Pengertian dan Tujuan Pelaksanaan Upakara Bhuta Yajña
HINDU ALUKTA -- Pengertian dan Tujuan Pelaksanaan Upakara Bhuta Yajña. Bhuta yajña yaitu dengan mempersembahkan tawur atau Caru sebagai upacara selamatan kepada para bhuta, sebagaimana yang ditegaskan di atas dinamai Bali Krama, atau Wali Krama yang lebih dikenal dengan istilah dalam Bhuta yajna yaitu Panca Walikrama dan juga ada istilah dikenal dengan nama Eka Dasa Ludra, yang juga merupakan tingkatan pelaksanaan upacara bhuta yajña.
#Tujuan Upacara Bhuta yajña
- Untuk memelihara kesejahteraan dan ketentraman alam semesta
- Sebagai wujud rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Para Dewa, leluhur dan unsur kekuatan alam yang secara filosofis menggunakan tumbuh-tumbuhan serta binatang/hewan dalam upacara bhuta yajña yang bertujuan untuk pembebasan dan peningkatan terhadap jiwanya.
- Untuk mengusir roh-roh jahat dan kekuatan alam yang mengganggu kehidupan manusia.
- Memberikan kesenangan dan kenyamanan terhadap roh-roh, para bhuta, dan kala agar tidak mengganggu atau setidak-tidaknya mau memberikan jalan yang benar dan kelancaran upacara itu.
- Untuk membebaskan diri dari unsur-unsur jahat yang sering mengganggu pikiran manusia sehingga tidak terjerumus kelembah penderitaan, (Wisma Karma, 1986).
Kewajiban Amat Hindu untuk melakukan persembahan atau yajña yang jumlahnya ada 5, dalam ajaran agama Hindu yakni:
“rsi yajnam dewa yajnam
Bhuta yajnam ca sarwada
Nryjana ca yatha sakti na hapyat”
Terjemahan:
Hendaknya jangan lupa, jika mampu melaksanakan rsi yajña, dewa yajña, bhuta yajña dan pitra yajña (Pudja, Tjok Rai Sudharta, 2003:217).
Selanjutnya Tim Penyusun menjelaskan (2000:109-139), menguraikan bahwa; Bhuta-Yajña” adalah suatu korban suci yang bertujuan untuk membersihkan tempat (alam beserta isinya), dan memelihara serta memberi “penyupatan” kepada para bhutakala dan makhluk-makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia.
Dengan demikian pembersihan itu mempunyai dua sasaran yaitu:
- Pembersihan terhadap tempat (alam) dan gangguan dari pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para bhuta-kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia seperti tersebut di atas.
- Pembersihan terhadap Bhuta-Kala dan makhluk-makhluk itu, dengan maksud untuk menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada padanya, sehingga sifat baik dan kekuatannya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan alam. Hendaknya disadari kehidupan kita ini memerlukan pula kekuatan-kekuatan dari mereka, misalnya untuk menjaga rumah, menjaga diri sendiri dan sebagainya.
Pemeliharaan yang dimaksudkan disini adalah untuk menjaga agar mereka tetap bersifat baik serta berada atau bergerak menurut jalannya masing-masing, sehingga tidak menimbulkan gangguan kepada alam dan isinya. Suatu yang kelihatannya agak berlawanan adalah pemeliharaan terhadap para “binatang”. Seperti diketahui bahwa bentuk upakara Bhuta-yajña di Bali khususnya, mempergunakan banyak jenis hewan. Makin tinggi tingkatan upakara itu, makin banyak pula hewan yang dipotong untuk yajña tersebut. Sehingga sepintas lalu seolah-olah tidaklah ada unsur-unsur pemeliharaannya. Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut “Puja” dan Pengelepas perani/pati kewenang”, yang diucapkan pada waktu upacara “mepepada” dan setiap akhir suatu yajña, menunjukkan bahwa unsur pemeliharaan disini tidaklah bersifat nyata seperti memberi makan, mengobati, dan sebagainya, melainkan lebih bersifat abstrak/rohaniah yaitu meningkatkan hidup para binatang itu dari alam hewan ke alam manusia. Jadi lebih bersifat “penyupatan”, kepadanya. Dengan menjelmanya dia sebagai manusia kelak, agar dapat berbuat kebajikan, sehingga dia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya (memperbaiki “karma”nya).
Sebagai contoh dari “pengelepas perani” itu adalah sebagai berikut:
Ong indah ta kita pada, saking purwa desa sinangkan ta pamuliha kita maring purwadesa, menembah ta kita maring Sang Hyang Iswara.
ONG SANG namah linggan ta. Wus samangkana pasangsarga kita ring Sang Hyang Iswara, aywa ta kita tan mangantitiakena katuturan ira Sang Hyang Dharma, tutur-tutur aywa lali, enget-enget aywa lupa, nahan teka ring dalem kepatian. Yan kita dadi jadma dadi ya kita ‘wiku sakti”, saguna kayanta aturakena ring ulun apan ulun umantukena ri kita.
ONG SANG Sadya ya namah.
Demikian pula halnya dengan hewan yang berkaki empat, perginya ke Selatan. Untuk segala jenis ikan, pergi ke Utara segala yang berjalan dengan dada, pergi ke Barat, dan seterusnya termasuk jenis daun-daunan, pohon-pohonan pergi ke Tengah. Yang dimaksud dengan “penyupatan” dalam hal ini adalah untuk mengembalikan mereka ke tempat/kepada asalnya dan memberi peningkatan yang lebih sempurna kepadanya. Di dalam beberapa lontar seperti Widi-sastra, Yama-tatwa, Leburgangsa, disebutkan bahwa salah satu yang menjadi Bhutakala; peri, jin, setan dan lain-lain, yang sejenis dengan itu adalah dewa-dewa atau roh-roh yang terkutuk karena dosa-dosanya/kesalahannya, serta diturunkan ke dunia untuk mencari “penyupatan”. Sebagai contoh misalnya adalah terkutuknya Dewi Uma menjadi Durga Dewi, kemudian ‘disupat” oleh Sahadewa (dalam cerita Sudamala); terkutuknya roh Prabu Nahusa menjadi seekor naga yang berbisa, kemudian ‘disupat” oleh Sang Bima dan Prabu Yudistira (dalam cerita Wana-Parwa) dan lain-lainnya.
