Keragaman dan Keberagamaan Indonesia : Moderasi Beragama

HINDUALUKTA - Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai takdir. Ia tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang Mencipta, bukan untuk ditawar tapi untuk diterima (taken for granted). Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, secara keseluruhan jumlah suku dan sub suku di Indonesia adalah sebanyak 1331, meskipun pada tahun 2013 jumlah ini berhasil diklasifikasi oleh BPS sendiri, bekerja sama dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), menjadi 633 kelompok-kelompok suku besar. 


Terkait jumlah bahasa, Badan Bahasa pada tahun 2017 juga telah berhasil memetakan dan memverifikasi 652 bahasa daerah di Indonesia, tidak termasuk dialek dan sub-dialeknya. Sebagian bahasa daerah tersebut tentu juga memiliki jenis aksaranya sendiri, seperti Jawa, Sunda, Jawa Kuno, Sunda Kuno, Pegon, Arab-Melayu atau Jawi, Bugis-Makassar, Lampung, dan lainnya. Sebagian aksara tersebut digunakan oleh lebih dari satu bahasa yang berbeda, seperti aksara Jawi yang juga digunakan untuk menuliskan bahasa Aceh, Melayu, Minangkabau, dan Wolio.

Meski agama yang paling banyak dipeluk dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh masyarakat Indonesia berjumlah enam agama, yakni: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, namun keyakinan dan kepercayaan keagamaan sebagian masyarakat Indonesia tersebut juga diekspresikan dalam ratusan agama leluhur dan penghayat kepercayaan. Jumlah kelompok penghayat kepercayaan, atau agama lokal di Indonesia bisa mencapai angka ratusan bahkan ribuan.

Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia itu, dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan kepentingan masing-masing warga bangsa, termasuk dalam beragama. Beruntung kita memiliki satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga berbagai keragaman keyakinan tersebut masih dapat dikomunikasikan, dan karenanya antarwarga bisa saling memahami satu sama lain. Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola keragaman itu tak urung kadang terjadi.

Dari sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan; jika Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit membuat hamba-hamba-Nya menjadi seragam dan satu jenis saja. Tapi Dia memang Maha Menghendaki agar umat manusia beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu, bukankah keragaman itu sangat indah? Betapa kita harus bersyukur atas keragaman bangsa Indonesia ini.

Selain agama dan kepercayaan yang beragam, dalam tiap-tiap agama pun terdapat juga keragaman penafsiran atas ajaran agama, khususnya ketika berkaitan dengan praktik dan ritual agama. Umumnya, masing-masing penafsiran ajaran agama itu memiliki penganutnya yang mendaku dan meyakini kebenaran atas tafsir yang dipraktikkannya. 

Dalam Islam misalnya, terdapat beragam madzhab fikih yang secara berbeda-beda memberikan fatwa atas hukum dan tertib pelaksanaan suatu ritual ibadah, meski ritual itu termasuk ajaran pokok sekalipun, seperti ritual salat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Keragaman itu memang muncul seiring dengan berkembangnya ajaran Islam dalam waktu, zaman, dan konteks yang berbeda-beda. Itulah mengapa kemudian dalam tradisi Islam dikenal ada ajaran yang bersifat pasti (qath'i), tidak berubah-ubah (tsawabit), dan ada ajaran yang bersifat fleksibel, berubah-ubah (dzanni) sesuai konteks waktu dan zamannya. Agama selain Islam pun niscaya memiliki keragaman tafsir ajaran dan tradisi yang berbeda-beda.

Pengetahuan tentang hal yang tidak dapat berubah dan hal yang mungkin saja berubah dalam ajaran setiap agama itu sungguh amat penting bagi pemeluk agama masingmasing, karena pengetahuan atas keragaman itulah yang memungkinkan seorang pemeluk agama akan bisa mengambil jalan tengah (moderat) jika satu pilihan kebenaran tafsir yang tersedia tidak memungkinkan dijalankan. Sikap ekstrem biasanya akan muncul manakala seorang pemeluk agama tidak mengetahui adanya alternatif kebenaran tafsir lain yang bisa ia tempuh. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam beragama.

Di Indonesia, dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam itu dikelola sedemikian rupa, sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya. Demikian halnya dalam beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.

Ideologi negara kita, Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan antarumat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya, serta dianggap berhasil dalam hal menyandingkan secara harmoni bagaimana cara beragama sekaligus bernegara. Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang masih kerap terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa besar, bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Sang Pencipta.

Namun demikian, kita harus tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Mengapa? Karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi, dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama merupakan "benda" suci yang sakral, angker, dan keramat. Alih-alih menuntun pada kehidupan yang tenteram dan menenteramkan, fanatisme ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka.

Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama yang sama (sektarian atau intra-agama), atau terjadi pada beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda (komunal atau antaragama). Biasanya, awal terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain.

Kita harus belajar dari pengalaman pahit sebagian negara yang kehidupan masyarakatnya karut-marut, dan bahkan negaranya terancam bubar, akibat konflik sosial-politik berlatar belakang perbedaan tafsir agama. Keragaman, di bidang apa pun, memang meniscayakan adanya perbedaan, dan perbedaan di mana pun selalu memunculkan potensi konflik. Jika tidak dikelola dengan baik dan disikapi dengan arif, potensi konflik ini dapat mengarah pada sikap ekstrem dalam membela tafsir kebenaran versi masing-masing kelompok yang berbeda. 

Daya rusak konflik yang berlatar belakang perbedaan klaim kebenaran tafsir agama tentu akan lebih dahsyat lagi, mengingat watak agama yang menyentuh relung emosi terjauh di dalam setiap jiwa manusia. Padahal, tak jarang perbedaan yang diperebutkan itu sesungguhnya sebatas kebenaran tafsir agama yang dihasilkan oleh manusia yang terbatas, bukan kebenaran hakiki yang merupakan tafsir tunggal yang paling benar dan hanya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Benar.

Untuk mengelola situasi keagamaan di Indonesia yang sangat beragam seperti digambarkan di atas, kita membutuhkan visi dan solusi yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan, yakni dengan mengedepankan moderasi beragama, menghargai keragaman tafsir, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan tindak kekerasan. 

Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi.

Karenanya, untuk menjadikan moderasi beragama se­ bagai solusi, kita perlu memiliki pemahaman yang benar tentang makna kata tersebut. Dan, untuk keperluan itulah buku moderasi beragama ini hadir.

Lebih dari itu, kehadiran buku ini juga untuk menegaskan bahwa negara hadir dalam upaya internalisasi nilai-nilai agama di satu sisi, serta upaya menghargai keragaman agama dan tafsir kebenaran agama di sisi lain. Internalisasi nilainilai agama dimaksudkan agar agama senantiasa menjadi landasan spiritual, moral dan etika dalam kehidupan individu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan penghargaan terhadap keragaman paham dan amalan beragama dimaksudkan untuk mendorong kehidupan keagamaan yang moderat, demi terciptanya penguatan komitmen kebangsaan kita, (Saifuddin, 2019:1-8).

Reeferensi:

2019.  Saifuddin, Lukman Hakim. Moderasi Bergama. Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

0 Response to " Keragaman dan Keberagamaan Indonesia : Moderasi Beragama"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel