Pengertian Puasa Dalam Agama Hindu serta Bentuk dan Tata Cara Berpuasa

HINDUALUKTA - Menurut kamus umum bahasa Indonesia istilah puasa berasal dari bahasa. Sanskerta : upa-wasa.  Secara  harfiah,  istilah  puasa  sama  artinya  dengan  tapa  brata.  Menurut  kitab Wrehaspati  Tattwa  I.  25,  dan  Reg  Weda  XII.  1.  1,  mendefinisikan  bahwa  tapa  berarti  ; pengendalian diri untuk tidak sembarangan makan dan minum (pengendalian dan pengaturan pola makan dan pola hidup yang baik dan benar), sedangkan brata berarti ; pengendalian diri untuk  tidak  sembarangan  menuruti  hawa  nafsu.  Jadi  ketika  seseorang  sedang  melakukan puasa  atau  tapa  brata,  ia  dituntut  untuk  tidak  sembarangan  dalam  hal  makan  dan  minum (disiplin jenis, disiplin jumlah, disiplin waktu), serta tidak sembarangan menuruti hawa nafsu dan selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan (sradha dan bhakti) dan berserah diri pada Sang  Pencipta.  Biasanya  perilaku  seperti  ini  dilaksanakan  dengan  tanpa  mengharapkan pahala  dan  dilakukan  sepenuh  hati  pada  seluruh  aktifitas  kehidupannya  baik  dalam  berfikir, berucap, dan berbuat (Bhagavadgita II.47 & XVII. 17). 
Image aryulangun

Puasa atau tapa-brata dapat dilakukan dengan banyak cara, banyak model dan bentuk. Inti  dari  tapa-brata  (puasa)  antara  lain  :1).  penataan  diri,    2).  pengendalian  diri,  3).  disiplin diri,  4).  penyucian/pemberihan  diri,  5).  pemusatan  pikiran,  hati,  dan  jiwa  kehadapan  Hyang Maha Kuasa, 6).  berserah diri, 7)  kesujudan, 8). permohonan, 9). kepekaan rasa, logika, dan naluri,  10).  bersatunya  pikiran,  ucapan,  perbuatan  dalam    satu  kesatuan  tindakan, 11).  kasih sayang. 12). kebhaktian, 13).ketaatan

Setiap perilaku tapa brata atau puasa memiliki beberapa tujuan. Secara implisit, tujuan tersebut menurut ajaran Astangga Yoga ada dua hal ;
  1. Tujuan   spiritual   :   stuti,   strota,   stawa,   dan   pudja   (mensucikan,   meluhurkan, mengagungkan, dan memuja).
  2. Tujuan  duniawi  :  yang  bersifat  rajas:  memohon  pangkat,  kesaktian,  dan  lain-lain, yang bersifat tamas : memohon jodoh, harta, dan lain –lain
Astangga Yoga adalah delapan tahapan-tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan Yoga.  Adapun  bagian-bagian  dari  Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian diri  unsur jasmani),  Nyama (pengendalian  diri  unsur-unsur  rohani), Asana (sikap  tubuh), Pranayama (latihan   pernafasan), Pratyahara (menarik   semua   indrinya   kedalam), Dharana (telah memutuskan   untuk   memusatkan   diri   dengan   Tuhan), Dhyana (mulai   meditasi   dan merenungkan  diri  serta  nama Sang  Hyang  Widhi Wasa),  dan Samadhi (telah  mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merealisasikan diri).

Sebenarnya tujuan dari tapa brata baik yang bersifat lahir ataupun batin itu tidak dapat dipisah-pisahkan  karena  merupakan  satu  kesatuan  yang  utuh.  Namun  kalau  dirinci  dengan teliti maka tujuan tapa brata yang bersifat :
  1. Spiritual meliputi : untuk mendapatkan kesempurnaan, untuk mendapatkan kesucian, untuk mendapatkan kebijaksanaan, untuk mendapatkan kewaskithaan.
  2. Duniawi  meliputi  :  untuk  mendapatkan  jodoh,  untuk  mendapatkan  harta,  untuk mendapatkan  derajat  /  pangkat,  untuk  mendapatkan  kesaktian,  untuk  mendapatkan kesehatan, dan lain-lain.
Apabila   tapa   brata   ini   dianalogikan   sebagai   sebuah   pabrik   gula, maka   tujuan utamanya  adalah  memproduksi  gula  pasir  yang  sebanyak –banyaknya  (tujuan  spiritual), sedangkan hasil sampingnya (ampas) adalah fasilitas hidup duniawi.

Yad –duram yad –duraradhyam,
Yacca dure vya vasthitam,
Tat –sarvam tapa sa sadhyam,
Tapo hi durati kramam.( Canakya Niti Sastra XVII. 3 )

Artinya :

Sesuatu yang tidak dapat dilalui dengan cara biasa,
Sesuatu yang tidak dapat diperoleh dengan cara biasa,
Semuanya bisa didapatkan dengan cara tapa brata,
Karena tapa brata mampu melintasi semuanya

Jenis-Jenis Makanan

Menurut  Kitab  Bhagawadgita  XVII.  8-10  menyatakan  bahwa  makanan  itu  dibagi menjadi tiga jenis :
  • Satwika :ialah jenis  makanan  yang  baik  untuk  jasmani  dan  baik  untuk  rokhani, yakni    semua    makanan    yang    berasal    dari    tumbuh-tumbuhan    yang    tidak memabukkan,  tidak  mengandung  racun,  tidak  mengandung  penyakit,  dan  yang tidak mengandung darah. Makanan jenis ini memiliki kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh dan di peroleh dengan cara-cara yang benar baik pengerjaan maupun pembuatnya. 
Ayuh sattva balarogya
Sukha priti vivardhanah,
Rasyah snigdhah sthira hrdya
Aharah sattvika priyah

Bhagavadgita XVII.8

Artinya :

Makanan   yang   memberi   hidup,   kekuatan,   tenaga   kesehatan,   kebahagiaan   dan kesenangan,  yang  terasa  lezat,  lembut,  menyegarkan  dan  enak,  sangat  disukai  oleh golongan sasttvika
  • Rajasika :ialah  jenis  makanan  yang  hanya  baik  untuk  jasmani  tetapi  jelek untuk rokhani,  yaitu  :  semua  jenis  makanan  yang  mengandung  darah,  dengan  urutan yang  tidak  deperkenankan  mulai  dari  binatang  berkaki  empat,  unggas,  ikan,  telur (masing-masing dengan peringkat skalanya)
Makanan  jenis  rajasika  memiliki  cita  rasa  yang  serba  menyengat,  mengandung unsur yang menumbuhkan rangsangan yang berlebih pada sistem hormonal tubuh yang  mempengaruhi  pada  tumbuhnya  sifat  Rajas  pada  manusia  (aktif,  energik, temparamental)

Katv amla lavanaty usna
Tiksna ruksa vidahinah,
Ahara rajasasyeta
Duhkha sokamaya pradah

Bhagavadgita XVII. 9

Artinya :

Makanan  yang  pahit,  asam,  asin,  pedas,  banyak  rempah,  keras  dan  hangus  serta menyebabkan kesusahan, kesedihan dan penyakit disukai oleh orang yang bersifat rajas.

Tamasika :ialah jenis makanan yang tidak baik untuk jasmani dan tidak baik pula untuk  rokhani.  Yaitu  :  semua  Janis  makanan  yang  mengandung  racun,  penyakit, dan memabukkan. Contoh : narkoba, miras, dan lain –lain.

Yata yamam gata rasam
Puti paryusitam cay at,
Ucchistam api camedhyam
Bhojanam tamasa-priyam
Bhagavadgita XVII. 10

Artinya :

Makanan yang basi, hilang rasa, busuk, berbau, bekas sisa dan tidak bersih adalah makanan yang sangat digemari oleh yang bersifat tamas

Dalam Chandogya Upanisad VI.5.4 menyebutkan makanan yang kita makan dirubah menjadi  tiga  hal  yaitu  sebagian  besar  daripadanya  menjadi  kotoran,  bagian  yang  lainnya menjadi  daging,  dan  bagian  yang  terhalus  menjadi  pikiran.  Rasa  makanan  dapat  dibagi menjadi  enam  yakni  manis,  pedas,  asin,  sepat,  pahit,  hambar.  Makanan  yang  di  konsumsi manusia   akan   diproses   di   dalam   tubuh   melalui   organ   pencernaan.   Dari   hasil   proses pencernaan tersebut, ekstrak dari makanan akan di serap untuk menjadi darah yang mengalir keseluruh  tubuh.  Dalam  konsep  spiritual,  bahan  atau  jenis  makanan,  unsur  kandungan,  cara mendapatkan,  cara  mengolah,  serta  sifat  dan  kondisi  pengolahnya  akan  mempengaruhi  sifat dan nilai makanan tersebut. 

Nilai   serta   sifatnya   ini   akan   ikut   terserap   tubuh   setelah   menjadi   darah,   yang menghidupkan  seluruh  sel  dalam  tubuh  dan  pada akhirnya  secara  umum  akan  membawa dampak  bagi  manusia  yang  mengkonsumsinya.  Dalam  kitab  Ajur  Veda  disebutkan  bahwa salah satu yang di hasilkan oleh makanan di dalam tubuh manusia adalah cairan yang di sebut dengan  Tri  Dosha,  yaitu  tiga  jenis  cairan  humoralyang  terdiri  dari  Vatta,  Pitta,  dan  Kapha. Vatta  adalah  Vayu  (Angin),  Pitta  adalah  Panas,  dan  Kapha  adalah  cairan  seperti  asam lambung.  Hasil  lain  dari  makanan  yang  di  cerna  dalam  perut  adalah  Sapta  Dhatu,  yang berfungsi untuk pertumbuhan dan anti body. Dhatu berarti elemen kehidupan. Oleh sebab itu, segala sesuatu  yang dapat memberikan "hidup" bagi manusia disebut dhatu. Termasuk tujuh kelompok jaringan tubuh yang merupakan bagian hidup dari manusia sehingga disebut sapta dhatu,  yang  terdiri  atas  rasa  (cairan  plasma),  rakta  (darah),  mamsa  (daging),  meda  (lemak), majja (sumsum, termasuk susmsum otak) asthi (tulang), dan sukra (air kehidupan, air mani).

Bentuk dan Tata Cara Berpuasa

Menurut  sudut  pandang  spiritual,  puasa mempunyai  efek  yang  sangat  baik  dan besar terhadap tubuh dan fikiran. Puasa dengan cara supranatural mengubah sistem molekul tubuh fisik dan eterik dan menaikkan vibrasi atau getarannya sehingga membuat tubuh lebih sensitif terhadap  energi  atau  kekuatan  supranaturalsekaligus  mencoba  membangkitkan  kemampuan indera  keenam  seseorang.Apabila  seseorang  telah  terbiasa  melakukan  puasa,  getaran  tubuh fisik dan eteriknya akan meningkat sehingga seluruh racun, energi negatif dan makhluk eterik negatif yang ada didalam tubuhnya akan keluar dan tubuhnya akan menjadi bersih. Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa yakni; 
  1. Ngebleng (meditasi / samadi) : tidak makan dan minum
  2. Mutih (hanya makan nasi putih dan air putih)
  3. Ngrowot ( hanya makan buah-buahan, biji-bijian atau umbi-umbian ) yang bebas dari racun, penyakit, darah, dan bumbu-bumbuan.
  4. Puasa Ngepel : hanya makan nasi yang dikepal
  5. Puasa Ngeruh : hanya makan sayur sayuran tanpa bumbu-bumbuan
Semua  itu  harus  dilakukan  dengan  penuh  kecerdasan,  artinya  walaupun  tujuannya sangat  baik,  maka  pelaksanaanya  juga    harus  dilakukan  dengan  cara  yang  baik  dan  benar pula.  Apabila  hal ini  tidak  dilakukan, maka  bukannya  kebaikan  yang  akan  diperoleh  namun malah  justru  kesedihan  dan  penderitaan. Untuk  memahami  makna  puasa  menurut  budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal,  pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri.

Ciri laku spiritual puasa  adalah menikmati yang tidak enak dan tidak menikmati yang enak,  gembira  dalam  keprihatinan.  Diharapkan  setelah menjalani laku ini, tidak akan  mudah tergoda   dengan   daya   tarik   dunia   dan   terbentuk   pandangan   spiritual   yang   transenden. Sehingga  dapat  juga  dikatakan  bahwa puasa bertujuan  untuk  penyucian  batin  dan  mencapai kesempurnaan  ruh.  Dalam  hal  ini puasa merupakan  bentuk  latihan  untuk  menguatkan  batin. Batin  akan  menjadi  kuat  setelah  adanya  pengekangan  nafsu  dunia  secara  konsisten  dan terarah.

Pemuasan  hawa  nafsu  atau  keinginan  yang  dimiliki  seseorang  dengan  harapan memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup. Kepuasan atau kenikmatan tersebut memang merupakan salah satu tujuan atau kebutuhan manusia, karena manusia mempunyai Eka Dasa Indriya (sebelas indriya) yakni :
  1. Srotendriya : keinginan mendengar
  2. Tvagendriya : keinginan merasakan sentuhan
  3. Caksvindriya : keinginan melihat
  4. Jihvendriya : keinginan mengecap
  5. Granendriya : keinginan mencium
  6. Wagindriya : keinginan berkata
  7. Panindriya : keinginan memegang sesuatu
  8. Padendriya : keinginan bergerak atau berjalan
  9. Payvindriya : keinginan membuang kotoran
  10. Pasthendriya : keinginan kenikmatan kelamin
  11. Rajendriya : organ pada otak untuk berfikir
Pemuasan hawa nafsu adalah hal yang wajar untuk mendukung hidup, sebab tidak ada orang yang dapat hidup tanpa benda-benda kebutuhan hidup dan kepuasan dalam batas-batas tertentu.  Akan  tetapi  dalam  hal  ini  dharmalah  pengendalinya.  Maka  itu  dharma  menduduki tempat tertinggi sebab dharma faktor pengatur.

Waktu dan Disiplin Berpuasa

Inti  dari  tapa-brata  /  puasa  adalah  penataan  diri,  pengendalian  diri,  disiplin  diri, penyucian/pemberihan diri, pemusatan pikiran, hati, dan jiwa kehadapan Hyang Maha Kuasa, berserah diri, kesujudan, permohonan, kepekaan rasa, logika, dan naluri, bersatunya pikiran, ucapan, perbuatan dalam  satu kesatuan tindakan, kasih sayang, kebhaktian, ketaatan. Dalam bertapa  dan  berpuasa  terdapat  kedisiplinan  yang  harus  dibangun,  baik  yang  menyangkut  hal hal  yang  bersifat  lahiriah  maupun  batiniah.  Pengendalian  diri  dalam  bentuk  kedisiplinan lahiriyah  /  badaniah  dapat  berwujud  disiplin  waktu,  disiplin  jenis,  dan  disiplin  jumlah makanan. Kedisipilan tersebut yaitu : 
  • Disiplin waktu
Waktu  dalam  berpuasa  menurut  agama  Hindu,  hal  ini  dilaksanakan  lebih teliti dan lebih rincilagi menyangkut keluasan dan kedalamanya, karena berkaitan dengan   penerapan/pengaplikasian   ala-ayuning   dewasa   (wara,   wuku,   tanggal-panglong,  sasih,  dauh),  dimana  melakukan  atau  tidak  melakukan  sesuatu  pada saat-saat   atau   waktu-waktu   tertentu,   mengandung   arti,   fungsi,   makna   dan kekuatan,  yang  terbingkai  dalam  segenap  upaya,  doa,  kesungguhan,  ketulusan, dan  ketaatan  kepada  Sang  Hyang  Widi  guna  dapat  mencapai  keberhasilan  dalam kerahayuan.

Ketika  sedang  berpuasa  dengan  disiplin  waktu,  maka  seseorang  hanya boleh  makan  dan  minum  pada  saat-saat  tertentu,  misalnya  ;  hanya  boleh  makan dan  minum  pada  siang/malam  hari  saja,  atau  hanya  boleh  makan  sekali  dalam kurun  waktu  24  jam,  atau  tidak  makan  tidak  minum  sama  sekali  selama  3  hari  3 malam berturut  turut, dan seterusnya. Seseorang yang sedang melakukan meditasi atau samadhi, sudah barang tentu, pasti tidak makan dan tidak minum.
  • Disiplin Jenis
Telah diuraikan diatas bahwa bagi umat Hindu, makanan itu dibagi 3 (tiga) jenis,  yaitu  ;  Satwika,  Rajasika  dan  Tamasika.  Ketika  sedang  berpuasa,  hanya jenis makanan satwikalah yang diperkenannkan.

Makanan  jenis  Satwika,  secara  fisik  ialah  jenis  makanan  yang  tidak mengandung  racun,  darah,  bumbu-bumbuan,  penyakit  dan  tidak  memabukan, yang dikelompokkan, antara lain ;
  1. Umbi-umbian (bahasa Jawa ; Pala Kependhem)
  2. Biji-bijian (selain yang berasal dari pohon siwalan, tal, aren, kelapa, tebu dan padi-padian)
  3. Buah-buahan (bahasa Jawa : pala gumantung dan pala kesimpar)
  4. Daun daunan/Sayur-mayure)Air jernih (air putih)
Ketika  sedang  melakukanpuasa  dengan  disiplin  jenis,  maka  hanya  salah satu  dari  empat  poin  pertama  diatas  ditambah  poin  yang  kelima,  yang  boleh dimakan  dan  diminum.  Misalnya  ;  hanya  boleh  makan  umbi-umbian  dan  minum air jernih saja. Atau hanya makan buah-buahan dan minum air jernih.

Bahkan,  bisa  lebih  teliti  dan lebih  rinci lagi,  yakni  ;  hanya  khusus  makan makanan dari satu species umbi-umbian, misalnya ; hanya khusus makan kentang dan minum air jernih. Atau ketika pilih makan buah-buahan, maka hanya khusus makan  pisang  dan  minumair  jernih  saja,  tidak  yang  lain, dan  itupun  pisangnya harus pisang Raja, misalnya.
  • Disiplin Jumlah
Disiplin  jumlah  adalah  menentukan  seberapa  banyak  atau  seberapa  besar, jumlah dari makanan yang dipilih itu harus dimakan. Misalnya ; hanya makan satu butir  kentang  dan  minum  satu  gelas  kecil  air  jernih,  sekali  selama  24  jam.  Atau hanya makan dua kepal nasi putih dan minum  satu gelas air jernih, sekali setiap 24 jam, dan seterusnya.

Waktu pelaksanaan berpuasa bermacam macam tergantung pada jenis puasa apa yang akan dilakukan, artinya apabila puasa tersebut langsung berkaitan dengan petunjuk kitab suci (  eksplisit  )  maka  kita  lakukan  apa  adanya.  Tetapi  apabila  jenis  puasa  tersebut  dilakukan untuk  kepentingan  dan  atau maksud  tertentu  (  tidak  dilarang  agama)  maka  dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja sesuai dengan kepentingan & drestanya masing-masing.

Pada kenyataanya seseorang melakukan puasa / tapa brata karena atas dasar petunjuk kitab  suci  dan  atau  sebuah  upaya  yang  dilakukan  secara  mandiri  demi  berhasilnya  cita-cita yang  ingin  diraihnya,  baik  yang  didominasi  oleh  kepentingan  duniawi  maupun  rokhani. Sebuah   pelaksanaan   puasa/tapa   brata   sering   dilaksanakan   pada   waktu-waktu   tertentu (periodic-temporal),  juga  ada  yang  dilakukan  seumur  hidup,  contohnya  adalah    seseorang yang melakukan vegetarian sumur hidup, tidak menikah, dll.
  • Filosofi
Ketika  ada  seseorang  yang  ingin  melihat indahnya  dasar  kolam  beserta  penghuninya yang  menggemaskan  dengan  mata  telanjang  maka  kolam  tersebut  harus  memiliki  beberapa persyaratan:
  1. Airnya harus jernih
  2. Permukaannya harus dalam keadaan tenang
  3. Tidak menebarkan bau busuk
Apabila  tiga  persyaratan  tersebut  tidak  dapat  terpenuhi  maka  mustahil  seseorang tersebut  dapat  melihat  indahnya  dasar  kolam  beserta  penghuninya.  Oleh karena  itu  ada beberapa cara untuk dapat menjaga dan mengupayakan agar air kolam tersebut selalu dalam keadaan jernih dan tenang, yakni :
  1. Jangan dialiri air kotor
  2. Jangan dimasuki benda kotor
  3. Jangan diobok-obok
Walaupun sebuah kolam airnya jernih akan tetapi kalau selalu dialiri dengan air  kotor maka  dapat  dipastikan  kolam  tersebut  akan  menjadi  kotor  pula,  demikian  juga  walaupun tidak dialiri dengan air kotor tetapi kalau selalu diobok –obok maka air dalam kolam itupun akan menjadi keruh dan permukaannya menjadi tidak tenang.

Inilah  sebuah  analogi  dari  sang  pribadi  kita  ini,  dimana  air  kolam  sebagai  lambang jasmani  beserta  nafsu  indriya  kita,  permukaan  kolam  adalah  lambang  dari  pikiran  kita,  dan dasar kolam adalah lambang dari sang roh suci = sukma sejati = sadhasiwa atman.

Ketika badan jasmani selalu dimasuki makanan dan minuman yang kotor, ketika sang nafsu  selalu  terikat  oleh  kenikmatan  duniawi,  dan  ketika  pikiran  selalu  tidak  jujur  /  tidak tenang, maka pada saat itulah kepekaan sang jiwa kita menjadi tumpul. Oleh karena itu maka ; kotornya jasmani harus dibersihkan dengan makan-minum/pola hidup  yang baik (satwika), kotornya  nafsu  harus  dibersihkan  dengan  kebijaksanaan,  kotornya  pikiran  harus  dibersihkan dengan kejujuran, dan kotornya jiwa harus dibersihkan dengan tapa-brata ( Slokantara. 17 ).

Apabila  kita  dapat  mewujudkan  hal  ini,  lebih-lebih  ketika  kita  dapat  melaksanakan tapa brata dengan baik (mendirikan sang hyang Sadasiwa Atman), maka suatu anugerah yang akan  diperoleh  menjadi  sangat  luar  biasa.  Antara  lain  ialah  :  asta  iswarya  (kanuragan), duradarsana-durasrawana-durasarwajna  (kesempurnaan),  yang  salah  satu  indikasinya  adalah membentuk seorang pribadi yang : Tanggap ing sasminta,  Lantip ing panggraita, Bontos ing tekad, Buntas ing kaweruh, Gentur tapa-bratane, dan Mateng semedine.
  1. Tanggap  ing  sasminta  :  peka  atau  paham  terhadap  firasat atau  petunjuk  sehingga tahu  sebelum  terjadi.  Akan  mendapat  anugrah  /  penderitaan  baik  sekala  kecil, sedang, ataupun berat, sudah tahu sebelum hal ini bisa terjadi.
  2. Lantip ing panggraita ; Ialah cerdas dalam mennanggapi sesuatu.
  3. Bontos  ing  tekad  ;  tekad  bulat  pantang  menyerah,  tak  tergoyahkan,  maju  tak gentar, menegakkan prinsip, berketetapan hati. Teguh dalam prinsip dan pendirian
  4. Buntas   ing   kaweruh   ;   memeiliki   cakrawala   yang   luas,   ilmu   yang   dalam. Melakukan  atau  tidak  melakukan  sesuatu  harus  berdasarkan  pada  keluasan  dan kedalaman ilmu.
  5. Gentur  tapa-bratane  ;  mampu  melakukan  tapa,  berbuat  kebaikan  kepada  sesame sehingga hidup bisa harmonis
  6. Mateng semedine ; segala apa yang tidak atau dilakukan, adalah semata-mata atas dasar petunjuk Sang Hyang Widhi
Karmany eva dhikaraste,
Ma phalesu kadacana,
Ma karma phala hetur bhur,
Ma te sango ‘stv akarmani..
(Bhagavadgita, II. 4 )

Artinya :

Hanya pada pelaksanaanlah kau memiliki hak,Sama sekali bukan pada hasilnya,(oleh karena itu) jangan sekali-kali phahala karma menjadi motifmu,Dan jangan sekali-kali berdiam diri menjadi tujuanmu.
  • Upaya Mendirikan Kesucian Sang Pribadi dari Pengaruh   Kotornya Jenis Makanan
Seseorang dalam  memilih,  memilah,  suatu  makanan  sudah  dipastikan  memiliki alasannya.  Demikian  juga  terhadap  jenis  makanan  yang  lainnya.  Oleh  karena  itu  kotor  atau dianggap  kotornya  suatu  jenis  makanan  sehingga  tidak  layak  untuk  dimakan  itu  tergantung pada penilaiannya   masing-masing.   Berikut   adalah   tingkat   kotornya   makanan   yang mempengaruhi kesucian sang pribadi :
  • Kotor karena substansi akan merusak jasmani
Sekelompok  orang  sedang  keracunan  ketika  usai  menyantap  hidangan  dalam sebuah hajatan. Dosakah sekelompok orang tersebut ?

Sekelompok  siswa  keracunan,  usai  menyantap  cilok  yang  dibeli  di  halaman sekolah. Dosakah para siswa tersebut ?

Jadi,  kotornya  makanan  karena  substansi,  ia  akan  merusak  jasmani,  walaupun makanan itu diperoleh dengan jalan dharma.
  • Kotor karena essensy akan merusak jiwa / rokhani
Disuguhkan  banyak  makanan  serba  lezat,  higienis,  buahnya  besar,  segar,  ranum-ranum,  namun  semua  makanan  yang  dihidangkan  itu  diperoleh  dari  ;  korupsi, pencurian, penipuan, perampokan dan tipu daya.

Dosakah orang orang makan makanan semacam itu ?

Secara   substansi,   makanan   tersebut   adalah   higienis,   namun   secara   esenssy, makanan  tersebut  penuh  dengan  kekotoran,  yang  kalau  dimakan,  sudah  barang tentu akan merusak rokhani.
  • Kotor karena filosofi akan merusak intuisi
Sebagian orang berpantang dalam memilih makanan karena suatu maksud, tujuan atau  kewajiban.  Maka  bagi  mereka  yang  telah  berpantang,  jika  melanggarnya, akan merasa terkotori, demikian sebaliknya.

Maka, makana yang kotor karena filosofi, akan merusak intuisi.

Anayas cintayanto mam
Ye janah paryupasate
Tesam nityabhyuktanam
Yoga ksemam  vahamy aham
(Bhagavadgita, IX. 22)

Artinya :

Mereka yang hanya memuja-Ku saja
Tanpa  memikirkan yang lainya lagi
Yang senantiasa penuh pengabdian dan ketaatan
Kepada mereka Ku-bawakan segala apa yang mereka tidak
PunyaDan Ku-lindungi segala apa yang mereka miliki

Menurut  Cudamani,  1987:  186  menyebutkan  ada  tiga  hal  yang  menentukan  sifat kesucian dari suatu makanan yakni;
  1. Unsur  dan  sifat  makanan  itu  sendiri  memberikan  pengaruh  padajasmani  dan pikiran
  2. Bagaimana  cara  makanan  itu  didapat  (dengan  cara  baik  atau  buruk),  apakah dengan   cara   mencuri,   korupsi   dan   mendapatnya   dengan   tidak   halal,   juga mempengaruhi pengaruh terhadap pikiran.
  3. Wadah  atau  tempat  yang  digunakan  pada  waktu  makanan itu  dihidangkan, ataupun  pada  waktu  membuatnya,  juga  akan  memiliki  pengaruh  pada  kesucian makanan tersebut.
Makanan  yang  bersifat  suci  akan  menambah  kesucian  pikiran,  sedangkan  makanan yang  bersifat  buruk  akan  memperkuat  kekotoran  pikiran.  Baik  untuk  pemusatan  pikiran keluar  maupun  ke  dalam,  diperlukan  beberapa  dasar  yang  melatar  belakangi  pikiran,  agar jangan pemusatan pikiran itu menimbulkan akibat negative baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.. adapun beberapa dasar yang diperlukan tersebut adalah :
  1. Kesucian, baik kesucian lahir maupun kesucian batin
  2. Kesabaran berlatih dengan penuh disiplin serta mematuhi ketentuan-ketentuan dan aturan yang diberikan
  3. Memiliki   kepuasan   batin,   dan   kemauan   yang   keras   sebagai   senjata   untuk mengendalikan pikiran
  4. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran
Pikiran yang penuh dengan perasaan benci, iri, dengki, marah, takut, cemburu, nafsu, sombong, licik, bimbang dan sebagainya adalah pikiran yang lahir dari guna tamas dan guna rajas.  Perasan-perasaan  inilah  yang  mengotori  pikiran.  Pikiran  dapat  disucikan  dengan  jalan meningkatkan  guna  sattwa,  mula-mula  dengan  mengatasi  pengaruh  rajas  dan  tamas,  lama kelamaan dengan menggantikan seluruhnya dengan guna sattwa. (Cudamani, 1987: 184)
  • Dampak pelaksanaan dari puasa/tapa-brata
Dampak  langsung  ataupun  tidak  langsung  dari  pelaksanaan  puasa  terhadap  jasmani ataupun  rokhani,  jangka  panjang  ataupun  jangka  pendek,  untuk  sang  pribadi  ataupun lingkungan  sekitar  harus  bernilai  positif.  Jika  dampak  dari  pelaksanaan  puasa  tidak  bernilai positif  pada  seluruh  segmen  kehidupan,  berarti  ada  yang  salah  dalam  pelaksanaan  dan  cara puasa tersebut dilakukan

Puasa  merupakan  bagian  brata,  yoga,  tapa  dan  samadi.  Kewajiban  orang  Hindu melaksanakan tapa brata yoga dan samadi tertulis dalam kakawin Arjuna Wiwaha yakni;

Hana  mara  janma  tan  pamihutang  brata,  yoga,  tapa,  samadi  angetul  aminta  wiryya suka ning Widhi sahasaika, binalikaken purih nika lewih tinemuiya lara, sinakitaning rajah tamah inandehaning prihatin.

Artinya :

Ada orang yang tidak pernah melaksanakan brata, yoga, tapa, samadi dengan lancang ia  memohon  kesenangan  kepada  Ida  Sang  Hyang  Widhi  Wasa  (dengan  memaksa) maka  ditolaklah  harapannya  itu  sehingga  akhirnya  ia  menemui  penderitaan  dan kesedihan,  disakiti  oleh  sifat-sifat  rajah  (angkara  murka/ambisius)  dan  tamah  (malas dan loba), ditindih oleh rasa sakit hati.

Dampak  langsung  ataupun  tidak  langsung  dari  pelaksanaan  puasa  terhadap  jasmani ataupun  rokhani,  jangka  panjang  ataupun  jangka  pendek,  untuk  sang  pribadi  ataupun lingkungan sekitar, yakni ;
  • Meningkatnya kesehatan jasmani, psykologi, dan rokhani
  • Meningkatnya kepekaan dan kepedulian pada sesama
  • Meningkatnya ketaatan kepada Hyang Widi, yakni ;
  1. Pudja  Bhawa  ;  selalu  sujud  bhakti  kehadapan  Sang  Pencipta  dengan  jalan ritual  ceremonial.  Memuja  Tuhan  sebagai  Maha  Agung,  Maha  Kuasa,  Maha Pemurah Lagi Penyayang, dan lain-lain
  2. Stava Bhawa ; apa yang dipikirkan, dikatakan dan dilakukan selalu atas dasar petunjuk dan perintah-Nya (Smaranam)
  3. Dhyana  Bhawa  ;  mampu  membumikan/mengaplikasikan  sifat-sifat  Tuhan dalam  hehidupan  nyata.  Ketika  memuja  Tuhan  sebagai  Hyang  Maha  Agung, maka  harus  diwujudkan  dalam  bentuk  peduli  dan  dermawan  kepada  sesama yang  memerlukan.  Ketika  memuja  Tuhan  sebagai  Hyang  Maha  Pengasih, maka harus diaplikasikan sifat-sifat itu dengan mampu menebarkan sifat cinta kasih dan pemaaf bagi sesama. Dan seterusnya, akhirnya mampu  berbuat jasa dan menanamkan saham kebajikan pada sesama (bhs. Jawa : tapa ngrame)
  4. Brahma  Bhawa  ;  mampu  menjalin  hubungan  yang  harmonis,  lahir  bhatin, dunia akhirat  kepada  Para  Leluhur,  Para  Dewata  dan  kepada  Sang  Hyang Widi. (bhs. Jawa : tapa ing sepi)
Jika  dampak  dari  pelaksanaan  puasa  itu  tidak  bernilai  positif  pada  seluruh  segmen kehidupan,  berarti  ada  yang  salah  dalam  ;  tujuan,  pelaksanaan  atau  dalam  tata  cara  puasa tersebut dilakukan.

Berikut  disebutkan  bagian-bagian  Panca  Yama  Brata  dan  Panca  Nyama  Brata  yang dijadikan landasan Pengendalian diri : 

Panca yama Brata adalah lima pengendalian diri tingkat jasmani yang harus dilakukan tanpa kecuali.
  1. .Ahimsa atau  tanpa  kekerasan.  Jangan  melukai  makhluk  lain  manapun  dalam pikiran, perbuatan atau perkataan. (Patanjali Yoga Sūtra II.35)
  2. Satya atau  kejujuran/kebenaran  dalam  pikiran,  perkataan  dan  perbuatan,  atau pantangan akan kecurangan, penipuan dan kepalsuan. (Patanjali Yoga Sūtra II.36)
  3. Astya atau  pantang  menginginkan  segala  sesuatu  yang  bukan  miliknya  sendiri. Atau  dengan  kata  lain  pantang  melakukan  pencurian  baik  hanya  dalam  pikiran, perkataan apa lagi dalam perbuatan. (Patanjali Yoga Sūtra II.37)
  4. Brahmacaryaatau berpantang kenikmatan seksual. (Patanjali Yoga Sūtra II.38)
  5. Aparigraha atau  pantang  akan  kemewahan;  harus  hidup  sederhana.  (Patanjali Yoga Sūtra II.38).
Panca Nyama Brata adalah lima jenis penengendalian diri tingkat rohani

1# Sauca,  kebersihan  lahir  batin.  Lambat  laun  seseorang  yang  menekuni  prinsip  ini akan  mulai mengesampingkan   kontak   fisik   dengan   badan   orang   lain   dan membunuh   nafsu   yang  mengakibatkan   kekotoran   dari   kontak   fisik   tersebut (Patanjali Yoga Sūtra II.40). Sauca juga menganjurkan kebajikan Sattvasuddi atau pembersihan kecerdasan untuk membedakan:
  1. Saumanasya atau keriangan hati
  2. Ekagrata atau pemusatan pikiran
  3. Indriajaya atau pengawsan nafsu-nafsu
  4. Atmadarsana atau realisasi diri (Patanjali Yoga Sūtra II.41).
2# Santosa atau   kepuasan.   Hal   ini   dapat   membawa   praktisi Yoga kedalam kesenangan  yang  tidak  terkatakan.  Dikatakan  dalam  kepuasan  terdapat  tingkat kesenangan transcendental (Patanjali Yoga Sūtra II.42).

3# Tapa atau  mengekang.  Melalui  pantangan  tubuh  dan  pikiran  akan  menjadi  kuat dan terbebas dari noda dalam aspek spiritual (Patanjali Yoga Sūtra II.43).

4# Svadhyaya atau  mempelajari  kitab-kitab  suci,  melakukan  japa  (pengulangan pengucapan  nama-nama  suci  Tuhan)  dan  penilaian  diri  sehingga  memudahkan tercapainya “istadevata-sampraYogah, persatuan dengan    apa    yang    dicita-citakannya (Patanjali Yoga Sūtra II.44).

5# Isvarapranidhana atau  penyerahan  dan  pengabdian  kepada Sang  Hyang  Widhi yang  akan  mengantarkan  seseorang  kepada  tingkatan Samadhi (Patanjali  Yoga Sūtra II.45). Dalam I Ngurah Mudana dan IGN. Dwaja, 2016 : 40-42I

PENUTUP

Puasa  bukanlah  tujuan,  tapi  merupakan  sebuah  sarana    untuk    mencapai    tujuan. Indikasi  berhasilnya  tapa  brata  adalah  adanya  peningkatan  rasa  kepekaan,  kepedulian  yang diwujudkan dalam bentuk  eksen (dharma laksana) dan mampu memunjukkan   sebuah hasil karya. Cara, model, dan kesungguhan dalam berpuasa akan menentukan tingkat keberhasilan dalam  berpuasa.  Sesuatu  yang  tidak  dapat  dilakukan  dengan  cara  biasa,  sesuatu  yang  tidak dapat  dilalui  dengan  cara  biasa,  dan  sesuatu  yang  tidak  dapat  diperoleh  dengan  carabiasa, semua  itu  akan  bisa  didapatkan  dengan  cara;  Tapa  Brata.  Kecerdasan,  kepekaan,  kesehatan, keselamatan,    keberuntungan,    kesejahteraan,    kebahagiaan,    kemashuran,    kewaskitaan, kebijaksanaan,  kesucian,  kesempurnaan,  dan    kerahayuan  adalah  anugerah  keberhasilan dalam berpuasa / bertapa brata.

Berpuasa dan bertapa  bermaksud membersihkan hati dan batin dan membentuk hati yang tulus dan iklas, hidup sederhana dan tidak tamak, selalu bersyukur atas apa yang dimiliki, mengurangi makan dan tidur, tidak semata-mata mengejar kesenangan hidup, menjaga sikap eling lan waspada, meningkatkan kemampuan spiritual. Dengan demikian menjadikan hidupakan lebih ‘bersih’ dan mempertajam kepekaan batin dan memciptakan hubungan yang harmonis.

Berpuasa menahan terhadap kesenangan, keinginan atau hawa nafsu yang tidak baik dan tidak bijaksana dalam kehidupan serta menggembleng diri untuk mendapatkan ‘ketahanan’ jiwa dan raga dalam menghadapi gelombang kehidupan. Ketenangan dalam kehidupan dapat dilihat dari sikap seseorang yang menjalani hidup ini secara tidak berlebih-lebihan, hidup ini dijalani secara proporsional, selaras dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup, dan tidak melebihi batas nilai kepantasan atau kewajaran. Walaupun kepemilikan kebendaan sering kali dianggap sebagai ukuran kualitas dan keberhasilan hidup seseorang. Walaupun seseorang sudah berjaya dan berkecukupan, perbuatannya dapat dilihat dari sikapnya dalam menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, tidak pantas, tidak bijaksana, dan menahan diri dari perilaku konsumtif berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

Agung Oka, I Gusti, 1992, Slokantara, Jakarta, Hanuman Cakti
Cudamani,  1987, Pengantar  Agama  Hindu  Untuk  Perguruan  Tinggi,  Jakarta,  Yayasan Wisma Karma Jakarta
Griffith, R.T.H, 2005, Yajur Weda, Surabaya, Paramita
Kajeng, I Nyoman, 2005, Sarasamuccaya, Surabaya, Paramita
Maswinara, I Wayan, 2004, Rg Veda, Surabaya, Paramita
Mudana I Ngh. Dan I GN. Dwaja, 2016, Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti, Jakarta, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbut.
Pendit, Nyoman S, 2002, Bhagavadgita, Jakarta, CV Felita Nursatama Lestari
Pudja  G,  dan  Tjokorda  Rai  Sudharta,  2003, Manawa  Dharmacastra,  Jakarta,  CV  Nitya Kencana Buana
Titib, I Made, 2003, Veda, Surabaya, Paramita
Wiana, Ketut, 1992, Nitisastra, Jakarta, Universitas Terbuka

0 Response to "Pengertian Puasa Dalam Agama Hindu serta Bentuk dan Tata Cara Berpuasa"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel