Beberapa Jenis Upacara Bhuta Yajña dalam Agama Hindu
HINDU ALUKTA -- Beberapa Jenis Upacara Bhuta Yajña. Bhuta yajña yaitu dengan mempersembahkan tawur atau Caru sebagai upacara selamatan kepada para bhuta, sebagaimana yang ditegaskan di atas dinamai Bali Krama, atau Wali Krama yang lebih dikenal dengan istilah dalam Bhuta yajna yaitu Panca Walikrama dan juga ada istilah dikenal dengan nama Eka Dasa Ludra, yang juga merupakan tingkatan pelaksanaan upacara bhuta yajña.
#Caru Kesanga (untuk menyambut tahun baru saka)
1) Untuk tiap rumah tangga
Di halaman “sanggah” dan halaman rumah:
“Nasi sasah amancawarna” (brumbun) 9 “tanding”, ikannya “olahan ayam brumbun”, berambang, jae, garam, serta “tetabuhan” dan dilengkapi dengan 9 buah “canang genten biasa”. Banten ini dihaturkan ke hadapan Sang Bhutaraja dan Sang Kalaraja. Untuk di ‘jaba”, banten seperti di atas dilengkapi dengan “segehan-agung”, dan “nasi sasah’, (dengan warna putih sebanyak 108 “tanding” ikannya “tetabuhan”). Di hulunya mendirikan “sanggah cucuk” yang berisi banten “tumpeng” kecil “adanan”, “ajuman” “penyeneng”, “canang burat wangi”.
“Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Bala dan ‘Sang Kala Bala”. “Caru ini dihaturkan pada waktu “Sandikala”. Setelah menghaturkan “Caru” lalu melakukan “pengerupukan” yaitu sebagai simbol untuk mengusir para Bhuta Kala dan pekarangan rumah dan bilik-bilik agar kembali ke tempatnya masing-masing. Perlengkapan yang dibawa adalah obor dan “mesui” yaitu sejenis rempah-rempah. Caranya adalah seluruh pekarangan rumah diobori terlebih dahulu, lalu disembur dengan ‘mesui”.
Setelah itu seluruh keluarga “mabyakala” di halaman rumah seperti pada waktu “Penampahan Galungan” dan diakhiri dengan mohon “tirta pengenten bayu”. Untuk mohon tirta ini, di “sanggah Kamulan” menghaturkan “canang sari” atau ‘daksina”, ‘ajuman” dan lain-lain sesuai dengan kemantapan seseorang.
2) Untuk tiap perempatan jalan di desa/ banjar. Bantennya seperti di atas (‘Pancasata” dilengkapi dengan “segehan agung” atau caru yang lebih besar sesuai dengan keadaan. “Pecaruan” di perempatan banjar/desa, biasanya dilakukan lebih dahulu, sebab setiap rumah tangga akan mohon tirtan caru ke Banjar, Demikian pula mengenai ikan/”olahan ayam brumbun” untuk “pecaruan” di tiap rumah biasanya diperoleh di banjar masing-masing.
Upacara untuk pembuatan Suatu Bangunan Suci yang besar (Kahyangan Tiga, Padma, Meru).
Perlu dikemukakan bahwa uraian mengenai upacara ini tidaklah begitu banyak bedanya dengan Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma ke II di Denpasar Tahun 1968. Pemakaiannya dapatlah kiranya disesuaikan dengan keadaan.
1) Untuk pembuatan suatu bangunan suci diperlukan upakara-upakara dan alat-alat sebagai berikut:
a. “Caru pengeruak”, yaitu ‘Caru ayam brumbun” lengkap dengan runtutannya dan uripnya adalah 33, serta letaknya “amancadesa” (di timur 5 “tanding”). di Selatan 9 “tanding” di Barat 7 “tanding’, di Utara 4 “tanding”, di Tengah 8 “tanding’ beralas sengkwi bersayap sedangkan segehan-agung, kawisan, kulitnya dan lain-lainnya ditaruh di tengah.
b. ” Byakala” (“byakaon”) “durmangala” dan “prayascita” masing-masing satu buah.
c. Sebuah “segehan-agung” lengkap dengan “penyambleh”.
d. “Banten Pemakuhan “yang terdiri dan “peras penyeneng”, “ajuman” putih kuning ikannya ayam “betutu”,“maukem-ukem” (di belah dan punggung) “daksina” yang berisi uang 227 “canang” lengewangi-burat wangi,“canang satu tanding raka nyahnyah gula kelapa” dan “tipat kelanan”. Banten ini ditaruh di sebuah “Sanggah” yang ada di hulu dari bangunan yang akan dibuat (diluanan).
e. Banten untuk “dasar bangbang” adalah “tumpeng” merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk-pauk dengan ikannya “ayam biying” yang dipanggang, “sampiannyalsampian tangga”. Banten ini dialasi dengan “kulit peras”.
f. “Canang-Pendeman” adalah “canang burat-wangi”, pengeraos “canang-tubungan”, dan “pesucian”, masing-masing satu “tanding”.
g. Alat “penyujug” terdiri dari sebuah cabang dadap yang bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cincin bermata mirah dan kalau mungkin sebuah keris.
h. Untuk bangunan yang berupa “pelinggih’ yang besar-besar, dipakai batu dengan tulisan aksara. Sebuah batu merah, yang berisi gambar “bedawangnala” di punggungnya diisi tulisan “Ang-kara”.
i. Sebuah batu merah yang lain, diisi gambar “padma” disertai dengan tulisan “dasaaksara” (di luar 8 huruf, dan ditengah 2 huruf yang dimaksud dengan “dasaaksara” adalah:
j. Sebuah “kelungah” berisi tulisan “Ong-kara”. Kalau dapat dipakai “kelungah kelapa gading”. “Kelungah” itu “dikasturi”, airnya dibuang, lalu ke dalamnya dimasukkan wangi wangian seperti “lengawangi”, “burat-wangi” “menyan” dan sebagainya, serta sebuah “kewangen” “keraras” (daun pisang yang sudah tua) yang berisi uang 11 kepeng; “kelungah” beserta perlengkapannya dibungkus dengan kain putih diikat dengan benang merah, putih, hitam dan kuning, lalu dipuncaknya diisi sebuah kewangen yang berisi uang 33. 1. Sebuah “kewangen” yang berisi tulisan “ONGKARA-MERTA” dengan uangnya 11 kepeng.
k. Alat persembahyangan lengkap dengan “kewangen dan dupa”.
Tata Pelaksanaan Upacara dan Susunan Dasarnya
Terlebih dahulu dilakukan upacara “Ngeruak” dengan upacara “caru Pengeruak” lalu menghaturkan “banten Durmengala” dan “prayascita” kehadapan “Sang Bhuta Buwana”, dilanjutkan dengan menghaturkan “segehan-agung”, ke “hadapan Sang Bhuta Dengen”.
Mantranya:
Pakulun Sang Kala Nungkurat, Sang Kala Tahun, Sang Kala Badawang jenar, Sang Kala Durmerana, Sang Kala Wisesa makadi sira ranini Bhatari Durga den suka anadah caru aturane mami. Om sampurna ya namah svaha.
Kemudian halaman dan tempat-tempat bangunan yang direncanakan diukur menurut “asta bumi” dilanjutkan dengan menggali lubang (bangbang). Setelah lubang itu dianggap selesai digali, lalu diupakarai dengan “byakala”, “durmengala” dan “prayascita”, selanjutnya diukur dalamnya (jugjugin, dikeruk, serta disapu dengan cincin tadi).
Para penyungsung bangunan itu lalu bersembahyang di depan lubang itu yaitu ke hadapan “ibu pertiwi’ (Sanghyang lemah), “Sanghyang Bayu” dan “Sanghyang Anantaboga”. Bunga dibuang ke bangbang tadi, diganti dengan yang baru, bersembahyang ke hadapan “Sanghyang Akasa”, “Sanghyang Siwa”. Sanghyang Bhuwana Kemulan” dan Sanghyang Prajapati”.
Bunga dibuang ke dalam lubang sebagai dasar dan bangunan tersebut. Selanjutnya di atas bunga-bunga itu ditaruhlah “tumpeng merah” yang berisi ikan ayam “biying” (sub. e) kemudian ditindihi dengan bata-merah” yang berisi gambar “Bedawangnala” (sub. h) disusuni kelungah kelapa gading yang dibungkus dengan kain putih (sub. k), lalu ditimbuni sedikit (supaya agak rata). Di atasnya disusuni dengan bata merah yang berisi gambar padma serta tulisan “Dasa-aksara” (sub. i), kemudian disusuni ‘batu bulitan” yang berisi tulisan “triaksara”. Di atasnya diisi “kewangen” yang berisi tulisan “Ongkara-amerta”. Disertai “Canang pendeman” (sub. 1 dan f) dan akhirnya ditimbuni sampai rata, lalu dilanjutkan dengan pembangunan seterusnya.
2) Untuk bangunan yang kecil-kecil ‘batu-dasarnya” dapatlah disederhanakan yaitu:
Sebuah bata-merah berisi gambar “bedawang-nala”, dan sebuah “kewangen” yang berisi uang 11 kepeng, dilengkapi dengan “burat-wangi”, “canang-sari”, ‘mereka” “nyah-nyah” ‘gula kelapa”, “kekiping”, “pisang mas”, dan “porosannya” adalah “base tubungan putih hijau mererepe” (tangkai sinih itu dibiarkan), (bila tidak ada bata-merah, dapat diganti dengan “paras”).
Catatan:
Setelah bangunan itu selesai lalu diupakarai dengan “durmengala”, “prayascita”, “pengambyan”, “solasan ketengan 22 tanding, “tumpeng guru”, ikannya itik putih diguling, “tumpeng putih kuning” “tipat kelanan”, “daksina” dan “canang pesucian” selengkapnya “buratwangi” serta “suci” satu “soroh”. Dengan demikian bangunan itu baru dapat dihatur “canang” dan “daksina” selengkapnya. Upacara selanjutnya adalah “upacara Melaspas”, Mepedagingan”, “ngenteg” dan seterusnya. Upacaraupacara ini (“Melaspas”, “mepedagingan” dan sebagainya) sebenarnya termasuk upacara “Dewa-yajñya”, oleh karenanya dalam tulisan-tulisan ini tidak diuraikan secara mendetail.
#Tumpek Uye (Tumpek Kandang)
Tumpek Uye ini jatuh pada Sabtu “Keliwon”, “Uku Uye”, Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan “Sanghyang Rare Angon” Siwa sebagai pengembala), agar beliau melindungi serta memberi keselamatan kepada segala hewan/ternak. Upakaranya adalah:
a. Upakara yang ditujukan ke hadapan Sanghyang Rare Angon: “Peras, ajuman, Daksina, Dapetan, penyeneng, pesucian dan lain-lain menurut kemampuan seseorang. Banten ini dihaturkan di “Sanggah” di “merajan”.
b. Upakara yang ditujukan kehadapan Sanghyang Rare Angon : “Sesayut, pengambyan, peras, penyeneng, jerimpen, pengiring, canang-meraka (gebogan), serta dilengkapi dengan beberapa tipat, misalnya : untuk segala jenis burung “tipat kukur”, tipat gelatik, tipat sidapurna tipat bagya dan tipat pendawa. Untuk jenis hewan yang berkaki empat seperti sapi, babi, dan sebagainya adalah belayag, tipat belekok, pesor, “pasung” dan sebagainya.
#Tumpek Penguduh (=“Tumpek Bubuh Wariga Pengatag”)
Upacara pada hari ini ditujukan ke hadapan Sanghyang Sangkara (Dewa Siwa) sebab beliau diangap Dewa yang mengembangkan memperbanyak segala tumbuhtumbuhan.
Tujuannya adalah untuk memohon agar tumbuh-tumbuhan hidup dengan subur, berbuah serta berbunga yang banyak. Upakara-upakaranya adalah: Tumpeng agung, dengan ikannya guling itik atau guling babi (menerut keadaan), “sesayut, pengambyan, peras, penyeneng, pengiring” dan lain-lain selengkapnya.
Catatan:
Pada pohon kayu yang akan diupacarai diberi kain “caniga”, “gantung-gantungan, dan sasap dari janur, untuk hal tersebut biasanya dipilih pohon kayu yang dianggap paling berguna di dalam rumah tangga seperti kelapa, wani dan sebagainya.
Referensi:
Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 213-218
0 Response to "Beberapa Jenis Upacara Bhuta Yajña dalam Agama Hindu"
Post a Comment