Sesuai dengan tujuannya maka Upakara-yajña itu dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu:
- Upakara-upakara yang berfungsi sebagai pembersihan, misalnya ‘byakla’, ‘prayascita’, ‘durmenggala’, ‘caruresigana’, ‘panca-kelud’, dan sebagainya. Upakara-upakara ini dapat dipergunakan sebagai pendahuluan dari suatu yajña, pembersihan terhadap suatu tempat, diri sendiri dan lain-lainnya. Pada umumnya upacara ini dilakukan di halaman (‘sanggah’ atau ‘pura’) kemudian diakhiri di jaba (di jalan). Apabila upacaranya lebih besar (upakaranya lebih banyak), maka setelah upacara, kotoran/sampahnya dibuang ke kali atau ke laut (sekarang dibakar atau ke tempat bak sampah).
- Upakara yang berfungsi sebagai pemeliharaan dan ‘penyupatan’ terhadap para ‘bhuta kala’ dan makhluk-makhluk tersebut, misalnya ‘segehan kepel’,‘segehancacahan’,‘segehan-agung’, ‘gelar-sanga’, dan beberapa jenis caru. Upakara ini dapat dipergunakan sebagai persembahan biasa dan menyertai setiap yajña.
Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan yajña yang bersangkutan atau setelah yajña itu selesai. Dalam keadaan yang biasa upacara ini dilakukan pada tiga tempat yaitu: Di halaman merajan, ditujukan ke hadapan Sang Bhuta Bucari. Di halaman rumah, ditujukan ke hadapan Sang Kala Bucari. Di halaman luar (di jaba) ditujukan kepada Sang Durga Bucari.
Bila dihaturkan di halaman “pura”, maka banten ini ditujukan kepada para pengikut dari Ida “Bhatara-Bhatari” yang ada di “pura” tersebut. Dalam upacara-upacara yang lebih besar, sudah tentu upakara-upakara tersebut akan dihaturkan sesuai dengan puja pengantarnya.
Upacara-upacara “Bhuta-yajña’ yang tersebut di atas adalah dalam arti yang umum, karena masih banyak jenis upacara dari upakara “Bhuta-yajña” yang dipergunakan pada waktu-waktu/tempat-tempat yang tertentu misalnya di bawah tempat tidur, di sawah, di dapur, dan sebagainya.
Kiranya setiap agama mempunyai dasar pengorbanan untuk mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi, misalnya: Di dalam agama Islam, mengenai adanya Idhul Korban (Idhul-Adha), Agama Kristen/Katolik, menganggap Yesus Kristus telah mengorbankan dirinya untuk keselamatan para pengikut beliau, sedangkan bagi umat Hindu mengenal adanya Upacara Bhuta-Yajña”.
Secara sederhana dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa “Bhuta-yajña” itu berfaedah bagi yang dijadikan korban, karena “rohnya” ditingkatkan, yang menerima korban, yaitu dapat berguna bagi keharmonisan alam, atau kembali kepada asalnya dan bagi yang melakukan yajña itu sendiri, karena dapat melakukan kewajiban sebagaimana yang ditunjukkan oleh ajaran agama.
Yaitu berbuat demi keharmonisan alam beserta isinya. Di dalam Bhagawad-Gita disebutkan:
niyatam kuru karma twam karmajyayo hy akarmanah sarirayãtra pi ca te na prasidhad akarmariah
Terjemahan:
Lakukanlah pekerjaan yang diberikan kepadamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya. Daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara dirimu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.
karmanai va bi samsiddhim asthita janakadayah lokamsamgrahan eva’ pi sampasyamkartum arhasi
Terjemahan:
Hanya dengan perbuatan Prabu Jantaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kami harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk pemeliharaan dunia.
#Pelaksanaan Upakara Bhuta Yajña
Pada umumnya untuk melakukan sesuatu “yajña” akan diperlukan air dan api. Di dalam “Dewa-yajña” “Resi yajña”, “Pitra-yajña’ dan “Manusa-yajña’, dipergunakan “air biasa” dan dupa atau “pasepan” sebagai tempat apinya. Tetapi di dalam “Bhuta-yajña” sedapat mungkin mempergunakan, “api-takep” dan Tetabuhan”. “Api-takep”, adalah api yang ditaruh pada dua kupak serabut yang letaknya sedemikian rupa (bersilangan). Mengenai maksud dan penggunaan “api-takep”. Api yang ditaruh pada serabut kelapa kadang-kadang menimbulkan loncatan api yang mungkin membahayakan. Dan kalau sudah ditutupi kiranya loncatan api itu dapat dikurangi, walaupun mungkin apinya akan bertambah besar. Di samping itu kalau diperhatikan bentuk “api-takep” itu akan mendekati bentuk “tampak-dara” (swastika yang netral).
Sedangkan yang dimaksud dengan “tetabuhan” adalah lima jenis zat cair, yaitu; tuak, arak, berem dan air. Penggunaan darah dalam hal ini sering juga disebut “Sabuh-rah” (tabuh rah). Di dalam pelaksanaannya masing-masing zat air itu akan dituangkan tiga kali, demikian pula halnya dengan “sabuh rah, diusahakan agar darah itu terciprat, tiga kali cipratan darah ini biasanya diperoleh dengan jalan memotong ayam kecil atau itik atau babi kecil yang belum dikebiri. Untuk memperoleh tiga kali cipratan darah, akan dipotong leher dan kedua belah sayap atau kaki depannya, atau jika dikehendaki lima kali, maka yang dipotong adalah kakinya. Secara sederhana “tetabuhan”, ini adalah merupakan minuman bagi para “bhutakala”, peri, jin, setan dan lain-lain yang sejenis. Menurut kepercayaan lauk-pauk yang disukainya oleh para “Bhuta kala” tersebut adalah yang berbau amis, seperti berambang, jae, “jejeroan” yang mentah dan lain-lainnya.
1. Jenis-jenis “segehan”.
- “Segehan Kepel”.
Sebagai alasnya dipakai sebuah“taledan”, “tangkih” daun pisang. Di atasnya diisi dua “kepel” nasi putih, ikannya bawang, jae, dan garam. Di atasnya dilengkapi dengan sebuah “canang genten”/canang biasa”. Mengenai jumlah nasinya dapat dirubah-rubah, demikian pula warnanya sesuai dengan kepentingan atau kehendak seseorang, misalnya berwarna putih dan kuning berwarna merah, hitam dan putih dan sebagainya.
- Segehan Cacahan.
Sebagai alasnya dipakai sebuah “taledan” (daun) “tangkih’. Di atasnya diisi 6/7 buah “tangkih” yaitu lima buah daripadanya diisi nasi putih yang satu lagi diisi “bija ratus” (5 jenis biji bijian seperti jagung, “jagung nasi jawa, godem dan jali’), sedangkan “tangkih yang sebuah lagi diisi beras sedikit, “base tampel”, benang putih dan uang.Bila mengambil 6 buah “tangkih” maka “bijaratus” dan lain-lainnya itu dijadikan satu “tangkih”. Sebagai lauk-pauknya adalah bawang, jae dan garam, kemudian dilengkapi dengan sebuah “cananggenten”/biasa. Seperti pada ‘Segehan kepel’, maka nasi dan “Segehan” ini dapat pula diwarnai sesuai dengan kepentingannya.
- Penggunaannya
Kedua jenis “Segehan” ini penggunaannya dapat dipilih oleh yang bersangkutan, untuk melaksanakan upacara “Bhuta-yajña’ yang kecil/sederhana, seperti waktu “Keliwon”, Purnama, Tilem, ‘Piodalan Betara Saraswati”, “Pagerwesi”, ‘Rerahinan alit” (“ngebulan”) di “sanggah di “pura”, sehabis Otonan dan sebagainya. Untuk upacara “Dewayajña” banten ini dihaturkan di halaman “sanggah” ditujukan kehadapan ‘Sang Bhuta Bucari”, di halaman rumah, ditujukan kehadapan “Sang Kala Bucari” dan dijaba (di jalan) kepada “Sang Durga Bucari”.
- Segehan Agung.
Sebagai alasnya dipakai sebuah tempat yang agak besar (di Bali biasanya dipakai sebuah nyiru/tempeh). Di atasnya diisi 11 atau 33 buah ‘tangkih’, masing-masing diisi nasi, lauk-pauk dengan bawang, jae dan garam, kemudian dilengkapi dengan sebuah “daksina’ atau alat perlengkapan daksina itu ditaruh begitu saja pada tempat tersebut, tidak dialasi dengan bakul, dan kelapanya dikupas sampai bersih. “Sesegehan” ini dilengkapi dengan sebuah canang payasan” dan 11/33 buah canang genten/biasa ditambah dengan “jinah sandangan”. Sedangkan untuk menghaturkan “segehan ini disertai dengan “penyambleh” ayam kecil/itik/babi yang belum dikebiri (“kucit butuan”) yang masih hidup. Penggunaan “penyambleh” itu disesuaikan dengan kepentingannya dan tampatnya. Waktu menghaturkan, segala perlengkapan yang ada pada daksina itu dikeluarkan, sedangkan telur dan kelapanya dipecahkan diikuti dengan pemotongan “penyamblehan” dan akhirnya “tetabuhan”.
- Penggunaannya:
“Segehan” ini dipergunakan dalam upacara-upacara yang agak besar, dan kadang-kadang mempunyai sifat yang khusus seperti “piodalan di pura, menurunkan atau “memendak Ida Betara”, pengukuran tempat untuk suatu bangunan lebih-lebih bangunan suci, pembongkaran/“peletakan” batu pertama, untuk suatu bangunan suci dan selalu menyertai upakara “Bhuta-yajña” yang lebih besar. Di bawah ini adalah salah satu “puja” pengantar untuk “Segehan Agung”:
OM Sang Hyang Purusangkara, anugraha ring Sang Kala Sakti, Sang Hyang Rudra anugraha ring Sang Kala Wisesa, Sang Hyang Durga Dewi, anugraha ring Sang Dengen, ameng-ameng padenira paduka Betara Sakti anunggu ri bhumi, ring pura Parhyangan, natarpaumahan, di Dalem pasuguhan wates setra pabayangan, salwir lemah angker, manusa aweh tadah saji sira watek Kala Bhuta kabeh, iti tadah sajinnira sega iwak sambleh, asing kirang asing luput nyata pipis sabundel patukuna si raring pasar agung, pilih kebelanira-ajaken sangkalanira kabeh, nyah kita saking kene, apan sira sampun sinaksenan, wehana manusanira urip waras, dirgayusa.
OM Kala bhoktaya namah, Bhuta bhoktaya namah, Pisaca bhoktaya namah, Durga bhotaya namah
Ucapan waktu menuangkan “Tetabuhan”.
OM ebek Segara, ebek danu, ebek banyu-pramanah ingngulun.
2. ”Gelar Sanga”.
Gelar Sanga” ada dua (2) macam:
- “ Gelar Sanga Alit ” (akan dilengkapi).
- “ Gelar Sanga Ageng ”.
Alas dari “banten” ini lebih besar dibandingkan dengan di atas. Alas ini diisi nasi, lauk-pauk seperti “urab-uruban/obat-obatan’, sayur-sayuran, bawang, jae, masing-masing 9 tangkih” dan sate 9 biji.
Di tengah - tengahnya diisi sebuah “daksina penggolan’, dilengkapi dengan sebuah “kuwali” yang berisi sayur, daun kelor yang mentah, nira sagici, dan ‘tetabuhan”, “Banten” ini dilengkapi dengan 9 buah “Canang genten”/biasa, nasi dialasi dengan bakul, “balung” dan “karangan”. “Banten” ini dipujai seperlunya, lalu kelapa, telur dan perlengkapan lainnya seperti nasi, lauk-pauk dan sebagainya dituangkan ke dalam “kuwali” (telur dan kelapa dipecahkan), kemudian diaduk dengan sate dan diciprat-cipratkan.
Perlu kiranya dikemukakan bahwa “sate’ dan ‘Banten” ini hanya dimasak sebelah (“lebeng asibak”) sedangkan yang sebelah lagi dibiarkan mentah.
- Penggunaannya:
Upakara ini dipakai dalam upacara yang agak besar seperti “ piodalan” di “pura”/”sanggah” (ditaruh di depan “sanggah pasaksi”). Untuk “ngelebar Ida Batara” dan selalu menyertai upacara-upacara “Bhuta-yajña” yang lebih besar.
”Mantra banten Gelar Sanga”.
OM, indah ta kita Sang Bhuta Dengen, iringan ingoningon paduka Bhatara-Bhatari, Sang Bhuta Brahma turun, Sang Bhuta Putih, Sang Bhuta Janggitan, Sang Bhuta Langkir aranira, Sang Bhuta Kuning, Sang Bhuta Lembukenia aranira, Sang Bhuta Ireng, Sang Bhuta Taruna aranira, Sang Bhuta amanca-warna Angga-sakti aran sira, Sira ngilangaken Bhuta Dengen, iti tadah bhuktinira sega sewakul, iwak karangan lan balung gegending, sinusunan antiganing sawung anyar, sajeng saci, den pada amukti sari, sira awengaweng menawi wenten kirang punika pamuputnia, jinah satak lima-likur lawe satukel, sampun tan ana sredah, sira ring sang adrewe karya.
OM, ksama swamam paphebyo manadi Hyang namo, swaha.
3. “Byakaonan”.
Alas yang dipakai untuk “banten” ini sebuah “ayakan” (“sidi” dan bambu), kemudian di atasnya diisi” jejahitan” yang disebut “kulit sesayut”, “kulit peras” dan daun pandan yang berduri, dan selanjutnya berturut-turut diisi nasi yang dibungkus dengan daun pisang, ada yang berbentuk segi empat ada yang berbentuk segi tiga, “penek” yang disisipi bawang, jahe dan terasi mentah (“penek hamong”). Di sekitarnya diisi lauk-pauk, “jaja”, buah-buahan, “sampian nagasani” dan daun andong, “canang genten”/biasa dan beberapa perlengkapan lainnya seperti:
- “Pebersihan/pengeresikan”: sebuah “ceper” yang berisi sisig, “kekosok” (dan tepung beras) “tepung-tawar” (dan daun dadap, kunir dan beras yang ditumbuk), minyak dan “wija/sesari”, serta sebuah “sampian payasan”.
- “Isuh-isuh”, sebuah “ceper” yang berisi sebutir telur ayam yang mentah, (kadangkadang diganti dengan bawang yang dikupas sampai halus), sapu lidi, serabut yang dijepit (sabet) “ngad”, “base tulak” (“porosan”) yang ujung sirihnya berlawanan, dan sebuah “tangkih” yang berisi ramuan dan daun “kayu tulak”, “kayu sisih”, “kemurugan”, “padang lepas”, daun alang-alang dan daun dadap.
- “Amel-amel” : sebuah limas (“tangkih”) diisi daun dadap ujung dadap “padang lepas” masing-masing 3 buah, lalu diikat dengan benang merah, putih dan hitam (= benang “Tridatu”). Kemudian dilengkapi dengan sebuah “seet mingmang”.
- ”Sasak mentah”, sebuah limas yang berisi tiga kepel nasi yang disirami dengan darah mentah dilengkapi dengan bumbu-bumbu yang “dirajang” (“basa rajang”).
- “Seroan alit”, terdiri dan sebuah “peras”, “tulung”, dan “Sesayut”.
- “Padma”, (sejenis jejahitan dan janur, untuk mencipratkan tirta).
- Sebuah “Lis” “Pabyakalaan”, “Lis ageng” ini terdiri dari beberapa buah jejahitan atau anyaman dari janur seperti ‘tangga menek”, “tanggatuun’, “jajan sesapi”, “Lawat buah lawat nyuh’, “lilit linting”, “tulung”, “ancak”, “bingin’, “alang-alang”, “lawangan”, “tipat pusuh”, ‘tipat tulud”, “basang wayah”, “basang nguda’, “daun pisang”, “buah pinang”, “sembah”, “siku”, “siku”, “entud”, “kuku” (“kukun kambing”), “dinding”, “payung”, “tampak”, “tipat lelasan”, “tipat lepas”, dan semuanya itu dibungkus dengan sejenis “jejahitan” yang disebut ”takep-jit”, lalu diikat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti “base tampel’, serta digantungkan sebuah “tipat kukur” dan “dua kepeng uang”. Waktu upacara “lis” dipotong dengan tangan kiri dan ikatannya dibuka. Di dalam upacara-upacara yang biasa dapat dipergunakan “lis” yang kecil (“lis alit”, “lis padma”) saja (“babuu” tadi).
- “Penyeneng” sebuah ‘jejahitan” yang berpetak tiga dan diisi “tepung tawar’, “nasi sagau”, “wija/sesarik” dan “tetebus” dan benang, serta “porosan” dan bunga.
Kemudian untuk melaksanakan upacara “mabyakala” ini diperlukan perlengkapan seperti “kekeb” yang berisi “tampak dara kapur”, dan “tetimpug” yang dibuat dan 5/7/9 potong bambu yang masih kedua ruasnya, sehingga kalau dibakar akan menimbulkan suara/meletus.
- Penggunaannya:
Upakara ini dipergunakan sebagai pendahuluan dan setiap “Yajña” “penampahan Galungan”, menyertai ‘banten’ “Pedengen-dengenan”, “Caru” dan sebagainya.
- Jalannya Upacara:
Terlebih dahulu “tetimpug” itu dibakar di atas sebuah tungku sehingga berbunyi /meletus tiga kali, secara rohaniah hal ini adalah untuk memanggil para “bhuta-kala”, sedangkan secara lahiriah, hal itu merupakan suatu syarat/tanda bahwa upacara akan segera dimulai dan orang-orang yang berkepentingan agar datang ke tempat upacara. Kemudian dijalankan (diciptakan air biasa dengan bunga, selanjutnya menjalankan alat perlengkapan yang ada pada “pebersihan” dan “penyeneng” seperti” kekosok” (tepung), nasi” segau”, ‘tepung tawar”, dan sebagainya, lalu mencipratkan air lagi sekali dengan “bebuu”, kemudian dilanjutkan dengan menjalankan ramuan yang disebut “isuhisuh”, dilanjutkan dengan menyapu (“mengayabkan”) dengan sapu, sabet, dan telur ayam yang mentah. Setelah itu mencipratkan air dengan “lis pabyakala”, kemudian ‘tirta pabyakalaan dengan padma”, dan “pengelukatan/pebersihan” dengan bunga, akhirnya “mengayabkan” “banten” disertai dengan “metetabuh”. Apabila upakara ini dipakai di dalam upacara “Manusa Yajña”, maka setelah dihaturkan seperti di atas, orang yang bersangkutan diupakarai juga seperti di atas dan waktu “natab” “banten” tangan di arahkan ke belakang/ke samping.
Upacara ini dilakukan di halaman rumah atau halaman “Merajan” menghadap ke pintu masuk (‘pemesuan”).
- Catatan:
Pada waktu “ngayat” harus menghadap ke “teben/sor’ kalau “banten” itu berdiri sendiri (tanpa ada “banten” ke Dewa/Ida Betara”). Tetapi bila “banten segehan” itu bersifat “aturan” kepada “ancangan Betara”, maka “ngantebang” harus searah dengan Ida Betara.
- Beberapa buah “mantra”.
a) “Kekosok”.
Om Trena taru lata kebaretan kelinusan dening angin angampuhang mala wigna. Om siddhir astu ya namah swaha.
b) “Puja segau” dan ‘tepung tawar”.
Om sajnana asta sastra empu sarining wisesa, tepung tawar amunahaken, segau angeluaraken sakwehing sebel kandel lara-roga bhaktanmu.
c) “Wija/sesarik”.
Di dahi : Om Sri, Sri, Sri ya namo namah svaha.
Di bahu kanan : Anengen Bhagia Pulakertiasasangon.
Di bahu kiri : Angiwakaken Panca Baya.
Di punggung : Angunduraken Satrumusuh.
Di bawah kerongkongan : Angarepaken Phalabhoga.
Di hati : Angati-Ati Sabdarahayu.
Pada kedua belah tangan : Anangga Pana Sri Sedana.
Di kaki anandungana mas-pirak: OM Hrang, Hring, Sah Parama Siwa ditiaya namah svaha.
d) “Puja tetebus”.
Om raga wetan, angapusaken balung pila-pilu, angapusaken otot pila-pilu, tan kadi langge ning Sanghyang Surya, mangkana langgengning ngapusaken kang tinebastebas. Om sampurna ya namah svaha.
e) Menghaturkan air (yeh coblong”).
Om Ganga pawitrani svaha.
f) “Puja dari Isuh-isuh”.
OM Sanghyang Taya tan panetra, tanpa cangkem, tan pakarna, Sanghyang Tayajati sukla nirmala, sira angisuhi-suhing sarwa Dewata, angilangaken sarwa Bhuta, Dengen, Kala ring sarwa ta kabeh, Undur Doh, kita sarwa Bhuta, Kala Dengen, ring pada Betara Kabeh, aja kira masenetan ring manusa kabeh, nyah ta kita saking kulit, ring daging, ring walung, ring susum, mantuk ta kita ring Jamur jipang Sabrang Melayu. OM. AM. MAM, nama Sivaya svaha.
g) “Telur pada Isuh-isuh”.
Om antiganing sawung, pangawaking Sanghyang Gala Candu Sagilingan, kalisakna lara-rogha mala petaka kabeh, OM SAH Osat namah. OM Bam Bharnadewaya, Betara angiberaken lara rogha papa klesa mala wighna sarwa dewa-dewi ne kabeh, Om Sriyawe namo namah svaha.
h) “Mantra Lis”.
Pukulun ngadeg sira Sang Janur-Kuning, tumurun Bhatara Siwa, ulun angaturaken busung reka, busung ringgit, ron sarwa laluwes, mas aworana kumala-winten, angilangana sakwehing dasa-mala, sebel-kandel, awigna sudha, Tutuga ring sapta wredah. OM, Sriyawenamu namah svaha.
i) “Mencipratkan Tirtan Pabyakaonan”.
Pukulun Hyang Bhatara Kali, Bhatara Hyang Sakli, Sang Kala Putih, Sang Kala Bang, Sang Kala Pita, Sang Kala Ireng, Sang Kala Amanca-warna, Sang Kala Anggapati, Sang Kala Karogan-rogan, Sang Kala Pepedan, Sang Kala Sri, Sang Kala Patti, Sang Kala Sedahankala, aja sira anyangkalen manusanira ngastuti Hyang Dewa Bhatara ring Parhyangan sakti, reh ingsun angaturaken tadah sajinira. Bhatara Kala punika bhuktinen rudanira kabeh. OM. Kala-kalibhyo bhuktaya namah. OM. ksama sampurnaya namah, OM sarwa Kala laksana ksamam ya namah svaha.
4. “Prayascita-sakti”.
“Jejahitan” dari “Banten” ini sedapat mungkin mempergunakan “busung nyuh gading”, setidak-tidaknya “Lis-senjatanya” dan “padmanya”. Sebagai alasnya adalah sebuah “kulit sesayut” dan kadang-kadang berbentuk “tamas” kemudian di atasnya berturut-turut diisi:
“Kulit peras” dan janur (“busung”) yang bentuknya bulat daun “tabiabun” (mungkin dapat diganti dengan daun “tabia”/lombok biasa), 8 lembar yang dijahit menjadi satu serta bentuknya bundar (seperti padma), lalu di atasnya diisi nasi yang bentuknya juga bundar. Di atas nasi itu diisi lauk-pauk serta 5 iris telur dadar, yang diletakkan sedemikian rupa sehingga menunjukkan ke lima arah mata angin. Di beberapa tempat ada kalanya dilengkapi dengan 8 biji bawang putih (kesuna) yang dialasi dengan “kukun kambing”, (sejenis anyam-anyaman dan busung). Selanjutnya “banten” ini dilengkapi pula dengan buah-buahan, jajan, lauk-pauk,“sampian-nagasari”,“cananggenten”/”buratwangi”, penyeneng”,“pesucian/pengeresikan”, “babuu”, “padma”, Lis senjata’ (Lis, yang melukiskan 5/9/11 jenis senjata “nawa-dewata” seperti “hajra”, “gada”, “danda’, ‘cakra”, “angkus”, dan sebagainya), kelapa gading yang masih muda (“kelungah”) ‘di kasturi” (dibuka dengan bukaan yang berbentuk segi tiga), dan sebuah “banten” “peras kecil” (tumpengnya kecil’). Untuk melaksanakan “banten” ini harus mohon tirta kepada seorang Pandita atau yang ditugaskan oleh beliau.
- Penggunaannya:
Banten ini dapat dipergunakan sebagai pembersihan terhadap bangunan yang baru selesai/diperbaiki, sehabis “kecuntakaan” (“kesebelan”) seperti sehabis melahirkan (setelah berumur 42 hari) sehabis kematian, sebagai salah satu perlengkapan yang ditaruh di depan Pandita memuja (“eteh-eteh penglukatan”), dan selalu menyertai “banten byakaonan”, “Tebasan Durmengala”, serta jenis-jenis caru. Bila menyertai “banten Byakaonan” atau “Durmengala” maka “banten” dipakai setelah menghaturkan kedua jenis “banten” tersebut. Mantra banten Prayascita
Om Hrim, Srim , Nam , Mam , Swam , Yam , sarwa rogha wighna satru winasaya Rang Om Phat. Om, Hrim, Srim, Am, Tam, Sam, Bam, Tam, sarwa danda mala papa-kiesa winasaya Rah Um, Phat. Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, sarwa papa petaka winasaya Rah Um Phat. Om siddhi Guru Srom Sah Osat, Om sarwa wighna winasaya. Sarwa klesa winasaya, sarwa rogha winasaya, sarwa satru winasaya, sarwa dusta winasaya, sarwa papa winasaya, astu ya namah svaha.
5. ‘Tebasan Durmengala”.
Sebagai alasnya adalah “kulit sesayut”, kemudian diisi sebuah “tumpeng” yang disisipi “berambang”, jae dan terasi yang merah serta mentah. Mengenai “tumpengnya’ ini ada lontar yang menyebutkan berwarna hitam dan putih tetapi ada pula yang menyebutkan putih. Kemudian dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya “telur bekasem (telur asin), “rujak” 1 takir, kacang 3 “tangkih’, jajan, buah-buahan masing-masing jenis 5 biji/iris”sampian nagasari” “pesucian/pengeresikan”, “penyeneng”, “canang genten/” burat wangi”/sari”, “Lis” (dari janur kelapa hijau) “padma” dan sebuah “daksina” yang berisi benang satu “tukel”, wang 225, dan lain-lain selengkapnya. (untuk upakara ini sedapat mungkin dibuat dari janur kelapa hijau demikian pula “duwegannya” adalah “kelungah” kelapa hijau yang di “kasturi”).
- Penggunaannya:
Upakara ini dapat dipergunakan kalau ada kerusakan yang besar atau perbaikan yang agak besar, terjadi kelainan-kelainan di rumah atau tempat suci, (terjadi ke “durmengalan seperti “pura” terbakar, dihanyutkan oleh air, dirubuhkan oleh angin, ditimpa pohon-pohonan, ada “lulut”/ sejenis ulat yang bersambung-sambung) dan selalu menyertai upakara “Bhuta-yajña” yang agak besar.
“Mantra Tebasan Durmengala”.
Pakulun Sang Kala Purwa, Sang Kala Sakti, Sang Kala Brajamuka, Sang Kala Petre, Sang Kala Ngulaleng, Sang Kala Suksma aja sira pati panyinga aja sira pati paprotongi iti tadah sajinira, penek lawan bawang, jae mwang terasi bang, iwak anttiga, jinah satak lima likur, lawe satukel, manawi kurang tadahan nira, aywasira usil silih gawe, tukunen sira ring pasar-agung, iki jinah satak lima likur, lawe satukel, wehenta, senak rabinnira mwang putunnira, ndah sira lungha amarah desa, aja maring kene, den pada siddhir astu. OM. Kala bhyo bhokte hama svaha.
Catatan:
“Prayascita” dan “Tebasan Durmengala” pelaksanaannya hersama. Cuma “banten” “tebasan durmengala” terlebih dahulu di “ayabkan”, baru kemudian “Prayascita”.
6. “Caru Ayam Brumbun” (satu ekor)
Untuk upakara ini diperlukan seekor ayam “brumbun” yaitu ayam yang bulunya berwarna merah, putih, kuning dan hitam. Setelah ayam itu di potong (bulunya tidak dicabut) lalu dikuliti sedemikian rupa sehingga kepala, sayap dan kakinya masih melekat yang satu dengan yang lainnya. Dagingnya di “olah” dijadikan 3 jenis “uraban” (urabbarak, urab-putih) dan gegecok) dan 3 jenis sate (“sate lembat, sate asem dan sate calon”). Ketiga jenis “uraban” dan sate itu disebut “trinayaka” sebagai simbol jasmani ayam tersebut dan“aksara”nya adalahANG, UNG, MANG. Kemudian setelah semuanya masuk lalu dibagi (“ditanding”) menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
- Subuah “Karangan” (= “taledan” yang berisi “urab-uraban” tadi, dan sate tiap jenis 2 biji, serta di1engkapi dengan garam dan sambel). Nasi dialasi dengan sebuah bakul (nasi “sokan” dilengkapi dengan sirih “lekesan”, pinang dan “susur”). ‘Sampiannya” disebut “sampian nagasari”.
- “Kawisan”, sebuah taledan yang isinya seperti di atas, tetapi nasinya berbentuk “pangkonan”, diisi sebuah “Canang genten/biasa”.
- “Bayuhan”, “taledan” yang berisi “urab-uraban” dan sate tiap jenis satu biji. Membuat 8 “tanding”. Nasinya adalah “tumpeng brumbun” 8 “danan” lengkap dengan jajan, buah-buahan lauk-pauk/”sambel”, dan “sampian tangga” (satu danan berisi 2 buah “tumpeng”).
- “Ketengan”, “taledan “berisi “urab-uraban” dan sate tiap jenis, satu biji. Membuat 8 “tanding”. Nasinya adalah nasi “sabah brumbun” 8 “tanding” dan masing-masing dilengkapi dengan canang-genten.
- “Segehan Cacahan “brumbun” 8 “tanding”.
- “Cau-dandan” 8 buah berisi nasi “brumbun”, serta dilengkapi dengan lauk-pauk bentuknya seperti “kapu-kapu” yang digandengkan.
- “Tulung sangkur” (“tulung” kecil) 8 buah, berisi nasi brumbun dan lauk-pauk.
- “Takep-takepan” (dua buah “ceper” kecil yang dikatupkan; di dalamnya diisi beras, “base tempel”, “benang putih dan uang”).
“Banten-baten” tersebut dilengkapi dengan peras”, “penyeneng’, “sanggahurip”, “sesayut,“pengambean”,“soroan”,“pengulapan”,“ajuman”,“daksina ponggolan” (=‘daksina bogolan”), tipat kelanan”, “suci alit”, “segehanagung”, sesayut durmengala”, “prayascitasakti”, “byakaonan”, lengkap dengan “Lis pabyakaonan”.
Semua upakara-upakara yang tersebut di atas dialasi dengan “sengkwi” yaitu sejenis anyaman dan pelepah kelapa, banyak anyaman 8 biji. Kulit ayam tadi dialasi dengan dua lembar daun “telujungan”, letak kulit ayam itu sedemikian sehingga kepalanya berada di ujung daun itu sedangkan sayap dan kakinya direntangkan. Di atasnya diisi secarik kain yang berwarna-warna, sebuah “kewangen” yang berisi uang 8 kepeng, selanjutnya ditaruh di atas upakara-upakara yang tersebut di atas (kalau mungkin daun “telujungan” itu dialasi dengan “kelatkat sudamala”). Di hulu dan upakara tersebut diisi sebuah sanggah “cucuk” yang dilengkapi dengan gantung-gantung, lamak dari “busung” dan daun “telujungan”.
Upakara yang di taruh pada “sanggah” itu adalah dua buah “tumpeng” dengan “ceper” dilengkapi dengan lauk-pauk “sampian tangga”, “canang burat wangi” dan “tadah sukla”. Di samping itu untuk menghaturkan upakara ini membuat pula “sanggah” Pesaksi(sanggah Surya) yang berisi “banten”: “peras”, “ajuman”, “daksina”, “suci”, dan lain selengkapnya.
Dan sebagai tempat “Tetabuhannya” disebut “canang” yaitu bambu kecil yang dipotong miring, lalu diisi “Tetabuhan” seperti di depan. Kemudian perlu dikemukakan bahwa penggunaan bilangan “8” dalam hal ini adalah sesuai dengan “uriping madya/tengah”, demikian penggunaan warna “brumbun”. Tetapi ayam brumbun ini dapat pula menggantikan empat warna ayam lainnya seperti ayam putih, “biying”, ayam kuning “putih-siyungan” dan ayam hitam, sedangkan ayam “brumbun” tetap harus dipakai. Di dalam hal ini maka ‘urip” ayam itu (bilangan yang dipakai) adalah “33” yang disebut pula sebagai “Uriping-Bhuwana”. Bilangan “33” ini diperoleh dengan menjumlahkan “Uriping panca-desa” sebagai berikut:
Di Timur dengan “urip” 5, warna putih.
Di Selatan dengan “urip” 9, warna merah.
Di Barat dengan “urip” 7 warna kuning.
Di Utara dengan “urip” 4, warna hitam.
Di Tengah dengan “urip” 8, warna brumbun.
- Penggunaannya:
“Caru ayam Brumbun” ini disebut pula “Caru Pengeruak”, dan penggunaannya hampir sama dengan “segehan-agung”, tetapi di dalam upacara yang lebih besar, misalnya piodalan di “sanggah/pura”, baik sebagai pembersihan maupun menyertai piodalan tersebut, untuk perabasan atau perombakan suatu tempat/hutan, pembongkaran atau peletakan batu pertama untuk suatu bangunan suci, permulaan mempergunakan suatu bangunan seperti rumah, “pura”, “bale banjar” dan lain-lainnya.
Perlu diperhatikan bahwa bila ayam “brumbun” itu dipergunakan tersendiri, makabilangan (“urip-nya”) adalah “33” sedangkan kalau menyertai 4 jenis ayam lainnya maka urip dan pada ayam “brumbun” itu adalah “8”, serta letaknya selalu di tengah. Sebagai tambahan kiranya perlu pula diketahui bahwa apabila yang dipakai sebagai caru adalah 1 ekor/3 ayam putih, maka caru itu disebut : “Caru Dengen”.
Apabila hanya ayam “biying” yang dipakai caru, maka disebut “Caru Preta”. Apabila hanya ayam putih “siyungan” yang dipakai caru, maka disebut: “Caru Bi Caruk”.
Penggunaan keempat jenis caru tersebut menurut petunjuk pendita/orang yang dianggap mengetahui. Selanjutnya apabila dipergunakan 5 jenis ayam (ayam putih, “biying”, Putih Siyungan”, hitam dan “brumbun).
Caru Pancasata” ini dapat dipergunakan di dalam upacara yang besar, seperti “melaspas/mepedagingan” dan lain-lain menurut petunjuk pimpinan upacara/yang berkepentingan. Di samping itu “Caru Panca-sata” ini dianggap sebagai dasar daripada caru selanjutnya, misalnya ‘Caru Resigana”, “Panca-Kelud”, Panca-sanak” dan seterusnya.
Menurut penjelasan seorang pendita, penggunaan 5 ekor ayam sebagai dasar daripada caru selanjutnya adalah sesuai dengan cerita Bharata-Yudha yaitu meninggalnya Sang Duryadana setelah mendapar “tapakan” kepala Sang Panca Kumara, (lima orang anak Sang Pandawa dengan Dewi Drupadi). Sang Duryadana adalah penjelmaan Dewa Kali.
Beberapa Mantra.
1. Mantra “Caru ayam brumbun”.
OM, Indah ta kita Sang Bhuta Tiga Sakti ring madya desanira, Kliwon apancawaranira, Bhatara Siwa Dewatania, iki tadah sajinira, penek mancawarna, meiwak ayam brumbun ingolah winangun urip ketekang saruntu tan ipun, ajak sawadwabalanira ulung siki, menawi wenten luput kakirangan ipun denageng sampuranen sang adrewa caru. ONG ING namah.
2. Mantra “caru Manca-warna”.
OM Sang Bhuta Raja-rame saking wetan, Sang Bhuta Banaspati, saking kidul, Sang Bhuta Denawa, saking kulon Sang Bhuta Bali, Sang Bhuta Jawa, saking br, Sang Bhuta salah Rupa saking madya, ndaweg te iki manusa nira angaturi iki tadah sajinira. Pakulun sanungaken dwara manusa pun Si anu menawi ta sakelali darsana, pakulun Sang Bhuta Asuku Tunggal sapaweh nira. Pegawenira wetan, pegawenira kidul, pegawenira kulon, pegawenira lor, pegawenira ring tengah. Wus denira punika, iki tadah sajinira, walwiyakena tadah saiwiring pracaru kabeh. OM ya namu namah svaha.
3. Mantra “mengayabkan banten caru”.
OM bhuktiantu Durga katarah, bhutiantu, kalam ewaca, bhuktiantu sarwa Bhutanem, bhuktiantu pisaca sanggyem
4. Mantra “Caru Panca-sata”.
ONG Sang Bhuta Janggitan-purwa, Sang Bhuta Langkir daksina, Sang Bhuta Lembukanya-pascima, Sang Bhuta Taruna-utara, Sang Bhuta Tiga-sakti-madya, mapupul ta kita kabeh yan wus sira amangan anginum, pamantuka sira angarenana urip waras, teguh timbul bujanakulit, akulit tembaga, otot kawat, mangkana denira wahana nugraha ri sang adrewe caru, ONG Sang Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, ANG, UNG, MANG. Ong Ang Kang, kasalkaya isana swasti-swasti sarwa bhuta suka pradana ya namo namah svaha. Riwus sira pamuktia caru pamuliha sira ri pesenetannira sowang-sowang, wehana urip waras dirgayusa. Ong siddhir astu svaha.
Referensi:
Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 196-213
0 Response to "Pengertian dan Tujuan Pelaksanaan Upakara Bhuta Yajña"
Post a Comment