Diskursus Eksistensialisme Sartre dalam Vedānta
HINDUALUKTA -- Diskursus Eksistensialisme Sartre dalam Vedānta. Hidup dalam dunia yang penuh ketidakjelasan, tentu akan selalu menimbulkan kecemasan. Manusia adalah korban utama dan pertama dari rasa cemas ini. Manusia menjadi budak kecemasan dan merasa curiga serta takut terhadap segala hal yang akan dilakukannya. Dunia bukan dilihat sebagai bagian dari dirinya, tetapi sesuatu yang mengancam otentisitasnya sebagai oknum yang otonom. Dunia bukanlah semata-mata sebagai suatu tempat untuk tinggal dengan berbagai keindahan di dalamnya. Dunia tiada lain adalah sebuah situasi determinasi, yang bekerja secara buta dan irrasional.
Determinasi berarti segala sesuatu telah ditetapkan sedemikian rupa, sehingga manusia hanya menjalani suatu kondisi yang sudah terkondisikan sebelumnya. Seperti jam yang sudah disetting untuk berputar 360°, yang selama 60 detik akan secara otomatis bertambah 1 menit dan dalam 60 menit bertambah 1 jam. Demikian seterusnya jam berputar dari angka 12 kembali ke angka 12 selama 43.200 detik secara siklik. Dalam keteraturan ini semuanya diatur secara tidak teratur, acak dan tidak jelas. Berdasarkan apa bayi A ditetapkan terlahir dengan fisik sempurna, hidup bersama keluarga yang kaya dan bergelimang harta benda? Sebaliknya bayi B diharuskan terlahir dengan cacat fisik, bersama keluarga yang miskin dalam hidup yang penuh penderitaan? Berdasarkan apa sebuah batu, pohon, bukit, gunung dan hewan ditetapkan? Apakah semua ini adalah situasi yang terbaik dari segala dunia yang pernah ada? Terbaik menurut siapa?
Sartre adalah orang yang menolak kondisi ini. Sartre berkeyakinan bahwa manusia memiliki pilihan atas hidupnya sendiri. Manusia bukanlah bendabenda yang tidak memiliki kesadaran. Dengan pikiran dan kesadaran yang dimilikinya, manusia bisa menidak (mengatakan tidak) atas sesuatu yang tidak dipilihnya. Kemampuan menidak ini adalah khas manusia. Sartre menyatakan bahwa manusia hidup dalam tahap “ketiadaan”, pour-soi, kesadaran dalam subjektivitas murni. Hal itulah sebagai keberadaan murni manusiawi yang hanya mungkin terjadi atas dasar suatu kebebasan total yang mencipta karena kebebasan merupakan kemungkinan untuk néantisation, untuk “penidakan” (Bertens, 2000:146).
Berhubungan dengan hal tersebut, Sartre kemudian membedakan 2 substansi dalam ontologi filsafatnya, yaitu étre-en-soi dan étre-pour-soi. “Beradapada-dirinya-sendiri” (étre-en-soi) dan “berada-bagi-dirinya-sendiri” (étre-poursoi). Hal yang pertama adalah realitas padat-objektif, yang kedua adalah kesadaran diri yang hanya bisa ada sebagai penolakan terhadap “berada-padadirinya-sendiri” (kesadaran menyadari diri sebagai yang-bukan-apa-yangdisadarinya) (Suseno, 2006:94). Kedua hal ini dipisahkan oleh “tembok pembatas”, di mana étre-en-soi adalah benda ciptaan yang sudah membawa makna bagi kehadirannya, sedangkan étre-pour-soi menciptakan makna bagi dirinya sendiri.
Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah yang satu sempurna sebagai sebuah realitas ciptaan, dan yang lainnya tidak sempurna karena penuh celah serta kekosongan. Singkatnya benda-benda merupakan ciptaan yang sempurna, sedangkan manusia adalah tidak sempurna. Menurut Sartre setiap manusia hendak menjadi étre-en-soi dan étre-pour-soi sekaligus. Dengan kata lain, manusia ingin selalu “sempurna” sekaligus “berkesadaran”, namun étreen-soi dan étre-pour-soi sekaligus merupakan sifat “Tuhan”, sehingga mustahil bagi manusia untuk mencapainya. Berdasarkan hal tersebut, Sartre memberikan kabar “tragis” akan keberadaan manusia dan kehidupan di dunia ini. Sartre menegaskan bahwa “Man is useless passion!” (Manusia adalah hasrat kesia-siaan!”) (Budi Nugroho, 2013:45).
Pesimisme Sartre tersebut, dapat dikaji melalui khasanah pemikiran dan ajaran Timur, khususnya filsafat Vedānta. Dalam filsafat Vedānta, hakekat manusia bukanlah cacat atau kotor, sebaliknya esensi manusia adalah suci dan sempurna. Manusia memiliki kesadaran atas diri dan tindakannya, sekaligus memiliki potensi untuk merealisasikan “kesempurnaannya”. Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dikaji dan ditelusuri mengenai filsafat eksistensialisme Sartre dalam diskursus Vedānta, untuk menelaah pesimismenya, dan menggali tujuan ultim manusia yang sesungguhnya.
PEMBAHASAN
2.1 Eksistensialisme Suatu Reaksi Filosofis
Menjelaskan dan mendefinisikan eksistensialisme mungkin tidak mudah, tetapi setidaknya dapat dilakukan melalui pendekatan pertama, yakni secara etimologi. Budi Nugroho (2013, 14-15) menjelaskan bahwa secara harfiah, kata “eksistensi” yang dalam Bahasa Inggris adalah “existence” merupakan sebuah kata benda yang berarti “state of existing…” dan dengan kata kerja intrasitif “exist” dengan pengertian “be real…”, berasal dari bahasa Latin “existo” dan “exister”. Dalam Bahasa Prancis, “existo” terdiri dari “ex” dan “sisto” yang berarti to stand. Kesemuanya dalam bahasa Indonesia berarti “ada”. “adanya”, “hidup”, “kehidupan”, “keadaan hidup”, “berdiri”, “keadaan berdiri”, “ketiadaan mengada” atau “berada”. Imbuhan –isme di belakang kata tersebut mengacu pada pengertian aliran, ajaran atau pemahaman. Dengan demikian, apabila dierjemahkan secara harfiah, eksistensialisme berarti aliran, ajaran atau pemahaman mengenai “ada”, “hidup”, “kehidupan” atau “berada”.
Ada banyak tokoh yang berbicara dan menganut filsafat ini, di mana setiap tokoh memiliki pemikiran dan ide tersendiri mengenai hal tersebut. Muzairi (2002, 27-28) menjelaskan bahwa merumuskan eksistensialisme lebih sulit daripada filsafat eksistensi, yang pertama disebut sebagai aliran, sedangkan yang kedua adalah bentuk ragam filsafat. Dalam filsafat eksistensi sebagaimana maknanya, menetapkan cara wujud manusia. Di lain pihak, di antara kalangan eksistensialisme sendiri tidak ada kesepakatan mengenai apa itu eksistensialisme perdefinisi, bahkan ada tokoh-tokoh tertentu seperti Jaspers dan Hiedegger yang enggan dimasukkan dalam filsafat ini. Kesukaran lainnya adalah pemikir-pemikir tersebut dalam mengungkapkannya sering menggunakan bentuk sastra, drama, serta novel, sehingga dalam perkembangannya tidak jelas batas-batasnya karena merasuk ke dalam berbagai cabang ilmu, di antaranya kesusasteraan, psikologi dan teknologi.
Eksistensialisme tentu tidak bisa hanya dimaknai sebagai suatu “ada” atau “berada”, karena kedua kata ini memiliki cakupan yang luas, sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan dan semakin menjauh dari makna eksistensialisme bisa diacu dengan cara kedua, yaitu menelusuri eksistensialisme sebagai suatu gerakan pemikiran dalam filsafat. Budi Nugroho (2013, 16) menjelaskan bahwa, apabila dilakukan pengkajian secara seksama terhadap tokoh-tokohnya maka, kata-kata seperti: “eksistensi”, “individu”, “kebebasan”, “keputusan”, “pilihan”, “gairah” serta perhatian yang mengacu pada “subjektivitas individu” atau “manusia” sering digunakan. Dengan demikian, istilah eksistensialisme yang mengacu pada salah satu bentuk gerakan pemikiran yang ada dalam filsafat dapat diartikan secara umum sebagai suatu pemahaman yang menempatkan keberadaan individu atau entitas manusia di dunia sebagai yang utama.
Munculnya filsafat eksistensialisme sendiri merupakan sebuah reaksi atau penolakan terhadap marxisme dan idealisme. Menurut eksistensialisme, materialisme bertentangan dengan realitas, karena hanya memandang satu aspek lalu menyamakan menjadi keseluruhan. Di samping itu, materialisme hanya melihat subjek (manusia) sebagai objek, padahal dunia ini karena adanya subjek, hanyalah objek. Sedangkan idealisme dipandang tidak tepat dalam memandang manusia, karena manusia hanya dipandang pada kesadarannya semata-mata. Idealisme menghilangkan prinsip bahwa manusia berdiri sebagai subjek yang berkesadaran dalam menghadapi objek. Hal ini tampak jelas dalam perkembangan ontologi Sartre terutama pada dikotomi “for-it-self” dan “in-itself” (Muzairi, 2002:34-35).
Eksistensialisme berupaya menolak fragmentasi yang sempit terhadap manusia. Di mana materialisme hanya melihat manusia sebagai objek materi, sedangkan idealisme hanya memandang manusia sebagai ide-ide semata dan bukan sebagai suatu kehidupan yang konkret. Muzairi (2002:42) menjelaskan bahwa eksistensialisme benar-benar berupaya mengungkap manusia yang utuh sebagai eksistensi yang mendahului esensinya, sebab eksistensi manusia itu bukanlah selesai-mantap, akan tetapi sebaliknya terus mengada. Manusia menyadari keterbatasannya serta temporalitasnya. Dengan temporalitas tersebut, peranan kesejarahan sangat penting dalam eksistensialisme, dan ini bertolak belakang dengan pandangan kesejarahan idealisme Hegel dan materialisme Marx.
2.2 Eksistensi Mendahului Esensi
Soren A. Kierkegaard dikatakan sebagai “bapak” eksistensialisme, di mana filsafat ini bersumber pertama kali dari buah pemikirannya. Dalam perjalanannya filsafat ini terbagi menjadi 2 kutub, yang bisa dikatakan saling bertentangan, walaupun tema-tema besar yang menjadi pembahasan tetap sama, yakni seputar “ada” dan “berada” manusia di dunia. Kutub yang membedakan antar penganut aliran ini adalah, yang percaya Tuhan (teis) dan yang menolak Tuhan (ateis). Di antara penganut eksistensialisme teistik (agamis) yaitu: Kierkegaard, Karl Jasper, Martin Buber, Paul Tillich, Gabriel Marcel, sedangkan penganut ateistik (anti agama) yakni: J.P Sartre, F. Nietzsche, Martin Heidegger, Albert Camus, Dostoevsky, dan Maurice Ponty.
Sartre adalah salah satu tokoh terdepan penganut filsafat eksistensialisme ateis dan dianggap paling berpengaruh di abad ke-20. Jean Paul Sartre lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya adalah seorang penganut agama Katolik, sedangkan ibunya penganut agama Protestan. Kakeknya adalah seorang profesor dalam bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone. Sartre bertemu dan belajar pada Husserl di Jerman. Pertemuan inilah yang memberikan perkembangan tersendiri pada pemikirannya di kemudian hari. Melalui metode phenomenologi Husserl, Sartre mengembangkan filsafat eksistensi manusia (Muzairi, 2002:71-73).
Titik tolak eksistensialisme ateisme Sartre adalah kata-kata Dostoievsky: “kalau Tuhan tidak ada, segalanya diperbolehkan” (Wibowo, 2009:12). Dalam hal ini, Tuhan dengan hukum kodratnya merupakan penghalang bagi kebebasan manusia. Dengan adanya hukum kodrat, manusia tidak akan pernah bebas atas pilihannya. Suseno (2006:95) menjelaskan kalau memang ada Allah, maka alam semesta termasuk manusia harus dianggap ciptaan Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaan akan memiliki kodrat tertentu (sesuai teori hukum kodrat). Padahal, kodrat termasuk faktisitas, kenyataan yang berada-pada dirinya-sendiri, jadi manusia menurut Sartre tidak memiliki kodrat. Manusia justru harus menciptakan kodratnya, dirinya sendiri, melalui kebebasannya.
Manusia tidak akan mungkin menjadi manusia yang berkesadaran dan “memilih” apabila segalanya telah ditentukan sebelumnya. Apa bedanya manusia dengan benda-benda, apabila hal ini terjadi? Manusia akan tiada beda dengan pohon, hewan dan benda mati yang telah ditentukan terlebih dahulu esensinya baru kemudian bereksistensi. Lili Tjadjadi (2008:154) menjelaskan bahwa cara berpikir demikian, menurut Sartre adalah terbalik. Bukan esensi mendahului eksistensi, melainkan eksistensi yang mendahului esensi. Hal ini berarti bahwa manusia harus lebih dahulu merealisasikan diri dan segenap kekuatan yang ada padanya, menjadi “eksis” dan menegasi terus-menerus keadaan kini, dari sini barulah dirinya akan memperoleh apa adanya dirinya. Di mana kemampuan hakiki dalam perealisasian diri dan penegasan terusmenerus keadaan kini dan di sini adalah kebebasan.
Manusia “eksis” (ada) terlebih dahulu, baru kemudian “mengisi” keberadaannya. Dalam hal ini, manusia terlempar begitu saja di dunia. Terlempar tanpa alasan yang jelas dan mengisi kekosongan hidupnya. Wibowo (2009:13) menjelaskan bahwa eksistensi adalah keterlemparan manusia di dunia tanpa alasan seperti pohon maronnier di kota Jardin Luxembour yang ada-disana begitu saja dan menimbulkan nausée (rasa muak). Bagi manusia, sekali terlempar dirinya harus bertanggung jawab atas apa pun yang diperbuatnya dihadapan umat manusia. Kebebasan menuntut suatu tanggung jawab. Di mana ketika Tuhan sudah tidak ada, maka manusia yang harus memikul dan menanggung segala perbuatan beserta tanggung jawabnya sendiri.
Kebebasan dalam hal ini hendaknya tidak dimaknai sebagai kebebasan terbatas, yang ada di dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: anak-anak merasa bebas melakukan apa pun di rumah, karena tidak ada orang tua yang mengawasi; murid bebas ribut di kelas, karena tidak ada guru; atau seorang penjahat yang bebas melakukan aksi karena sepi dan tidak ada polisi. Semua kondisi ini seolah-olah menggambarkan kebebasan, tetapi bukan kebebasan yang sebenarnya. Hanya kondisi “seolah-olah” bebas. Selama ada Tuhan Yang Maha Kuasa maka segalanya berada dalam kekuasaanNya. Manusia hanya mengikuti kodrat yang telah ditetapkan olehNya, dan (anehnya) diharuskan bertanggung jawab secara penuh terhadap perbuatan yang bisa saja bukan pilihan sadarnya. Mungkin karena itulah kemudian “Tuhan” melalui agama memberikan pengampunan terhadap dosa (menghapus dosa dengan konsepsi tobat) dan menciptakan surga sebagai reward.
Menurut Sartre eksistensi adalah kebebasan secara total. Di mana kebebasan ini bukanlah merupakan sebuah pemberian atau karunia. Sebaliknya, kebebasan merupakan sebuah hukuman dari ketiadaan Tuhan. Sartre dalam Wibowo (2009:12) menjelaskan bahwa dengan tiadanya Tuhan, tiada pula alibi yang bisa dipegangi manusia. Dirinya harus menanggung bebannya sendirian di depan pilihan-pilihan yang sulit. Manusia memang ditinggalkan sendirian (déllaisé) dan “manusia dikutuk untuk bebas” (I’homme est condamné á étre libre). Manusia dikatakan terkutuk karena tidak pernah menciptakan dirinya sendiri, dan hanya menemukan dirinya terlempar begitu saja di dunia tanpa alasan yang jelas.
Manusia dengan kebebasan total yang dimilikinya secara terus-menerus memilih dan melakukan pilihan-pilihan. Di mana setiap pilihan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang mana harus ditanggungnya sendiri. Hamersma (1983:109) menjelaskan bahwa manusia harus memilih, dan hal tersebut merupakan hal yang sangat berat. Beban kebebasan itu begitu berat, sehingga manusia merasa takut, dirinya merasa angoissé, khawatir, gelisah. Manusia bertanggung jawab atas tindakannya. Banyak orang yang takut akan tanggung jawab ini, sehingga menyangkal kebebasan, tetapi itu berarti manusia melarikan diri. Manusia harus berani. Manusia dilemparkan pada faktisitas yang tidak dipilih sendiri, tetapi di dalam faktisitas ini, manusia harus mengisi kebebasan. Hal tersebut berarti “bereksistensi”.
2.3 Ontologi Sartre: Étre-en-soi dan Étre-pour-soi
Sartre tidak memasukkan metafisika dalam buah karyanya, tetapi dirinya menerima ontologi “ada” dalam filsafatnya. Sartre dalam Muzairi (2002:99) menjelaskan bahwa ontologi sebagai” “The study of structure of being of the existence taken as a totality” (studi tentang struktur yang ada dari yang mengada diambil sebagai totalitas). Lebih lanjut dikatakan: “Ontology describes being it self, the conditions by which “there is” a world, human reality…” Hal ini menggambarkan bahwa yang ada, dengan syarat-syarat “adanya” suatu dunia,yakni realitas manusia. Dengan demikian ontologi yang dipahami Sartre menggambarkan struktur tentang ada, tentang kesadaran dan kehadiran manusia di dunia yang bukan substansi atau proses, serta dihubungkan dengan ketubuhannya dan situasinya di dunia.
Sartre dengan tegas membedakan ontologi dan metafisika, bahwa karyakaryanya tidak berhubungan dengan metafisika. Menurutnya terdapat suatu jarak, bahwa metafisika berhubungan dengan dasar dan mencari keterangan mengapa ada di dunia yang khusus, tetapi selama mencari keterangan di belakang “ada”, keterangan tersebut diandaikan terlebih dahulu, dan keterangan-keterangan seperti itu hanya merupakan hipotesa. Sedangkan ontologi menggambarkan langsung, manusia menyadari tentang “adanya” melalui eksistensi “sadar-adanya-dalam-dunia” (Muzairi, 2002:99). Berdasarkan hal tersebut, Sartre menempatkan filsafatnya sebagai ontologi yang membumi, yang berbicara tentang “ada” “di depan” setelah manusia ada, dan bukan “di belakang” sebelum adanya manusia.
Eksistensialisme Sartre dikenal sebagai bentuk “ontologi radikal” dengan “oposisi biner” di dalamnya. Oposisi biner tersebut tampak pada pembagian Sartre akan segala hal menjadi étre-en-soi “berada dalam dirinya” (Being-in-itself) dan étre-pour-soi “berada bagi dirinya” (Being-for-itself). Bagi Sartre étre-en-soi adalah segala sesuatu yang tidak memiliki kesadaran, tidak mampu menyusun tujuan hidupnya sendiri, tujuan keberadaannya sepenuhnya ditentukan oleh eksistensi yang lain. Étre-en-soi dapat dimisalkan dengan sebuah meja, kursi, bangunan dan lainnya, yang tidak memiliki kesadaran. Meskipun demikian, étre-en-soi adalah sempurna, yakni sempurna sebagai meja, kursi, bangunan dan sebagainya. Dirinya tidak memiliki celah untuk dikritisi, tidak memiliki kekosongan yang memunculkan keinginan-keinginan (Budi Nugroho, 2013:67).
Étre-en-soi dalam perspektif Sartre adalah “ada” yang tanpa kesadaran, namun keberadaannya telah membawa makna bagi dirinya. Segala yang berhubungan dengannya telah ditentukan sekali untuk selamanya oleh sang pencipta. Sehingga, keberadaannya adalah tertutup dan baku. Sartre (2018:41) menyatakan apabila suatu produk pabrik seperti misalnya buku atau pisau pemotong kertas, maka dapat diketahui bahwa benda tersebut dibuat oleh seseorang yang sebelumnya telah mempunyai konsepsi mengenai benda tersebut. Orang tersebut, memperhatikan baik konsepsi mengenai pisau pemotong kertas maupun pra eksisten teknik produksi pisau tersebut yang merupakan bagian dari konsepsi tersebut, dan yang paling mendasar formula memproduksi pisau tersebut. Dengan demikian, pisau pemotong kertas itu pada saat yang sama adalah benda atau produk yang dapat diproduksi dengan cara-cara tertentu, dan di sisi lain mempunyai fungsi tertentu karena orang tidak akan memproduksi pisau tersebut tanpa tahu kegunaannya.
Berdasarkan hal tersebut maka étre-en-soi merupakan sesuatu yang dari awal keberadaannya (pra eksisten) sudah dirancang sedemikian rupa oleh penciptanya, sehingga dikatakan sempurna. Dengan membawa tujuan yang jelas bagi kehadirannya. Berbeda dengan étre-pour-soi, yang harus mengisi kekosongannya dan memberi makna bagi dirinya sendiri. Sartre dalam Budi Nugroho (2013:67) menguraikan bahwa étre-pour-soi adalah segala sesuatu yang memiliki kesadaran, dalam hal ini manusia itu sendiri. Dengan kesadaran tersebut, manusia mampu menyusun tujuan hidupnya, memaknai diri sendiri sesuai kehendaknya, bahkan memaknai pihak lain. Di satu sisi étre-pour-soi memiliki kekurangan, yakni celah yang dimilikinya yakni keinginan-keinginan yang menandakan ajegnya kekosongan.
Menurut Sartre, pada hakekatnya manusia selalu ingin menjadi sempurna, tidak memiliki celah dan kekosongan, namun di satu sisi, dirinya tetap ingin memiliki kesadaran. Dengan demikian, manusia hendak menjadi ”étre-en-soi-étre-pour-soi”, tetapi hal tersebut hanyalah sifat Tuhan semata. Oleh karena itu, kesimpulan fenomenal Sartre atas manusia adalah “Man is useless passion!” (Budi Nugroho, 2013:67). Dalam hal ini, Sartre menyiratkan bahwa manusia ingin menjadi oknum yang berkesadaran dan memiliki otentisitas terhadap dirinya, sekaligus tanpa celah atau kekosongan dalam dirinya. Bagi Sartre kondisi demikian adalah mustahil karena hal tersebut (kesempurnaan) merupakan milik Tuhan. Oleh sebab itu, dalam kesimpulan pesimismenya Sartre menyatakan bahwa “manusia merupakan hasrat yang sia-sia”.
2.4 Keputusasaan Sartre dan Optimisme Vedānta: Manusia Pencipta Nilai dan Sekaligus “Menjadi” Nilai Itu Sendiri.
Sartre menolak dengan tegas keberadaan Tuhan, karena baginya Tuhan merupakan penghalang bagi kebebasan manusia. Tuhan dengan hukum kodratnya telah “menulis” takdir manusia dan makhluk lainnya, bahkan sebelum makhluk tersebut ada (eksis). Dengan demikian, Tuhan seolah-olah menjadi oknum yang sewenang-wenang dalam menentukan takdir kehidupan. Atas dasar apa kehidupan setiap manusia, misalnya ditentukan? Jika berlaku hukum kodrat, maka segalanya telah ditentukan sebelumnya, lalu mengapa manusia masih harus bertanggung jawab atas tindakan yang tidak dipilihnya? Bagaimana caranya Tuhan (melalui hukum kodrat) memilihkan takdir seseorang secara adil?
Titik tolak Sartre adalah pada Tuhan dengan konsepsi hukum kodratnya, yang tentu saja adalah sosok Tuhan yang “pernah dikenalnya”. Lili Tjahjadi (2008:154) menyatakan bahwa dengan “kodrat” dimaksudkan suatu substratum tetap yang ditentukan dari sono-nya oleh Tuhan Pencipta. Dengan demikian, sejak semula dalam diri Tuhan sudah terdapat semacam rencana di mana esensi benda-benda ciptaan, juga manusia telah ditentukan. Dalam situasi ini, seorang manusia tidak dapat berubah mencapai taraf lebih tinggi daripada yang ditentukan oleh Tuhan lewat kodratnya. Menurut cara pandang ini, esensi yang ideal mendahului eksistensi, sekiranya terdapat kodrat manusiawi, maka kodrat tersebut akan menentukan manusia, dan akibatnya manusia tidaklah lain daripada hasil perkembangan yang secara substansial sudah ada sebelumnya.
Dasar penolakan Sartre apabila ditelaah dalam Vedānta akan menjadi kongruen atau sebangun, di mana “kebebasan” merupakan tema sentral dari filsafat ini. Vedānta secara harfiah berarti bagian akhir dari kitab suci Veda. Titib (1996:164) menjelaskan bahwa kata Vedānta terdiri dari kata Vedasya dan antah (akhir dari Veda). Di mana sistem filsafat ini lebih menekankan pada aspek pengetahuan dari ajaran Veda, yaitu merujuk pada ajaran-ajaran Upaniṣad. Filsafat Vedānta sendiri dikembangkan berdasarkan 3 kitab utama, yaitu: Upaniṣad, Bhagavad Gītā, dan Brahma Sūtra, di mana ketiganya disebut sebagai Prasthāna Traya. Pendit (2007:182) menjelaskan bahwa; dari semua aliran Vedānta, yang paling menonjol adalah aliran dari Śri Ṣaṅkarā. Sesungguhnya apa yang pada saat ini dikenal sebagai Vedānta, dan sering disebut sebagai Filsafat India bagi orang luar, adalah Advaita Vedānta dari Śri Ṣaṅkarā.
Tuhan dalam Advaita Vedānta (selanjutnya ditulis Vedānta) adalah Sang Realitas Tertinggi yang disebut dengan Brahman, kesatuan yang tiada terbagi dan abadi. Brahman melampaui suatu pribadi, di mana ke dalamnya setiap makhluk datang dan kembali. Brahman adalah kesatuan yang orisinal dan final, yang di dalamnya dan melaluinya segala sesuatu menjadi ada, sehingga sangat tidak masuk akal, apabila Tuhan dikatakan memiliki natur moral. Dengan berbagai sifat yang mengatur kodrat manusia, karena realitas tertinggi bukanlah pribadi sama sekali (Nirguna Brahman). Dalam Bhagavad Gītā VII. 24 disebutkan bahwa: avyaktaṁ vyaktim āpannaṁ manyate mām abuddhayaḥ, paraṁ bhāvam ajānanto mamāvyayam anuttamam. Terjemahan: “Orang yang picik pengertian beranggapan Aku (Brahman) yang tak berbentuk menjadi termanifestasikan, tidak mengetahui sifat-sifatKu yang lebih tinggi yang kekal abadi dan Yang Maha Tinggi (Pudja, 2013:198).
Brahman tidak menulis takdir manusia, tetapi memberikan kebebasan sepenuhnya kepada setiap individu untuk memilih hidupnya sendiri melalui karma, yaitu suatu tindakan yang dilakukan atas pilihan sadarnya seseorang. Hukum karma tidak bersifat tertutup, baku, atau determinan, tetapi sebaliknya terbuka, dinamis dan dilakukan melalui pilihan-pilihan sadar. Di mana setiap individu menulis takdirnya sendiri dan dapat merubah apa yang ditulisnya, karena kehidupan merupakan proses evolusi kesadaran, yang bertujuan untuk peningkatan kualitas manusia. Hukum karma memberikan peluang bagi manusia untuk mengisi hidupnya sendiri, melakukan pilihannya sendiri dan mengambil tanggung jawabnya sendiri. Pemahaman ini yang tidak dipahami dan bahkan terkadang oleh umat Hindu sendiri, karena masih ada yang beranggapan bahwa karma adalah suatu hukuman (punishment), yang harus diterima dan dipikul secara pasrah seperti halnya konsepsi hukum kodrat.
Vedānta menyatakan bahwa setiap manusia yang lahir adalah lengkap dan sempurna, hanya saja tidak memahami esensi kesempurnaannya. Manusia tidak diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), melainkan dari keberadaan (sat), yaitu eksistensi yang sempurna. Sejak keberadaannya, manusia telah membawa esensi dan sekaligus eksistensi bagi dirinya. Ketidaktahuan atau avidyā menyebabkan manusia melupakan eksistensinya dan esensinya yang sejati. Tugas filsafat Vedānta adalah mengingatkan dan mengarahkan manusia akan tujuan dan makna keberadaannya (esensinya) di dunia, dan sekaligus merealisasikan tujuan (eksistensi) tersebut. Abhedānanda (2015:41) menjelaskan bahwa kehidupan telah memiliki tujuannya, bahwa tujuan meskipun dapat bervariasi dalam manifestasi tertentu, tetap saja terjadi kecenderungan dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan. Hal ini yang menyebabkan Vedānta menunjukkan tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan.
Kebebasan, tanggung jawab, kesedihan yang mendalam, dan absurditas adalah tema-tema Sartre yang muncul secara tersirat dalam semua karyanya. Puncaknya adalah pemikiran tentang kegagalan karena semua usaha manusia pasti akan mengalami kegagalan. Di mana dengan kebebasannya, dengan rencana-rencana dan proyek yang dibuatnya untuk masa depannya, dengan sasaran-sasaran yang disiapkan untuk dirinya sendiri, manusia mencoba menjadi makhluk yang lengkap dan sempurna; dirinya ingin menjadi sebab bagi keberadaanya, menjadi dasar yang sadar atas hidupnya, menjadi makhluk yang secara sadar, sengaja dan dengan bebas membuat dirinya sendiri, tetapi hal ini tidaklah mungkin. Oleh karenanya, kehidupan manusia adalah frustrasi atau dalam bahasa Sartre: “Manusia adalah sebuah hasrat yang sia-sia” (Martin, 2003:34-35).
Pesimisme Sartre ini bila ditinjau dari diskursus Vedānta, maka kesatuan étre-en-soi-étre-pour-soi adalah niscaya bagi manusia. Dalam konsepsi Vedānta, dinyatakan bahwa hakekat manusia adalah sempurna. Manusia sebagai “esensi” dan sekaligus mengatasi esensi (makna keberadaannya) tersebut untuk kemudian “bereksistensi” (mencapai kesadarannya secara penuh). Dalam Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad I.4.10 dinyatakan aham brahmāsmi (Aku adalah Tuhan). Putu Putra (2014:234) menjelaskan bahwa ungkapan “Aku adalah Tuhan” bukanlah timbul dari sifat meninggikan hati, melainkan suatu kerendahan hati yang total. Seseorang yang berkata bahwa “Aku adalah hamba Tuhan”, menyebut dua keberadaan. Sedangkan ungkapan “Aku adalah Tuhan” berarti peniadaan diri (ahaṁkara), yakni dirinya menyerahkan diri pada keberadaan mutlak (eksistensi universal).
Sankaracharya (tt:134-141) menguraikan bahwa manusia yang telah dibebaskan dalam hidup ini, walaupun masih tinggal dengan badan manusia disebut sebagai jivanmukta. Seorang jivanmukta telah mengalami pengalaman nirvikalpa samadhi (terserap dalam nyala api “Brahman” yang abadi), sehingga kesempurnaannya telah menjadi satu dengan Brahman. “Manusia merdeka” atau jivanmukta senantiasa menjalankan segala aktivitasnya di dunia dengan sangat ringan, bebas, tanpa beban, dan lepas dari segala pertentangan. Dalam kesempurnaannya manusia akan menjadi pribadi yang penuh, tanpa celah seperti sifat dari étre-en-soi dan memiliki kesadaran secara penuh atas diri serta dunianya, seperti halnya sifat étre-pour-soi. Dengan demikian, maka manusia tidak saja menjadi pencipta nilai bagi dirinya, tetapi menjadi sumber bagi nilai tersebut.
PENUTUP
Sartre dapat dikatakan sebagai filsuf eksistensialisme yang berhaluan ateis dan terbesar pada abad ke-20. Di mana titik tolak Sartre adalah pada konsepsi Tuhan dengan hukum kodratnya, yang dianggapnya sebagai penghalang bagi kebebasan manusia. Bagi Sartre manusia adalah eksistensi yang bebas da berkesadaran, namun tidaklah sempurna. Dalam hal ini, kemudian Sartre membagi ontologi filsafatnya menjadi 2 substansi yakni: étre-en-soi “berada dalam dirinya” (Being-in-itself) dan étre-pour-soi “berada bagi dirinya” (Being-foritself). Étre-en-soi adalah segala sesuatu yang tidak memiliki kesadaran, tidak mampu menyusun tujuan hidupnya sendiri, tujuan keberadaannya sepenuhnya ditentukan oleh eksistensi yang lain. Eksistensi yang lain ini adalah manusia yang memberikan makna bagi dirinya sendiri bahkan bagi keberadaannya yang lain. Menurut Sartre manusialah sebagai pencipta nilai. Manusia adalah étre-pour-soi “berada bagi dirinya” (Being-for-itself).
Meskipun demikian, Sarte berpendapat bahwa manusia merupakan hasrat yang sia-sia. Di mana manusia selalu ingin menjadi sempurna, tidak memiliki celah dan kekosongan, tetapi hal tersebut hanyalah sifat Tuhan semata, sehingga tidak akan mungkin untuk diwujudkan. Pesimismenya ini dapat berubah menjadi optimisme dalam diskursus filsafat Vedānta. Di mana tujuan dari Vedānta adalah merealisasikan kebebasan manusia dan menuju kesempurnaan hidup. Kesempurnaan yang dimaksud adalah menjadikan manusia sebagai pencipta nilai dan sekaligus “menjadi” nilai tersebut. Dalam hal ini, manusia adalah sempurna (tanpa celah) dan sekaligus berkesadaran. Dalam Bahasa Sartre, manusia menjadi étre-en-soi dan étre-pour-soi sekaligus (sat, cit, ananda). Hal inilah sebagai tujuan ultim manusia.
Judul: Diskursus Eksistensialisme Sartre dalam Vedānta
Oleh: I Gede Arya Juni Arta
Dari: SMP PGRI 8 Denpasar
0 Response to "Diskursus Eksistensialisme Sartre dalam Vedānta"
Post a Comment