Landasan Membangun Keluarga Menurut Perspektif Hindu

HINDUALUKTA -- Weda Smerti IX.101-102 mengatakan “Hendaknya lelaki dan perempuan yang terikat dalam perkawinan berusaha tidak jemu-jemu dan tidak bercerai serta tidak melanggar kesetiaan. Hendaknya hubungan berlangsung sampai mati dan dianggap sebagai hukum suami istri”.

Keluarga berasal dari bahasa Sanskerta, dari kata Kula dan Varga, Kula berarti abdi, hamba dan Varga berarti jalinan, ikatan, pengabdian. Kalu dan Varga menjadi Kaluvarga yang artinya jalinan atau ikatan pengabdian. Secara keseluruhan makna Keluarga dari kedua kata di atas adalah jalinan atau ikatan pengabdian antara suami, istri dan anak. Jadi keluarga adalah persatuan yang terjadi diantara seluruh anggota keluarga dalam rangka “pengabdiannya” kepada amanat dasar yang diemban keluarga tersebut. Dasar dari keluarga Hindu adalah pengabdian bukan Pengorbanan. Tidak satu pun anggota keluarga yang berkorban untuk anggota keluarga lainnya, singkatnya seluruh anggota keluarga yaitu suami, istri dan anak harus menyadari bahwa apapun yang diperbauat adalah semata-mata melaksanakan amat Hyang Widhi sehingga semua itu dapat dipersembahkan dari dorongan hati yang tulus suci.
Landasan Membangun Keluarga Menurut Perspektif Hindu
Image: anom_trilaksmi

Secara hukum, perkawinan telah diatur dalam pasal 1 UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bhatin antara seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam hal ini, Negara telah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk membentuk keluarga dalam suatu ikatan lahir bhatin. Negara juga mengatut hal-hal masalah perkawinan secara umum.
Ajaran hindu telah meletakkan pondasi yang kuat bagi upaya memelihara eksistensi manusia dalam alam semesta ini. Ponasi tersebut termuat dalam beberapa pustaka suci Hindu dengan telah memberikan kesempatan dan ruang bagi perkembangan dan tahapan kehidupan manusia. Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah “Moksartham Jagadhitaya ca iti dharma”, yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagian rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagian secara lahir dan bhatin. Tujuan ini disebutkan secara rinci di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni dharma, artha, Kama dan Moksa. Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan sedangkan Moksa berarti kebahagiaan tertinggi atau pelepasan.

Dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena seringkali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu, Dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntunan kama atas artha, sebagai mana di syaratkan di dalam Weda (S.S. 12) sebagai berikut:

“Kamarthau Lipsmanastu, Dharmam eweditaccaret,
Na hi dhammadapetyartha, kamo vapi kadacana.

Terjemahan:

Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah Dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak aka nada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari Dharma.

Jadi Dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena Dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagian yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga, sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (S.S. 14), sebagai berikut:

Dharma ewa plawo nanyah, swargam samabhiwanchatam
Sa ca naurpwani jastatam jala, dhen paramicchatah.

Terjemahan:

Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga, sebagai halnya perahu yang merupakan alat saudagar untu mengarungi lautan.

Selanjutnya di dalam Cantiparwa disebutkan pula sebagai berikut:

Prabhawar thaya bhutanam, Dharma prawacanam krtham
Yah syat prabhawacam yuktah, sa Dharma iti nicacayah

Terjemahan:

Segala sesuatu yang bertujuan memberi kesejahteraan dan memelihara semua mahluk, itulah disebut Dharma (agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan dunia itulah Dharma yang Sebenarnya.
Demikian pula Manusamhita merumuskan Dharma itu sebagai berikut:

“Weda pramanakah creyah sadhanam Dharmah”

Terjemahan:

Dharma (agama) tercantum dalam ajaran kitab suci weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari pernjelmaan dan manunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).

Weda (S.S. 16) juga mengatakan:

Yathadityah samudyan wait amah sarwwam wyapohati,
Ewam kalyanam atistam sarwwa papam wyapohati

Terjemahan:

Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnakan segala macam dosa.

Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bhatin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar Dharmalah manusia akan mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi.  Disamping itu, dengan dharma hendaknya artha dan kama diperoleh sehingga ia akan mampu memberikan kemaslahatan dan pencapaian terakhir dalam kelahiran dan kehidupan ini.

Landasan selanjutnya dinyatakan dalam sarasamuccaya, dinyatakan Catur Asrama yang didefinisikan Empat jenjang kehidupan yang berlandaskan perkembangan jasmani dan rohani masyarakat Hindu yang terdiri dari:
  1. Brahmacari Asrama
  2. Grahastha Asrama
  3. Wanaprastha Asrama
  4. Bhiksuka/ Sanyasin Asrama

Brahmacari didefenisikan sebagai kesempatan manusia untuk focus dalam menuntut ilmu. Ia juga diartikan sebagai masa manusia untuk tidak memikirkan hal-hal yang berbau birahi atau seks. Dalam masa ini, hendaknya manusia dapat memanfaatkan waktu remaja untuk belajar dan belajar semua pengetahuan yang diberikan di sekolah atau institusi pendidikan yang dipercaya. Pengetahuan tersebut hendaknya dipelajari secara seksama untuk bekal nantinya mengarungi kehidupan selanjutnya dan sebagai sarana mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

Grahasta merupakan tahapan selanjutnya. Manusia sedari remaja dikodratkan memiliki perasaan suka dengan lawan jenis. Maka setelah manusia dewasa, maka ia memiliki keinginan untuk menjalin hubungan berumahtangga. Membina hubungan dalam rumah tangga tidaklah semu yang dibayangkan. Banyak hal yang mesti dipersiapkan untuk membentuk keluarga yang harmonis dan ideal menurut ajaran Hindu. Dewasa ini banyak kita lihat hubungan yang tidak dipersiapkan dengan baik akan bermuara pada kehancuran kehidupan keluarga.

Sedangkan Wanaprastha dan Bhiksuka merupakan tahapan setelah itu yang dipergunakan sebagai persiapan untuk menuju kehidupan selanjutnya di alam menjelang kematian. Maka jika persiapan manusia kurang di masa brahmacari dan grahastha, dapat dipastikan kehidupan di masa tua menjelang ajal menjemput, maka tidak akan menemukan kedamaian yang sesungguhnya. Dengan perkembangan jaman yang tidak memungkinkan lagi melaksanakan wanaprastha, maka kegiatan wanaprastha yang dilakukan ditengah masyarakat dengan kehidupan yang senyata-nyatanya dengan bertautan langsung dengan kehidupan social kemasyarakatan. Hutan sebagai tempat melakukan tapa wana di jaman dulu, dewasa ini sudah tidak bias dilakukan secara ideal sehingga harus disesuaikan dengan konteks perkembangan yang berlaku.


0 Response to "Landasan Membangun Keluarga Menurut Perspektif Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel