Pengertian Puasa Dalam Agama Hindu serta Bentuk dan Tata Cara Berpuasa
HINDUALUKTA - Menurut kamus umum bahasa Indonesia istilah puasa berasal dari bahasa. Sanskerta : upa-wasa. Secara harfiah, istilah puasa sama artinya dengan tapa brata. Menurut kitab Wrehaspati Tattwa I. 25, dan Reg Weda XII. 1. 1, mendefinisikan bahwa tapa berarti ; pengendalian diri untuk tidak sembarangan makan dan minum (pengendalian dan pengaturan pola makan dan pola hidup yang baik dan benar), sedangkan brata berarti ; pengendalian diri untuk tidak sembarangan menuruti hawa nafsu. Jadi ketika seseorang sedang melakukan puasa atau tapa brata, ia dituntut untuk tidak sembarangan dalam hal makan dan minum (disiplin jenis, disiplin jumlah, disiplin waktu), serta tidak sembarangan menuruti hawa nafsu dan selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan (sradha dan bhakti) dan berserah diri pada Sang Pencipta. Biasanya perilaku seperti ini dilaksanakan dengan tanpa mengharapkan pahala dan dilakukan sepenuh hati pada seluruh aktifitas kehidupannya baik dalam berfikir, berucap, dan berbuat (Bhagavadgita II.47 & XVII. 17).
Image aryulangun |
Puasa atau tapa-brata dapat dilakukan dengan banyak cara, banyak model dan bentuk. Inti dari tapa-brata (puasa) antara lain :1). penataan diri, 2). pengendalian diri, 3). disiplin diri, 4). penyucian/pemberihan diri, 5). pemusatan pikiran, hati, dan jiwa kehadapan Hyang Maha Kuasa, 6). berserah diri, 7) kesujudan, 8). permohonan, 9). kepekaan rasa, logika, dan naluri, 10). bersatunya pikiran, ucapan, perbuatan dalam satu kesatuan tindakan, 11). kasih sayang. 12). kebhaktian, 13).ketaatan
Setiap perilaku tapa brata atau puasa memiliki beberapa tujuan. Secara implisit, tujuan tersebut menurut ajaran Astangga Yoga ada dua hal ;
- Tujuan spiritual : stuti, strota, stawa, dan pudja (mensucikan, meluhurkan, mengagungkan, dan memuja).
- Tujuan duniawi : yang bersifat rajas: memohon pangkat, kesaktian, dan lain-lain, yang bersifat tamas : memohon jodoh, harta, dan lain –lain
Astangga Yoga adalah delapan tahapan-tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan Yoga. Adapun bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian diri unsur jasmani), Nyama (pengendalian diri unsur-unsur rohani), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Pratyahara (menarik semua indrinya kedalam), Dharana (telah memutuskan untuk memusatkan diri dengan Tuhan), Dhyana (mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama Sang Hyang Widhi Wasa), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merealisasikan diri).
Sebenarnya tujuan dari tapa brata baik yang bersifat lahir ataupun batin itu tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan satu kesatuan yang utuh. Namun kalau dirinci dengan teliti maka tujuan tapa brata yang bersifat :
- Spiritual meliputi : untuk mendapatkan kesempurnaan, untuk mendapatkan kesucian, untuk mendapatkan kebijaksanaan, untuk mendapatkan kewaskithaan.
- Duniawi meliputi : untuk mendapatkan jodoh, untuk mendapatkan harta, untuk mendapatkan derajat / pangkat, untuk mendapatkan kesaktian, untuk mendapatkan kesehatan, dan lain-lain.
Apabila tapa brata ini dianalogikan sebagai sebuah pabrik gula, maka tujuan utamanya adalah memproduksi gula pasir yang sebanyak –banyaknya (tujuan spiritual), sedangkan hasil sampingnya (ampas) adalah fasilitas hidup duniawi.
Yad –duram yad –duraradhyam,
Yacca dure vya vasthitam,
Tat –sarvam tapa sa sadhyam,
Tapo hi durati kramam.( Canakya Niti Sastra XVII. 3 )
Artinya :
Sesuatu yang tidak dapat dilalui dengan cara biasa,
Sesuatu yang tidak dapat diperoleh dengan cara biasa,
Semuanya bisa didapatkan dengan cara tapa brata,
Karena tapa brata mampu melintasi semuanya
Jenis-Jenis Makanan
Menurut Kitab Bhagawadgita XVII. 8-10 menyatakan bahwa makanan itu dibagi menjadi tiga jenis :
- Satwika :ialah jenis makanan yang baik untuk jasmani dan baik untuk rokhani, yakni semua makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang tidak memabukkan, tidak mengandung racun, tidak mengandung penyakit, dan yang tidak mengandung darah. Makanan jenis ini memiliki kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan di peroleh dengan cara-cara yang benar baik pengerjaan maupun pembuatnya.
