Pengertian dan Tujuan Pitra Yajña dalam Agama Hindu

HINDU ALUKTA -- Pengertian dan Tujuan Upacara Pitra Yajña. Materi pokok bahasan tentang pitra yajña berawal dari yajña, yajña berarti pemujaan, persembahan atau korban suci baik material maupun non material berdasarkan hati yang tulus ihklas, dan suci murni demi untuk tujuan-tujuan yang mulia dan luhur. Yajña pada hakikatnya bertujuan untuk membebaskan manusia dari ikatan dosa, ikatan karma untuk selanjutnya dapat menuju pada”kelepasan” atau moksa. Yajña adalah salah satu dasar-dasar atau landasan dharma.


Yajña adalah wajib untuk dilakukan, karena alam ini diciptakan dan dipelihara oleh yajña itu sendiri, sehingga dengan demikian yajña dapat dibagi menjadi: a) Dewa Yajña, b) Rsi Yajña, Pitra Yajña, c) Bhuta Yajña, dan Manusia Yajña (Wandari, dkk 2008:1). 

Tuhan Yang Maha Esa adalah maha kuasa. Tuhan adalah sebagai maha pencipta. Semua yang ada di dunia ini merupakan ciptaan-Nya. Seperti halnya tumbuh-tumbuhan, binatang, dan juga termasuk manusia. Manusia diciptakan oleh Tuhan ke dunia ini agar dapat berbuat kebaikan yang sebanyak-banyaknya untuk kepentingan dharma dan untuk membela kebenaran yang bersumber pada ajaran-ajaran agama Hindu yaitu kitab suci Weda. Manusia hidup selalu bermasyarakat dan hidup bersama-sama. 

Manusia tidak bisa hidup menyendiri dan selalu bergantung satu dengan yang lainnya. Manusia berupaya untuk dapat membangun dirinya sendiri. Tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga demi pembangunan Nasional Indonesia yang sedang digalakkan oleh pemerintah dewasa ini. Pembangunan hendaknya dilakukan secara menyeluruh dan seimbang antara pembangunan fisik dan pembangunan non fisik.

Berikut ini mari kita renungkan sejenak sebagaimana yang diisyaratkan dalam Kekawin Niti Sastra, yang menegaskan sebagai berikut:

“Kramaning dadi wwang ana ring bhuwana pautanganta ring praja, ri sirang munindro nguniweh sang atiti gamaneka sambraman, athawa muwah wapita rahyang amara rena yogya kingkingen, panahurta ring pitara potraka luputakening yamalaya.” (Niti Sastra, IX. 2)

Terjemahan:

Manusia di atas dunia ini mempunyai kewajiban terhadap sesamanya. Orang yang suci, apalagi tamu, wajib diperlakukan dengan hormat, terlebih-lebih kewajiban kita terhadap orang tua, orang-orang suci, dan dewa-dewa, harus selalu diingat, sebagai anak kiah berkewajiban melepaskan nenek moyang kita dan tempat kediaman Betara Yama.

Dengan demikian bahwa dalam hidup ini manusia telah diwajibkan untuk menghormati sesama, baik tamu, orang tua, orang-orang suci, maupun para Dewa.

Dalam hidup bermasyarakat penghormatan terhadap semua yang tersebut di atas dapat dilaksanakan, dan ini berarti bahwa hidup bermasyarakat adalah arena untuk menunaikan kewajiban hidup termasuk disini melaksanakan upacara Pitra Yajna, walaupun dengan memberikan penghormatan terhadap sesama dan juga orang tua.

Dalam kehidupan berumah tangga atau berkeluarga, maka yang menjadi tujuan utama adalah agar keluarga yang bersangkutan mempunyai keturunan atau sentana. Keturunan itulah nantinya yang akan menyelamatkan dan memberikan persembahan serta penghormatan telah adap orang tuanya, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. 

Bagaimanapun melarat dan sengsaranya orang tua itu, maka wajib Si anak itu untuk bersikap hormat dan bakti terhadap orang tuanya sendiri. Sungguh nista sekali bagi seorang anak atau putra itu yang tidak mau menghormati atau bersikap angkuh terhadap orang tuanya. Dengan demikian jelaslah bahwa seorang anak atau putra yang baik (suputra), bijaksana, dan pandai adalah mampu menerangi seluruh keluarganya. 

Dalam ajaran agama Hindu bahwa seorang anak di dalam hidupnya harus dapat berbuat sesuatu terhadap orarg tuanya, artinya disamping bersikap hormat, kasih sayang, dan melindungi ketika masih hidup, juga harus menolong atau menyelamatkan arwaharwah mereka (orang tuanya) atau leluhurnya dan neraka (penderitaan). 

Ini disebabkan oleh anak mempunyai utang budi (pitra rnam) kepada orang tua atau leluhurnya. Orang tua (bapak dan ibunya) yang melahirkan sehingga anak dapat hidup, serta orang tualah yang memeliharanya. Tidak ada kasih sayang yang melebihi kasih sayang orang tua. 

Oleh karena itu seorang anak harus dapat membalas budi baik orang tua dengan menolong dan menyelamatkan orang tua dan penderitaan dan kesengsaraan.

Bila anak berbuat baik terhadap orang tua, tentu ada pahalanya sebagaimana ada dinyatakan dalam Sarasamuscaya yang berbunyi:

Pahala hormat bakti terhadap orang tua, adalah empat jenis hal yang bertambah perinciannya kirta, ayusa, bala, yasa: kirti artinya pujian tentang kebaikan, ayusa artinya hal hidup (kehidupan), bala artinya kekuatan, yasa artinya peninggalan yang baik (jasa), kesemuanya itulah yang bertambah sempurna sebagai pahala hormat bakti terhadap orang tua (Sarasamuccaya, 250).

Menyimak makna ayat suci di atas, maka betapa besarnya pahala seorang anak yang bhakti dan hormat terhadap orang tuanya.

Ia akan mendapatkan empat jenis kemuliaan, kebaikan, kehidupan, kekuatan dan nama baik yang ditinggalkan. Selanjutnya ada pula dinyatakan bagaimana pahala seorang anak yang berbakti terhadap orang tuanya, berikut ini ada ditegaskan dalam Lontar Putra Sasana, sebagai berikut:

Adapun pahala seorang suputra, yang sempurna dan berbuat dharma termasyur susila, damai dan berbudi mulia, setiap orang mengasihinya, sama-sama mengaku keluarga, semua jatuh hati melihatnya, oleh karena Tuhan telah memastikan orang yang suputra unggul di antara semua makhluk.

Semoga tenang dalam menghembuskan napas terakhir, dalam perjalanan ke surga dan semoga mencapai moksa, semoga sempurna semuanya.

Setelah ucapan doa usai, maka jenazah ditidurkan di tempat yang aman, posisinya tengadah, tangan diletakkan di atas perut, kakinya diluruskan, mata dan mulutnya ditutup /dikatupkan, bagian tubuh jenazah digosok dengan air cendana agar tidak kaku, namun dewasa ini terkadang ada yang disuntik dengan cairan formalin agar tidak berbau (busuk), selanjutnya seluruh bagian tubuh mayat ditutupi kain putih yang sukla (bersih). 

Biasanya sebelum mayat itu dimandikan, maka perlu dipersiapkan perlengkapanperlengkapan, seperti kain putih atau kasa secukupnya, peti mayat atau keranda yang sesuai dengan ukuran mayat yang telah disasapi, balai tempat memandikan mayat atau pepaga, disiapkan lubang kuburan yang dipilih pada setra desa adatnya masing-masing atau sesuai tradisi setempat, mempersiapkan peralatan untuk memandikan mayat yang bersih atau air kembang, kumkuman, saang, sikat gigi. 

Setelah perlengkapan di atas dapat disiapkan, maka dilanjutkan dengan memandikan mayat atau sawa yang dipimpin oleh pandita atau pinandita setempat yang diiringi puja”Bila seseorang telah suci atau asal ia menghilangkan segala keinginan pada saat memusatkan pikirannya kepada Hyang Widhi, maka sucilah ia lahir batin. Terkadang juga diiringi nyanyian keagamaan pada saat memandikan tersebut.

Baik pada saat memandikan mayat, mengantarkan mayat sampai di setra, serta saat memendem mayat di setra, maka sanak keluarga dapat mengiringinya dengan nyanyian keagamaan (dengan kekawin atau juga bisa dengan membacakan ayat-ayat suci yang terdapat dalam kitab suci Bhagavadgita, Sarasamuccaya, maupun kitab suci lainnya), dengan maksud bahwa melalui nyanyian suci kita mendoakan agar roh suci leluhur mencapai kebahagiaan di dalam akhirat atau dapat mencapai moksa menuju surga. 

Berikut ini maka kita simak makna beberapa sloka yang dapat dijadikan renungan kesucian tatkala melaksanakan upacara Pitra Yajña, bagaimana sesungguhnya hakikat hidup atau menjadi manusia, pengaruh perbuatan baik manusia, hakikat kematian bagi manusia, dan bagaimana renungan saat kematian manusia itu.

Beberapa ayat suci di atas dapat dibacakan atau dinyanyikan dengan penuh keheningan dan khidmat agar pelaksanaan upacara dapat berlangsung tertib dan lancar yang membangkitkan suasana kesucian. 

Setelah tiba di setra terlebih dahulu dilakukan permakluman ke hadapan Hyang Prajapati, Hyang Ibu Pertiwi, maupun Sedahan Setra. Sebelum mayat dipendam (dikubur) diusung dan diputarkan tiga kali arah ke kiri seperti yang telah dilakukan di perjalanan khususnya di perempatan atau pertigaan jalan menuju setra, ini mengandung makna utpethi stithi, dan pralina.

Usungan mayat yang dibungkus dengan peti sedikit dibuka untuk diperciki tirta yang diperlukan dan dapat ditutup kembali selanjutnya mayat diturunkan ke lubang mayat yang telah disediakan, dimana bagian kepala mayat diletakkan pada arah hulu serta posisinya dimiringkan seterusnya sudah bisa ditimbun oleh sanak keluarga dengan menggunakan tangan dan timbunan berikutnya diteruskan dengan menggunakan cangkul hingga permukaan berbentuk gundukan dan di atasnya diisi sajen-sajen yang telah disiapkan diiringi puja mantra agar atma orang yang meninggal dapat mencapai tujuannya. 

Dengan demikian berakhirlah pelaksanaan sawa prateka (upacara kematian) yang bermula dan saat hembusan napas terakhir hingga mendem sawa (penguburan mayat). Upacara kematian ini juga dikenal dengan upacara Antyesti Samskara.

Upacara Ngaben merupakan tingkatan dalam suatu upacara pitra yajña. Dalam upacara Ngaben yang diutamakan adalah pengembalian badan wadah manusia ke unsur asalnya yaitu Panca Maha Bhuta, seperti yang berasal dari unsur tanah kembali ke tanah (pertiwi), yang berasal dari unsur air kembali ke air (apah), yang berasal dari unsur panas kembali ke panas (teja), yang berasal dari unsur udara (hayu), dan yang berasal dari unsur akasa kembali ke akasa (ether). Ngaben mengandung makna sebagai upacara pembakaran mayat agar menjadi abu. 

Upacara Ngaben merupakan penyelesaian terhadap jasmani orang yang telah meninggal menurut ajaran agama Hindu. Upacara Ngaben disebut juga Upacara Palebon atau Atiwa-tiwa. Istilah tiwah sampai sekarang digunakan di daerah Toraja dan Pedalaman Kalimantan.

Adapun jenis upacara yaitu: upacara Sawa Wedana, upacara Asti Wedana, Upacara Ngelungah. Upacara Sawa Wedana adalah upacara ngeseng sawa/membakar mayat) cara langsung dimana?yang meninggal dibawa ke setra untuk pelaksanaan pembakaranya. Mengenai pelakanaannya dengan proses pelaksanaan sawa prateka, namun sebelum mayat digeseng atau dibakar perlu dipersembahkan bubur pirata putih kuning dua tanding, canang tujuh tanding, dan beras catur warna (merah, putih, kuning dan hitam) yang ditaruh di atas dada mayat dan dibagian kepala mayat diperciki tirta penembak/pemanah, tirta pengelukatan, tirta pangentas, dan tirta dari kahyangan. Selanjutnya mayat siap untuk dibakar dengan api suci (api yang mendapat puja/mantra dari pandita atau pinandita yang memimpin upacara). 

Setelah menjadi abu kemudian direka (dibuat wujud manusia) yang diisi dengan perlengkapan kewangen yang berjumlah dua puluh dua, masing-masing ditaruh di ubunubun sebuah, ulu hati sebuah, dikerongkongan sebuah, pusat sebuah, antara pusat dengan kemaluan sebuah, antara kemaluan dengan pantat sebuah, mata dua buah, telinga dua buah, hidung dua buah, mulut sebuah, (kemaluan) sebuah, kaki dua buah, tangan dua buah, perut sebuah, pantat sebuah (pelepasan) sebuah. 

Mengenai sajen yang dipersiapkan adalah daksina pejati untuk di Prajapati, bubur pirata, nasi angkeb, ketupat panjang, diuskamaligi, banten arepan, rantasan, bunga dan canang sari. Sanak keluarga melanjutkan untuk persembahyangan bersama yang diantar puja sulinggih. Selanjutnya baru dimasukkan ke dalam kelapa gading yang dibungkus dengan kain kuning dan hiasan bunga untuk dihanyutkan ke laut atau ke sungai yang bermuara ke laut dengan sajen yang diperlukan, seperti daksina, peras, dan wangi-wangian.

Dengan selesainya nganyut, maka proses pelaksanaan Sawa Wedana telah usai, namun tahapan berikutnya dilanjutkan dengan Upacara Atma Wedana atau Nyekah/ Mukur/Maligia atau ada juga dikenal upacara Ngerorasin.

Swasta merupakan upacara ngesetawa di mana mayat dari seseorang yang tidak mungkin dapat ditemukan lagi, karena meninggalnya seperti tenggelam, hanyut, atau karena terlalu lama dikubur sehingga tak diingat lagi, sehingga mayat tersebut dapat wujudkan dengan membuat (jalinan daun alang-alang), air, dan yang lainnya. 

Kusa sarira ini diwujudkan seperti tubuh manusia menggunakan toya sarira ditambah dengan bunga-bungaan yang diiringi puja mantra pandita atau pinandita. Wujud kusa saria itu dibakar yang pelaksanaan sama dengan upacara Sawa Wedana seperti yang telah diuraikan di depan Upacara Nglungah. Ngelungah juga merupakan upacara Pitra Yajña, karena yang diupacarai adalah arwah dan anak-anak yang telah meninggal, khususnya anak-anak yang belum tanggal giginya.

Bagi orang yang meninggal di Bali menggunakan ”Rerajahan Kajang”, rerajahan adalah Anugrah Dang Hyang Nirarta, dengan mengubah Aksara Jawa menjadi Aksara Bali sekitar tahun 1489 dibawah kekuasaan Dalem Waturenggong, yang sangat termasyur diantara raja-raja sebelumnya. Sesuai dengan jejak pemerintahan ayahnya (Dalem Ketut Ngelesir) perhatian pada umumnya dan penduduk Bali Asli. 

Yang berjasa mendapat penghargaan dan yang rendah budinya dihukum. Baik terhadap rakyat maupun terhadap menterinya yang bersalah, seperti dalem Bungkut yang berkuasa di Nusa ditahan, karena berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk Bali asli.

Pada masa inilah datang di Bali, penghulu Agama Siwa yang terbesar, yang disebut Pedanda Sakti Wawu Rauh. Beliau inilah yang mengubah bangun huruf Jawa Hindu sebagai yang dikenal hingga sekarang. Intinya diberikan penghargaan berupa tanah, dan berupa aksara suci untuk mengantar roh menuju sorga, bagi para abdi yang berjasa kepada baginda Raja Klungkung 1489. 

Secara konsep,”Rerajahan Kajang”, terdiri dari tiga bagian yaitu Nista, Madya dan Utama. Dibawah ini adalah kajang Utama, yang kiri kajang Utama, oleh Kt.Gde Sudika, ditengah dan kanan Kajang Madya/Nista. Watra, dkk (2007:13,26)

#Tujuan Pitra yadnya

Sebagaimana pelaksanaan upacara untuk para Dewa dan para Rsi atau orang suci agama yang diuraikan sebelumnya, maka upacara Pitra Yajna juga sama halnya yaitu mengandung makna tertentu yaitu sebagai persembahan yang tulus iklas ke hadapan para leluhur atau orang tua telah meninggal dengan berbagai rangkaian upacaranya.

Kalau kita perhatikan hakikat pelaksanaan yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu berarti untuk menembus atau membayar utang atau menunaikan kewajiban agama yang memiliki nilai kesucian. Adanya tri rnam yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu untuk menebusnya dengan berbagai persembahan yang ikhlas, seperti halnya kepada orang tua atau leluhur kita. Persembahan pada leluhur dimaksudkan agar dapat melepaskan segala penderitaan yang pernah dialaminya pada masa kehidupan di dunia ini.

Perwujudan rasa hormat umat Hindu kepada para leluhur diwujudkan dengan usaha membebaskan Sang Atma dari ikatan jasmani, ikatan duniawi, dan meningkatkan kesuciannya, agar bisa mendapat tempat yang baik di alam akhirat atau mencapai surga (swah'loka). Salah satu usaha yang ditempuh adalah dengan menyelenggarakan upacaraupacara yang bersifat penyucian yang dilakukan dengan memperalina, yang dikenal dengan Upacara pitra Yajna.

Jadi, yang menjadi tujuan dari pelaksanaan upacara Pitra Yajna adalah :
  1. Memberikan persembahan yang iklas pada para leluhur.
  2. Untuk menyelamatkan orang tua atau roh leluhur kita.
  3. Untuk mengembalikan jasad atau badan wadag ini ke alam asalnya yaitu Panca Maha Bhuta seperti perthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa.
  4. Menyucikan roh orang tua yang telah meninggal sehingga dari preta berubah menjadi Pitara.
Demikian beberapa tujuan dari pelaksanaan upacara Pitra Yajna dan mengenai tingkatan upacaranya lebih lanjut akan diuraikan dalam bahasan berikut ini:

Referensi:

Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 179-185

0 Response to "Pengertian dan Tujuan Pitra Yajña dalam Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel