak panah diarahkan ke sepuluh penjuru --delapan arah mata angin dan arah atas dan bawah. Namun, pemanahan Naga Banda ini biasanya hanya dilakukan secara simbolis. Setelah selesai memanah Naga Banda, Ida Pedanda kemudian duduk di samping kiri Naga Banda. Di depannya telah disiapkan peralatan puja. Kemudian Naga Banda dan bade pun diarak perlahan-lahan menuju tempat pembakaran.
Selama perjalanan ke tempat pembakaran, sang pendeta menguncarkan puja yang disebut Puja Ananga Bayu Sutra sambil tangan kanannya memeluk bahu sang Naga Banda. Sembah puja sang wiku selesai bersamaan dengan tibanya Naga Banda di tempat pembakaran. Setelah semua prosesi dilalui, Naga Banda bersama bade pun di-pralina (bakar).
Historis Naga Banda
Tersebutlah nama seorang Wiku Bhagawanta di kerajaan Majapahit di tanah Jawa yang termashur kebijaksanaannya ke seluruh nusantara bernama Dang Hyang Nata Angsoka (Mpu Tantular/MpuWiranatha) yang dikenal dengan ajaran kaBudhan (Budha Kasogatan/Buddhaisme) dan adik beliau bernama Dang Hyang Nirartha/Dang Hyang Dwijendra yang dikenal dengan ajaran ka Çiwan (Siwaisme) dan adik beliau Mpu/Dang Hyang Bajra Sandhi dikenal dengan ajaran Brahma (Brahmaisme).
Pada zaman keagungan pemerintahan Dalem di Bali, ialah Dalem Sri Waturenggong yang bertahta di Puri Swecapura (Klungkung sekarang) tepatnya di Gelgel sekitar abad XV tahun 1460-1550 Masehi, beliau adalah keturunan kelima dari Mpu Tantular. Untuk melengkapi kesempurnaan pengetahuan raja di bidang keagamaan serta untuk bekal dalam kehidupan akhirat. Raja memerlukan seorang wiku yang mampu membimbing dan memberi nasehat-nasehat kepada beliau (sebagaiPurohita/Nabe keluarga kerajaan).
Selain itu beliau juga ingin mengadakan yajna besar yang disebut Homa (suatu upacara besar permohonan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar seluruh kerajaan kerta raharja, hurip sarwa tinandur, adoh sasab adoh mrana,dan sejahtera rakyatnya). Menurut beliau di Bali tidak ada wiku yang dianggap memenuhi syarat untuk melaksanakan kehendak raja yang dimaksud. Maka terbetiklah berita bahwa di Majapahit ada seorang wiku yang bernama Dang Hyang Nata Angsoka, akhirnya diputuskanlah oleh raja untuk mohon kesediaan beliau untuk menjadi nabe kerajaan serta muput karya Homa dimaksud. Lalu diperintahkan utusan kerajaan menghadap Dang Hyang Nata Angsoka.
Dang Hyang Nata Angsoka mengatakan kepada utusan raja bahwa, beliau sangat berterimakasih atas kehormatan yang diberikan raja Bali tersebut, namun dengan sangat menyesal beliau tidak dapat memenuhi keinginan raja, sebab kala itu pemerintahan kerajaan Majapahit sedang kisruh dan tidak dapat meninggalkan kerajaan. Namun ia menjelaskan bahwa ada seorang wiku yang sangat sakti dan mahir dalam segala pengetahuan, yaitu Dang Hyang Nirartha yang merupakan adik beliau sendiri dan sudah lama beliau bermukim di Bali yakni di Desa Mas, Gianyar tahun çaka 1486, agar menjadi nabe kerajaan.
Setelah utusan raja kembali ke Bali, dan disampaikan kepada raja, rajapun setuju lalu mengutus Gusti Arya Dauh Bali Agung untuk menjemput Dang Hyang Nirartha agar beliau datang ke Gelgel untuk niksa Dalem sekeluarga. Tidak lama kemudian Dalem didiksa oleh Dang Hyang Nirartha. Adapun kehendak raja yang belum tercapai, yakni melaksanakan Upacara Homa, dimana kala itu raja belum memperoleh jawaban yang pasti.
Pada waktu itu datanglah seorang wiku (rohaniwan) Pandita Buddha Mahayana ke Bali, yang bernama Dang Hyang Asthapaka, yakni putra Dang Hyang Nata Angsoka di Majapahit yang juga asal mulanya dari daerah Keling (Jawa Tengah). Atas perintah ayahandanya beliau datang menghadap raja Bali, dimana sebelumnya beliau dianugrahi pendalaman semua karya kehidupan (yajna-yajna) termasuk upacara Homa. Kedatangan beliau ke Bali ingin bertemu dengan paman beliau yang berpasraman (bertempat tinggal) di Desa Mas, Gianyar, Dang Hyang Asthapaka membawa pesan dari ayah beliau agar “Karya Homa” yang merupakan kelanjutankarya padiksaan Dalem Sri Waturenggong segera dapat terlaksana. Karena baru datang, beliau juga dikenal dengan nama Sang Hanyer Dateng atau Mpu Boddha.
Setelah kedua pandita tersebut bertemu, Dang Hyang Asthapaka bertanya kepada Dang Hyang Nirartha sebab-sebab pokok belum terselenggaranya Karya Homa tersebut. Pandita Siwa menyatakan dengan berterus terang, karena belum mendapat izin (nugraha) untuk melaksanakan upacara tersebut. Maka Dang Hyang Asthapakalah yang selanjutnya mengizinkannya atas perintah ayahandanya, sehingga Karya Homa dapat berjalan dengan baik.
Setelah Dalem Sri Waturenggong mendengar berita kedatangan seorang Pandita Buddha yang tersohor itu, selanutnya Dalem mengirim utusan memanggil kedua Pandita Buddha dan Siwa yang sedang berada di Desa Mas, Gianyar, guna menghadap kepada Dalem di Puri Swecapura. Sebagaimana biasa perlakuan atau sikap dari seorang raja Maha Agung ingin mencoba keahlian Pandita Buddha yang baru dikenalnya itu, guna memperoleh kesungguhan dari fakta, sehingga beliau dapat berbuat untuk selanjutnya.
Untuk keperluan ini, maka dibuatlah sebuah lubang di halaman puri dan diisi seekor angsa agar seolah-olah terdengar seperti suara seekor ular, kemudian lubang itu ditutup. Keesokan harinya setelah Pandita Buddha tersebut datang bersama paman beliau Dang Hyang Nirartha dan setelah dipersilakan duduk bersama para pengikutnya, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari lubang itu. Kemudian Dalem bertanya kepada Pandita Buddha : “Suara apa sebenarnya dari dalam lubang itu?”. Jawab Sang Pandita Buddha : “Itu adalah suara seekor Naga”. Mendengar jawabanPandita Buddha itu, semua pengikut paseban tertawa. Oleh karena Sang Pandita yakin akan kebenaran jawabannya, maka Dalem diperintahkan agar membuktikan kebenaran dari suara itu. Kenyataannya setelah lubang itu dibuka, keluarlah seekor Naga yang maha dashyat dengan pajang 118 depa, sehingga pengikut paseban menjadi kagum dan ketakutan menyaksikan hal tersebut.
Selanjutnya Pandita Buddha mengambil serta memangku Naga tersebut dan menghaturkan kepada Dalem, bahwa Naga ini adalah “Naga Bandha”(ular naga sebagai rantai) yang kelak akan mengantarkan mereka yang telah berjasa (wibuh) pulang kembali ke Haribhuwana. Saat itu, Dalem Waturenggong mendapat wejangan kerohanian dari Dang Hyang Asthapaka tentang ajaran Buddha Mahayana. Saat itulah Tutur Kamahayanikan diwejangkan kepada Dalem Waturenggong. Rajapun menjadi tentram hati dan jiwanya. Kemudian Naga tersebut diberi kelepasan (moksa = dilebur) oleh Sang Boddha.
Proses Upacara Pengabenan/Pelebon Mengunakan Sarana Naga Banda
Naga Banda yang merupakan sarana pelebon yang biasanya digunakan oleh keturunan Raja Dalem Waturenggong di Puri Swecapura dan Pendeta Buddha yang tidak terlepas dari sejarah. yang menjadi pedoman. Seorang raja yang memimpin sebuah Negara tentu tidak lepas dari unsur keterikatan duniawi salah satunya tahta, harta, wanita ini yang menjadi pengikat dan pada suatu ketika ini haruslah lenyap dari seorang raja sebelum menuju ke sunyaan, dengan apa dengan buddhi. Dari sinilah disimbolkan melalui bentuk upacara pelebon menggunakan sarana Naga Banda, sampai saat ini masih tetap digunakan oleh puri-puri di Bali yang kemudian menjadilah Tradisi.
Mempertahankan tradisi (adat) dalam pandangan Hindu haruslah berpolakan utpathi, stithi, pralina (siklus atau lingkaran tanpa putus antara penciptaan-pemelihara-peleburan). Artinya dalam tradisipun harus ada kedinamisan yang artinya ada perubahab. Sebab semua kebiasaan yang ditradisikan manusia memiliki keterbatasan ruang dan waktu. karena manusia bersifat dan berprilaku seperti benda Sekala. Hanya Tuhan yang berprilaku Niskala.
Dalam proses menggunakan Naga Banda yang miliki nilai magis tidak semua wangsa bisa mempergunakan seperti apa yang diuraikan dalam sejarah. Dewasa ini Naga Banda digunakan Oleh Keturunan Raja Dalem Waturenggong itupun tidak semua bisa menggunakan kecuali penglingsir puri atau yang dijadikan panutan. Naga Banda yang memiliki nilai magis dalam pembuatan tidak jauh berbeda proses ritual pembuatan sarana pengusung jenasah di Bali pada umumnya. Pertama Naga Banda dalam pembuatan harus mencari hari baik atau yang disebut dengan dewasa, setelah itu pembuatan Naga Banda dilakukan di tempat suci dengan banten pejati, Naga Banda diusahakan selesai sebelum tiga hari upacara pelebon dilaksanakan dengan menggunakan bebatenan pemelaspas, pengurip dan pasupati, yang dipuput oleh Ida Pendeta Siwa atau Buddha.
Naga Banda setelah di pelaspas dipendak di tempat upacara oleh Pendeta atau Sadaka, lalu diusung diiring dengan alat pengusungan, ketempat upacara pelebon, selanjutnya berangkat ke kuburan (setra) Naga Banda itu diusung ditaruh dijoli, ekor Naga Banda yang panjang dililitkan di padma, Naga Banda yang berada dijoli didampingi dua orang Pendeta dengan berbusana lengkap dengan Siwapakarana atau Budapakarana upacara, yang lagi satu Pendeta dengan busana biasa, memangku kepala Naga Banda sebelah kiri, dengan menyuarakan genta, barulah berjalan dengan teratur, setiap ada pertigaan berputar tiga kali yang disebut dengan purwa daksina, dan di tempat kuburan (setra), setelah selesai Naga Banda ditaruh dengan upacara selanjutnya Pendeta turun mengambil panah, kepanah oleh Pendeta Buddha, atau Siwa.
Makna Naga Banda
Kata Naga berasal dari bahasa Sanskrit, dari akar kata Nag yang artinya adalah ular. Ular yang memiliki sifat predator membunuh lawanya dengan racun yang dimilikinya sedangkan ular naga yang sering diceritakan bisa menyemburkan api dari mulutnya. Dalam kekawin Sutasoma oleh Empu Tantular, diceritakan perjalanan Sang Sutasoma yang merupakan penjelmaan Bhatara Buddha, masa muda sudah mendalami kebatinan dan meninggalkan kemewahan di dalam kerajaanya menuju hutan untuk meningkatkan kebatinanya. Didalam hutan bertemulah dengan Gajah Warkta simbol ke momoan keangkuhan dan ingin membunuh Sang Sutasoma namun dengan kebatinanya melakukan bubdha agri mudra, maka keluarlah senjata bajra maha gaib yang menempuh dada Gajah Warktra, dengan demikian maka sadarlah gajah tersebut dengan sifat buruknya.
Kemudidan diperjalanan dalam hutan di lereng gunung bertemu dengan seekor naga besar dengan suara “kaak-kaak” menyemburkan api kemuka Gajah Warktra dan melilitnya. Kemudian Sang Sutasoma melawanya dengan menaruh budhi cinta melalui kebatinan maka naga yang memiliki sifat penguasa, momo angkara suara yang keras menjadi luluh dengan budhi Sang Buddha. Berdasrkan cerita perjalan sang Sutasoma bertemu naga maka naga yang memiliki sifat murka dinetralisir oleh ajaran budha satwa.
Dapat dipetik dari seklumit cerita dalam kekawin Sutasoma dengan perjalanan beliau maka segala bentuk yang mengikat manusia dari sifat binatang keangkaramurkaan akan hilang dengan buddhi, dalam Kitab Suci Sanghyang Kamahayanikan menyebutkan.
“Nihan kalingan ing Om Ah Hum, yan pinakapangadisthana umajarakan kaya wak citta bajra ngaran ira”
Artinya :
Sujud kepada Buddha :
Inilah Keterangan tentang Om Ah Hum yang dijadikan sumber dasar utama dalam mengajarkan “Tri aksara” yang menjadi tujuan utama, yang disebut kaya-wak-citta bajra.
Penjelasannya :
Triaksara, berarti tiga huruf. Didalam sloka diatas Om Ah Hum dikelal sebagai triaksara yang menjadi pokok utama ajaran ini. Peranan akasara penting sekali artinya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib (magis). Didalam ajaran ini karena sifat hakekatnya Triaksara dipersamakan sebagai paramartha (yang menjadi tujuan utama di dalam ajaran), kaya (wujud jasmaniah sebagai sumber terjadinya kamma), wak atau wacca (wujud kata-kata yang menimbulkan kamma) dan bajra (wujud yang merupakan kekuatan atau cakti) Kaya-Wak-Citta ialah jasmaniah-perkataan-pikiran, yang merupakan sumber timbulnya kamma (perbuatan), masing-masing disebut dengan istilah kaya kamma-wacci kamma-mano kamma. Mano diartikansama dengan citta. (Kamahayanikan 1979 : 29-30) Maka ruwatlah perkataan, pikiran, perbuatan dengan jalan cinta kasih untuk menuju kebahagiaan.
Banda mengandung arti pengikat atau pembelenggu. Jika ditinjau dari lontar Tattwa Bhattara Astapaka. Dalam lontar tersebut diuraikan sebagai berikut:
“…Huwus lah yeki ingaranan Nagabhandha, penuntun sang wibhuh muliheng Haribhawana. Sedela setahun rong tahun cili muliheng Haribhawana, munggah ring bale-reragi. Kewala kawenang kulawangsa sangulun juga angatera, yantan kulewangsa hulun kawenang, tatan prasidha sang hyang pitra muliheng Haribhawana” (Manuskrip,tt,lb.5).
Terjemahan:
“… Inilah yang bernama nagabandha, yang akan menuntun seorang raja mencapai sorga (Haribhawana). Kiranya tidak akan lama lagi Tuanku (Cili Bali) akan pulang ke alam sorga, ditempatkan di balai reragi (kematian?). Dan yang patut menyelesaikan (memimpin upacara) adalah keturunan hamba (Mpu Danghyang Astapaka) sajalah, bila tidak dari keturunan hamba, tidak akan mendapatkan sorga arwah yang meninggal dunia”.(titib,127:2003).
Jadi Naga Banda sesuai dengan uraian diatas adalah simbolis untuk menuntun bagi arwah seorang raja untuk mencapai sorga, yang sebagai penuntun adalah mengingatkan atma seorang raja melepaskan diri dari ikatan duniawi. Orang-orang yang berhak menggunakan Naga Bandha dalam upacara pelebon adalah hanya orang-orang berkuasa saja (Raja) dan Pandita (Pendeta) Buddha sebagai keturunan Dang Hyang Asthapaka, hal ini disebabkan karena yang paling terikat pada duniawi adalah penguasa atau raja. Dalam Lontar Ekapratama (dalam Wiana, 2004 : 99) dinyatakan bahwa Pandita Budha memiliki kewajiban“amretistha pawana” yaitu menyucikan atmosfir tempat manusia dan mahkluk hidup lainnya mengembangkan kehidupanya. Jadi Pandita Budha memiliki swadharma yang sangat berat dalam mengelola alam ini agar tidak disalah gunakan oleh manusia. Naga Bandha, yang digunakan dalam sarana upacara pelebon di kalangan raja dan keturunan Dang Hyang Asthapaka yang telah di dwijati,.
Dalam upacara memanah Naga Banda yang dilakukan oleh Pendeta Buddha Keturunan Dang Hyang Astapaka yaitu panah yang digunakan untuk memanah Naga Banda yang disimbolkan sebagai pengikat atma dari unsur duniawi, maka panah disimbolkan manah, pikiran budhi yang suci akan menghantarkan atma dengan karma menuju sang Brahman. Begitu banyak ajaran tentang kelepasan dengan jalan cinta kasih telah diberikan oleh Naga Banda yang erat kaitanya dengan kitab-kitab suci agama Hindu dan Budha.
Dalam Kitab Suci Sarasamuscaya sloka 4, tersurat
“Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hingganing kotamaning dadi wwang ika”.
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengasara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.
Naga Bandha sarat dengan makna filosofis sebagai sarana penuntun arwah raja menuju sorga.
0 Response to "Sejarah dan Makan Naga Banda Dalam Upacara Ngaben"
Post a Comment