Ayuh sattva balarogya
Sukha priti vivardhanah,
Rasyah snigdhah sthira hrdya
Aharah sattvika priyah
Bhagavadgita XVII.8
Artinya :
Makanan yang memberi hidup, kekuatan, tenaga kesehatan, kebahagiaan dan kesenangan, yang terasa lezat, lembut, menyegarkan dan enak, sangat disukai oleh golongan sasttvika
- Rajasika :ialah jenis makanan yang hanya baik untuk jasmani tetapi jelek untuk rokhani, yaitu : semua jenis makanan yang mengandung darah, dengan urutan yang tidak deperkenankan mulai dari binatang berkaki empat, unggas, ikan, telur (masing-masing dengan peringkat skalanya)
Makanan jenis rajasika memiliki cita rasa yang serba menyengat, mengandung unsur yang menumbuhkan rangsangan yang berlebih pada sistem hormonal tubuh yang mempengaruhi pada tumbuhnya sifat Rajas pada manusia (aktif, energik, temparamental)
Katv amla lavanaty usna
Tiksna ruksa vidahinah,
Ahara rajasasyeta
Duhkha sokamaya pradah
Bhagavadgita XVII. 9
Artinya :
Makanan yang pahit, asam, asin, pedas, banyak rempah, keras dan hangus serta menyebabkan kesusahan, kesedihan dan penyakit disukai oleh orang yang bersifat rajas.
Tamasika :ialah jenis makanan yang tidak baik untuk jasmani dan tidak baik pula untuk rokhani. Yaitu : semua Janis makanan yang mengandung racun, penyakit, dan memabukkan. Contoh : narkoba, miras, dan lain –lain.
Yata yamam gata rasam
Puti paryusitam cay at,
Ucchistam api camedhyam
Bhojanam tamasa-priyam
Bhagavadgita XVII. 10
Artinya :
Makanan yang basi, hilang rasa, busuk, berbau, bekas sisa dan tidak bersih adalah makanan yang sangat digemari oleh yang bersifat tamas
Dalam Chandogya Upanisad VI.5.4 menyebutkan makanan yang kita makan dirubah menjadi tiga hal yaitu sebagian besar daripadanya menjadi kotoran, bagian yang lainnya menjadi daging, dan bagian yang terhalus menjadi pikiran. Rasa makanan dapat dibagi menjadi enam yakni manis, pedas, asin, sepat, pahit, hambar. Makanan yang di konsumsi manusia akan diproses di dalam tubuh melalui organ pencernaan. Dari hasil proses pencernaan tersebut, ekstrak dari makanan akan di serap untuk menjadi darah yang mengalir keseluruh tubuh. Dalam konsep spiritual, bahan atau jenis makanan, unsur kandungan, cara mendapatkan, cara mengolah, serta sifat dan kondisi pengolahnya akan mempengaruhi sifat dan nilai makanan tersebut.
Nilai serta sifatnya ini akan ikut terserap tubuh setelah menjadi darah, yang menghidupkan seluruh sel dalam tubuh dan pada akhirnya secara umum akan membawa dampak bagi manusia yang mengkonsumsinya. Dalam kitab Ajur Veda disebutkan bahwa salah satu yang di hasilkan oleh makanan di dalam tubuh manusia adalah cairan yang di sebut dengan Tri Dosha, yaitu tiga jenis cairan humoralyang terdiri dari Vatta, Pitta, dan Kapha. Vatta adalah Vayu (Angin), Pitta adalah Panas, dan Kapha adalah cairan seperti asam lambung. Hasil lain dari makanan yang di cerna dalam perut adalah Sapta Dhatu, yang berfungsi untuk pertumbuhan dan anti body. Dhatu berarti elemen kehidupan. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dapat memberikan "hidup" bagi manusia disebut dhatu. Termasuk tujuh kelompok jaringan tubuh yang merupakan bagian hidup dari manusia sehingga disebut sapta dhatu, yang terdiri atas rasa (cairan plasma), rakta (darah), mamsa (daging), meda (lemak), majja (sumsum, termasuk susmsum otak) asthi (tulang), dan sukra (air kehidupan, air mani).
Bentuk dan Tata Cara Berpuasa
Menurut sudut pandang spiritual, puasa mempunyai efek yang sangat baik dan besar terhadap tubuh dan fikiran. Puasa dengan cara supranatural mengubah sistem molekul tubuh fisik dan eterik dan menaikkan vibrasi atau getarannya sehingga membuat tubuh lebih sensitif terhadap energi atau kekuatan supranaturalsekaligus mencoba membangkitkan kemampuan indera keenam seseorang.Apabila seseorang telah terbiasa melakukan puasa, getaran tubuh fisik dan eteriknya akan meningkat sehingga seluruh racun, energi negatif dan makhluk eterik negatif yang ada didalam tubuhnya akan keluar dan tubuhnya akan menjadi bersih. Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa yakni;
- Ngebleng (meditasi / samadi) : tidak makan dan minum
- Mutih (hanya makan nasi putih dan air putih)
- Ngrowot ( hanya makan buah-buahan, biji-bijian atau umbi-umbian ) yang bebas dari racun, penyakit, darah, dan bumbu-bumbuan.
- Puasa Ngepel : hanya makan nasi yang dikepal
- Puasa Ngeruh : hanya makan sayur sayuran tanpa bumbu-bumbuan
Semua itu harus dilakukan dengan penuh kecerdasan, artinya walaupun tujuannya sangat baik, maka pelaksanaanya juga harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar pula. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka bukannya kebaikan yang akan diperoleh namun malah justru kesedihan dan penderitaan. Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal, pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri.
Ciri laku spiritual puasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa puasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai kesempurnaan ruh. Dalam hal ini puasa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara konsisten dan terarah.
Pemuasan hawa nafsu atau keinginan yang dimiliki seseorang dengan harapan memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup. Kepuasan atau kenikmatan tersebut memang merupakan salah satu tujuan atau kebutuhan manusia, karena manusia mempunyai Eka Dasa Indriya (sebelas indriya) yakni :
- Srotendriya : keinginan mendengar
- Tvagendriya : keinginan merasakan sentuhan
- Caksvindriya : keinginan melihat
- Jihvendriya : keinginan mengecap
- Granendriya : keinginan mencium
- Wagindriya : keinginan berkata
- Panindriya : keinginan memegang sesuatu
- Padendriya : keinginan bergerak atau berjalan
- Payvindriya : keinginan membuang kotoran
- Pasthendriya : keinginan kenikmatan kelamin
- Rajendriya : organ pada otak untuk berfikir
Pemuasan hawa nafsu adalah hal yang wajar untuk mendukung hidup, sebab tidak ada orang yang dapat hidup tanpa benda-benda kebutuhan hidup dan kepuasan dalam batas-batas tertentu. Akan tetapi dalam hal ini dharmalah pengendalinya. Maka itu dharma menduduki tempat tertinggi sebab dharma faktor pengatur.
Waktu dan Disiplin Berpuasa
Inti dari tapa-brata / puasa adalah penataan diri, pengendalian diri, disiplin diri, penyucian/pemberihan diri, pemusatan pikiran, hati, dan jiwa kehadapan Hyang Maha Kuasa, berserah diri, kesujudan, permohonan, kepekaan rasa, logika, dan naluri, bersatunya pikiran, ucapan, perbuatan dalam satu kesatuan tindakan, kasih sayang, kebhaktian, ketaatan. Dalam bertapa dan berpuasa terdapat kedisiplinan yang harus dibangun, baik yang menyangkut hal hal yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Pengendalian diri dalam bentuk kedisiplinan lahiriyah / badaniah dapat berwujud disiplin waktu, disiplin jenis, dan disiplin jumlah makanan. Kedisipilan tersebut yaitu :
- Disiplin waktu
Waktu dalam berpuasa menurut agama Hindu, hal ini dilaksanakan lebih teliti dan lebih rincilagi menyangkut keluasan dan kedalamanya, karena berkaitan dengan penerapan/pengaplikasian ala-ayuning dewasa (wara, wuku, tanggal-panglong, sasih, dauh), dimana melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada saat-saat atau waktu-waktu tertentu, mengandung arti, fungsi, makna dan kekuatan, yang terbingkai dalam segenap upaya, doa, kesungguhan, ketulusan, dan ketaatan kepada Sang Hyang Widi guna dapat mencapai keberhasilan dalam kerahayuan.
Ketika sedang berpuasa dengan disiplin waktu, maka seseorang hanya boleh makan dan minum pada saat-saat tertentu, misalnya ; hanya boleh makan dan minum pada siang/malam hari saja, atau hanya boleh makan sekali dalam kurun waktu 24 jam, atau tidak makan tidak minum sama sekali selama 3 hari 3 malam berturut turut, dan seterusnya. Seseorang yang sedang melakukan meditasi atau samadhi, sudah barang tentu, pasti tidak makan dan tidak minum.
- Disiplin Jenis
Telah diuraikan diatas bahwa bagi umat Hindu, makanan itu dibagi 3 (tiga) jenis, yaitu ; Satwika, Rajasika dan Tamasika. Ketika sedang berpuasa, hanya jenis makanan satwikalah yang diperkenannkan.
Makanan jenis Satwika, secara fisik ialah jenis makanan yang tidak mengandung racun, darah, bumbu-bumbuan, penyakit dan tidak memabukan, yang dikelompokkan, antara lain ;
- Umbi-umbian (bahasa Jawa ; Pala Kependhem)
- Biji-bijian (selain yang berasal dari pohon siwalan, tal, aren, kelapa, tebu dan padi-padian)
- Buah-buahan (bahasa Jawa : pala gumantung dan pala kesimpar)
- Daun daunan/Sayur-mayure)Air jernih (air putih)
Ketika sedang melakukanpuasa dengan disiplin jenis, maka hanya salah satu dari empat poin pertama diatas ditambah poin yang kelima, yang boleh dimakan dan diminum. Misalnya ; hanya boleh makan umbi-umbian dan minum air jernih saja. Atau hanya makan buah-buahan dan minum air jernih.
Bahkan, bisa lebih teliti dan lebih rinci lagi, yakni ; hanya khusus makan makanan dari satu species umbi-umbian, misalnya ; hanya khusus makan kentang dan minum air jernih. Atau ketika pilih makan buah-buahan, maka hanya khusus makan pisang dan minumair jernih saja, tidak yang lain, dan itupun pisangnya harus pisang Raja, misalnya.
- Disiplin Jumlah
Disiplin jumlah adalah menentukan seberapa banyak atau seberapa besar, jumlah dari makanan yang dipilih itu harus dimakan. Misalnya ; hanya makan satu butir kentang dan minum satu gelas kecil air jernih, sekali selama 24 jam. Atau hanya makan dua kepal nasi putih dan minum satu gelas air jernih, sekali setiap 24 jam, dan seterusnya.
Waktu pelaksanaan berpuasa bermacam macam tergantung pada jenis puasa apa yang akan dilakukan, artinya apabila puasa tersebut langsung berkaitan dengan petunjuk kitab suci ( eksplisit ) maka kita lakukan apa adanya. Tetapi apabila jenis puasa tersebut dilakukan untuk kepentingan dan atau maksud tertentu ( tidak dilarang agama) maka dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja sesuai dengan kepentingan & drestanya masing-masing.
Pada kenyataanya seseorang melakukan puasa / tapa brata karena atas dasar petunjuk kitab suci dan atau sebuah upaya yang dilakukan secara mandiri demi berhasilnya cita-cita yang ingin diraihnya, baik yang didominasi oleh kepentingan duniawi maupun rokhani. Sebuah pelaksanaan puasa/tapa brata sering dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu (periodic-temporal), juga ada yang dilakukan seumur hidup, contohnya adalah seseorang yang melakukan vegetarian sumur hidup, tidak menikah, dll.
- Filosofi
Ketika ada seseorang yang ingin melihat indahnya dasar kolam beserta penghuninya yang menggemaskan dengan mata telanjang maka kolam tersebut harus memiliki beberapa persyaratan:
- Airnya harus jernih
- Permukaannya harus dalam keadaan tenang
- Tidak menebarkan bau busuk
Apabila tiga persyaratan tersebut tidak dapat terpenuhi maka mustahil seseorang tersebut dapat melihat indahnya dasar kolam beserta penghuninya. Oleh karena itu ada beberapa cara untuk dapat menjaga dan mengupayakan agar air kolam tersebut selalu dalam keadaan jernih dan tenang, yakni :
- Jangan dialiri air kotor
- Jangan dimasuki benda kotor
- Jangan diobok-obok
Walaupun sebuah kolam airnya jernih akan tetapi kalau selalu dialiri dengan air kotor maka dapat dipastikan kolam tersebut akan menjadi kotor pula, demikian juga walaupun tidak dialiri dengan air kotor tetapi kalau selalu diobok –obok maka air dalam kolam itupun akan menjadi keruh dan permukaannya menjadi tidak tenang.
Inilah sebuah analogi dari sang pribadi kita ini, dimana air kolam sebagai lambang jasmani beserta nafsu indriya kita, permukaan kolam adalah lambang dari pikiran kita, dan dasar kolam adalah lambang dari sang roh suci = sukma sejati = sadhasiwa atman.
Ketika badan jasmani selalu dimasuki makanan dan minuman yang kotor, ketika sang nafsu selalu terikat oleh kenikmatan duniawi, dan ketika pikiran selalu tidak jujur / tidak tenang, maka pada saat itulah kepekaan sang jiwa kita menjadi tumpul. Oleh karena itu maka ; kotornya jasmani harus dibersihkan dengan makan-minum/pola hidup yang baik (satwika), kotornya nafsu harus dibersihkan dengan kebijaksanaan, kotornya pikiran harus dibersihkan dengan kejujuran, dan kotornya jiwa harus dibersihkan dengan tapa-brata ( Slokantara. 17 ).
Apabila kita dapat mewujudkan hal ini, lebih-lebih ketika kita dapat melaksanakan tapa brata dengan baik (mendirikan sang hyang Sadasiwa Atman), maka suatu anugerah yang akan diperoleh menjadi sangat luar biasa. Antara lain ialah : asta iswarya (kanuragan), duradarsana-durasrawana-durasarwajna (kesempurnaan), yang salah satu indikasinya adalah membentuk seorang pribadi yang : Tanggap ing sasminta, Lantip ing panggraita, Bontos ing tekad, Buntas ing kaweruh, Gentur tapa-bratane, dan Mateng semedine.
- Tanggap ing sasminta : peka atau paham terhadap firasat atau petunjuk sehingga tahu sebelum terjadi. Akan mendapat anugrah / penderitaan baik sekala kecil, sedang, ataupun berat, sudah tahu sebelum hal ini bisa terjadi.
- Lantip ing panggraita ; Ialah cerdas dalam mennanggapi sesuatu.
- Bontos ing tekad ; tekad bulat pantang menyerah, tak tergoyahkan, maju tak gentar, menegakkan prinsip, berketetapan hati. Teguh dalam prinsip dan pendirian
- Buntas ing kaweruh ; memeiliki cakrawala yang luas, ilmu yang dalam. Melakukan atau tidak melakukan sesuatu harus berdasarkan pada keluasan dan kedalaman ilmu.
- Gentur tapa-bratane ; mampu melakukan tapa, berbuat kebaikan kepada sesame sehingga hidup bisa harmonis
- Mateng semedine ; segala apa yang tidak atau dilakukan, adalah semata-mata atas dasar petunjuk Sang Hyang Widhi
Karmany eva dhikaraste,
Ma phalesu kadacana,
Ma karma phala hetur bhur,
Ma te sango ‘stv akarmani..
(Bhagavadgita, II. 4 )
Artinya :
Hanya pada pelaksanaanlah kau memiliki hak,Sama sekali bukan pada hasilnya,(oleh karena itu) jangan sekali-kali phahala karma menjadi motifmu,Dan jangan sekali-kali berdiam diri menjadi tujuanmu.
- Upaya Mendirikan Kesucian Sang Pribadi dari Pengaruh Kotornya Jenis Makanan
Seseorang dalam memilih, memilah, suatu makanan sudah dipastikan memiliki alasannya. Demikian juga terhadap jenis makanan yang lainnya. Oleh karena itu kotor atau dianggap kotornya suatu jenis makanan sehingga tidak layak untuk dimakan itu tergantung pada penilaiannya masing-masing. Berikut adalah tingkat kotornya makanan yang mempengaruhi kesucian sang pribadi :
- Kotor karena substansi akan merusak jasmani
Sekelompok orang sedang keracunan ketika usai menyantap hidangan dalam sebuah hajatan. Dosakah sekelompok orang tersebut ?
Sekelompok siswa keracunan, usai menyantap cilok yang dibeli di halaman sekolah. Dosakah para siswa tersebut ?
Jadi, kotornya makanan karena substansi, ia akan merusak jasmani, walaupun makanan itu diperoleh dengan jalan dharma.
- Kotor karena essensy akan merusak jiwa / rokhani
Disuguhkan banyak makanan serba lezat, higienis, buahnya besar, segar, ranum-ranum, namun semua makanan yang dihidangkan itu diperoleh dari ; korupsi, pencurian, penipuan, perampokan dan tipu daya.
Dosakah orang orang makan makanan semacam itu ?
Secara substansi, makanan tersebut adalah higienis, namun secara esenssy, makanan tersebut penuh dengan kekotoran, yang kalau dimakan, sudah barang tentu akan merusak rokhani.
- Kotor karena filosofi akan merusak intuisi
Sebagian orang berpantang dalam memilih makanan karena suatu maksud, tujuan atau kewajiban. Maka bagi mereka yang telah berpantang, jika melanggarnya, akan merasa terkotori, demikian sebaliknya.
Maka, makana yang kotor karena filosofi, akan merusak intuisi.
Anayas cintayanto mam
Ye janah paryupasate
Tesam nityabhyuktanam
Yoga ksemam vahamy aham
(Bhagavadgita, IX. 22)
Artinya :
Mereka yang hanya memuja-Ku saja
Tanpa memikirkan yang lainya lagi
Yang senantiasa penuh pengabdian dan ketaatan
Kepada mereka Ku-bawakan segala apa yang mereka tidak
PunyaDan Ku-lindungi segala apa yang mereka miliki
Menurut Cudamani, 1987: 186 menyebutkan ada tiga hal yang menentukan sifat kesucian dari suatu makanan yakni;
- Unsur dan sifat makanan itu sendiri memberikan pengaruh padajasmani dan pikiran
- Bagaimana cara makanan itu didapat (dengan cara baik atau buruk), apakah dengan cara mencuri, korupsi dan mendapatnya dengan tidak halal, juga mempengaruhi pengaruh terhadap pikiran.
- Wadah atau tempat yang digunakan pada waktu makanan itu dihidangkan, ataupun pada waktu membuatnya, juga akan memiliki pengaruh pada kesucian makanan tersebut.
Makanan yang bersifat suci akan menambah kesucian pikiran, sedangkan makanan yang bersifat buruk akan memperkuat kekotoran pikiran. Baik untuk pemusatan pikiran keluar maupun ke dalam, diperlukan beberapa dasar yang melatar belakangi pikiran, agar jangan pemusatan pikiran itu menimbulkan akibat negative baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.. adapun beberapa dasar yang diperlukan tersebut adalah :
- Kesucian, baik kesucian lahir maupun kesucian batin
- Kesabaran berlatih dengan penuh disiplin serta mematuhi ketentuan-ketentuan dan aturan yang diberikan
- Memiliki kepuasan batin, dan kemauan yang keras sebagai senjata untuk mengendalikan pikiran
- Memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran
Pikiran yang penuh dengan perasaan benci, iri, dengki, marah, takut, cemburu, nafsu, sombong, licik, bimbang dan sebagainya adalah pikiran yang lahir dari guna tamas dan guna rajas. Perasan-perasaan inilah yang mengotori pikiran. Pikiran dapat disucikan dengan jalan meningkatkan guna sattwa, mula-mula dengan mengatasi pengaruh rajas dan tamas, lama kelamaan dengan menggantikan seluruhnya dengan guna sattwa. (Cudamani, 1987: 184)
- Dampak pelaksanaan dari puasa/tapa-brata
Dampak langsung ataupun tidak langsung dari pelaksanaan puasa terhadap jasmani ataupun rokhani, jangka panjang ataupun jangka pendek, untuk sang pribadi ataupun lingkungan sekitar harus bernilai positif. Jika dampak dari pelaksanaan puasa tidak bernilai positif pada seluruh segmen kehidupan, berarti ada yang salah dalam pelaksanaan dan cara puasa tersebut dilakukan
Puasa merupakan bagian brata, yoga, tapa dan samadi. Kewajiban orang Hindu melaksanakan tapa brata yoga dan samadi tertulis dalam kakawin Arjuna Wiwaha yakni;
Hana mara janma tan pamihutang brata, yoga, tapa, samadi angetul aminta wiryya suka ning Widhi sahasaika, binalikaken purih nika lewih tinemuiya lara, sinakitaning rajah tamah inandehaning prihatin.
Artinya :
Ada orang yang tidak pernah melaksanakan brata, yoga, tapa, samadi dengan lancang ia memohon kesenangan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (dengan memaksa) maka ditolaklah harapannya itu sehingga akhirnya ia menemui penderitaan dan kesedihan, disakiti oleh sifat-sifat rajah (angkara murka/ambisius) dan tamah (malas dan loba), ditindih oleh rasa sakit hati.
Dampak langsung ataupun tidak langsung dari pelaksanaan puasa terhadap jasmani ataupun rokhani, jangka panjang ataupun jangka pendek, untuk sang pribadi ataupun lingkungan sekitar, yakni ;
- Meningkatnya kesehatan jasmani, psykologi, dan rokhani
- Meningkatnya kepekaan dan kepedulian pada sesama
- Meningkatnya ketaatan kepada Hyang Widi, yakni ;
- Pudja Bhawa ; selalu sujud bhakti kehadapan Sang Pencipta dengan jalan ritual ceremonial. Memuja Tuhan sebagai Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Pemurah Lagi Penyayang, dan lain-lain
- Stava Bhawa ; apa yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan selalu atas dasar petunjuk dan perintah-Nya (Smaranam)
- Dhyana Bhawa ; mampu membumikan/mengaplikasikan sifat-sifat Tuhan dalam hehidupan nyata. Ketika memuja Tuhan sebagai Hyang Maha Agung, maka harus diwujudkan dalam bentuk peduli dan dermawan kepada sesama yang memerlukan. Ketika memuja Tuhan sebagai Hyang Maha Pengasih, maka harus diaplikasikan sifat-sifat itu dengan mampu menebarkan sifat cinta kasih dan pemaaf bagi sesama. Dan seterusnya, akhirnya mampu berbuat jasa dan menanamkan saham kebajikan pada sesama (bhs. Jawa : tapa ngrame)
- Brahma Bhawa ; mampu menjalin hubungan yang harmonis, lahir bhatin, dunia akhirat kepada Para Leluhur, Para Dewata dan kepada Sang Hyang Widi. (bhs. Jawa : tapa ing sepi)
Jika dampak dari pelaksanaan puasa itu tidak bernilai positif pada seluruh segmen kehidupan, berarti ada yang salah dalam ; tujuan, pelaksanaan atau dalam tata cara puasa tersebut dilakukan.
Berikut disebutkan bagian-bagian Panca Yama Brata dan Panca Nyama Brata yang dijadikan landasan Pengendalian diri :
Panca yama Brata adalah lima pengendalian diri tingkat jasmani yang harus dilakukan tanpa kecuali.
- .Ahimsa atau tanpa kekerasan. Jangan melukai makhluk lain manapun dalam pikiran, perbuatan atau perkataan. (Patanjali Yoga Sūtra II.35)
- Satya atau kejujuran/kebenaran dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, atau pantangan akan kecurangan, penipuan dan kepalsuan. (Patanjali Yoga Sūtra II.36)
- Astya atau pantang menginginkan segala sesuatu yang bukan miliknya sendiri. Atau dengan kata lain pantang melakukan pencurian baik hanya dalam pikiran, perkataan apa lagi dalam perbuatan. (Patanjali Yoga Sūtra II.37)
- Brahmacaryaatau berpantang kenikmatan seksual. (Patanjali Yoga Sūtra II.38)
- Aparigraha atau pantang akan kemewahan; harus hidup sederhana. (Patanjali Yoga Sūtra II.38).
Panca Nyama Brata adalah lima jenis penengendalian diri tingkat rohani
1# Sauca, kebersihan lahir batin. Lambat laun seseorang yang menekuni prinsip ini akan mulai mengesampingkan kontak fisik dengan badan orang lain dan membunuh nafsu yang mengakibatkan kekotoran dari kontak fisik tersebut (Patanjali Yoga Sūtra II.40). Sauca juga menganjurkan kebajikan Sattvasuddi atau pembersihan kecerdasan untuk membedakan:
- Saumanasya atau keriangan hati
- Ekagrata atau pemusatan pikiran
- Indriajaya atau pengawsan nafsu-nafsu
- Atmadarsana atau realisasi diri (Patanjali Yoga Sūtra II.41).
2# Santosa atau kepuasan. Hal ini dapat membawa praktisi Yoga kedalam kesenangan yang tidak terkatakan. Dikatakan dalam kepuasan terdapat tingkat kesenangan transcendental (Patanjali Yoga Sūtra II.42).
3# Tapa atau mengekang. Melalui pantangan tubuh dan pikiran akan menjadi kuat dan terbebas dari noda dalam aspek spiritual (Patanjali Yoga Sūtra II.43).
4# Svadhyaya atau mempelajari kitab-kitab suci, melakukan japa (pengulangan pengucapan nama-nama suci Tuhan) dan penilaian diri sehingga memudahkan tercapainya “istadevata-sampraYogah, persatuan dengan apa yang dicita-citakannya (Patanjali Yoga Sūtra II.44).
5# Isvarapranidhana atau penyerahan dan pengabdian kepada Sang Hyang Widhi yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan Samadhi (Patanjali Yoga Sūtra II.45). Dalam I Ngurah Mudana dan IGN. Dwaja, 2016 : 40-42I
PENUTUP
Puasa bukanlah tujuan, tapi merupakan sebuah sarana untuk mencapai tujuan. Indikasi berhasilnya tapa brata adalah adanya peningkatan rasa kepekaan, kepedulian yang diwujudkan dalam bentuk eksen (dharma laksana) dan mampu memunjukkan sebuah hasil karya. Cara, model, dan kesungguhan dalam berpuasa akan menentukan tingkat keberhasilan dalam berpuasa. Sesuatu yang tidak dapat dilakukan dengan cara biasa, sesuatu yang tidak dapat dilalui dengan cara biasa, dan sesuatu yang tidak dapat diperoleh dengan carabiasa, semua itu akan bisa didapatkan dengan cara; Tapa Brata. Kecerdasan, kepekaan, kesehatan, keselamatan, keberuntungan, kesejahteraan, kebahagiaan, kemashuran, kewaskitaan, kebijaksanaan, kesucian, kesempurnaan, dan kerahayuan adalah anugerah keberhasilan dalam berpuasa / bertapa brata.
Berpuasa dan bertapa bermaksud membersihkan hati dan batin dan membentuk hati yang tulus dan iklas, hidup sederhana dan tidak tamak, selalu bersyukur atas apa yang dimiliki, mengurangi makan dan tidur, tidak semata-mata mengejar kesenangan hidup, menjaga sikap eling lan waspada, meningkatkan kemampuan spiritual. Dengan demikian menjadikan hidupakan lebih ‘bersih’ dan mempertajam kepekaan batin dan memciptakan hubungan yang harmonis.
Berpuasa menahan terhadap kesenangan, keinginan atau hawa nafsu yang tidak baik dan tidak bijaksana dalam kehidupan serta menggembleng diri untuk mendapatkan ‘ketahanan’ jiwa dan raga dalam menghadapi gelombang kehidupan. Ketenangan dalam kehidupan dapat dilihat dari sikap seseorang yang menjalani hidup ini secara tidak berlebih-lebihan, hidup ini dijalani secara proporsional, selaras dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup, dan tidak melebihi batas nilai kepantasan atau kewajaran. Walaupun kepemilikan kebendaan sering kali dianggap sebagai ukuran kualitas dan keberhasilan hidup seseorang. Walaupun seseorang sudah berjaya dan berkecukupan, perbuatannya dapat dilihat dari sikapnya dalam menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, tidak pantas, tidak bijaksana, dan menahan diri dari perilaku konsumtif berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Agung Oka, I Gusti, 1992, Slokantara, Jakarta, Hanuman Cakti
Cudamani, 1987, Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta, Yayasan Wisma Karma Jakarta
Griffith, R.T.H, 2005, Yajur Weda, Surabaya, Paramita
Kajeng, I Nyoman, 2005, Sarasamuccaya, Surabaya, Paramita
Maswinara, I Wayan, 2004, Rg Veda, Surabaya, Paramita
Mudana I Ngh. Dan I GN. Dwaja, 2016, Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti, Jakarta, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbut.
Pendit, Nyoman S, 2002, Bhagavadgita, Jakarta, CV Felita Nursatama Lestari
Pudja G, dan Tjokorda Rai Sudharta, 2003, Manawa Dharmacastra, Jakarta, CV Nitya Kencana Buana
Titib, I Made, 2003, Veda, Surabaya, Paramita
Wiana, Ketut, 1992, Nitisastra, Jakarta, Universitas Terbuka
0 Response to "Pengertian Puasa Dalam Agama Hindu serta Bentuk dan Tata Cara Berpuasa"
Post a Comment