Pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya dalam Agama Hindu
HINDU ALUKTA -- Pelaksanaan Upacara Pitra yadnya. Melaksanakan upacara Pitra Yajna sebagaimana yang telah disinggung sekilas pada bahasan di depan itu merupakan kewajiban bagi sanak keluarga atau keturunannya. Boleh dikatakan bahwa seorang putra wajib melaksanakan persembahan berupa upacara Pitra Yajna baik pada saat orang masih hidup maupun setelah orang tua meninggal dunia. Kewajiban dari bagi seorang putra ini terhadap orang tuanya disebut Suta Kirtya.
Tatkala orang tua masih hidup, maka anak (putra) itu hendaknya menaruh rasa betas kasihan, menyayangi dengan tulus, memberikan pertolongan, selalu membahagiakan orang tua, memberikan jaminan hidup untuk orang tua, dan yang lainnya untuk kebahagiaannya di dunia ini. Berikut ini mari kita simak makna ajaran kitab suci Manusmerti yang menyatakan sebagai berikut:
"Jayornityam priyam kuryat acar yaya ca sarvada, terveva trisu tustesu tapah sarvam sampayate", (Manusmerti, II, 228).
Terjemahan:
Hendaknya kita selalu mempersenang kedua orang tua (ibu dan bapak) dan juga guru pengajian (guru yang memberikan pengetahuan), Andai kata kita dapat mempersenang orang tua (ibu dan bapak) dan guru pengajian itu maka semua tapa akan berhasil.
Ajaran di atas mengingatkan kita untuk selalu berbakti dan membahagiakan orang tua semasa orang tua masih hidup, sehingga kita sebagai keturunannya senantiasa dapat mencapai kesuksesan. Selanjutnya apabila orang tua telah tiada atau meninggal, maka seorang anak juga tetap menunaikan kewajibannya untuk beryajna sesuai dengan kemampuan dan tingkatan yajna yang akan dilaksanakan. Tingkatan yajna yang dimaksudkan di sini tentunya tidak terlepas dari situasi setempat yakni desa, kala, dan patra. Kalau memiliki kemampuan materi yang lebih dapat dipilih tingkatan yang lebih besar, jika kemampuannya sedang laksanakanlah tingkatan pitra yajna yang menengah, dan jika kemampuan yang dimiliki kecil dapat ditempuh jalan yang ringan. Walaupun ada pilihan tingkat yang besar, menengah, dan kecil, namun yang terpenting adalah persembahan yang berdasarkan kesucian lahir dan batin dari yang menghaturkan persembahan itu. Tidak dibenarkan melakukan yajna bilamana dalam hatinya kesal, raguragu, dan duka.
Upacara Pitra Yajna secara garis besarnya dibedakan menjadi dua bagian yaitu: dengan dikuburkan (dipendem) maupun pembakaran mayat (diaben), dan keduanya itu dalam proses pelaksanaannya hampir sama. Sedangkan tata cara atau tingkatan Pitra Yajna yakni ada lima bagian, seperti; Sawa Prateka, Sawa Wedana, Asti Wedana, Swasta, dan Atma Wedana.
Mengenai tata cara pelaksanaan Sawa PraJeka atau penyelesaiaan orang meninggal adalah seperti berikut ini. Dimulai pada saat menghembuskan napas penghabisan diusahakan sanak keluarga sudah ada di samping orang tua atau keluarganya yang meninggal dengan mendoakan melalui ucapan mantra pralina yakni:
“Om A ta Sa Ba I, Om Wa Si Ma Ya Mang Ang Ung. Murchantu Swargantu Moksantu Shamantu Ang Ksama Sampurnaya namah Swaha"
Terjemahan:
Semoga tenang dalam menghembuskan napas terakhir, dalam perjalanan ke surga dan semoga mencapai moksa, semoga sempurna semuanya.
Setelah ucapan doa usai, maka jenazah ditidurkan di tempat yang aman, posisinya tengadah, tangan diletakkan di atas perut, kakinya diluruskan, mata dan mulutnya ditutup/dikatupkan, bagian tubuh jenazah digosok dengan air cendana agar tidak kaku, namun dewasa ini terkadang ada yang disuntik dengan cairan formalin agar tidak berbau (busuk), selanjutnya seluruh bagian tubuh mayat ditutupi kain putih yang sukla (bersih). Biasanya sebelum mayat itu dimandikan, maka perlu dipersiapkan perlengkapanperlengkapan, seperti: kain putih atau kasa secukupnya, peti mayat atau keranda yang sesuai dengan ukuran mayat yang telah disasapi, balai tempat memandikan mayat atau pepaga, disiapkan lubang kuburan yang dipilih pada setra desa adatnya masing-masing atau sesuai tradisi setempat, mempersiapkan peralatan untuk memandikan mayat yakni air yang bersih atau air kembang/kumkuman, sabun wangi, sikat gigi beserta pasta gigi, minyak wangi untuk rambut, sampo untuk berkeramas, handuk untuk mengeringkan bagian tubuh mayat, sisir, bedak, cermin, pisau untuk membersihkan kukunya, serta obat seperlunya apabila pada bagian tubuh mayat ada luka-lukanya. Disiapkan sajen tarpana dan bubur pirata yang diletakkan di sisi mayat. Juga sajen yang lainnya untuk disuguhkan ke hadapan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Hyang Prajapati (daksina, ajuman, peras) serta mohon tirta pangentas pada sulinggih dan tirta dari parahyangan bisa dari kahyangan tiga atau kahyangan lainnya sesuai keadaan setempat.
Setelah perlengkapan di atas dapat disiapkan, maka dilanjutkan dengan memandikan mayat atau sawa yang dipimpin oleh pandita atau pinandita setempat yang diiringi puja: " Om Asucir wasucir wapi, sarwa kamagato piwa, chinta yed dewam isanam sabah yab yan tarah sucih", yang artinya: Bila seorang telah suci atau asal ia menghilangkan segala keinginan pada saat memusatkan pikirannya kepada Hyang Widhi, maka sucilah ia lahir bathin. Terkadang juga diiringi nyanyian keagamaan pada saat memandikan tersebut.
Mengenai tata cara memandikan mayat yaitu dengan membersihkan seluruh anggota tubuh mayat dan dibaringkan di atas pepaga. Setelah selesai membersihkan dengan air kumkuman, berkeramas, menggosok giginya, dan membersihkan anggota badan yang lainnya selanjutnya dibedaki, diperciki dengan tirta pengelukatan, tirta pebersihan di bagian kepala, diminumkan, dan sisanya dipercikkan mulai dari kepala sampai ke seluruh badannya. Kemudian diisi kwangen di kepala, di dada, di hulu hati, di tangan kanan dan kiri, dan pada kedua kakinya. Kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki diikat menjadi satu selanjutnya mayat dibungkus dengan kain putih (kasa) secukupnya, pada saat ini semua sanak keluarga menyembahnya, jika pembungkusan mayat telah berakhir lalu dibaringkan lagi di tempat pembaringan yang telah disiapkan menunggu yang ditentukan oleh pandita atau pinandita yang memimpin upacara pitra yajna dengan tetap disuguhkan sajen tarpana. Bila sudah saatnya, maka mayat dapat dikuburkan (mendem sawa), maupun dilakukan upacara pembakaran mayat (diaben). Baik pada saat memandikan mayat, mengantarkan mayat sampai di setra, serta saat memendem mayat di setra, maka sanak keluarga dapat mengiringinya dengan nyanyian keagamaan (dengan kekawin atau juga bisa dengan membacakan ayat-ayat suci yang terdapat dalam kitab suci Bhagavadgita, Sarasamuccaya, maupun kitab suci lainnya), dengan maksud bahwa melalui nyanyian suci kita mendoakan agar roh suci leluhur mencapai kebahagiaan di alam akhirat atau dapat mencapai moksa, menuju surga.
Berikut ini mari kita simak makna beberapa sloka yang dapat dijadikan renungan kesucian tatkala melaksanakan upacara Pitra Yajna, bagaimana sesungguhnya hakikat hidup atau menjelma menjadi manusia, pengaruh perbuatan baik manusia, hakikat kematian bagi manusia, dan bagaimana renungan saat kematian manusia itu.
- "Manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesveva karayet" (Sarasamuccaya, 2), yang artinya: Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
- "Surupatamatmagunam ca vistaram kulanvayam dravyasamred-dhisancayam, naro hi sarwan labhate yathakretam sadasubhenatmakrtena karmana", (Sarasamuccaya, 21), yang artinya: Maka orang yang melakukan perbuatan baik, kelahirannya dari surga kelak menjadi orang yang rupawan, gunawan, muliawan, hartawan, dan berkekuasaan, buah hasil perbuatan yang baik, di dapat olehnya.
- "Dehino smin yatha dehe kaumaram yauwanam jara, tafha dehantara praptir dhiras tatra na muhyati", (Bhagavadgita, II, 13.), yang artinya: Sebagaimana halnya jiwa itu ada pada masa kecil, masa muda, dan masa tua demikian juga dengan didapatinya badan yang baru, orang yang bijaksana tidak akan tergoyahkan.
- "Om ity ekaksarambrahma wyaharam mam anusmaran, yah prayati tyajan deham sa yati paramam gatim", (Bhagavadgita, VIII, 13.) yang artinya: la yang mengucapkan Om, aksara tunggal yaitu Brahman, dan mengingatkan Aku sewaktu ajal akan meninggal badan jasmani, ia akan pergi menuju tempat yang tertinggi.
- "Mam upatya punarjanma duhkhalayam asaswatam, na 'pnuwanti mahatmanah samsiddhim paramam gatah", (Bhagavadgita, VIII, 15.), yang artinya: Setelah sampai kepada-Ku mereka yang berjiwa besar ini tidak lagi menjelma ke tempat yang penuh duka di dunia yang tak kekal ini dan mereka tiba pada kesempurnaan tertinggi.
Beberapa ayat suci di atas dapat dibacakan atau dinyanyikan dengan penuh keheningan dan khidmat agar pelaksanaan upacara dapat berlangsung tertib dan lancar yang membangkitkan suasana kesucian. Setelah tiba di setra terlebih dahulu dilakukan permakluman ke hadapan Hyang Prajapati, Hyang Ibu Pertiwi, maupun Sedahan Setra. Sebelum mayat dipendam (dikubur) usungan mayat diputarkan tiga kali arah ke kiri seperti yang telah dilakukan di perjalanan khususnya di perempatan atau pertigaan jalan menuju setra, ini mengandung makna utpethi, stithi, dan pralina. Usungan mayat yang dibungkus dengan peti sedikit dibuka untuk diperciki tirta yang diperlukan dan dapat ditutup kembali selanjutnya mayat diturunkan ke lubang mayat yang telah disediakan, di mana bagian kepala mayat diletakkan pada arah hulu serta posisinya dimiringkan seterusnya sudah bisa ditimbun oleh sanak keluarga dengan menggunakan tangan dan timbunan berikutriya diteruskan dengan menggunakan cangkul hingga permukaan berbentuk gundukan dan di atasnya diisi sajen-sajen yang telah disiapkan diiringi puja mantra agar atma orang yang meninggal dapat mencapai tujuannya. Dengan demikian berakhirlah pelaksanaan sawa prateka (upacara kematian) yang bermula dari saat hembusan napas terakhir hingga mendem sawa (penguburan mayat). Upacara kematian ini juga dikenal dengan upacara Antyesti Samskara. Selanjutnya uraian mengenai pelaksanaan pembakaran mayat yang dikenal dengan nama Ngaben atau pelebon akan dibahas berikut ini.
a. Ngaben suatu Upacara Pitra Yajna
Upacara Ngaben merupakan tingkatan dalam suatu upacara pitra yajna. Dalam upacara gaben yang diutamakan adalah pengembalian badan wadah manusia ke unsur asalnya yaitu Panca Maha Bhuta, seperti yang berasal dari unsur tanah kembali ke tanah (pertiwi), yang berasal dari unsur air kembali ke air (apah), yang berasal dari unsur panas kembali ke panas (teja), yang berasal dari unsur udara kembali ke udara (bayu), dan yang berasal dari unsur akasa kembali ke akasa (eter). Ngaben mengandung makna sebagai upacara pembakaran mayat agar menjadi abu. Upacara Ngaben merupakan penyelesaian terhadap jasmani orang yang telah meninggal menurut ajaran agama Hindu. Upacara Ngaben disebut pula Ugacara Pelebon atau Atiwa-tiwa. Istilah tiwah sampai sekarang digunakan di daerah Toraja dan Pedalaman Kalimantan. Adapun jenis upacara Ngaben yaitu: upacara Sawa Wedana, upacara Asti Wedana, Upacara Swasta, dan upacara Ngelungah.
b. Upacara Sawa Wedana
Upacara Sawa Wedana adalah upacara ngeseng sawa (membakar mayat) cara langsung dijnana mayat orang yang meninggal dibawa ke setra untuk pelaksanaan pembakarannya. Mengenai pelaksanaannya sama dengan proses pelaksanaan pembakarannya. Mengenai pelaksanaannya sama dengan proses pelaksanaan sawa prateka (upacara kematian), namun sebelum mayat digeseng atau dibakar perlu dipersembahkan bubur pirata putih kuning dua tanding, canang tujuh landing, dan beras catur warna (merah, putih, kuning, dan hitam) yang ditaruh di atas dada mayat dan di bagian kepala mayat diperciki tirta penembak/pemanah, tirta pengelukatan, tirta pangentas, dan tirta dari kahyangan. Selanjutnya mayat siap untuk dibakar dengan api suci (api yang mendapat puja/mantra dari pandita atau pinandita yang memimpin upacara. Setelah menjadi abu kemudian direka (dibuat wujud manusia) yang diisi dengan perlengkapan kwangen yang berjumlah dua puluh dua, masing-masing ditaruh di ubun-ubun sebuah, dahi sebuah, ulu hati sebuah, dikerongkongan sebuah, pusat sebuah, antara pusat dengan kemaluan sebuah, antara kemaluan dengan pantat sebuah, mata dua buah, telinga dua buah, hidung dua buah, mulut sebuah, (kemaluan) sebuah, kaki dua buah, tangan dua buah, perut sebuah, pantat sebuah, (pelepasan) sebuah. Mengenai sajen yang dipersiapkan adalah daksina pejati untuk di Prajapati, bubur pirata, nasi angkeb, ketupat panjang, diuskamaligi, banten arepan, rantasan, bunga dan canang sari. Sanak keluarga melanjutkan untuk persembahyangan bersama yang diantar puja sulinggih. Selanjutnya abu dimasukkan ke dalam kelapa gading yang dibungkus dengan kain kuning dan hiasan bunga untuk dihanyutkan ke laut atau ke sungai yang bermuara ke laut dengan sajen yang diperlukan: seperti daksina, peras, dan wangi-wangian. Dengan selesainya nganyut, maka proses pelaksanaan Sawa Wedana telah usai, namun tahapan berikutnya dilanjutkan dengan upacara Atma Wedana atau Nyekah/ Mukur/Maligia atau ada juga dikenal upacara Ngerorasin.
c. Upacara Asti Wedana
Asti Wedana merupakan upacara ngeseng sawa/membakar mayat tersebut di mana mayatnya telah pernah dihanyut sebelumnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengupacarai tulangnya kalau kemungkinan itu didapat Tata pelaksanaannya adalah dengan mengadakan permakluman di Prajapati di Pura Dalem dengan menghaturkan sajen berupa peras, penyeneng, daksina, suci, segehan dan canang. Sebagai simbul dari yang akan diaben dibuatkan tegteg, dilanjutkan dengan upacara ngulapin di Merajapati, sajen yang disuguhkan seperti: peras, daksina, pengulapan, sesayut, segehan, dan canang sari. Kemudian dilaksanakan upacara Ngangkid (menggali tulang), dengan persembahan sajen berupa: suci, peras, penyeneng, daksina, punjung, dan segehan. Sebelum dilakukan penggalian tulang maka ada upacara penyemblihan ayam bulu hitam dengan sajennya: daksina, peras, dan suci. Setelah tulang-tulang didapatkan terus dibakar di setra sampai menjadi abu dan dimasukkan ke dalam kelapa gading yang selanjutnya untuk dihanyut ke sungai yang bermuara ke laut atau langsung dihanyutkan ke laut, yang prosesnya sama dengan upacara Sawa Wedana.
d. Upacara Swasta
Swasta merupakan upacara ngeseng sawa di mana mayat dari seseorang yang tidak mungkin dapat ditemukan lagi, karena meninggalnya seperti Tenggelam/hanyut, atau karena terlalu lama dikubur sehingga tak diingat lagi, sehingga mayat tersebut dapat diwujudkan dengan membuat kusa sarira (jalinan daun alang-alang), air, dan yang lainnya. Kusa sarira ini diwujudkan seperti tubuh manusia, kalau menggunakan toya sarira ditambah dengan bunga-bungaan yang diiringi puja mantra pandita atau pinandita. Wujud kusa sarira itu dibakar yang pelaksanaannya sama dengan upacara Sawa Wedana seperti yang telah diuraikan di depan.
Ngelungah juga merupakan upacara Pitra Yajna, karena yang diupacarai adalah arwah dari anak-anak yang telah meninggal, khususnya anak-anak yang belum tanggal giginya. Sedangkan anak-anak yang telah tanggal giginya upacaranya sama dengan upacara untuk orang dewasa.
Adapun tata cara pelaksanaannya yaitu: dengan mempermaklumkan ke Pura Dalem dengan menghaturkan canang meraka, daksina, ketipat kelanan, telur bekasem, segehan putih kuning, dan banten peras, daksina, canang, ketupat untuk persembahan di Mrajapati, sebagai permakluman di Sedahan Setra disuguhkan canang meraka, ketupat kelanan. Kemudian piuning pada lubang/bangbang disuguhkan sorohan, pengambean, pengulapan, peras, daksina, kelungah nyuh gading yang disurati Om kara. Perlu diingat bahwa upacara Ngelungah ini tak dilakukan ngeseng sawa hanya dipendem saja, termasuk sajen-sajen yang dipersembahkan juga ditimbun.
e. Upacara Atma Wedana/Nyekah/Maligia/Mukur/Ngerorasin
Upacara Atma Wedana atau sejenisnya, merupakan kelanjutan dari upacara ngaben. Upacara ini bertujuan untuk menyucikan atma, agar dapat kembali ke asalnya atau bersatu dengan Hyang Widhi Wasa. Pelaksanaan upacara Atma Wedana ini adalah di rumah atau tempat yang telah ditentukan, sebagai simbul atma dibuatkan puspa sarira atau toya sarira yang diisi harum-haruman dan bunga-bungaan dan telah dipujai. Sarana sajen yang diperlukan seperti daun, buah, bunga, air, dan api. Setelah puspa sarira dibakar yang diiringi puja sulinggih, maka seluruh keluarga sembahyang bersama untuk menyembah Hyang Widhi dan Sang Pitara. Kemudian abu puspa sarira itu dihanyut ke laut atau sungai yang bermuara ke laut. Dengan demikian upacara Atma Wedana telah berakhir, dengan harapan roh leluhur dapat mencapai surga atau moksa. Demikianlah pelaksanaan upacara pitra yajna yang bermula dari proses sawa prateka sampai pada upacara Atma Wedana.
Referensi:
Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 185-192
0 Response to "Pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya dalam Agama Hindu"
Post a Comment