Cerita Watu Gunung dalam Lontar Medangkemulan dan Lontar Medan Kamulan

HINDUALUKTA-- Pernah mendengar sebutan Watugunung atau Watu Gunung. Kalau orang yang suka baca cerpen pasti sudah pernah dengan. Dalam lontar medangkemulan disebutkan bahwa Watugunung memiliki wuku dengan urip 8 dan bilangan 30. (lontar medangkemulan adalah salah satu acuan lontar dalam perhitungan kalender Bali).

Diceritakan bahwa Watugunung merupakan anak raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang Kulagiri dan ibunya bernama Dewi Sintakasih. Kisah cerita watu gunung berawal dari Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia, bahwa dirinya akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa.

Maka dari itu, dia berpesan kepada kedua istrinya menjaga diri dan merestui kepergianya. Setelah cukup lama pergi Dewi Sintakasih sudah hamil tua dan akan segera melahirkan. Akhirnnya Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia memutusakan untuk mencari suaminya ke gunung Sumeru.
 
Setelah lama berjalan maka tibalah mereka ke lereng Gunung Sumeru. Tak lama kemudian perut Dewi Sintakasih sakit. Di atas batu yang datar dan lebar, keduanya melepaskan lelahnya. Tak lama kemudian Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi. Melihat kejadian itu Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia sangat sedih. 

Ketika itu juga turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih. Sang Dewi menghormat sambil menjawab; "Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak  hamba baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini  belum juga beliau datang (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati," kata sang dewi.

Itulah ungkapan kesedihan kedua dewi tersebut kepada Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Mendengar cerita kedua putri tersebut Dewa Brahman sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali Dewa Wisnu. 

Di waktu yang sama pun Dewa Brahman memberi bayi tersebut nama I Watugunung. "Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung."

Usai itu Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka. Setelah itu sang dewi keduanya ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Melihat kejadiaan itu, kedua sang Dewi sangat heran.

Sering satu kali  masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya. Hal tersebut akhirnya berlangsung terus menerus hingga suatu hari ibunya  sedang memasak di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya  seraya minta nasi untuk dimakan.

"Anakku bersabarlah  menunggu sementara ini nasinya belum masak," kata sanng ibu.

Mendengar kata sang ibu, Watugunung tidak menghiraukan dan melahan mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum.

Melihat ketidaksopanan putranya, ibunya menjadi sangat marah dan langsung mengambil sodo (siut) dan memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang diderita. Akibat dari hal itu, Watugunung meninggalkan kraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.

Diceritakan dalaam perjalanan, Watugunung berbuat seenaknya. Ketika lapar merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Meliahat kejadian itu, masyarakat di lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk sekitar.

Kejadian itu terus terjadi samapi mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan akhirnya  masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk  menghabisi sang Watugunung.  

Mendapat perintah dari sang raja, seluruh lapisan  kekuatan daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan  memukul dengan bermacam-macam senjata. Namun sayang seluruh serangan dan seluruh senjata penyerang tidak ada yang mempan. Watugunung makin mengada ada.

Dia terus mengobrak-abrik dan menyerangnya, menghancurkan kelompok penyerang yang hebat itu. Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Raja kemudian bertambah emosi mendengar kejadian itu. 

Akhirnya sang raja memutuskan untuk maju ke medan perang. Terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan. Setelah berlangsung 7 hari, Raja Giriswara gugur dikalahkan Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung.

Watugunung melanjutkan  serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa. Karena serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung. Hingga akhirnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing. 

Raja Kuladewa pun dapat dilenyapkan Watugunung. Setelah itu, maka selanjutnya menyerang raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang  lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Daru 27 kerajaan semuanya dengan mudah dikalahkan.

Semuerhadap Watugunung. Kesaktian ini diperolehnya pada saat lahirnya di kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Setelah 150 tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya. Suatu saat Watu Gunung kemudia bertanya kepada para raja yang telah di taklukan.

"Hai para raja apakah ada raja yang hebat lagi  yang belum aku tundukkan?" 

Para raja kemudian menjawab:

"Daulat tuanku maha raja Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku tundukkan yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang sangat diagungkan oleh rakyatnya dan dihormatinya. Jika tuanku dapat mengalahkannya kedua raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja," kata para raja.

Mendengar keterangan dari para raja itu, Maharaja Girisila memerintahkan kepada rakyatnya supaya mempersiapkan diri lengkap dengan  persenjataan guna menyerang kerajaan Kundadwipa. Berita ini, kemudian didengar kerajaan Kundadwipa maka dari itu rakyat Kundadwipa bersiap-siap untuk menyambut tamu yang tak diundang itu.

Pada saat terjadinya pertempuran  yang sengit, seram sampai aliran darah dari para korban menganak sungai. Perwira yang gagah berani sama-sama tidak ada yang mau menyerah  pantang mundur. Korban dari kedua belah pihak makin banyak.

Akhirnya pihak Kundadwipa  pun gugur dalam pertempuran. Kedua raja perempuan itu dikawini, karena lupa padahal itu adalah ibunya sendiri. Setelah lama bersuami istri, sang Watugunung menyuruh  kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya.

Dalam perkerjaan memburu kutu itu terjadilah gempa bumi, hujan dengan lebatnya disertai  angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di langit. Para dewa sangat khawatir melihat peristiwa itu. 

Para dewa menghadap ke Dewa Siwa dan bertanya?

"Haturnya  yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat seperti sekarang ini?"

Dewa Siva kemudian menjawab:
 
"Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat  tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak benar berlaku seperti binatang," kata Dewa Siwa kepada para Dewa.
 
Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) agar segera menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini. Dang Hyang Narada turun menyelidiki perbuatan manusia di dunia ini. 

Dan terungkalah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua istrinya. Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka).  Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa. 

"Yang mulia Dewa Siwa kami datang dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami  lakukan dengan sangat teliti ternyata memang memang ada manusia berbuat  yang tidak memenuhi tata susila kemanusiaan yaitu sang Watugunung  mengambil kedua ibunya dipakai istri".
 
Dewa Siwa kemudian bertutur dengan kemarahan dan langsung mengutuk Watu Gunung: "Hai kau sang Watugunung semoga engkau mati dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) karena perbuatan yang sangat dursila itu yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai permaisuri (memperistri ibu kandung), "mengambil babu sodaran, mengambil tumin temen, kewaulan, babu dimisan, keponakan ring  nyama, rerama ringmisan, suta sodaran dan cucu".
Dari semua ungkapan diatas merupakan larangan, tidak boleh dijadikan istri. Bila ada manusia yang melakukan hal itu, patut dibuang ke laut, dan jiwanya supaya disiksa oleh rakyat batara Yama pada alam neraka (Bhur Loka). Jika kelak menjelma agar dalam  kehidupannya selamanya menderita kesengsaraan. 

Itulah kutuk Sang Hyang Tri Purusa di saat kemarahnya memuncak:

Diceritakan selanjutnya suatu hari sang Watugunung melakukan  pemburuan kutu yang dilakukan oleh kedua istrinya. Tiba-tiba kedua istrinya tercengang seketika, karena melihat bekas luka pada kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Teringatlah sang Dewi dengan perbuatannya yang terdahulu yaitu memukul kepala putranya dengan sodo  (siut) sehingga menimbulkan luka di kepala putranya demikian pertimbangan di dalam hati, beliau tidak dapat berbuat apa-apa hanya diam tercengang, bahwa yang dipakai suami adalah anaknya sendiri. 
 
Percakapan yang tadi ribut dangan seketika menjadi hening. Watugunung kemudian bertanya kepada kedua permaisurinya: 

"Hai adinda kenapa diam seketika  apa yang menyebabkan coba jelaskan supaya kakanda mengetahui hal itu,"

Dengan terdiam sejenak, dadanya merasa sesak, sang Dewi kemudian menjawab.

"Ampun tuanku raja, adapun yang menyebabkan kami berdiam  karena karena kami ngerempini (ngidam),"

Watugunung balik bertanya:

"Bagaimana adinda mengidam? Apa yang adinda idamkan  katakanlah?"

Sang Putri kemudian bertanya:

"Suamiku yang terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada permaisuri Sang Hyang Wisnu". 

Sang raja kemudian bertanya: "Istriku aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah dinda berdua mengetahuinya? 

Dewi Menjawab; "Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah."

Raja menjawab; "Ya kalau demikian kanda bersedia untuk mencarinya." 

Watugunung mulai memusatkan pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang ketujuh. Kemudian ia turun dan diambut langsung Aribuana.

Aribuana bertanya "Apa maksud kedatanganmu? mohon dijelaskan".
 

Watugunung menjawab:

"Aum Batara, kedatanganku kemari, sebab berita yang kudengar di dunia, bahwa Batara adalah yang amat pengasih, apa saja yang diminta oleh manusia Batara izinkan," 

"Apa yang kau sebutkan itu memang benar" ujar Sang Hyang Wisnu.

Watu Gunung kemudian melotarkan satu permintaan. "Jika engkau memang mencintai diriku, saya mohon permaisuri Hyang Wisnu bagaimana engkau izinkan bukan, katakanlah segera?"

Wisnu Menjawab "Oh permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak boleh meminta istriku cobalah minta yang  lainnya, tentu aku akan penuhi, kehebatan, senjata dan lain-lainnya," 
 
Watu Gunung kemudian berkata:
 
"Jika demikian halnya Dewa Wisnu berbohong tidak menepati (tidak setia) kepada ucapan namanya, oh janganlah mengaku pada sadhu dharma (beriman dan saleh), kamu berikan atau tidak, kalau kamu berikan istrimu engkau  selamat, kalau tidak engkau izinkan berbahayalah engkau," Kata watu Gunung dengan kemarahan.

Wisnu kemudian menjawab "Aum, seperti apa yang kamu katakan, kalau aku  tidak izinkan, bagaimana kehendakmu cobalah bilang".

Watu Gunung: "Kalau Batara tidak izinkan, marilah segera kita berperang. Apakah kamu berani? katakan," kata Watu Gunung dengan kata-kata kasar di puncak kemarahan.

Begitu pula Hyang Wisnu (sangat marah) dan menjawab:

"Kalau benar seperti apa yang kamu katakan, aku betul-betul tidak memenuhi permintaan, karena apa yang kamu katakan hal itu tidak benar (tidak wajar)".
 
Maka terjadilah pertempuran yang  amat dasyat saling kejar mengejar, tusuk menusuk, pukul memukul dengan  garangnya. Tujuh puluh yuga lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan sang Watugunung, seribu kepalanya, dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti bintang, amat menakutkan, rupanya seperti api  berkobar-kobar menyala. 

Hyang Wisnu memurti (membesar wujudnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam (suligi),  atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura itu, besar badannya. Akibat Watugunung tidak dapat dikalahkan atas sabda Brahman yakni tidak bisa dibunuh dewa, tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura. Maka berubahlah Hyang Wisnu menjadi Badawang (Kurma), yang amat menakutkan, barulah beliau berperang.  

Akibat dari peperangan tersebut, gelombang laut yang murka, bergetarlah dunia ini, sehingga menyebabkan para dewa sibuk bertanya. Siwa pun berkata kepada para dewa: 

"Hai anakku semua, apakah kiranya yang terjadi sehingga  terjadi getaran-getaran yang hebat" Katakanlah?

Bhagawan Narada  muncul dan menjawab;

"Seperti apa yang batara katakan, hal itu terjadi karena ada  manusia yang congkak berbuat yang tidak wajar, tidak lain manusia itu  adalah si Watugunung, minta permaisuri dari Sang Hyang Wisnu, itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran, karena perbuatan si Watugunung amat berdosa".

Mendengar Ucapan Narada Batara Sangkara mengeluarkan kutukan terhadap Watu Gunung:

"Jah tah smat, semoga si Watugunung mati, karena perilakunya yang amat berdosa mau memperistri dari salah seorang dewa, terus-menerus sampai pada penjelmaan kelak kemudian hari terbunuh oleh kebesaran Hyang Ari," itulah kutuknya.

Selanjutnya dikatakan bahwah pertempuran terus menerus hingga Hyang Ari berhadapan dengan si Watugunung, lalu keluarlah api yang amat hebat dari kurma perwujudan Hyang Wisnu, disemburlah si Watugunung, dibelit oleh bajra ditikam dengan cakra (senjata dewa Visnu). Dan akhirnya si Watu Gunung dapat ditaklukan.

Dengan senjatah Dewa Visnu yang tembus dada, Watu Gunung Bersabda: "Ih Hyang Wisnu sekarang  matilah aku dengan marahnya lalu mengatakan, aku tidak akan henti-hentinya bermusuhan dengan dirimu, sampai kepada penjelmaanku yang  ketujuh aku tidak akan melupakan hal ini,"

Dewa Visnu menjawab: "Benar katamu itu, tetapi dimanakah engkau akan menjelma? Katakanlah!"

Watugunung menjawab: "aku akan menjelma di Lengka dengan nama Dasasia dan sebaliknya menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana akan menjelma nanti?" 

Visnu Kemudian bersabda; "Ih Watugunung, kalau demikian  katamu aku akan menjelma di Yodyapura; pada maharaja Dasaratha dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!" 

Usai mengeluarkan kata-kata tersebut akhirnya  meninggallah Watugunung.

Itulah Cerita yang dimuat dalam Lontar Medangkamulan lembar 1a – 9b.

Versi berbeda kisah Watu Gunung yang pernah termuat dalam majalah Bhagawanagara, (dari lontar Medan Kamulan).

Diceritakan:

Istri Watugunung keduanya minta  permaisuri sang Hyang Wisnu sebagai pembatunya (babu), dengan segera sang Watugunung mengutus sang Warigadian ke Surga, membawa surat ke hadapan Hyang Ari (Dewa Wisnu). Mendapat Surat itu, Dewa Wisnu sangat marah.dan langsung menantang sang Watugunung untuk bertempur. 

Mendengar perkataan tersebut, Watugunung menjadi marah, dan memerintahkan memukul kentongan, rakyatnya semua berkumpul lengkap dengan senjata, segera menyerbu ke surga. Terjadilah perang antara kedua pihak, sampai Sang Hyang  Wisnu merasa tertekan karena serangan dari pasukan Watugunung.

Terjadilah pertempuran  yang sangat dasyat bunuh membunuh antara kedua pihak, sampai Sang Hyang  Wisnu merasa tertekan karena serangan dari pasukan Watugunung. 

Watugunung sedang berada di tempat tidur disertai oleh  kedua orang permaisurinya. Istri sang Watugunung menanyakan kejadian  peperangan yang telah terjadi.

Watu gunung kemudian menjawab: 

"Janganlah adikku berdua memberitahu kepada orang lain (awywa wera), kesaktianku ini tidak akan dapat dikalahkan oleh para  dewa, bhuta, danawa, kala, raksasa, manusia.  Namun ada yang dapat mengalahkan, jika ada orang sakti (nara wisesa) berwujud kurma (empas/badawang), berkuku yang kuat itulah yang dapat membunuh diriku,"

Percakapan tersebut sampai di telinga Bhagawan Lumanglang dan segera kembali ke surga, menghadap Dewa Wisnu seraya memberitahukan keadaan Watugunung. Besok paginya sekitar pukul 9 (dawuh tiga), Dewa Wisnu sudah berwujud  kurma, berkepala seribu, kuku tanganya sangat panjang dan sangat kuat,  segera berangkat untuk bertempur melawan sang Watugunung.

Hari itu juga adalah hari Redite Kliwon. Setelah sekian lama bertempur akhirnya Watugunung dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada). Maka dari itu, disebut Watugunung mati terbunuh oleh Batara Wisnu. Hari  itupun diberinama "Candung Watang", dan esoknya hari Anggara Pahingnya mayatnya ditarik-tarik oleh Sang Lumanglang, sehingga hari itu disebut hari paid-paidan.

Hari Budha Pon
datanglah Bhagawan Budha, sang Watugunung dihidupkan kembali, tetapi hanya satu dauh, kemudian dibunuh  kembali oleh Batara Wisnu, hari itu disebut Budha Urip.  Kemudian Hari Wrhaspati datanglah Bhagawan Wrhaspati dengan rasa kasihan benar kepada Watugunung, sehingga dihidupkan kembali tetapi sebentar, kemudian  dibunuh kembali oleh Hyang Wisnu, hari itu disebut Panetan.

Hari sukra Kliwon, Dewa Siwa mengetahui bahwa Watugunung mati dan turunlah beliau untuk  menghidupkan kembali Watugunung, harinya disebut dengan Pangredanan. Saat itu juga Batara Wisnu ingin membunuhnya lagi namun dicegah oleh Dewa Siwa dan berkata

"Hai anakku, janganlah hendaknya sang Watugunung dibunuh, biarkanlah untuk hari-hari  selanjutnya supaya diingat orang sebagai bahan pertimbangan atau perbandingan." 

Batara Wisnu kemudian menjawab:

"Yang Watugunung amat besar dosanya, mengawini orang yang sudah bersuami dan  memperistri ibunya sendiri. Dikemudian hari tidak boleh orang yang  sudah bersuami dan memperistri ibunya sendiri." 

Kemudia Dewa Wisnu kembali mengutuk Watugunung:

"Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh),"
 
Watugunung kemudian menjawab;

"Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon apabila hamba jatuh di darat hendaknya turun hujan dan bila hamba jatuh di laut supaya hari panas terik, agar hamba tidak  kedinginan."

Dewa Visnu pun mengabulkan semua permohonan Watugunung serta rakyat sang Watugunung serta pada Dewa yang menjadi korban dalam pertempuran  itu dihidupkan kembali. Itulah cerita Mitologi Hindu Dharma, Watugunung menjadi terbawah dan terakhir dari pawukon, yang juga disebutkan Hari Raya Saraswati sebagai perayaan ilmu pengetahuan yang dirayakan pada wuku watugunung.

0 Response to "Cerita Watu Gunung dalam Lontar Medangkemulan dan Lontar Medan Kamulan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel