Pengertian dan Tujuan Manusa Yajña serta Pelaksanaannya dalam Agama Hindu

HINDU ALUKTA -- Pengertian dan Tujuan Manusa Yajña serta Pelaksanaannya dalam Agama Hindu.  Manusa Yajña adalah korban suci yang dilaksanakan mulai dari bayi di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Kelahiran hidup manusia diselimuti oleh kekotoran dan disertai pula sifat-sifat yang baik maupun yang tidak baik sebagai akibat dari karma wesananya dan pengaruh sifat yang tidak baik akan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan hidup sedangkan kekotoran yang melekat pada badan akan mengurangi kesucian baik lahir maupun bathin.


Guna mensucikan lahir dan bathin perlu diadakan upacara, sebab Sanghyang Widhi hanya berkenan melimpahkan anugrah-Nya kepada orang yang suci lahir dan bathin. Jika seseorang sudah suci lahir dan bathin diharapkan dapat menerima sinar kekuatan suci dari Sanghyang Widhi, yang akan menerangi jalan hidupnya sehingga terhindar dan hal-hal yang menyesatkan.

Sifat-sifat kurang baik yang disebabkan oleh pengaruh hari lahir, perlu dinetralisir dengan sarana upakara yang khusus untuk hal tersebut agar terhindar dan hal-hal yang tidak baik, sehingga mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam hidup.

Mengenai pelaksanaan upacara Manusa Yajña, dalam kitab Manawa Dharmasastra, dijelaskan beberapa diantaranya sebagai herikut:

“Waidikaih karmahhih punyair
nisekadirdwijanmanam karyah car:irch
samskarah pawanuh prelya ceha ca pawanah pretya ceha ca”
 
Terjemahan:

Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Weda, upacara-upacara suci hendak nyadilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim ibu serta upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan triwangsa yang dapat mensucikan dan segala dosa dalam hidup ini maupun setelah meninggal, (Mantra, 1970:52).

“Garbhairhomairjatakiarma
Caudamaunjini bandhanah
Baijikam garbhikam caino
Dwiiarcarnaparnriyale”

Terjemahan:

 
Dengan upacara membakar bau-bauan harum pada waktu sang ibu hamil, dengan upacara jatakarma (bayi waktu lahir), upacara Cauda (upacara gunting rambut pertama) dan upacara Maunji bandhana (upacara memberi kalung) maka kekotoran yang didapat dari orang tua akan terhilang dari Tri wangsa. (Mantra, 1970:52).

“Swadhyayenaw atairhomais
Traiwidhyenejyayasutaih,
Mahaya/naiçca yajnaicca
Brahmiyam kilyate tanuh”

Terjemahan:

Dengan mempelajari Weda, dengan tapa, dengan korban suci, dengan pembacaan pustaka-pustaka suci, dengan memperdalam tiga ilmu suci, dengan upacara persembahan (pada para Dewa, Resi dan Leluhur), dengan melahirkan putra, dengan mengadakan upacara besar, dengan pensucian badan wadah ini dibuat mampu untuk bersatu dengan Tuhan (Mantra, 1970:53).

Berdasarkan penjelasan dan kutipan sloka-sloka tersebut didepan, maka dapat disimpulkan hahwa pelaksanaan upacara manusa yajña oleh Umat Hindu di Bali memiliki tujuan yang sama dan pelaksanaannya mulai dari upacara bayi dalam kandungan sampai akhir hidupnya.

#Tujuan Upacara Manusa Yajña

Upacara Manusa Yajña bertujuan untuk menyucikan lahir bathin, serta memelihara dan mendidik secara spiritual agar mampu menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa serta dapat mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan bahagia.

Lebih lanjut dari pelaksanaan upacara manusia yajña terdapat beberapa tujuan antara lain:
  1. Untuk mensucikan lahir dan bathin, agar selalu dapat kekuatan sinar suci dari Sanghyang Widhi, guna mencapai kesempurnaan hidup.
  2. Mohon perlindungan secara spiritual agar terhindar dari mara bahaya, sehingga tercapai kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera,
  3. Mendidik secara spiritual baik lahir maupun bathin agar dapat meningkatan budidaya, untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas sehingga tercapai manusia Indonesia seutuhnya.
  4. Agar mampu mengendalikan diri, dapat menjaga kesucian lahir dan bathin, sehingga dapat menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi dan pada saatnya tiba agar bisa mencapai sorga atau moksah.
Demikianlah mulianya tujuan yang diharapkan pada upacara Manusa Yajña, yang merupakan kewajiban bagi setiap umat Hindu untuk mampu menyucikan diri lahir dan bathin.

#Upacara Pagedong-gedongan

a. Pengertian
Pegedong-gedongan disebut pula magedong-gedongan, yaitu upacara yang dilaksanakan bagi orang yang hamil untuk pertama kali, setelah kandungannya berumur 5 bulan Bali atau 6 bulan Masehi. Menurut lontar Kuna Drestha kehamilan yang belum berumur 6 bulan, tidak boleh diupacarai karena pertumbuhan jasmani si bayi dianggap belum sempurna. Upacara ini disehut pagedong-gedongan karena ada banten yang namanya banten pagedong-gedongan, sebagai simbol perut lengkap dengan bayinya.

b. Tujuan
Tujuannya adalah membersihkan serta memohon keselamatan jiwa raga si bayi, agar kelak menjadi orang berguna bagi masyarakat dan keluarga. Demikian pula dimohonkan keselamatan atas diri si ibu dan lancar pada waktu melahirkan.

Secara umum hal ini wujudkan dengan memohon “pengelukatan” yang khusus untuk orang hamil dari seorang Sulinggih terutama bertepatan dengan hari Sabtu Keliwon, Wuku Wayang (Tumpek Wayang), atau dipilih hari yang dianggap baik untuk maksud tersebut.

c. Susunan Upakara / Banten

1. Upakara yang terkecil (nistaning nista)
  • Untuk mohon pengelukatan:
Peras, ajuman, daksina, canang lengawangi-buratwangi, dan pebersihan. Banten ini dihaturkan kepada Sulinggih.
  • Untuk pengelukatan:
Periyuk tanah yang baru (payuk anyar) berisi air pancuran, bunga 11 jenis, bunga tunjung/teratai beserta daunnya, dilengkapi ujung cabang bunut, ancak, beringin masing-masing 3 buah dan samsam daun dapdap, daun temen serta bija kuning. Air ini akan dipujai oleh Sulinggih kemudian dipakai ngelukat orang yang hamil. Pelaksanaannya bersamaan dengan saat “nyurya sewana” (pemujaan pagi).

2. Upacara yang kecil (Nista)
  • Untuk pimpinan upacara, persaksian di permandian dan di rumah (Sanggah Kemulan) Peras, ajuman, daksina dan kelengkapannya.
  • Pembersihan orang yang hamil:
Seperti di atas ditambahkan pengelukatan di pemandian, byakala dan prayascita serta tongkat bungbung.
  • Untuk tataban:
Peras, pengambeyan, penyeneng (sorohan tumpeng pitu), sesayut ketututan, sesayut pemahayu tuwuh dan sesayut tulus dadi.

3. Upakara yang Lebih Besar ( Madya)

Upakaranya seperti di atas ditambahkan banten “Pegedongan matah” sedangkan tatabannya bila ditingkatkan menggunakan pulagembal/sekar taman beserta runtutannya. Demikian pula banten pesaksi disesuaikan, yang akan diinjak waktu turun nanti (dapat diganti dengan segehan agung).

4. Upakara lain yang diperlukan adalah:

a. Kasur, bantal, tikar yang diisi gambar Semara-Ratih, disediakan pula bantal yang khusus untuk upacara potong gigi.

b. Bale Gading
Bale gading ini dibuat dan bambu gading (yang lain) dihiasi dengan bungabunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajurnan, daksina (kadang-kadang dapat dilengkapi dengan suci), canang buratwangi, canang sari dengan raka-raka: kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa dan periyuk/sangku berisi air serta bunga 11 jenis. Bale gading adalah sebagai tempat Sanghyang Semara-Ratih.

c. Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan tulis “Ardanareswari” (gambar Semara Ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat “ludah” dan “singgang-gigi” yang sudah dipakai.

d. Untuk singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong cabang dadap dan tiga potong tebu malem / tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1 cm atau 1 1/2 cm.

e. “Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata mirah. Untuk pengurip-urip adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.

f. Sebuah bokor yang berisi kikir, cermin dan pahat (biasanya “pengilap’ yang tersebut di atau ditaruh pada bokor ini, demikian pula “pangurip-urip” nya.

g. Sebuah tempa sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, dan gambir (didalam lekesan itu sudah berisi kapur).

h. Beberapa potong kain (yang agak baik) dipakai untuk menutupi badan waktu upacara, dan disebut “rurub”.

#Pelaksanaan Upacara manusa Yadnya

Rangkaian upacara disesuaikan dengan petunjuk pimpinan upacara, secara umum, pelaksanaan upacara diawali dengan mabiyakala dan maprayascita di halaman rumah, lalu menuju balai tempat upacara potong gigi, duduk menghadap ke hulu, selanjutnya sembahyang memuja sanghyang Semara-Ratih, setelah itu pimpinan upacara/sangging menulis/ngerajah beberapa bagian tubuh antara lain:

Penulisan “Rerajahan” tersebut sesuai dengan pilihan pimpinan upacara (Sangging) yang memimpin upacara Metatah tersebut. Setelah itu diperciki “tirtha pesangihan” kemudian ditidurkan menengadah, ditutupi dengan kain/rurub dan selanjutnya acara dipimpin oleh “sangging” yaitu orang yang bisa melaksanakan hal tersebut. Tiap kali “pedangal” diganti, Ludah serta pedangal yang sudah dipakai dibuang ke dalam “kelungah” kelapa gading. Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi pengurip-urip (kunir), kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelah tiga kali), dan sisanya dibuang ke dalam kelapa gading. Sore hari (setelah berganti pakaian) dilasakanakan acara natab/ngayab dipimpin oleh sulinggih atau orang yang wajar untuk maksud tersebut. Bungkak nyuh gading yang dipakai tempat ludah, pedangal, dan tempat sirih, setelah selesai upacara biasanya ditanam dibelakang pelinggih Kemulan.

Referensi:

Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 192-196

0 Response to "Pengertian dan Tujuan Manusa Yajña serta Pelaksanaannya dalam Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel