Pemimpin Hindu Menurut Perspektif Kautilya Arthasastra

HINDUALUKTA -- Pemikiran politik Acarya Canakya atau Kautilya di masa lampau memang terbilang anti-mainstream. Dia adalah sosok Brahmana yang penuh kontroversial. Ide-ide politiknya amat brilian. Tak heran kalau ia juga disegani oleh sekutunya.

Ia memiliki beragam trik, intrik, strategi politik yang tak dimiliki lawan-lawannya. Kini, pemikirannya banyak diadopsi oleh pemimpin dunia. Para calon pemimpin harus belajar banyak dari prinsip, etika, keberanian dan nilai yang diusung Canakya.

Ebook Kautilya Arthasastra karya antropolog yang juga akademisi IHDN Denpasar I Nyoman Yoga Segara ini memberikan gambaran umum sosok dan gagasan besar maha guru Canakya. Ebook ini tidak lah terlalu panjang dan bertele-tele, sehingga layak anda koleksi dan baca dalam desktop/pc atau gadget. Ebook ini perdana dari Melek Hindu yang dipublikasikan sekaligus di dedikasikan kepada umat Hindu di mana pun berada. 



Kautilya Asthasastra

Tulisan dalam e-book yang Anda baca saat ini sebenarnya ingin menjelaskan persoalan seputar pemikiran Kautilya dan filsafat politik dalam ajaran agama Hindu, dengan Arthasastra sebagai buku utamanya. Kautilya selama ini kerapkali disandingkan dengan berbagai tokoh dunia diantaranya Niccollo Machiavelli. Untuk itu, melalui pemaparan singkat tulisan ini juga sekaligus memberikan gambaran umum siapa sebenarnya sosok Kautilya.

Khusus untuk asumsi pertama, membanding-bandingkan Kautilya dan Machiavelli dengan hanya membaca sejarah hidup dan karya yang dihasilkan keduanya jelas terasa ganjil dan tentu saja tidak adil, terutama bukan hanya karena Kautilya dan Machiavelli tidak hidup sejaman tetapi juga demarkasi pemikiran keduanya sangat liyan. 

Kautilya misalnya, hidup pada abad 4 Sebelum Masehi. Bandingkan dengan Machiavelli yang dilahirkan di Florence, 3 Mei 1469 saat Italia dan daratan Eropa bergolak akibat kecamuk perang. Memang harus diakui, gaya politik Machiavelli telah menjadi magnet dalam arus perpolitikan dunia ketika “masa gelap” itu dan sesudahnya. Ia menjadi sosok kontroversial yang dibenci dan ditolak namun pada saat bersamaan ideologi politiknya diikuti dan dijalankan oleh banyak negara dan sebagian besar pemimpin. Atas kontribusi besarnya dalam ilmu politik itulah, Machiavelli sempat digelari “Bapak Ilmu Politik”. 

Penelusuran kisah hidup Kautilya menjadi teramat penting untuk diketahui karena berbagai lika-liku peristiwa yang mewarnai pengalaman hidupnya adalah buah dari perjumpaannya dengan situasi tertentu yang pada akhirnya akan memperlihatkan siapa Kautilya itu sebenarnya. Bagaimanapun juga, aspek waktu dan tempat, diikuti berbagai peristiwa dalam kehidupan seorang tokoh besar mengandung arti bahwa kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari karakter, kepribadian, dan suasana batin yang melingkupinya. 

Jejak Hidup, Karakter dan Gagasannya

Buku tentang Kautilya, seperti yang asli dari R. Shamasastri. 1923. Kautilya’s Arthasastra; dan M.V. Krishna Rao. 1979. Study in Kautilya, sudah cukup menjadi modal untuk memahami sejarah hidup Kautilya, ditambah beberapa buku dari Romila Thapar. 1961. Aśoka and the decline of the Mauryas; V.R. Dikshitar. 1922. Mauryan Polity; J. Joly and R. Schmidt. 1924. Arthasastra of Kautilya. Vol. II, K.A.N Sastri. 1952. The Age of Nandas & Mauryas; dan R.K. Mookerji. 1943. Chandragupta Maurya. 

Mengingat semua buku tentang Kautilya Arthasastra berplot sejarah, seluruh buku tersebut hampir bernada sama, yang secara ringkas diceritakan sebagai berikut:

“Kepandaian Kautilya diceritakan sudah tampak bersinar sejak masa anak-anak. Minat terbesarnya ada pada pengetahuan Weda dan ilmu politik. Minat ini terus dipeliharanya untuk suatu saat menjadi ahli strategi politik Hindu.

Untuk memperdalam intuisi politiknya, ia kuliah di Taxila University, salah satu universitas paling berpengaruh saat itu. Sempat ia mengalami masa sulit ketika universitas ini dipenuhi pengungsi akibat kekacauan kota Taxila, namun peristiwa itu justru menjadi berkah karena ia menjadi salah satu intelektual muda universitas yang dilibatkan untuk meredam konflik. Selepas kuliah, ia menjadi pengajar di almamaternya, dan akhirnya meraih gelar professor.

Ketika masa emasnya sebagai pengajar terpandang, India mengalami pergolakan dari pihak asing. Ia memilih jalan menyelamatkan negaranya, dan selanjutnya meninggalkan Universitas Taxila menuju Pataliputra untuk membuka jalan bagi perubahan politik India. Mengabdi pada raja Nanda di Pataliputra, Kautilya sempat dijadikan Pemimpin Sungha (Trust), namun diturunkan Nanda dengan sebab yang tidak jelas.

Keputusan ini dianggapnya menyakitkan dan membuat luka batinnya sangat dalam. Ia diceritakan pergi mengembara, dan akhirnya bertemu pemuda Chandragupta, salah satu dari dinasti Mauriya yang selamat atas penaklukan raja Nanda.

Atas kesamaan dendam, Kautilya membimbing dan mempersiapkan Chandragupta sebagai pemimpin besar. Oleh Kautilya, proses pembimbingan ini dipraktekkan langsung dengan melibatkan Chandragupta dalam medan perang ketika bangsa Yunani, melalui Alexander the Great mengekspansi India. 

Setelah India selamat dari koloni ini, Kautilya dan Chandragupta berpaling untuk menaklukkan Nanda yang telah lama dibenci rakyat karena kalalimannya. Seperti diketahui, Nanda tewas beserta keturunannya, dan menaikkan Chandragupta sebagai raja meneruskan dinasti Mauriya. Kautilya sendiri menjadikan dirinya sebagai penasehat raja”.

Pemikiran Kautilya dalam Arthasastra

Pada bagian ini adalah yang terberat untuk dieksplorasi, karena saya proyeksikan untuk menjawab apakah pemikiran Kautilya dikategorikan sebagai filsafat politik. Awalnya saya masih terjangkiti keraguan untuk melakukan analisis, dan terpikir untuk menanggalkannya. Namun dalam kontemplasi selanjutnya, saya teringat salah satu keabadian sifat khas filsafat, yakni ruhnya akan terus dapat hidup melintasi ruang dan waktu, dan yang selalu menawarkan idealisasi sebuah pandangan besar. Perenungan ini menjadi entry point untuk memahami bukankah apa yang dipikirkan Kautilya di masa lalu juga sangat idealistik, bahkan sebagian pikirannya dalam Arthasastra masih terus dapat bersenyawa dengan kehidupan di masa kini?

Perenungan tersebut melahirkan pertanyaan elementer mengenai apakah subject matter dari filsafat politik itu sendiri? Pertanyaan ini mendorong saya untuk terlebih dahulu menelisik geneologi filsafat politik sebagaimana disampaikan Alan Brown (1986:11) yang menyatakan bahwa filsafat politik ada sejak manusia menyadari dirinya dapat hidup satu sama lain dengan cara yang ebih bermanfaat. Artinya kerjasama di antara manusia sangat dimungkinkan, dan usaha menata kehidupan bersama yang ideal melalui rasionalitas mulai dikembangkan. Dengan rasionalitasnya, manusia menyadari bahwa berbagai pilihan terbuka untuk mengatur dan mengembangkan kehidupan bersama, meskipun tidak selalu jelas mana di antara berbagai pilihan itu yang dapat dianggap paling baik. 

Kita bisa mulai membincangkan filsafat politik secara panjang lebar dari pernyataan Brown di atas. Masih pada halaman 11, Brown mengatakan, dengan rasionalitasnya manusia mencoba mempertanyakan apa hakikat dari organisasi masyarakat yang baik dan tepat,i atau “bagaimana cara hidup yang terbaik dan paling tepat bagi manusia, entah sebagai individu maupun kelompok”. Tulisan Brown memberi insight bahwa filsafat politik adalah studi tentang penilaian dan kritik moral terhadap proses yang melandasi sebuah kehidupan sosial, politik dan ekonomi demi penciptaan susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat. Secara tegas Brown menyatakan bahwa filsafat politik berkenaan dengan hal-hal praktis atau berhubungan dengan bagaimana pengaturan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat yang seharusnya. 

Sementara Sheldon S. Wolin (2004:7) menyatakan bahwa ”filsafat politik bukan sekadar hasil refleksi pasif atau mirror images tentang masyarakat. Ini semata karena jauh sebelum manusia mulai berfilsafat tentang masyarakat, institusi politik dan struktur sosial sudah ada lebih dahulu sehingga batas dan substansi dari subject matter filsafat politik sebagian besar ditentukan oleh praktik-praktik yang sudah ada dalam masyarakat”. Pendapat ini sejalan dengan pikiran William L. McBride (1994:3) yang menyatakan ”filsafat politik selalu mengandung aspek aktif dan kreatif, yang terpisah atau berbeda dengan  keadaan yang sedang berlaku, dan dengan demikian juga mengimplikasikan adanya kritik terhadap keadaan yang ada pada saat ini”. 

Dalam buku lain, Jonathan Wolf (2006) menyatakan bahwa karakteristik lain dari filsafat politik adalah pengetahuan normatif, yaitu filsafat politik mencoba membentuk norma (aturan atau standar ideal), yang dapat dibedakan dari pengetahuan deskriptif, yaitu mencoba menguraikan bagaimana sesuatu itu secara apa adanya. Studi normatif mencari tahu bagaimana sesuatu itu seharusnya: apa yang benar, adil dan secara moral tepat, sementara studi politik deskriptif dilakukan oleh ilmuwan politik, sosiolog, dan ahli-ahli sejarah.

Cara lain untuk lebih memahami subject matter filsafat politik adalah dengan membedakannya dari ilmu politik dan teori politik. Kembali pada Brown (hal 14) yang menyatakan bahwa pokok perhatian ilmu politik adalah realitas atau peristiwa politik seperti perebutan kekuasaan, kecenderungan memilih, hubungan antara kelas sosial dalam masyarakat dengan partai politik dan teori yang menjelaskan realitas dari berbagai peristiwa politik itu sendiri. Dengan demikian, teori politik merupakan kumpulan doktrin-doktrin tentang organisasi masyarakat politik yang diinginkan, seperti liberalisme, sosialisme atau anarkisme. Doktrin teori politik adalah deskripsi tentang kemungkinan bentuk masyarakat yang dianggap baik dan tepat dan di dalamnya juga terkandung berbagai rencana dan program politik, dan karena itu sering diistilahkan sebagai ideologi. 

Sedangkan filsafat politik, meski menaruh perhatian terhadap doktrin-doktrin politik, namun lebih berkepentingan untuk memberikan landasan kefilsafatan terhadap doktrin-doktrin normatif tersebut. Asumsinya adalah bahwa teori politik (dan sebenarnya juga teori-teori ekonomi dan sosial) bisa saja tidak memiliki justifikasi rasional, atau hanya merupakan bentuk rasionalisasi praktek politik, ekonomi dan sosial yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan semata melalui otoritas tertentu seperti agama. Jadi, minat filsafat politik dapat dibedakan dari teori politik dalam hal bahwa ada kebutuhan untuk memberikan landasan rasional atas nilai-nilai, ideal-ideal dan prinsip-prinsip yang memberikan bentuk pada teori atau doktrin itu.

Apa sebenarnya benang merah dari perspektif filsafat politik dengan Kautilya? Sampai pada titik ini, kesimpulan awal yang dapat ditarik adalah filsafat politik merupakan cabang filsafat praktis, yang sedikit berbeda dengan filsafat etika yang lebih mengatur norma individual, namun dari aspek sosialnya, etika memberi jalan bagaimana manusia harus diatur dalam satu rumah bernama masyarakat. 

Gagasan Kautilya yang tertuang dalam Arthasastra pada masa itu penuh dengan gejolak politik, mengharuskannya membuat satu panduan praktis untuk dijalankan, namun bukan berarti seperti pandangan banyak orang bahwa gagasan politiknya menjauhi etika dan moral. Dalam hal berpolitik praktis, misalnya mengatur negara, ajaran Kautilya memaksa masyarakat atau orang yang bermoral dan atau memantapkan moralitas yang bersumber dari agama dengan tujuan utama terwujudnya kepatuhan praktis dalam menjalankan aturan hidup bersama. Kautilya juga menempatkan moralitas atau budi pakerti luhur sebagai azas penting yang harus dimiliki seorang swamin/penguasa.

Merawat Warisan, Memetik Hikmah

Dalam semesta kefilsafatan, termasuk kebudayaan di dalamnya, aspek waktu, terlebih peristiwa-peristiwa menyejarah dalam hidup manusia menjadi penting untuk diulang. Kompilasi berbagai buku tentang Arthasastra memperlihatkan bahwa dalam konteks tertentu, ajaran Arthasastra masih cukup relevan, bahkan masih bisa dilakukan dalam kehidupan praktis. Untuk sampai mempraktekkannya kini, tentu saja tidak cukup membutuhkan good will tetapi political will. Sekali lagi, tulisan ini hanya ingin mengatakan bahwa beberapa konsep filsafat politik Kautilya yang masih bagus untuk dirawat, antara lain:

Pertama, pemimpin itu juga sekaligus pemikir. Konsep ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan Plato dalam The Republic sebagai The Philosopher King, yakni raja juga sekaligus pemikir yang bijak. Artinya kepemimpinan dan kapasitas melekat menjadi satu di dalamnya. Bandingkan kini di Indonesia begitu mudah orang menjadi pemimpin, misalnya hanya bermodal populer sebagai artis atau dapat meraih kekuasaan dan jabatan hanya semata-mata karena memiliki pengikut (follower) di media sosial yang banyak, status sosial yang dibawa sejak lahir serta pemilik harta berlimpah. 

Seharusnya, pemimpin publik itu haruslah berdasarkan kapabilitas atau kemampuan dan kompetensi; elektabilitas atau tingkat keterpilihan; dan akseptabilitas atau keberterimaan publik.

Kedua, keteraturan negara akan baik kalau disokong oleh nilai-nilai bersama di mana moralitas individu menjadi panglima. Bandingkan misalnya kalau Indonesia sebagai negara bangsa harus takluk kepada para teroris atau lembek dalam menghadapi gerakan anarkhis yang bertujuan mengganti ideologi bersama. Kautilya, dan juga Machiavelli, menghendaki negara tidak bisa membiarkan cara-cara seperti itu.

Ketiga, pemimpin itu harus dipersiapkan secara matang. Oleh Kautilya disebut swamin yang berhasil dilakukannya pada diri Chandragupta. Bagaimana dengan sekarang? Masih berkaitan dengan poin pertama, tidak banyak orang yang ingin menjadi pemimpin atau penguasa di Indonesia dengan ikut repot atau sibuk mengikuti proses pematangan diri seperti digagas Kautilya. Edukasi, terutama pendidikan politik belum banyak ada. Mereka lebih mengandalkan konsultan atau lebih percaya pada “dukun politik” yang menjelang pemilu biasanya menjamur bak cendawan di musim hujan. 

Mereka juga hanya menyandarkan nasib dan karir politiknya pada lembaga-lembaga survei untuk mengetahui elektabilitasnya di masyarakat, bukan karena kapabilitas yang dimilikinya. Peran purohito (penasehat dari golongan brahmana/rohaniawan) pada masa kerajaan, kini sudah tergantikan konsultan politik. Meski perubahan seperti ini tidak bisa dihentikan, tetapi peran purohito (atau konsultan politik masa kini) mestinya tidak hanya menasehati raja atau pemimpin tentang ilmu duniawi tetapi juga rohani.

Kebesaran Kautilya justru terletak bukan saja karena gagasan politiknya begitu lengkap dan utuh dalam Arthasastra, tetapi pribadinya yang komplit baik  sebagai politikus dan rohaniwan (pandit) adalah tokoh yang mampu mengawinkan dua dunia berbeda sekaligus, yakni dunia material dan dunia spiritual. 

Sebagai seorang politikus yang religius, Kautilya hadir sebagai sosok langka dan menjadi autokritik yang menampar generasi masa kini yang lebih banyak hidup dalam ruang abu-abu demi mempertahankan kenyamanan hidup tanpa karakter.

Kritik Ideologi Politik Kautilya 

Untuk tidak terjebak pada pengkultusan individu atau penyanjungan berlebih pada tokoh besar, maka sebagaimana salah satu kaidah dalam kajian kefilsafatan, tulisan ini juga bertanggungjawab untuk ikut melakukan kritik ideologi. Pekerjaan ini dilakukan dengan maksud, sekali lagi secara akademis, membuka ruang diskusi dan debat. 

Hal ini sangat mungkin dilakukan karena watak ilmu yang juga tidak bisa bebas dari nilai, dan wajib untuk difalsifikasi oleh generasi berikutnya. Boleh jadi, hasil evaluasi kritis ini akan mengandung sejumlah implikasi konseptual dan atau rekomendasi teoritik lainnya, termasuk membawa pemikiran Kautilya dengan rasa Indonesia, di mana dalam sistem monarkhi yang pernah diselenggarakan dimasa lalu, mungkin saja apa yang dilakukan Kautilya hingga menempatkan Chandragupta sebagai raja serupa ketika Mpu Kanwa menjadikan Airlangga sebagai raja agung. 

Seorang tokoh besar, bukan hanya dalam ilmu pengetahuan dan akademik, tetapi sering dalam kehidupan biasa juga biasanya mengalami pasang surut dan melewati onak dan duri, tak terkecuali Kautilya sendiri. Machiavelli pun setali tiga uang. Buku Il Principe (atau dalam bahasa Inggris The Prince) yang menghebohkan jagat ilmu politik modern saat itu, juga tidak lepas dari kritik pedas. Il Principe dianggap tidak lebih sebagai rayuan gombal kepada Giuliano de’ Medici agar Machiavelli kembali ke pemerintahan setelah sebelumnya tergusur dari panggung politik. Lalu bagaimana dengan Kautilya?

Pada tulisan ini, saya ingin mengatakan dua hal Pertama, berbeda dengan Machiavelli yang “hanya” bermain di wilayah politik modern, gagasan Kautilya dalam Arthasastra lebih komprehensif karena juga membincangkan banyak hal yang berkenaan dengan negara (politik, hukum, keadilan, ekonomi, kepemimpinan, dlsb) bahkan juga memaparkan hal-hal praktis seperti bagaimana penguasa mengelola pertanian, mineral dan energi untuk kepentingan rakyat banyak. Sampai pada titik ini, Kautilya tidak cukup disamakan dengan Machiavelli yang lebih modern, tetapi juga sosok yang seharusnya dapat disamakan dengan Plato dan Aristoteles pada masa Yunani klasik.

Implikasinya, Kautilya tidak bisa hanya dibaca secara monolitik namun justru spektrumnya diperlebar mengingat Kautilya menjadi semacam glorifikasi dari banyak pemikiran dan tokoh. Kedua, bertolak belakang dengan pandangan minor banyak orang selama ini, entah karena apatis atau mungkin tidak memahami utuh gagasannya, di mana orang-orang mengatakan Kautilya sebagai sosok amoral, kejam dan haus kekuasaan. Jika membaca kisahnya,  Kautilya justru adalah orang yang sukses memadukan pengetahuan etiknya melalui penguasaan Weda secara baik dengan ilmu politiknya yang mumpuni. 

Keduanya secara bersamaan menjadi alat untuk menata kehidupan politik dan mengatur negara. Atas alasan inilah, Kautilya justru memulai pemikirannya tentang politik dengan menjadikan etika dan moralitas sebagai landasan utama. Gagasannya lalu terkesan “jahat” karena ketika dalam keadaan darurat, jika terdapat tindakan yang merugikan kepentingan bersama atau mengganggu tujuan hidup bernegara yang adil, aman dan makmur, maka Kautilya memberi jalan lapang kepada penguasa untuk memberantasnya sampai tuntas. Atas nama negara dan kepentingan yang besar, penguasa boleh bertindak di luar hukum. 

Penutup

Berdasarkan uraian dan refleksi-kritis yang telah diuraikan di atas, ada sejumlah hal yang ingin diajukan, antara lain:

a. Membaca begitu berpengaruhnya pemikiran Kautilya, bahkan kebesaran pemikirannya sengaja dibanding-bandingkan dengan tokoh yang lahir dengan adab yang lain, maka perlu ada gagasan baru untuk melakukan kajian tokoh, mulai dari tokoh klasik seperti Sankacharya, Ramanuja, Patanjali, dlsb hingga yang kontemporer seperti Swami Wiwekananda, Mahatma Gandhi, Ramakrishna, dlsb. 

Kajian terhadap batang keilmuan dari tokoh-tokoh besar yang telah mendapat pengakuan dunia ini serta menjadi referensi banyak orang dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, misalnya memperbanyak volume penelitian terhadap tokoh tersebut, publikasi berseri tentang tokoh-tokoh besar, atau bahkan dalam bentuk disipilin ilmu dalam perguruan tinggi. 

b. Selain menjadi satu bidang kajian, gagasan politik yang diwariskan Kautilya dalam Arthasastra dapat menjadi satu konstruksi intelektualitas. Bagaimanapun, Hindu sebagai bagian integral perjalanan bangsa ini akan tetap dihadapkan pada pertanyaan: seberapa besar kontribusi Hindu terhadap Negara? Ini adalah pertanyaan politik yang harus dijawab melalui konstruksi politik dengan cara mempersiapkan sumber daya manusia Hindu melalui pendidikan politik. Selama umat Hindu menjadi bagian dari negara ini, selama itu pula umat Hindu akan berada dalam pusaran tegang lemah konstelasi politik, tentu dalam spektrum yang lebih luas, seperti politik agama, politik budaya atau politik ekonomi.

c. Apa yang digagas Kautiliya dalam kitab Arthasastra belum banyak diketahui umat Hindu secara utuh. Adapun kekawin Nitisastra yang populer di Indonesia hanyalah aspek moralitas dari Arhasastra. Umat Hindu sudah kadung tercekoki dan terkena sindrom mainstream bahwa politik itu kotor dan tabu. 

Padahal Arthasastra tidak melulu soal mengurus negara dan kekuasaan atau permainan-permainan kotor. Arthasastra mengajarkan kepada pemimpin untuk mengelola kehidupan dan memakmurkan rakyatnya melalui praktik ekonomi, hukum, seni, dan administrasi. Gagasan Kautilya jauh dari stigmatisasi dari orang yang tidak memahaminya. Pendek alasan, Arthasastra bukan hanya mengemanasikan politik praktis, tetapi juga kearifan dalam mengelola sumber-sumber daya untuk kepentingan rakyat dan negara. 

Bagi Kautilya, ajaran dharma tetap menjadi segala-galanya dalam menegakkan artha dan kama untuk membuat rakyat gembira menikmati  hidupnya. Calon pemimpin dan pemimpin Hindu yang berada disemua aspek kehidupan, baik eksekutif, yudikatif dan terlebih di legislatif termasuk dunia swasta wajib mempertimbangkan kitab Arthasastra sebagai buku pegangan.

Dengan sosoknya yang dualis, Kautilya berhasil mempraktikkan Arthasastra sebagai ajaran suci tentang yang sakral, dan pada saat bersamaan sukses menjadikannya sebagai konsep politik untuk mengatur kehidupan  duniawi. Pesan Kautilya ini telah sejalan dengan inti ajaran agama Hindu: Mokshartam Jagathita .

Judul: Kautilya Arthasastra ; Kitab Pegangan Wajib Pemimpin Hindu
Oleh: I Nyoman Yoga Segara

0 Response to "Pemimpin Hindu Menurut Perspektif Kautilya Arthasastra"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel