Filsafat Manusia dalam Bhagavad Gita

HINDUALUKTA -- Filsafat Manusia dalam Bhagavad Gita. Manusia tidak pernah merasa puas, baik yang ada pada dirinya atau diluar dirinya. Sehingga ia selalu bertanya-tanya dan berusaha menjawab pertanyaannya dengan menggunakan segala upaya pikiran untuk memenuhi keingintahuannya, baik yang ada pada dirinya atau yang tersebar luas dijagat raya ini. Manusia adalah mahkluk yang memiliki kemampuan, hak istimewa, dan sampai batas tertentu, memiliki tugas menyelidiki hal-hal secara mendalam. Ia memikirkan dan bertanya tentang segala hal. Manusia dikatakan unsur alam “Dunia ilahi”, manusia dan alam semesta dan segala cipataan-Nya merupakan suatu kenyataan yang ilahi.


Filsafat ialah tertib, atau/metode pemikiran yang berupa pertanyaan kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan hakiki berbagai kenyataan yang ada. Filsafat mencoba memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apakah hakikat hidup dan berkegiatan itu, mengalami kebebasan dan mencintai? Filsafat membicarakan dunia, waktu, alam semesta manusia dan Tuhan. Filsafat manusia adalah bagian dari filsafat yang mengupas apa arti menjadi manusia, ia mengakaji secara hakiki apakah hakekat dan esensi dari manusia itu. 


Leahy (1984 : 88) Pada zaman renaissance manusia menajdi fokus dari filsafat. Manusia pada zaman itu dipandang sebagai pusat sejarah, pusat pemikiran, kehendak, dan pusat dunia. Hal ini nampak antara lain dalam kesenian, dan berbagai disiplin keilmuwan yang lahir dimulai pada zaman renaissance mempunyai implikasi-implikasi kemanusiaan seperti ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, psikoanalisa, dan sebagainya. 

Tidak hanya filsafat kitab suci Hindu, Bhagavad Gita juga membahas hal yang menjadi objek kajian filsafat yakni, Tuhan, alam semesta, manusia, waktu, dan karma. Kelima hal ini saling berkaitan. Salah satu ciri khas pemikiran modern nampak pada pengetahuan yang antroposentris arus pemikiran yang berputar sekitar dan di dalam manusia. Semua displin keilmuwan telah menghasilkan pengetahuan yang sangat luas tentang manusia. Namun demikian, pernyataan tentang “Manusia siapakah dia itu?”, masih tetap aktual dan terbuka lebar, sehingga tetap mengundang setiap manusia untuk menjawab dengan sedalam-dalamnya. 

II. PEMBAHASAN

2.1 Manusia bagian dari Tri Sarira

Manusia menurut Hindu tidak hanya dipandang sebagai mahkluk jasmani tetapi juga mahkluk rohani. Mahkluk Jasmani adalah manusia yang memiliki badan dan bertangung jawab dengan badannya, sedangkan manusia sebagai mahkluk rohani, adalah manusia juga memiliki jiwa, atau roh yang memberikan daya hidup kepada badannya. Fenomena roh atau jiwa pada manusia dapat dilogikan bahwa orang meninggal memiliki organ tubuh yang lengkap, namun mengapa ia meninggal, dan badan nya tidak berfungsi, hal ini dijelaskan bahwa manusia memiliki roh atau jiwa. Dalam Hindu roh atau jiwa menghuni badan, dan bersthana di Padma hrdaya atau jantung. Seperti yang disebutkan dalam Katha Upanisad 1.2.20:

Anor anīyān mahato mahīyān, ātmāsya jantor nihito guhāyām:
Tam akratuh pasyati vita-soko, dhātu-prasādān mahimānam ātmanah

Terjemahan:

Lebih kecil dari yang kecil, lebih besar dari yang besar, ātman berada pada jantung setiap mahkluk hidup. Dia yang tanpa keinginan apa-apa bisa melihatnya dan akan terbebas dari kesedihan. Melalui ketenangan pikiran dan indriya, (dia melihat kebesaran ātman).

Suhardana (2011: 26) Atma yang sangat kecil yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa dan alat bantu apapun memiliki ukuran yang lebih kecil dari atom, bersthana di jantung, dan menghidupi badan. Atman dan badan jasmani saling membutuhkan, atman mendiami badan untuk berkarma, sedangkan badan membutuhkan atman untuk menunjang kehidupan, tanpa atman badan hanyalah jasad. Dalam Hindu manusia sejatinya mempunyai 3 badan, yang disebut Tri Sarirara. Tri Sarira sthula sarira (badam kasar) terdiri dari, suksma sarira (badan halus), dan antah karana sarira (badan penyebab).

2.1.1 Badan kasar sthula sarira dalam Bhagavad Gita

Badan Kasar yang merupakan media berkarya bagi manusia dalam Bhagavad Gita disebut ksetra dan ksetrajna, memiliki sifat yang sementara, mengalami pemerosotan, dan mengalami pertumbuhan. Ksetra dalam bahasa sanskerta artinya lapangan, badan manusia diibaratkan sebagai lapangan untuk berkegitan bagi roh yang terikat agar dapat berkarma sebaik mungkin mencapai pembebasan sehingga tidak terikat oleh kelahiran dan kematian. Lapangan kegiatan juga berarti badan yang terikat oleh indria-indria, badan yang diberikan kepada manusia sesuai dengan sifat nya agar dapat memenuhi keinginan yang sang roh miliki. 

Ksetrajnan artinya ia yang mengetahui badan. Badan manusia mengalami pertumbuhan sejak bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua, namun orang yang mengetahui perubahan ini hanya sebatas pertumbuhan dan perkembangan badan namun jiwa yang menghuni badan tetaplah sama. Seiring waktu badan manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan namun setiap pribadi tidak kehilangan identitasnya, baik dia sebagai laki-laki atau perempuan, dan sebagai seorang , mahkluk individu. Penjelasan tentang ksetra dan Ksetrajna dijelaskan dalam Bhagavad Gita 13.3 sebagai berikut:

Ksetra-jnam cāpi mām viddhi sarva-ksetresu bhārata
Ksetra-ksetrajnayor jnanam yat taj jnanam matam mama

Terjemahan:

Wahai putera keluarga Bharata, engkau harus mengerti bahwa Aku juga yang mengetahui di dalam semua badan. Pengetahuan berarti juga yang mengetahui di dalam semua badan. Pengetahuan berarti mengerti badan ini dan dia yang mengetahui badan ini. Itulah pendapat-Ku. 

Watra (2006: 13) mengatakan “Badan” dan “Roh” adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan-pisahkan, yang mana pada akhirnya disebut dengan “manusia”. Menurut tokoh filsafat barat “Rene Descastes”, bahwa manusia harus menggunakan pikirannya dalam melakukan setiap langkah kehidupannya menuju kesempurnaan. Maka dengan kesatuan badan dan roh-lah manusia, menggunakan pikirannya sebagai alat menelusuri seluruh misteri yang diragu-ragukan, untuk menghilangkan keraguannya. Sesuai dengan yang disebutkan oleh Watra dalam bukunya Filsafat Manusia dalam Perspektif Hindu, membenarkan adanya badan dan roh dalam kutipan sloka di atas disebutkan jika manusia dapat mengetahui hakikat badan nya atau yang mengetahu badannya sebagai lapangan kegiatan disebut Ksetrajna. Unsur pembentuk badan atau ksetra juga disebutkan dalam 13.6-7:

Mahā-butāny ahankāro                   buddhir avyaktam eva ca
Indriyāni dasaikam ca                    panca cendriya-gocarāh
Iccha dvesah sukham duhkam        sanghatas cetana dhrtih
Etat ksetram samāsena                   sa-vikāram udāhrtam

Terjemahan:

Lima unsur kasar, ego, kecerdasan, yang tidak terwujud, sepuluh indria dan pikiran, lima objek indria, keinginan, rasa benci, kebahagiaan, dukacita, jumlah gabungan, gejala-gejala hidup, dan keyakinan-keyakinan-sebagai ringkasan, semua unsur tersebut merupakan lapangan kegiatan dan hal-hal yang saling mempengaruhi dari lapangan kegiatan. 

Badan jasmani atau sthula sarira merupakan tampilan paling luar dari wujud manusia, yang dalam Bhagavad Gita disebut ksetra, sementara untuk mengetahui hakikat hidup ini seseorang harus menjadi Ksetrajna. Pemahaman tentang Ksetrajna sesuai dengan hakikat filsafat manusia, manusia harus mengetahui jati dirinya dan mengetahui badannya. 

2.1.2 Suksma Sarira

Suhardana (2011: 32) Suksma sarira atau badan halus adalah lapisan badan yang tidak dapat dilihat dan diraba, yaitu alam pikiran manusia. Alam pikiran letaknya jauh di dalam badan sehingga disebut dengan badan halus. Suksma sarira dalam Bahasa Sanskerta disebut citta. Ingatan atau citta adalah pengalaman yang dibuat tubuh, dipikirkan, dilihat dan dirasakan selama manusia hidup di dunia ini. Citta adalah salah satu unsur yang membentuk watak atau budi seseorang. Pada citta ini terdapat unsur indria-indria yang jumlahnya sepuluh, yang terdiri dari lima indria pengenal (Panca Budhindriya), yaitu: Cakswindriya, Srotendriya, Ghranendriya, Twakindriya, dan Jihwendria. Dan lima indriya penggerak (Panca Karmendriya), yaitu: Panindriya, Padendria, Garbhendriya, Upastendriya / Bhagendria, dan Pajwindriya.

Dalam Bhagavad Gita disebutkan bahwa indria-indria memiliki sifat yang lebih halus dari badan, hawa nafsu atau kama berada di dalam badan, dan dikeluarkan melalui indria-indria. Penjelasan tentang komponen badan halus manusia dijelaskan dalam Bhagavad Gita 3.42:

Indriyāni parāny āhur indriyebyah param manah
Manasas tu parā buddhiryo buddheh paratas tu sah

Terjemahan:

Indria-indria yang bekerja lebih halus daripada alam yang bersifat mati; pikiran lebih halus daripada indria-indria; kecerdasan (Buddhi) lebih halus daripada pikiran; dan dia (sang roh) lebih halus daripada  kecerdasan.

Indria, pikiran, kecerdasan, dan ego (ahamkara) adalah komponen yang menyusun badan halus. Badan halus (suksma sarira) juga dapat mempengaruhi badan kasar, baik dari segi kesehatan, kecerdasan, dan emosional. Pandangan secara umum mengatakan bahwa segala aktifitas kita berawal dari pikiran, karena pikiran merupakan program pertama sebelum seseorang bertindak dan berbicara. Hal senada juga dijelaskan dalam Kaṭha Upaṇisad (1. 3. 3-4)

ātmānaṁ rathinaṁ viddhi śarīraṁ ratham eva ca
buddhiṁ tu sārathiṁ viddhi maṇaḥ pragraham eva ca
indriyāṇi hayān āhur viṣayāṁs teṣu gocarān
ātmendriya-mano-yuktaṁ bhoktety āhur manīṣiṇaḥ

Terjemahan:

Jīva adalah penumpang dalam kereta badan material, dan kecerdasan adalah kusirnya. Pikiran adalah tali kendali, dan indria-indria adalah kuda-kudanya. Sang diri atau jīva adalah penikmat atau penderita tergantung pikiran dan indrianya. Sungguh hal ini dipahami oleh para cendikiawan (Prabhupada, 2008: 287)

Pernyataan ṡloka di atas yang menegaskan bahwa badan ini dihuni oleh ātma ibarat kereta yang ditumpangi oleh seorang kusir yang sedang mengarahkan kudanya, diilustrasikan pada gambar di bawah ini:


Ātmā diibaratkan sebagai penumpang, karena sang roh adalah penghuni utama yang menikmati atau menderita perjalanan itu. Kudakuda diibaratkan indria-indria yang selalu menarik kereta badan manusia menuju objek indria-indria. Kecerdasan ibarat kusir kereta, karena kusir kereta menentukan pilihan yang dibutuhkan untuk sebuah perjalanan yang sukses dan nyaman. Tali kendali diibaratkan pikiran karena tali-tali itu secara langsung berhubungan dengan kuda-kuda atau objek-obejk indria. Untuk membimbing kereta secara tepat menuju objek tujuannya melalui pilihan yang dibuatnya. Dengan cara ini, penumpang atau jīva dapat mencapai tujuan yang diinginkan dengan menggunakan seluruuh fasilitas yang layak. Di lain pihak, jika ada hal yang tidak terkendali dan tidak terkoordinasi secara tepat dalam hierarki tersebut, maka cepat atau lambat akan terjadi kecelakaan. 

Sloka dari Bhagavad Gita dan Katha Upanisad yang mengambarkan bahwa sejatinya manusia memiliki badan halus terutama pikiran yang harus dikendalikan agar mampu membawa indria-indria badan kasar mencapai tujuannya sejati sehingga kelahiran sebagai manusia mencapai tujuannya. Keakuan atau ego (ahamkara) kadang dibutakan oleh keinginan yang mampu membuat jiwa terporosok dan lupa akan jati dirinya sebagai jwa yang kekal. Hal ini dijelaskan dalam sloka 2.71:

Vihāya kāmān yah sarvān pumāms carati nihsprhah
Nirmamo nirahankarah sa santim adhigacchati

Terjemahan:

Hanya orang yang sudah meninggalkan segala jenis keinginan untuk kepuasaan indria-indria, hidup bebas dari keinginan, sudah meninggalkan segala rasa ingin memiliki sesuatu dan bebas dari keakuaan palsu dapat mencapai kedamaian yang sejati.

Watra (2006:13) menyebutkan setiap orang mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, ia harus mengenal serta mengerti dirinya sendiri secara cukup mendalam untuk dapat mengatur sikapnya dalam hidup. Untuk dapat mengatur dan dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya, ia harus memperoleh pandangan yang cukup tepat tentang hakikat sifat manusia. Agar mencapai kedamaian di dalam hidup manusia hendaknya mampu mengendalikan pikirannya karena dengan pikiran yang terkendali indria-indriapun terkendali, dengan terkendalinya indriaindria kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup akan tercapai.

2.1.3 Badan Penyebab (Antah Karana Sarira)

Antah karana Sarira adalah lapisan badan yang paling halus yaitu atman. Antahkarana sarira disebut juga badan penyebab. Atman inilah yang menjiwai manusia sehingga hidup dan beraktivitas. Effendi (2001 : 179) manusia sebenarnya mempunyai beberapa lapisan kesadaran. Kesadaran manusia ada tiga lapis, yaitu kesadaran biasa = kesadaran fisik (consciousness), bawah sadar = kesadaran roh jiwa (subconsciousnessi), dan kesadaran super = kesadaran roh (super consciousness). Kesadaran super adalah kesadaran pada tingkat pribadi tinggi (roh). Inilah kesadaran sejati yang sesungguhnya dari seorang manusia. Karena pribadi tinggi mempunyai unsur-unsur ilahi, maka getaran Pribadi tinggi itu amat tinggi. Untuk dapat memasuki tubuh fisik yang getaran sangat rendah sebagai seorang manusia, dibutuhkan perantara yang berlapis-lapis. Inilah sebabnya tubuh seorang manusia terdiri dari banyak lapisan. Kesadaran biasa adalah kesadaran yang berasal dari tubuh fisik, sehingga ingatan pengetahuan yang dimiliki pada tingkat kesadaran ini terbatas dari kehidupan ini saja. Di antara keadaan super dan kesadaran biasa, terdapat sebuah kesadaran perantara, yang iasa disebut dengan kesadaran jiwa (bawah sadar). Berbeda dari kesadaran biasa, kesadaran jiwa dan kesadaran roh adalah kesadaran yang lebih permanen. Seluruh ingatan dan pengetahuan dari kehidupan-kehidupan sebelumnya (karma wasana) masih dimiliki oleh kesadaran jiwa dan kesadaran roh. Seseorang yang dapat mencapai salah satu dari kesadaran roh atau kesadaran jiwa, dapat memiliki seluruh ingatan dan pengetahuan dari kehidupan sebelumnya.

Roh tidak pernah mati. Tujuan dari roh berada di dunia ini adalah untuk belajar. Dengan adanya tubuh fisik, barulah roh dapat belajar dari pengalaman yang sebenarnya. Oleh sebab itu, roh memilih pengalamanpengalaman yang berbeda melalui punarbhava. Yang mengalami punarbhawa adalah badan kasar, sementara roh atau ātma tidak pernah mengalami kelahiran atau kematian, seperti disebutkan dalam Bhagavad Gita 2.20:

na jāyate mriyate vā kadācin
nāyam bhutva bhavita van a bhuyah
ajo nityah sāsvato’yam purano
na hanyate hanyamane sarire

Terjemahan:

Tidak ada kelahiran maupun kematian bagi sang roh pada saat manapun. Doa tidak diciptakan pada masa lampau, Ia tidak diciptakan pada masa sekarang, dan dia tidak akan diciptakan pada masa yang akan datang. Dia tidak dilahirkan, berada untuk selamanya dan bersifat abadi. Dia tidak terbunuh apabila badan dibunuh.

Menurut sifatnya, ātma tidak mengalami perubahan seperti badan, sang roh disebut yang mantap atau kuta-stha. Badan mengalami enam perubahan. Badan dilahirkan dari kandungan ibu, tahan selama beberapa waktu, tumbuh, menghasilkan sesuatu, berangsur-angsur merosot, dan akhirnya lenyap. Akan tetapi, sang roh tidak mengalami perubahanperubahan seperti itu. Sang roh tidak dilahirkan, tetapi oleh karena sang roh menerima menerima badan jasmani maka badan dilahirkan. Ātma tidak dilahirkan dan ātma tidak mati. Apapun yang dilahirkan pasti mengalami kematian, oleh karena ātma tidak dilahirkan, tidak ada masa lampau, masa sekarang maupun masa depan bagi sang ātma. Ātma bersifat kekal, berada untuk selamanya, dan bersifat abadi-yaitu, tidak ada catatan dalam khazanah sejarah tentang terwujudnya ātma. Hanya kesan dari badan, manusia mencari sejarah kelahiran, dan sebagainya. Ātma tidak pernah tua pada suatu waktu, seperti yang dialami badan. Perubahan badan tidak mempengaruhi ātma, karena ātma tidak merosot termakan waktu seperti materi lainnya. Ātma juga tidak mengahsilkan sesuatu atau berkembang biak, seperti yang dihasilkan badan. Badan berkembang karena adanya ātma, namun ātma tidak memiliki keturunan atau perubahan lainnya, seperti peruahan yang dialami oleh badan, hal ini juga dipertegas dalam Kathā Upanisad (1.2.18)

Na jāyate mriyate vā vipascin
Nāyam kutaścin na babhuva kaścit
Ajo nityah sāśvato’yam kaścit
Na hanyate hanyamane sarire

Terjemahan:

Ātman yang maha tahu tidak pernah dilahirkan, dia juga tidak mati kapanpun. Dia muncul dari ketiada-beradaan dan ketiada beradaan muncul dari dia. Dia tidak lahir, kekal, berlangsung terus, dan yang pertama-tama. Dia tidak terbunuh ketika raga terbunuh. 

Ātma bersifat kekal, tidak dapat dimusnahkan dan diciptakan sama seperti pendapat ilmuwan fisika kuantum, tentang energi bahwa energi juga tidak dapat dimusnahkan dan diciptakan, energi hanya dapat berubah bentuk, energi dalam pandangan fisika kuantum sama seperti ātma, ātma memiliki sifat-sifat yang kekal seperti dijelaskan dalam Bhagavad Gita 2.23-24:

Nainam chindanti śastrāni             nainam dahati pāvakah
Na caiman kledayanty āpo              na śosayati mārutah

Terjemahan:

Ātma tidak pernah dapat dipotong, menjadi bagian-bagian oleh senjata manapun, dibakar oleh api, dibasahi oleh air, atau dikerungkan oleh angina.

Acchedyo ‘yam adāhyo ‘yam             akledyo ‘sosya eva ca
Nityah sarva-gatah sthānur                 acato ‘yam sanātanah

Terjemahan:

Roh yang individual ini tidak dapat dipatahkan dan tidak dapat dilarutkan, dibakar ataupun dikeringkan. Ia hidup untuk selamanya, berada di mana-mana, tidak dapat diubah, tidak dapat dipindahkan dan tetap sama untuk selamanya.

Dari penjelasan śloka di atas menjelaskan bahwa manusia berasal dari spirit (jiwa) yang agung, yang kekal, tidak dapat dihancurkan baik oleh senjata apapun. Ātma adalah bentuk kekal dari energi Tuhan yang memiliki sifat yang sama seperti Tuhan, namun dalam juantitas yang jauh lebih kecil, sama dalam kualitas namun beda dalam kuantitas. Dengan mengetahu jati diri yang sebenarnya manusia dapat merefleksikan diri sebagai wakil Tuhan di dunia ini yang senantiasa, damai, selalu menebar kebaikan dan pemberdayaan, tanpa diliputi cemas, marah, dan nafsu negatife, apa yang perlu dikhawatirkan oleh manusia jika ia tahu jati dirinya, dapat menciptakan kedamaian atau apapun dengan kemampuan yang ia miliki, karena pemahaman tentang badan bukanlah sebatas materi, daging dan darah, namun daya semesta, seperti pikiran, dan ātma yang bersifat rohani. Kualitas ātma yang dimiliki manusia memiliki daya cipta yang sama dengan Tuhan, seyogyanya hal ini ia amalkan dengan baik untuk mencapat kehidupan yang damai dan bahagia, dan memberikan manfaat pada lingkungan. 

Wijaya (2010 : 111) menyebutkan Pengetahuan ātma adalah unsur yang paling utama dari segala ciptaan ia berkuasa atas tubuh yang dimasukinya, ia yang mengendalikan tubuh, hingga nantinya tubuh itu rusak ia akan meninggalkan tubuh itu dan beralih ke tubuh yang lain, atau dapat bersatu dengan sumbernya. Pengetahuan ātma yang membukakan jalan persatuan dalam keberagamaan, tetap kekal dalam kehancuran. Orang yang telah memperoleh pengetahuan ātma menjadi tahu semuanya, dan memupuk rasa persaudaran semesta vasudaiva kutumbakam bahwa segala ciptaan adalah ātma yang sama yang berasal dan bagian dari Tuhan. 

Upanisad mengatakan bahwa orang yang mengetahui diri sejati dapat mengatasi duka-cita. Semua pengetahuan tentang duniawi ditujukan untuk menyambung hidup (mencari pekerjaan). Namun bila pengetahuan ātma diketahui maka semua yang merupakan basis ilmu pengetahuan dan seni lainnya akan sangat mudah didapatkan. Bila seseorang dapat berkomunikasi dengan Tuhan yang merupakan sumber seluruh ilmu pengetahuan, kekuatan, dan kebijaksanaan yang kekal, maka orang tersebut mempunyai akses untuk setiap jenis pengetahuan. Oleh karena itu, setiap orang seyogyanya berusaha untuk memperoleh realisasi diri sejati malalui pemurnian pikiran dan hati hingga nantinya dapat mendekatkan diri pada Tuhan. Konsep ātma dalam Hindu begitu lengkap, selaras, dan logis dengan perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang zaman. 

2.2 Dhyana Yoga Mengerti Badan

Dhyāna adalah suatu keadaan dimana arus pikiran tertuju tanpa putusputus pada objek yang disebutkan dalam Dharana itu, tanpa tergoyahkan oleh objek atau gangguan atau godaan lain baik yang nyata maupun yang tidak nyata. Gangguan atau godaan yang nyata dirasakan oleh Panca Indria baik melalui pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah maupun rasa kulit. Ganguan atau godan yang tidak nyata adalah dari pikiran sendiri yang menyimpang dari sasaran objek Dharana. 

Tujuan Dhyāna adalah aliran pikiran yang terus menerus kepada Hyang Widhi melalui objek Dharana, lebih jelasnya Yogasutra Maharsi Patanjali menyatakan : “Tatra pradyaya ekatana dhyanam” Artinya : Arus buddhi (pikiran) yang tiada putus-putusnya menuju tujuan (Hyang Widhi). Kaitan antara Pranayama, Pratyahara dan Dhyana sangat kuat, dinyatakan oleh Maharsi Yajanawalkya sebagai berikut: “Pranayamair dahed dosan, dharanbhisca kilbisan, pratyaharasca sansargan, dhyanena asvan gunan : Artinya : Dengan pranayama terbuanglah kotoran badan dan kotoran buddhi, dengan pratyahara terbuanglah kotoran ikatan (pada objek keduniawian), dan dengan dhyana dihilangkanlah segala apa (hambatan) yang berada diantara manusia dan Hyang Widhi. Bab 6 dalam Bhagavad Gita menjelaskan tentang Dhyana Yoga, Dhayana Yoga membantu manusia untuk keluar dari kesalahan berfikir yang menimbulkan ilusi terhadap hidup sehingga terbelenggu dalam lautan suka dan duka yang menimbulkan kelahiran dan kematian berulang-ulang tanpa manusia mempertanyakan sebab kelahiran dan kematian itu, tentu saja penderitaan selalu akan mengikutinya, Dhyana Yoga membantu manusia untuk mengendalikan pikiran dan terbebas dari penderitaan yang disebabkan oleh pikiran. Orang yang dapat mengendalikan pikiran akan bebas dari keterikatan terhadap materi sehingga ia menemukan dirinya yang sejati. Hal ini dipertegas dengan śloka 6.5:

Uddhared ātmanātmānam                     nātmānam avasādayet
Ātmaiva hy ātmano bandhur                 ātmaiva ripur ātmanah

Terjemahan:

Seseorang harus menyelamatkan diri dengan bantuan pikirannya, dan tidak menyebabkan dirinya merosot. Pikiran adalah kawan bagi roh yang terikat, dan pikiran juga musuhnya.

Kata ātma dalam śloka di atas menunjukkan badan, pikiran, dan sang roh tergantung pada berbagai keadaan. Pikiran adalah titik pusat latihan yoga, dan ātma dalam hal ini diasosiakan dengan pikiran. Maksud sistem yoga adalah untuk mengendalikan pikiran dan menarik pikiran keluar dari ikatan terhadap objek-objek indria. Ātma terikat di dunia ini karena pikirannya tersangkut dengan paham badan, melupakan identitas sejatinya, dan menggap dirinya nya adalah badan. Oleh sebab itu, pikiran harus dilatih supaya tidak tertarik pada gemerlapnya alam material.dengan cara itulah roh yang terikat dapat diselamatkan. Semakin seseorang tertarik dengan objek-objek indria maka ia akan semkain terikat dengan kehidupan materi. Pikiran yang seimbang sangat diperlukan agar kesadaran tetap terjaga bahwa manusia sejatinya bukanlah hanya badan namun jiwa yang harus diberikan pengetahuan spiritual agar menginsyafi dirinya, dan dapat bebas dari derita kelahiran, kematian, usia tua, dan penyakit. Hal ini juga didukung dalam śloka Amrta-bindu Upanisad 2:

Mana eva manusyānām             kāranam bandha-moksayah
Bandhāya visayāsango            muktyai nirvisayam manah

Terjemahan:

Pikiran menyebabkan ikatan manusia dan pikiran pula yang menyebabkan pembebasannya. Pikiran yang terikat dalam objek-objek indria menyebabkan ikatan, dan pikiran yang dibebaskan dari ikatan terhadap objek-objek indria menyebabkan pembebasan. 

Pikiran adalah kawan begitupula dalam keadaan yang sama pikiran adalah musuh. Agar pikiran bebas dari dualisme tersebut seseorang harus bersikap seimbang, saat menerima pujian dan hinaan, memerima musibah dan menerima penghormatan, diusahakan agar pikiran tetap tenang tidak terombang-ambing oleh arus keinginan. Suka duka akan selalu datang seperti pergantian musim, jiwa yang sejati yang sudah mampu mengenali dirinya dan menundukkan ego pikirannya dapat memahami hal ini dan tidak terpengaruh oleh pergantian yang senantiasa datang tersebut. Dapat memandang orang jujur, orang yang penuh kasih, orang netral, orang iri, kawan, dan musuh, dengan pikiran yang sama disebut orang yang sudah mampu mengendalikan pikirannya. Pikiran merupakan hal yang selalu harus dilatih agar kesadaran tetap terjaga seperti yang disebutkan dalam Bhagavad Gita 2.67:

Indriyānām hi caratām yan mano’ nuvidhīyate
Tad asya harati prajnām vāyur nāvan ivāmbhasi

Terjemahan:

Seperti perahu yang berada pada permukaan air dibawa lari oleh angina kencang, kecerdasan seseorang dapat dilarikan bahkan oleh satu saja di antara indria-indria yang mengembara dan menjadi titik pusat untuk pikiran. 

Dengan memiliki pikiran yang harmonis, manusia akan kuat menghadapi hidupnya terlepas dari berbagai cobaan dalam hidup, seperti untung dan rugi, penghormatan dan penghinaan, kesedihan trauma, dapat diatasi. Dengan memiliki pikiran yang harmonis, maka jiwa akan sehat sehingga badanpun sehat. Seperti banyak penelitian menyebutkan bahwa 90% penyakit berasal dari pikiran. Maka dari itu untuk memahami filsafat manusia, mengendalikan pikiran agar selalu harmonis merupakan salah satu langkah awal untuk menemukan jati diri. 

2.3 Paramātma dan Ātma

Paramātma dan Ātma adalah dua subtansi yang berbeda. Paramātma adalah roh yang mengarahkan pengembaraan ātma. Kedua roh ini berada didalam badan seperti dijelaskan dalam Katha Upanisad (1.2.20):

Annor anīyān mahato mahiyānātmāsya jantor nihito guhāyām
Tam akratuh paśyati vīta-śoko dhātuh prasādān mahimānam ātmanah

Terjemahan:

Roh Yang Utama (paramātma) dan roh yang sekecil atom (jivātma) terletak dalam jantung yang sama dimiliki oleh mahkluk hidup pada badan yang sama yang diumpamakan sebagai pohon. Hanya orang yang sudah dibebaskan dari segala keinginan materi serta segala penyesalan dapat mengerti kemuliaan roh sang yang. 

Dalam śloka di atas disebutkan bahwa paramātma menemani ātma dalam setiap penjelmaanya. Roh yang utama memenuhi keinginan roh yang sekecil atom seperti halnya seorang kawan memenuhi keinginan kawan lainnya. Mundaka upanisad dan Śvetāsvatara Upanisad, mengumpamakan sang roh dan roh Yang Utama sebagai dua ekor burung yang bersahabat yang hinggap di pohon yang sama. Salah satu di antara dua ekor burung tersebut ātma sedang memakan buah pada pohon tersebut, sedangkan paramātma hanya memandang kawannya. Di antara dua ekor burung tersebut, walaupun mereka mempunyai sifat yang sama, salah satu dipikat oleh buah karma kehidupan. Sedangkan paramātma hanya bertindak sebagai saksinya. 

Dengan mengetahui bahwa paramātma selalu menemani setiap penjelmaan manusia, maka dari itu sebaiknya kita selalu berfikir berkali-kali sebelum melakukan perbuatan jahat. Walau orang lain tidak tahu namun Tuhan sebagai paramātma selalu tahu akan hal tersebut, di saat yang sama kita juga tidak menghakimi orang lain jika berbuat tidak baik, karena paramātma juga sudah melihatnya. Paramātma sebagai pengingat dan control kita dalam berkarma, tidak ada perbuatan yang tidak diketahui oleh Beliau. Jika melakukan perbuatan baik, hendaknya kita juga tidka pamer, karena paramātma sudah melihat hal tersebut. Dengan mengetahui keberdaan paramātma kita hendaknya selalu mawas diri, dan tidak pernah merasa takut jika dalam kesulitan, karena Tuhan juga berada bersama kita, bahkan di dalam setiap badan mahkluk hidup. 

III. PENUTUP

Filsafat manusia adalah bagian dari filsafat yang mengupas apa arti menjadi manusia, ia mengakaji secara hakiki apakah hakekat dan esensi dari manusia itu. Dalam Hindu manusia sejatinya mempunyai 3 badan, yang disebut Tri Sarirara. Tri Sarira sthula sarira (badam kasar) terdiri dari, suksma sarira (badan halus), dan antah karana sarira (badan penyebab). Badan Kasar (sthula sarira) yang merupakan media berkarya bagi manusia dalam Bhagavad Gita disebut ksetra (lapangan kegiatan) dan ksetrajna (yang mengetahui badan), memiliki sifat yang sementara, mengalami pemerosotan, dan mengalami pertumbuhan. Suksma sarira atau badan halus adalah lapisan badan yang tidak dapat dilihat dan diraba, yaitu alam pikiran manusia. Alam pikiran letaknya jauh di dalam badan sehingga disebut dengan badan halus. Bagian dari suksma sarira adalah pikiran, citta kesadaran), dan ahamkara (ego). Antah Karana Sarira adalah badan yang menyebabkan dapat hidup dan berkegiatan, yaitu sang jiva atau ātma. Dhyāna adalah suatu keadaan dimana arus pikiran tertuju tanpa putus-putus pada suatu objek, objek yang dimaksudkan adalah Tuhan, karena jika pikiran tidak dialihkan dalam meditasi pada Tuhan ia akan terbawa oleh salah satu indria. Merenungkan objek-objek indria akan membawah jiva pada pemahaman badani, dan terikat oleh konsep badan sehingga mengalami duka cita dalam kelahiran dan kematian yang sulit untuk diputuskan. Paramātma dan Ātma adalah dua subtansi yang berbeda. Paramātma adalah roh yang mengarahkan pengembaraan ātma.

Judul: Filsafat Manusia dalam Bhagavad Gita
Oleh: Ni Wayan Sumertini
Dari: Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

0 Response to "Filsafat Manusia dalam Bhagavad Gita"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel