Peradaban Yang Membunuh Roh

HINDUALUKTA -- Setiap orang menginginkan kebahagiaan. Tetapi, ternyata, tidak setiap orang bisa mendapatkan kebahagiaan. Di koran-koran, banyak iklan dipasang untuk mendapatkan kebahagiaan. Agama pun menjanjikan kehidupan yang membahagiakan. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua orang yang beragama bisa hidup berbahagia seperti yang dijanjikan oleh agama mereka. Pasti ada sesuatu yang salah dalam cara kita melakoni kehidupan dan mempraktekkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Apa kesalahan itu? Jawabannya pasti jamak. Salah satu diantaranya ialah: Kesalahan kita yang paling fatal ialah karena melupakan identitas diri yang sejati sebagai atma dan meminggirkan Tuhan dalam perjuangan hidup sehari-hari. Sebagai akibatnya manusia menderita dengan segala cara. Peradaban moderen yang kehilangan orientasi transendental merupakan sumber malapetaka dunia yang menyebabkan manusia tidak berbahagia dalam setiap langkahnya. Didalam Isa Upanisad, mantra 3, kenyataan tersebut dipahami melalui ungkapan atma-ha yang berarti “membunuh roh”. 
Image: understandbali
Identitas sejati makhluk hidup bukanlah badan jasmani ini, melainkan atma atau roh yang kekal. Hal ini sesuai dengan ungkapan Brhad-aranyaka Upanisad 1.4.10 sebagai berikut: aham brahma-asmi. Bhagavad-gita 2.30. juga menyebutkan ide yang sama: dehi nityyam avadhyo ‘yam, artinya, dia yang tinggal didalam badan tidak dapat dibunuh. Katha Upanisad 1.2.7 menyebutkan sifat roh yang rahasia dan tidak dapat dimengerti, walaupun orang telah mendengar tentangnya. Pada umumnya, kitab-kitab upanisad menyetujui bahwa sang roh adalah kekal (nityasyoktah saririnah) dan badan jasmani dapat dimusnahkan sesudah beberapa waktu (antavanta ime dehah). Jadi, semuanya setuju, bahwa identitas kita yang sejati adalah roh yang kekal abadi dan, bukan badan jasmani ini. ‘ 

Menurut prinsip-prinsip punarbhawa (punarjanma) sang roh diikat oleh hukum tumimbal lahir. Dalam Garuda Purana dijelaskan, ada 8.400.000 (delapan juta empat ratus ribu) jenis kehidupan di alam semesta ini, dan sang roh harus “mengembara” melalui semua jenis kehidupan tersebut. Khususnya untuk mencapai jenis kehidupan yang sempurna sebagai manusia, sang roh harus “mengembara” dalam waktu yang cukup lama. Jenis kehidupan manusia adalah kedudukan tertinggi diantara makhluk hidup ciptaan Tuhan. Karena itu disadari, kelahiran menjadi manusia adalah berkah yang maha tinggi dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Bahkan Sarasamuccaya menyatakan, kelahiran sebagai manusia adalah tangga menuju surga. Dengan demikian, tidak berlebihan, apabila kelahiran sebagai manusia, juga dinyatakan dengan ungkapan ini: “manusyam sarvatha tata durlabham" yang artinya, sangat sukar diperoleh. Hanya manusia yang dilengkapi dengan fasilitas intelek untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan berpikir rasional. Demikian juga hanya manusia yang diberikan agama. Tidak ada makhluk lain di muka bumi ini yang beragama selain manusia. Manusia juga memiliki alat penerima wahyu atau super sensori perseption yang disebut intuisi, dengan alat mana manusia dapat menginsyapi keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Kelebihan atau keistimewaan manusia, diuraikan dalam sloka Hitopadesa, yang Juga dikutip oleh Chanakya Pandit secara utuh dalam karyanya Nitisastra, sebagai berikut: ahara nidra bhaya maithunam ca, samanyan etat pasubhih naranam, dharmo hi adhiko wiseso, dharmena hinah pasubhih samanyam, artinya, makan, tidur, berketurunan dan membela diri adalah empat persamaan manusia dengan binatang. Kelebihan manusia ialah karena ia dapat mengerti dharma. Karena itu, jika manusia tanpa dharma, maka kehidupannya akan jatuh ke dalam taraf kehidupan binatang. 

Dalam kitab-kitab Purana, dunia ini kadang-kadang diumpamakan sebagai lautan. Badan manusia sebagai kapal yang kuat yang dirancang khusus untuk menyeberangi lautan tersebut. Kitab suci Veda dan para acarya atau guru-guru yang suci, diumpamakan sebagai nahkoda yang ahli, dan fasilitas-fasilitas dari badan manusia diumpamakan sebagai angin-angin yang baik, yang membantu kapal untuk menyeberangi samudera kehidupan menuju pantai tujuan: moksa. Dengan segala fasilitas tersebut, kalau seseorang tidak menggunakan kehidupannya dengan sepenuhnya demi keinsafan diri, maka dia harus dianggap atma-ha yakni seorang pembunuh roh.

Dengan kata lain, seorang atma-ha berarti ia yang melupakan identitas dirinya yang sejati sebagai roh yang kekal abadi, atau sebaliknya menyamakan diri dengan badan jasmani. Dalam kedudukan seperti ini manusia terjebak kedalam empat kegiatan yang juga dilakukan oleh makhluk hidup lain, yaitu: makan, tidur, berketurunan dan membela diri. Binatang seperti babi, kucing, anjing, kambing, dan sebagainya, juga melakukan kegiatan yang sama. Karena itu, jika manusia hidup tanpa dharma, tanpa kebajikan, tanpa etika dan moral, maka kehidupannya yang istimewa sebagai makhluk utama ciptaan Tuhan akan jatuh pada taraf kehidupan binatang. Proses menuju ke dasar kehinaan inilah yang harus dipahami sebagai atma-ha, tindakan membunuh roh. 

Dalam Caitanya Caritamrta 20.117 disebutkan, makhluk hidup yang melupakan Tuhan, pasti diikat oleh kekuatan atau sifat-sifat alam semesta. Hukum ini sudah berlangsung sejak waktu yang tidak dapat dihitung Iamanya. Karena itu, dalam kedudukan material seperti itu, maya memberikan berbagai jenis penderitaan kepada makhluk hidup (Krishna bhali sei jiva anadi-bahirmukha, ataeva maya tare deya samsara-duhkhat). Sementara Jagadananda Pandit dalam karyanya Prema Vivarta menyatakan demikian, “Segera setelah seseorang menentang Tuhan, secepat itu pula, ia dikuasai oleh tenaga Tuhan yang menghayalkan, maya (Krishna-bahirmukha hana bhoga vancha kare, nikata-stha maya tare japatiya dhare). 

Mengikuti “rumus” diatas, jelas bahwa manusia yang melupakan dharma, melupakan Tuhan, tidak hanya akan jatuh dalam taraf kehidupan binatang, melainkan juga akan terjebak dalam hukum punarbhawa atau samsara/Penyebab punarbhawa adalah maya atau khayalan. Pengertian maya dalam sistem Philsafat Hindu adalah alam semesta yang palsu dan sementara, yang memiliki sifat triguna, yaitu sattvam (kebajikan), rajas (nafsu) dan tamas (kebodohan). Kata guna juga berarti ‘tali’, dan jika seseorang diikat oleh “tali” kebajikan, nafsu dan kebodohan, berarti dia sedang diserang oleh hantu khayalan. Orang yang menghayal pada umumnya melupakan kenyataan yang sebenarnya. Dalam konteks ini, menghayal berarti melupakan identitas diri yang sejati sebagai atma atau roh yang kekal abadi dan sebaliknya menyamakan diri dengan badan jasmani. Menghayal juga berarti melupakan Tuhan sebagai Mahesvara atau Penguasa Yang Tertinggi dan menggantikan kedudukan itu dengan diri sendiri. Orang yang menghayal seperti ini, sudah ditakdirkan oleh waktu yang tidak dapat dihitung lamanya, akan dijerat oleh samsara, yang “anggota-anggotanya” terdiri dari: janma, mrtyu, jara, vyadhi dan duhkha (kelahiran, kematian, usia tua, penyakit dan duka-cita) 

Bencana kehidupan yang paling besar ialah dilahirkan kembali ke dunia maya ini. Karena itu, misi suci (dharma) manusia ialah menghentikan roda kelahiran dan kematian yang berulang-ulang ini. Jika manusia dengan kelebihan atau keistimewaannya sebagai manusia gagal mewujudkan tugas tersebut, atau meminjam ungkapan peribahasa, jika manusia “kehilangan tongkat” dalam kehidupannya ini, maka ia dianggap gagal memerankan misinya sebagai manusia. Kegagalan ini berarti menjerumuskan manusia menjadi atma-ha, pembunuh roh. 

Orang yang membunuh roh ditakdirkan masuk kedalam dunia orang yang tak beriman seperti ditunjukkan dalam mantra 3, Isa Upanisad berikut ini: asurya nama te loka, andhena tamasavritah, tams te pretyabhigacchanti, ye ke ca-atma-hano-janah, yang berarti, “Siapapun menjadi pembunuh roh harus masuk planet-planet yang disebut dunia orang yang tidak beriman, penuh kegelapan dan kebodohan”. 

Kesadaran manusia dan jenis kehidupan yang akan diterimanya dalam kelahiram dimasa datang ditentukan oleh kegiatannya yang nyata di dunia sekarang ini. Keliru anggapan yang mengatakan bahwa manusia akan tetap hidup dalam kesadaran sebagai manusia pada kelahiran yang akan datang. Dalam mantra diatas dijelaskan dengan istilah-istilah yang tegas bahwa orang yang “membunuh roh” ditakdirkan masuk kedalam dunia orang tak beriman (asura). Tujuan kehidupan manusia menjelma ke dunia maya ini dijelaskan dalam sloka Bhagavata Purana 1.2.10. berikut ini: Jivasya tattva jijnasa, nartho yas ceha karmabhih, yang berarti: “Manusia dimaksudkan untuk bertanya tentang Kebenaran Mutlak, dan seharusnya tidak ada hal Iain yang menjadi tujuan pekerjaan seseorang”. 

Menginsyafi Kebenaran Mutlak berarti menghentikan roda punarbhawa. Inilah tujuan sejati kehidupan manusia di dunia maya ini, dan untuk itu manusia telah dikaruniai fasilitas yang istimewa. Karena itu, lahir kembali ke dunia ini, apalagi lahir menjadi binatang seperti babi yang tidak mempunyai pengertian bahwa sang roh adalah kebenaran sejati sehingga menganggap kehidupan yang menjijikkan sebagai kehidupan yang membahagiakan merupakan antiklimak dari misi suci manusia. 

Kehilangan Orientasi Transenden 

Peradaban moderen dewasa ini telah menyediakan fasilitas material yang sangat memadai. Fasilitas tersebut dikejar oleh manusia dalam berbagai peringkat kehidupan, mulai dari lingkungan keluarga, propinsi, negara, sampai ke tingkat dunia International. Dalam pandangan Hindu, fasilitas material yang dikejar dalam berbagai peringkat kehidupan tersebut, tidaklah dimaksudkan untuk mengingkari adanya Tuhan. Huston Smith menjadi pembicara Hindu yang baik ketika ia mengatakan demikian, “...Memang benar bahwa orang India tidak pernah menganggap kesenangan sebagai nilai tertinggi dalam hidup ini, namun tidak berarti kesenangan dianggap suatu hal yang jahat. Keinginan itu merupakan sesuatu yang wajar, sesuai dengan kodrat manusia”. 

Disinilah kelalaian peradaban moderen. la mengejar fasilitas material, tetapi meminggirkan Tuhan yang menjadi penguasa atas alam material tersebut. Para cendekiawan mengungkapkan pandangan mereka tentang hal ini dalam berbagai varian. Eric Fromm misalnya, yang mewakili kalangan psychology analisa, mengganti pernyataan Nietzsche “God is dead” dengan “man is dead”. Menurut Fromm, manusia moderen telah “tamat” kemanusiaannya menjadi semata-mata benda hidup karena terlalu mencintai keduniawian. Sejarawan terkemuka Sartono Kartodirdjo menilai bahwa peradaban massa sekarang ini bersifat monolitik dan berdimensi satu, artinya tidak lagi memberi kerangka orientasi yang transendental, yaitu potensi etis dan moral dalam menghadapi “paksaan sosial” yang mendesakkan konformitas dan memanipulasi jiwa. “Peradaban kita sedang sakit” adalah ungkapan terkenal dari wartawan senior dan budayawan Indonesia, Mochtar Lubis. Sementara Srila Prabhupada, memberi pernyataan yang lebih tegas. Dikatakan, peradaban moderen hanya meningkatkan perut yang lapar dan membunuh roh. Demikian juga T. Jacob, anthropolog ragawi yang pernah menjabat rektor UGM Yokja menilai, modemisasi yang dihasilkan dari penerapan ilmu pengetahuan pada teknologi, bagaikan masuk kedalam lorong gelap, dimana manusia tidak bisa keluar lagi. 

Otoritas pendapat para cendekiawan diatas tidak perlu diragukan. Kita pun tak hendak mencampuri, apalagi mengubahnya. Namun jika kita menelusuri kesusastraan Veda, kita akan menemukan sorotan yang lebih hitam putih dibanding kritik para cendekiawan itu. Bahkan kita boleh menyimpulkan, disinilah pendapat-pendapat itu berpuncak. Bhagavata Purana 1.1.10. berikut ini, menyampaikan maksud ter sebut, “O resi yang terpelajar, pada zaman besi Kali ini, manusia pendek usia. Mereka suka bertengkar, malas, tersesat, bernasib sial dan, terutama sekali, selalu goyah” (prayenaalpayusah sabhya kalav asmin yuge janah, mandah sumanda-matayo manda-bhagya hy upadrutah). 

Orang-orang suci yang membedah kehidupan dunia maya ini dari pandangan spiritual, menganalogikan kehidupan di dunia maya ini seperti kehidupan seekor babi. Binatang seperti babi juga merasakan kebahagiaan, meskipun ia hidup menjijikkan didalam lumpur dan makan kotoran. Pernyataan ini kedengaran “keras”, tetapi sebenarnya tidak, sebab yang dimaksudkan adalah mengingatkan manusia akan kehidupan di dunia maya ini yang penuh dengan kesengsaraan. Srila Bhaktivinoda Thakura, orang suci dari India, dalam judul lagunya Arunoda Kirtana, mendendangkan syair sebagai berikut: “Hendaknya kalian mengerti kenyataan yang sangat penting ini: kehidupan bersifat sementara dan penuh berbagai jenis kesengsaraan. Karena itu, berlindunglah pada Nama Suci Tuhan dan selalu tetap tekun dalam pengabdian kepadaNya sebagai dharma-mu yang kekal”. 

Jangan Kembali Lagi 

Mengikuti uraian diatas, mulai dari sifat sejati makhluk hidup sebagai atma, keistimewaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai makhluk utama diantara makhluk-makhluk lain yang diciptakan-Nya, dan kehidupan di alam semesta yang penuh dengan kesengsaraan, maka saran yang paling tepat untuk keadaan ini ialah jangan kembali lagi ke dunia ini. Lebih lagi, jika memperhatikan sifat-sifat Zaman Moderen yang elemen-elemennya sama dengan Zaman Kali yang kurang menguntungkan, seharusnya tidak ada orang yang berminat lahir kembali dan menjadi penghuni bumi yang penuh dengan kesengsaraan dan menjijikkan ini. Kitab Suci, orang-orang suci, para resi, gosvami, pendeta dan guru-guru suci, wanti-wanti mengingatkan, “jangan kembali, jangan kembali, dan jangan kembali”. Tetapi, sangat mengherankan, meskipun disarankan demikian, orang-orang tetap bercita-cita untuk lahir kembali ke dunia ini, tetap bercita-cita menjadi atma-ha, menjadi pembunuh roh, bahkan dalam semangat yang lebih kejam lagi.

Oleh I Ketut Widnya


0 Response to "Peradaban Yang Membunuh Roh"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel