Pelaksanaan Upacara Rsi Yajña dalam Agama Hindu

HINDU ALUKTA  -- Pelaksanaan Upacara Rsi Yajña dalam Agama Hindu. Persembahan yang ditujukan kehadapan para Rsi banyak dijumpai dalam kehidupan beragama bagi umat Hindu. Persembahan yang tulus ikhlas tersebut disebut Yajna. Kewajiban beryajña bagi umat Hindu kehadapan para rsi dan juga orang suci pelaksanannya dapat ditempuh dengan berbagai cara, seperti: 



a. Menobatkan calon sulinggih (mediksa) menjadi orang suci agama (sulinggih)

Sebagaimana telah diungkapkan secara sekilas di depan bahwa diksa atau madiksa adalah pensucian atau penyucian, yang juga dikenal dengan nama pentasbihan atau inisasi. Diksa atau mediksa merupakan suatu cara untuk melewati satu fase kehidupan yang baru, dari fase yang belum sempurna ke dalam dunia yang telah sempurna. Dengan diksa itulah seseorang itu akan dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan, karena dengan melalui diksa itu akan dapat mempelajari sifat Tuhan itu. 

Dengan telah didiksanya seseorang maka ia menjadi diksita yang berwenang untuk melakukan upacara loka pala sraya yaitu sebagai orang suci tempat mohon petunjukpetunjuk kerohanian dan sebagai orang suci yang dimohon untuk menyelesaikan upacara agama Hindu. Secara umum gelar atau sebutan orang yang telah mediksa dan ngeloka pala sraya dikenal dengan nama Pedanda, Rsi, Mpu, Bujangga dan Dukuh. 

Pendeta atau pandita berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya orang pandai, cendekiawan, orang bijaksana, sarjana, sujana dan pendeta. Jadi pendeta atau pandita adalah orang suci atau rohaniawan Hindu yang telah madwijati melalui upacara diksa. Dwijati artinya lahir dua kali, pertama dilahirkan oleh ibu bapak (guru rupaka), kedua dilahirkan pula dan diakui anak oleh seorang guru pengajian (nabhe).

Oleh karena diksa itu merupakan penyucian seorang walaka menjadi pandita, maka pandita/sulinggih itu hendaknya menaati dan memiliki sesana dan brata tertentu yang mesti ditaati dalam hidupnya. Adanya upacara diksa-pariksa ini membuktikan bahwa pandita itu telah menjadi orang suci dengan diksanya (penyuciannya) dan adanya pantanganpantangan/brata pandita (pariksa).

Bagi yang telah memenuhi persyaratan umur bila belum didiksa dikenal sebagai walaka dalam tingkatan rohani. Sedangkan yang telah mediksa/dwijati statusnya sebagai sulinggih untuk melakukan sesananya loka pala sraya, guru loka, dan juga dapat menjadi nabhe.

Sulinggih/pandita dituntut untuk memiliki kesiapan lahir batin untuk melakukan Wedadyana dan Wedaraksana yaitu mempelajari Weda dan menjaga Weda. Di samping itu juga melakukan tirta yatra ke tempat pemujaan (kahyangan jagat dan dang kahyangan) untuk menyucikan diri.

Adapun syarat-syarat mediksa atau calon sulinggih yaitu: 
  1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyukla brahmacari (yang tidak berumah tangga).
  2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kanya).
  3. Apabila yang sudah mempunyai pasangan suami istri yang sah.
  4. Memiliki kepribadian yang tenang dan bijaksana.
  5. Selalu berpedoman kepada kitab suci Weda.
  6. Jika telah berumur minimal 40 tahun.
  7. Paham dalam bahasa Kawi, Sansekerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, dan mendalami intisari ajaran-ajaran agama Hindu.
  8. Sehat lahir bathin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana.
  9. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana.
  10. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta alon nabhenya yang akan menyucikan.
  11. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan.
  12. Telah melalui proses diksa-pariksa yang dinyatakan dengan surat oleh pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten/Propinsi setempat. 
Kemudian juga diperlukan adanya calon nabhe yang akan menyucikan calon sulinggih untuk dapat menjadi sulinggih. Mengenai syarat-syarat yang diperlukan menjadi calon nabhe antara lain: 
  1. Seseorang yang selalu dalam keadaan bersih dan sehat, baik lahir maupun bathin.
  2. Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
  3. Memiliki kepribadian yang tenang dan selalu bijaksana.
  4. Selalu berpedoman pada ajaran-ajaran dalam kitab suci Weda. 
  5. Memiliki pemahaman dan mengerti tentang Catur Weda.
  6. Mampu membaca Sruti dan Smerti.
  7. Teguh melaksanakan dharma sadhana (sering berbuat amal jasa dan kebajikan).
  8. Teguh melaksanakan tapa dan brata. 
Dalam upacara diksa ini biasanya dilaksanakan amati raga yaitu suatu makna simbolis dan spiritual bahwa calon diksita dianggap melepaskan badan kasarnya dan kemudian akan lahir kembali sebagai dwijati dengan badan yang baru. Juga dilakukan amati aran yaitu suatu rangkaian upacara diksa pada saat calon diksita mengganti namanya dari nama walaka menjadi nama sulinggih, seperti pedanda mpu, rsi, bujangga, dan dukuh.

Selanjutnya juga dilakukan setelah sulinggih, misalnya sewaktu walaka melakukan kegiatan bertani, berkebun ataupun berjualan, maka kalau sudah berstatus sulinggih hal itu tidak lagi dilaksanakan. Amati wesa artinya adanya penggantian atribut walaka diganti dengan atribut sulinggih, misalnya busana walaka diganti dengan busana sulinggih. 

Mengenai kewenangan sulinggih yaitu memiliki wewenang untuk memimpin atau memuput upacara yajña (karma yajña), karena pandita dianggap telah memiliki ilmu kerohanian yang tinggi. Lembaga tertinggi umat Hindu yaitu Parisadha Hindu Dharma Indonesia dalam keputusan Mahasabha II tahun 1968 menetapkan wewenang pandita untuk menyelesaikan segala upacara Panca Yajña umat Hindu, memberikan tuntunan keagamaan untuk memantapkan penghayatan dan pengalaman ajaran agama Hindu.

Walaupun pandita dalam menyelesaikan upacara keagamaan merupakan wewenangnya, maka dalam batas-batas tertentu pandita juga melimpahkan wewenangnya kepada pinandita (pemangku) di masing-masing parahyangan atau melaksanakan upacara piodalan di pura-pura dalam tingkatan “madudus alit”. 

Kemudian masih menyangkut tentang wewenang pandita bahwa dalam Lontar Ekapratama ada dijelaskan pula tentang wewenang Tri Sadhaka yaitu: Pendeta Siwa, Pendeta Budha, dan Pendeta Bujangga, sesungguhnya beliau bersaudara.

Pendeta Siwa bertugas untuk amretista akasa artinya menyucikan alam atas atau swah loka. Pendeta Budha bertugas amrestista pawana artinya menyucikan atmosfir atau alam tengah (Bwah Loka). Sedangkan Pendeta Bujangga bertugas di alam bawah atau Bhur Loka. Biasanya ketiga pendeta ini menyelesaikan upacara secara bersama-sama, seperti upacara tawur kesanga.

Selanjutnya juga pandita itu berpedoman pada sasana panita yaitu pedoman tingkah laku atau norma-norma kesusilaan yang luhur dari pada rsi atau pandita, seperti yang ada diuraikan dalam pustaka Silakrama. Wretisasana, Siwasasana, dan pustaka yang lainnya.

Dalam Silakrama ditegaskan bahwa pandita hendaknya berpedoman pada lima petunjuk tingkah laku untuk mencapai kesucian rohani, seperti: ahimsa yakni tidak membunuh, brahmacari yakni tidak mau beristri, satya yakni tidak berdusta, awyawaharika yakni tidak suka bertengkar, tidak berjual beli, tidak menunjukkan kecakapan dan berdosa, dan asteya yakni tidak mencuri, tidak mengambil milik orang lain bila tidak mendapat persetujuan kedua pihak. Kelima perilaku pandita di atas dikenal dengan nama Panca Yama Brata. 

Selain itu ada juga lima petunjuk tingkah laku yang tingkatannya lebih tinggi lagi yang dikenal dengan Panca Nyama Brata, antara lain: akroda yakni tidak suka marah, guru susrusa yakni mendengarkan atau memperhatikan ucapan-ucapan guru. Sauca yakni memelihara kebersihan lahir bathin, aharalagawa yakni makan yang serba ringan dan tidak semau-maunya aja, apramada yakni selalu tekun dan berketetapan hati untuk menekuni dan melaksanakan ajaran kependetaan serta tidak berbohong/tidak angkuh. 

Selain hal yang tersebut di atas juga ada ajaran dasa sila yakni sepuluh pedoman dalam berperilaku bagi para sulinggih, diantaranya drti artinya selalu berpikir bersih, ksama yakni suka mengampuni, dama yakni pandai menasihati diri sendiri, asteya yakni tidak mencuri atau curang, sauca yakni berpakaian/berbadan yang bersih dan berjiwa suci,
 indariyanigraha yakni selalu mengendalikan geraknya dasa indrya, hrih yakni mempunyai rasa malu, widya yakni suka belajar menuntut ilmu, satya yakni jujur dan taat pada janji, dan akrodha yakni penyabar dan tidak suka marah. 

Masih ada lagi yakni Catur Paramita (empat perilaku yang luhur) antara lain: maitri artinya selalu mengembangkan sifat-sifat suka bersahabat, karuna artinya selalu ada belas kasihan pada mereka yang menderita, mudita artinya bersimpati terhadap orang yang mendapat kebahagiaan, dan upeksa artinya suka melupakan kesalahan dan dosa-dosa orang lain kepada dirinya.

Dari sekian banyak sasana pandita yang tersebut di atas juga ada dikenal dengan Tri Kaya Parisudha yakni tiga perilaku yang suci dan benar, diantaranya: manacika yakni dapat berpikir yang suci dan benar, wacika yakni berwacana yang suci dan benar, dan kayika yakni dapat melaksanakan perbuatan atau karma yang baik dan benar. Tidak saja semua sasana di atas yang dijadikan pedoman namun juga ada pantangan yang lainnya berupa kewaspadaan dalam hal makanan minuman. Kesucian para pandita perlu tetap terpelihara dengan tidak makan-makanan yang berlebih-lebihan/bermewah-mewahan serta hendaknya dijauhi minum-minuman yang keras yang dapat memabukkan. Juga dihindari untuk mengunjungi tempat-tempat yang dilarang bagi pandita, agar tidak meruntuhkan harkat atau harga diri sebagai orang suci agama Hindu.

Berikut ini ada beberapa pustaka yang menegaskan bagaimana sasana pandita/sulinggih antara lain: 

“nadattamiochenna pivecaa madyam
Pranonna hinsenna vadecca mithyam
Parasya daran manasapi necched
Yah swargamicched grhavat pravestum” (Sarasmuccaya, 19.256)

Terjemahan:

Dan lagi jangan hendaknya mengambil kalau belum ada perjanjian, jangan engkau minum-minum yang memabukkan, jangan melakukan pembunuhan jangan berdusta dalam berkata-kata, jangan menginginkan istri orang lain jika ingin akan pulang ke alam sorga. 

“artham mahantamasadya
Vidyamaicyaryameya ca
Vuareda samunnaddham yah
Sa pandita ucyate” (Sarasamuscaya, 25.310)

Terjemahan:

Maka orang seperti ini keadaannya mempunyai kewibawaan/kekayaan yang berlimpah-limpah yang didapatnya, ia terpelajar dan disegani (dihormati), jaya dan berkekuasaan, tidak berhati sombong, tidak tergopoh-gopoh (sabar), tidak berangasan/tidak kasar, orang yang demikian ini pandita namanya.

“Aharalaghawa ngaranya adangana ring pinangan, tan pinangan asing
dinalih camah ring loka, kunang yan amangan asing dinalih camah de sang
sudha brata, tan brahmana saiwasogata ngaranya, janmatuccha ngaranya,
yeka pataka, tan warung tumampuh ring kawah temahaninniya.” (Slokantara, 15.41).

Terjemahan:

Aharalaghawa namanya, serba ringan dengan apa yang dimakan, segala yang disebut tidak suci atau kotor di dunia tidaklah dimakan, maka bila dimakan segala yang disebut tidak suci oleh orang yang suci yang melakukan brata, tidak brahmana Siwa Buddha namanya, manusia hina namanya, berdosalah ia pasti jatuh di dalam neraka akhirnya. 

Perlu diingat oleh seluruh sedharma bahwa dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya wujud pelaksanaan Yajña kehadapan para rsi atau rsi yajña dapat diwujudkan dengan cara menghormati para pendeta dan wajib mendukung atau menciptakan suasana yang dapat mendorong para pendeta untuk dapat melakukan swadharmanya dengan baik, guna dapat terciptanya suasana beragama yang mantap. Selain itu juga dengan mengikuti berbagai ajaran-ajaran kesucian atau kerohanian para rsi atau pandita dengan membaca kitab suci Weda dan kitab suci yang lainnya atau dapat pula dengan mempersembahkan atau menghaturkan daksina pada pandita dengan penuh ketulusan, karena dengan menghaturkan daksina berarti memberikan persembahan yang terhormat dalam bentuk arta benda pada pandita. 

Dari uraian-uraian di atas, disini dikemukakan sekilas tentang pelaksanaan upacara mediksa. Bermula dengan upacara mejauman atau berkunjung pada calon nabhe. Mohon doa restu kepada segenap sanak keluarga baik yang tua maupun yang muda serta sisanya atau masyarakat sekitarnya. Dilanjutnya dengan asucilaksana/membersihkan diri dengan upacara spiritual di parahyangan jagat dan pemerajan calon nabhe (mapinton). 

Sebagai upacara puncak yakni upacara mati raga dan upacara andi yang tempatnya pada parahyangan (merajan) dengan berpakaian serba putih untuk didiksa. Sebagai acara pokok dari pelaksanaan upacara diksa ini langsung dituntun oleh Pedanda nabhe dengan segenap rangkaiannya hingga urutan upacara sampai berakhir.

Apabila pandita melakukan lokapalasraya setelah mendapat izin dari pedanda nabhe dilanjutkan dengan tirtha yatra. Bila terjadi pelanggaran atau amurub sasana sulinggih dapat dicabut oleh nabhe, parisadha, dan pemerintah.

b. Dengan membangun tempat pemujaan para sulinggih

Suatu cara atau jalan untuk menghormati para orang suci agama Hindu memang ditempuh dengan berbagai pelaksanaan yang mengarah pada kesucian dan kebenaran. Cara yang dapat dibenarkan dalam pelaksanaan Rsi Yajña misalnya dengan membangun tempat pemujaan untuk para sulinggih atau orang suci agama Hindu.

Sebagaimana diketahui bahwa tempat pemujaan itu merupakan suatu areal tertentu dimana terdapat beberapa pelinggih atau bangunan suci untuk melakukan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi, Dewa-dewa atau roh suci leluhur. Pendirian suatu tempat pemujaan beserta dengan pelinggih-pelinggihnya dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan agama. Misalnya menentukan arealnya, tata letak pelinggih-pelinggih di dalamnya, upacara penyuciannya dan lain-lainnya. Ketentuan agama dalam mendirikan suatu tempat pemujaan harus dipenuhi sehingga suatu tempat pemujaan layak digunakan sebagai tempat memuja Tuhan dan manifestasinya serta roh suci leluhur.

Tempat pemujaan adalah menurut pengertian agama Hindu dikenal sebagai tempat suci (Pura). Tuhan memang ada dimana-mana namun dalam melakukan persembahyangan diusahakan tidak disembarang tempat, apalagi yang melakukan pemujaan tersebut berstatus sebagai pandita/sulinggih/orang suci, maka selayaknya dibangunkan tempat pemujaan untuk melakukan penyucian diri dan dalam upaya memberikan pembinaan dan tuntunan kepada umat. 

Tempat pemujaan adalah sebagai tempat bagi umat memusatkan segala potensi dirinya untuk dapat menghayati keberadaan Tuhan, dan tempat pemujaan sebagai lambang dari tri bhuwana yakni Jeroan (halaman paling dalam pura) sebagai simbol dari swah loka, jaba tengah (halaman tengah) sebagai simbol bhuwah Loka, dan jaba sisi (halaman paling luar) adalah simbol dari Bhur Loka.

Secara umum bahwa fungsi tempat pemujaan adalah sebagai sarana untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dan untuk memuja roh suci luhur dalam segala tingkatannya. Secara khusus bagi para sulinggih berfungsi untuk meningkatkan kesucian dan meningkatkan kualitas diri sulinggih juga sebagai media meningkatkan kualitas umat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Tempat pemujaan merupakan tempat untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, meningkatkan persatuan dan kesatuan umat, menumbuhkan rasa kebersamaan umat dengan orang suci/pandita, untuk membangkitkan kekuatan kesucian diri untuk dapat mengejati diri baik sebagai orang suci maupun sebagai umat secara keseluruhan. 

Dengan demikian bahwa dengan membangun tempat pemujaan untuk para sulinggih berarti telah memberikan penghormatan dan rasa bakti kehadapan para sulinggih/pandita sebagai wujud pelaksanaan Rsi Yajña.

c. Dengan menghaturkan dana punia kepada para sulinggih

Sesuai dengan ajaran agama Hindu bahwa setiap umat Hindu diwajibkan untuk melakukan dana punia. Dana punia berasal dari kata dana artinya pemberian, punia artinya selamat, baik, bahagia, indah, dan suci. Jadi dana punia artinya pemberian yang baik dan suci.

Oleh karena usaha berdana punia itu merupakan perbuatan yang mulia dan terpuji, maka tidak ada salahnya kita sebagai sedharma untuk melaksanakan dana punia tersebut dengan penuh keikhlasan dan penuh dengan hati yang tulus kehadapan para pandita /sulinggih/rsi/orang suci dan juga kepada siapa pun yang membutuhkan, tentunya akan mendapatkan hasil / pahala. 

Jenis harta kekayaan yang dapat disedekahkan itu tentunya disesuaikan dengan kemampuan dan harta benda yang dimilikinya, yang penting dapat melakukan pemberian atau bersedekah pada yang memerlukan atau orang suci.

Adapun harta yang disedekahkan/dipuniakan itu jenisnya berbeda-beda seperti: tanah, ajaran sastra, ajaran agama, ilmu pengetahuan, benda-benda duniawi/material, arta benda kekayaan, bahkan ada yang dikenal atidana yakni persembahan anak gadis yang cantik dan ayu. Tidak hanya yang tersebut di atas tadi namun dipandang perlu ada yang dikenal dengan mahatidana yakni persembahan jiwa raga. Kesemua jenis pemberian di atas menurut ajaran agama Hindu akan mendatangkan hasil/pahala yang besar dan tidak hentihentinya mendapatkan kebahagiaan, bahkan kelak di akhirat memperoleh tempat yang mulia yaitu di alam surga.

Menurut sastra agama Hindu yang berkewajiban melaksanakan dana punia seperti: para penguasa negara/pemerintah, para pemuka agama dan pemuka masyarakat, penyelenggara Yajña (sang yajmana), saudagar, banija, usahawan, orang-orang yang mampu, setiap umat Hindu, bagi umat yang berpenghasilan tetap, dan bagi umat yang berpenghasilan tinggi/besar. Sedangkan yang berhak menerima dana punia dimaksud adalah: para guru rohani/nabhe, dhangacarya (sulinggih), orang miskin yang terlantar, orang cacat, orang yang terkena musibah/terkena bencana alam, tata kala membangun tempat pemujaan/tempat suci/parahyangan (pura), lembaga-lembaga dan lembaga keagamaan, para penderita di rumah sakit, dan penghuni pasraman atau lembaga pendukung tertentu.

Dalam kitab suci Manawadharmasastra diuraikan tentang berdana punia.

“Rajato dhanam wicchet samsidam snatakah ksudha, yajyan tewasorwapina tranyata iti sthittih”

Terjemahan:

Bagi seorang yang berumah tangga, bila mampu, hendaknya ia bersedekah makanan kepada mereka yang tidak memasak makanan dan bagi makhluk-makhluk lainnya yang memerlukan makanan.

Demikian hakikat dana punia dalam kitab Manawadharmasastra, IV.33 tersebut, di atas. Kemudian dalam sloka IV. 226 menyebutkan: 

“Cradaayestam ca purtam niyam kuryada tandaritah, craddakrte hyaksaye te bhavatah swagatairdhanaih”

Terjemahan:

Hendaknya tanpa jemu-jemunya ia berdana dengan mempersembahkan sesajen dan melakukan sedekahan dengan penuh rasa keimanan dan kepercayaan, karena sesajen dan sedekahan (dana) yang dilakukan dengan penuh keimanan dan kepercayaan dan memperolehnya dengan cara yang halal, ia akan memperoleh pahala yang setinggitingginya (moksa). 

Selanjutnya dalam kitab Suci Sarasamusaya ada ditegaskan mengenai hakikat dana punia yang berbunyi:

“Amatsaryam budhah prahudarnam dharama ca samyamam, avasthitena nityam hi tyage tyasadyate cubham”

Terjemahan:

Yang disebut dana (sedekah) kata sang pandita, ialah sifat tidak dengki (iri hati), dan yang taat berbuat kebajikan (dharma), sebab jika tetap terus-menerus begitu, senantiasa akan diperolehnya keselamatan, sama pahalanya dengan amal saleh yang berlimpah-limpah (Sloka Sarasamuscaya, 170). 

Dan dalam sloka Sarasamuscaya 172 juga ada ditegaskan:

“Na danadduskarataram trisu lokestu vidyate, arse hi mahati trsnaca ca krcchrena labhyate”.

Terjemahan:

Adapun harta itu adalah untuk disedekahkan dan karena itu tidaklah ada gunanya menggembar-gemborkan orang-orang kaya, karena kekayaan itu tidak ada gunanya (kecuali disedekahkan), karena harta adalah untuk disedekahkan dan bila tidak disedekahkan demikian, maka ia adalah berdosa menimbulkan kemiskinan. 

d. Mentaati dan mengamalkan ajaran-ajaran para sulinggih.

Sebagai yang telah diuraikan di depan bahwa wujud pelaksanaan Rsi Yajña memang dapat dilaksanakan dengan berbagai pelaksanaan, seperti juga halnya untuk menaati dan mengamalkan segala ajaran-ajaran pada sulinggih.

Para sulinggih tersebut merupakan guru kerohanian bagi segenap umat Hindu. Guru kerohanian ini nantinya memberikan petunjuk-petunjuk yang benar dalam mengarungi samudera kehidupan. Tanpa adanya guru kerohanian, maka hidup ini menjadi gelap tanpa arah sehingga apa yang menjadi harapannya senantiasa terbengkalai.

Diumpamakan sebagai seorang siswa jikalau siswa itu belajar tanpa guru maka sangatlah tipis sekali harapannya untuk mencapai kesuksesan atau keberhasilan dalam menuntut ilmu (hidup sebagai brahmacari). Dan ajaran agama Hindu disebutkan adanya sisya maka ada pula acarya. Antara sisya (siswa) dan acarya (guru) ini hendaknya terjalin komunikasi yang selaras dan sejalan. 

Untuk dapat tercapainya harapan dalam menuntut ilmu itu sendiri, maka siswa dituntut untuk selalu mentaati, mengamalkan, serta berbakti pada ajaran-ajaran guru. Siswa selalu taat dan berbakti pada ajaran gurunya disebut dengan nama Guru Susrura sama juga halnya di sini bahwa umat Hindu semestinya dapat menaati, menghormati, mengamalkan ajaran-ajaran dari para sulinggih. Mengingat sulinggih itu adalah orang suci umat Hindu. Kapan lagi swadharma kita sebagai umat Hindu untuk menghormati dan menaati ajaran sulinggih itu. Karena usaha untuk menaati dan menghormati tersebut juga merupakan wujud pelaksanaan rsi yajña.

Selanjutnya hormat dan taat serta bakti kepada guru termasuk juga sulinggih dilakukan dengan jalan tunduk, patuh, mengikuti pelajaran yang telah diberikan oleh sulinggih. Dalam ajaran guru bhakti itu ada tiga hal yang harus dan patut dilakukan oleh seorang siswa terhadap gurunya antara lain: 

Kita harus hormat dan bhakti kehadapan guru, kita harus rajin dan tekun mempelajari pelajaran yang diajarkan oleh guru, dan kita harus taat melaksanakan perintah dan petunjuk-petunjuk guru. Sebagaimana kita ketahui bahwa guru itu berperanan untuk mencetak para generasi yang memiliki wawasan yang luas, mau berusaha, berani membela kebenaran, dan mengabdikan diri terhadap masyarakat, bertanggung jawab, memiliki pendirian yang tangguh, dan yang lainnya.

Demikian juga halnya sulinggih itu dalam upaya meningkatkan kesadaran umat untuk dapat menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya dengan baik dan benar. Memang usaha-usaha untuk membina mental dan moral umat yang tangguh dan utuh tidak gampang, namun memerlukan daya upaya yang jitu dan dituntut kesungguhan hati para pembina agama termasuk para sulinggih/pandita untuk pengupayakannya. Untuk maksud tersebut, maka perlu adanya kesadaran yang tinggi antara umat dengan para pembina agama, tentunya agar terjalin saling pengertian, saling menghormati, saling menaati satu dengan yang lainnya. 

Dalam ajaran agama Hindu ada dikenal catur guru yakni empat guru mesti dihormati atau ditaati, antara lain: Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi Wasa (Guru Swadhyaya), Orang tua/ibu Bapak di rumah (Guru Rupaka), Guru pengajar di sekolah termasuk juga pandita atau para rsi (Guru Pengajian), dan aparat pemerintah (Guru Wisesa).

Dalam kitab suci Sarasamucaya ada ditegaskan sebagai berikut:

“Upadhayayam pitaram mataram ca ye’bhidruhyanti manasa karmana ya, tesam papam bhrunahattyavisistam nanyastamat papaklreccastiloke” (Sarasamusaya, 234).

Terjemahan:

Ada orang yang berkhianat kepada guru yang mengajarnya, kepada ibu bapaknya dengan jalan perbuatan, perkataan dan pikiran, orang yang demikian sifatnya amatlah besar dosanya, lebih besar dari dosanya (seseorang yang melakukan) brunaha, bhrunaha artinya menggugurkan kandungan, singkatnya sangat besar dosa orang itu. 

Ada lagi ditegaskan dalam sloka nomor 238 yang berbunyi sebagai berikut:

“Samyam mithyaprawrtte va vartittavyam guraviha, guruninda nihantyayurmanusyanam na samsayah”

Terjemahan:

Lagi pula, jangan sekali-kali seseorang mengumpat kepada guru walaupun perbuatan beliau keliru, adapun yang harus diusahakan baik-baik berperilakulah yang layak kepada guru agar berhasil melakukan pengabdian beliau, akan menyebabkan umur pendek dan dosa jika menghina beliau itu.

Kemudian ada lagi penegasan betapa pentingnya kita menghormati guru sesuai yang disebutkan dalam kitab Silakrama yaitu:

“Nihan ta silakramaning aguron-guron, haywa tan bhakti ring guru, haywa himaniman, haywa tan sakti ring sang guru, haywa tan sadhutuhwa, haywa nikelana sapatuduhing sang guru, haywangideki wayangan sang guru, haywanglungguhi palungguhaning sang guru”

Terjemahan:

Inilah tata tertib berguru (menuntut ilmu), janganlah tidak bakti terhadap guru, janganlah mencaci maki guru, jangan segan kepada guru, jangan tidak tulus, jangan menentang segala perintah guru, jangan menginjak bayangan guru, jangan menduduki tempat duduk guru.  

Menyimak kesemua bait-bait sloka di atas mengingatkan kepada kita betapa mulianya jasa-jasa guru termasuk juga para rsi/sulinggih. Untuk itu kita wajib mengindahkan dan tetap menghormati segala ajarannya. Ajaran guru yang baik tentunya akan dapat membahagiakan kehidupan ini. 

e. Membantu pendidikan agama bagi calon sulinggih

Sebagai wujud penghormatan terhadap pelaksanaan Rsi Yajña, maka dapat pula diupayakan melalui usaha-usaha untuk mengembangkan materi-materi ajaran agama dengan pembinaan dan pendidikan, termasuk disini membantu memberikan pendidikan agama terhadap calon sulinggih. Kalau kita perhatikan perkembangan pendidikan agama untuk calon sulinggih dewasa ini memang sudah dirintis oleh pemerintah bersama lembaga tertinggi umat Hindu yaitu Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat telah menyelenggarakan pembinaan dan pendidikan agama bagi calon pandita ataupun yang sudah berstatus pandita, yang biasanya diselenggarakan di Widya Mandala Denpasar selama tiga bulan sekalian dengan pelaksanaan tirta yatranya ke parahyangan untuk penyucian diri. Mengingat pembangunan kehidupan umat Hindu semakin semarak dan mendalam sesuai dengan derap kemajuan zaman dan pembangunan bangsa Indonesia. Semuanya ini memerlukan pembinaan dan pendidikan dalam berbagai kehidupan beragama Hindu, termasuk bidang kesulinggihan yang jumlahnya semakin langka. Untuk hal tersebut telah diupayakan melalui pembinaan dan pendidikan calon sulinggih. Adapun tujuan yang ingin diharapkan adalah untuk dapat menghasilkan calon sulinggih yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar kesulinggihan yang berwawasan luas serta berorientasi ke masa depan. Sebagai kelanjutan dari pendidikan tersebut hingga didwijati sebagai seorang sulinggih, maka wajib mengikuti segala ketentuan dan prosedur yang berlaku. Untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan calon sulinggih, maka materi-materi pendidikan yang diberikan meliputi kelompok dasar, kelompok inti, dan kelompok penunjang.

Materi-materi pendidikan agama bagi calon sulinggih diharapkan agar dapat dipahami dan diterapkan sesuai sasana sulinggih, baik yang menyangkut materi kelompok dasar, seperti : Pancasila, bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Agama, yang menyangkut materi kelompok inti, seperti : Weda, Upanisad, Dharsana, Itihasa, Bhagawadgita, Purana, Tantrayana, Saiwasidhanta, Pujastuti, Sesana (Lokapalasraya), dan Acara Agama Hindu serta materi dalam kelompok penunjang, seperti: bahasa Jawa Kuno, Bahasa Sansekerta, Bahasa Inggris, Hukum Hindu/Adat, Sosiologi Agama Hindu Psikologi Agama, Dharma Wacana, Dharma Gita dan Yoga. Dengan penyajian materi-materi pendidikan agama sebagaimana tersebut di atas, tentunya dapat meningkatkan para sulinggih dalam menunaikan swadharmanya, untuk menuntun dan membina umat Hindu, sehingga manusia Indonesia yang utuh serta kerukunan umat beragama dapat terwujud. Demikianlah berbagai upaya/pelaksanaan untuk menghormati para resi/ sulinggih serangkaian dengan pelaksanaan Rsi Yajña bagi umat Hindu. 

Referensi:

Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 167-179

0 Response to "Pelaksanaan Upacara Rsi Yajña dalam Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel