Oleh karena itu, banyak teks-teks sastra agama yang berbahasa Jawa Kuna yang terdapat di Indonesia, terutama di Bali.Di Bali teks-teks sastra agama tersebut disimpan dalam bentuk lontar-lontar.Di Bali naskah lontar dihargai sebagai “candi pustaka” tempat suci yang dibangun dengan kata-kata terpilih.Esensi dari ratusan lontar yang ada di Bali memiliki tiga tema utama (Agastia, 1987:40).Tiga tema dimaksud adalah jñāna, susila, dan raṣa. (1) Tema jñāna, yaitu pengetahuan hakikat dan diwujudkan menjadi lontar tattwa. Isinya didominasi oleh doktrindoktrin teologi-filosofis. (2) Tema suśila, diwujudkan menjadi lontar sāśana dan nīti. Isi teksnya didominasi oleh ajaran moral dan kepemimpinan. (3) Tema raṣa, atau estetika-religius diwujudkan dalam lontar seni dan lontar-lontar religius-magis (Suka Yasa dan Sarjana, 2011:2)
Di dalam teks lontar seringkali transformasi ajaran disampaikan dalam bentuk mitos-mitos.Mitologi merupakan kesadaran primitif berupa gambarangambaran mengenai dewa-dewi untuk menjelaskan gejala-gejala alam, pandangan moral, estetika, dan memiliki konsep-konsep tentang adikodrati (Bagus, 2000:657). Penganut agama Hindu di Bali masih mempercayai akan keberadaan dan kebenaran mitos, sehingga lontar-lontar yang memuat mitologi tetap mendapat perhatian bahkan sangat dikeramatkan. Melalui mitos, masyarakat digiring untuk mulai berpikir tentang inti kesemetaan, dengan media kisah-kisah para dewa yang bisa dinikmati dari berbagai kelas pemikiran.
Lontar-lontar di Bali memiliki bentuk dan isi yang beraneka ragam.Hal ini terlihat dalam pengelompokan lontar-lontar di Gedong Kirtya, Singaraja. Pengelompokan tersebut digolongkan menjadi 6 (enam) jenis, yaitu :
a. Weda, meliputi Weda, Mantra, Kalpasastra.
b. Agama, meliputi Palakerta, Sasana, Niti.
c. Wariga, meliputi Wariga, Tutur, Kanda, Usada.
d. Itihasa, meliputi Parwa, Kakawin, Kidung, Geguritan.
e. Babad, meliputi Pamancangah, Usana, Uwug.
f. Tantri, meliputi Tantri, Satua. (Cika, 2006:2)
Dari pengelompokan di atas cerita Mahābhārata termasuk ke dalam kelompok Itihasa karena Mahābhārata terdiri atas aṣṭadaśaparwa. Menurut Zoetmulder (1994:112-113), parwa yang dapat ditemukan dalam khazanah sastra Jawa Kuna hanya 9 (sembilan) buah, yaitu Ādiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasanaparwa, Mausalaparwa, Prastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.
Dari kedelapan parwa yang berbahasa Jawa Kuna, Ādiparwa merupakan bagian awal dari kitab Mahābhārata.Menurut Zoetmulder (1994:80),Ādiparwa dapat dipandang terdiri atas 2 (dua) bagian tersendiri. Bagian pertama, menyajikan kerangka mengenai epos Bhārata adalah cerita mengenai upacara korban atas perintah Raja Janamejaya dengan tujuan untuk memusnahkan para naga dikarenakan Raja Parikṣit yang merupakan ayah dari Raja Janamejaya dibunuh oleh naga Taksaka. Bagian kedua, berisikan silsilah para Pandawa dan Kaurawa, kelahiran dan masa muda mereka hingga pernikahan Arjuna dengan Subhadrā.
Di samping cerita di atas, di dalam Ādiparwa juga terdapat cerita mengenai Sunda dan Upasunda, cerita tersebut sering digunakan dalam kesenian Bali, terutama dalam sendratari.Sunda dan Upasunda merupakan saudara kandung yang sangat setia, mereka mendapatkan anugerah untuk dapat menguasai tri bhuwana dari Bhaṭāra Brahmā. Akhir kisah ini, Sunda dan Upasunda saling mengalahkan untuk merebut Dewi Tilottama dan kaka-beradik tersebut tewas terbunuh. Selanjutnya dibahas mengenai aspek estetika Hindu yang terdapat di dalam cerita Sunda dan Upasunda pada teks Ādiparwa.
B. PEMBAHASAN
1. Estetika Hindu
2. Deskripsi Cerita Sunda Dan Upasunda
Teks Ādiparwa merupakan suatu karya sastra agama Hindu yang berbentuk parwa (prosa).Dalam tulisan ini digunakan teks Ādiparwa berbahasa Jawa Kuna yang diterjemahkan oleh P.J. Zoetmulder. Cerita Sunda dan Upasunda berada di dalam bab XVII halaman 285-289. Adapun sinopsis dari cerita Sunda dan Upasunda yang terdapat pada teks Ādiparwa dijelaskan sebagai berikut.
Diceritakan, Bhaṭāra Nārada datang menemui Yudhiṣṭira di Kerajaan Indraprastha.Bhaṭāra Narada memberikan wejangan kepada Yudhiṣṭira agar berhatihati dalam hal memperistri Dropadī, agar tidak terjadi konflik sesama Pāṇḍawa. Bhaṭāra Nārada menceritakan kisah Sunda dan Upasunda kepada Maharaja Yudhiṣṭira.
Ada 2 (dua) raksasa bersaudara, bernama Sunda dan Upasunda.Kedua saudara tersebut saling mengasihi, tidak makan apabila tidak berdua dan selalu satu pendirian. Mereka bermaksud menguasai tri bhuwana maka Sunda dan Upasunda bertapa di puncak Gunung Windhya.Sunda dan Upasunda memotong daging mereka untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Agni.
Melihat keseriusan Sunda dan Upasunda bertapa, para dewa menjadi takut apabila tapa mereka berhasil.Kemudian para dewa mencari akal agar kedua raksasa tersebut gagal dalam tapaan mereka.Para dewa kemudian menciptakan gadis yang membawa segala jenis perhiasan, namun baik Sunda maupun Upasunda tetap teguh akan pertapaannya.
Oleh karena keteguhan Sunda dan Upasunda bertapa maka Bhaṭāra Brahmā datang dan bertanya anugerah apa yg diingingkan oleh mereka. Kedua saudara tersebut meminta agar dapat menguasai tri buwana, tidak ada yang dapat menaklukkan mereka, dan tidak ada makhluk apapun yang membahayakan selain mereka. Bhaṭāra Brahmā akhirnya memberikan anugerah tersebut sesuai dengan keinginan Sunda dan Upasunda.
Setelah mendapat anugerah, maka kedua raksasa tersebut menyerbu Tri bhuwana, tidak ada satupun dewa yang dapat mengalahkan mereka. Para dewa kemudian menghadap Bhaṭāra Brahmā untuk mendapatkan anugerah agar dapat mengalahkan Sunda dan Upasunda, kemudian Bhaṭāra Brahmā memerintahkan Sang Wiśwakarma untuk menciptakan gadis yang sangat cantik.Sang Wiśwakarma mengerjakan dengan hati-hati, diambilnya ratna yang bagus, terdiri dari seratus biji wijen, yang dikumpulkannya akhirnya menjadi seorang gadis yang sangat cantik bernama Tilottamā.
Di puncak Gunung Windhya, Sunda dan Upasunda melakukan pesta dan mabuk-mabukkan, saat itulah Tilottamā datang. Oleh karena sudah mabuk dan melihat kecantikan dari Tilottamā, Sunda dan Upasunda berebut untuk mendapatkan Tilottamā. Kedua raksasa tersebut tidak ada yang mau mengalah, maka pertarungan Sunda dan Upasunda tidak terelakkan yang akhirnya mereka tewas bersama.
Hal itulah yang menjadi wejangan dari Bhaṭāra Nārada agar para Pāṇḍawa tidak saling memperebutkan Dropadī agar tidak mendapatkan nasib seperti Sunda dan Upasunda, maka Yudhiṣṭira membuat perjanjian dengan adik-adiknya tentang peraturan memadu kasih dengan Dropadī.
3. Estetika Hindu dalam Cerita Sunda dan Upasunda
3.1 Satyam
Di dalam estetika Hindu, satyam diartikan sebagai kebenaran.Unsursatyam juga termasuk kepada nilai-nilai kejujuran, ketulusan, dan kesungguhan yang sesuai dengan ajaran agama Hindu.
Di dalam cerita Sunda dan Upasunda, adapun yang mengandung nilai satyam, yaitu.
.....lumāmpah ta ya magawe paripūjā ri puncak ing Windhyācala, majaṭā mawalkala, tan pamangan tan panginum wway tan paturū..... (Ādiparwa XVII, hal : 285-286)
Terjemahannya :
.....maka bertapalah di puncak Gunung Windhya, berjangut dengan berpakaian kulit kayu, tidak makan. Tidak minum, dan tidak pula tidur..... (Zoetmulder, 2006:285-286).
Dari kutipan di atas mengandung nilai satyam, Sunda dan Upasunda dengan ketulusan dan kesungguhan bertapa di puncak Gunung Windhya untuk mendapatkan anugerah.Dengan rasa ketulusan dan kesungguhan melakukan pertapaan, maka dapat disebut Sunda dan Upasunda sudah melakukan nilai satyam.
Di samping itu, nilai satyam yang terdapat dalam cerita Sunda dan Upasunda juga berkaitan dengan pertapaan mereka, seperti yang dijelaskan kutipan berikut ini.
.....pinūjakênya ta dagingnya, tinêwӧrnya saka satampyal,hinomākênya ri hyang Agni. Hanan pangekapāda, makapanampak pādāngguṣṭanya kiwā, ya maruḍung ri sang hyang Ādityapanas sadākāla. Malawas pwa yāgawe tapa..... (Ādiparwa XVII, hal : 286)
Terjemahannya :
.....yang dikorbankan daging mereka berdua, dipotong-potongnya sekerat demi sekerat disajikan kepada Sanghyang Agni.Mereka berdiri pada sebuah kaki, yang ditpakkan ibu jari kaki kirinya. Mereka selalu memuja kepada Sanghyang Āditya dengan cara selalu berpanasan (pada terik matahari). Mereka bertapa sampai lama..... (Zoetmulder, 2006:286).
Dari kutipan di atas mengungkapkan kebenaran dalam hal pertapaan untuk meminta sesuatu harus dilaksanakan dengan cara yang bersungguh-sungguh dan niat yang tulus. Sunda dan Upasunda bahkan rela mengorbankan dagingnya kepada Sanghyang Agni, serta berpanaspanasan dalam waktu yang lama untuk mendapatkan anugerah.
3.2 Siwam
Siwam merupakan unsur estetika Hindu yang terbentuk dari nilai-nilai ketuhanan yang juga menyangkut kesucian. Adapun unsurSiwam yang terdapat di dalam cerita Sunda dan Upasunda, yaitu.
.....pira kunang lawas nira ratu, ḍatêng ta bhagawān Nārada, wiku sakeng swargaloka, prajñā ring sapta swāra mwang gitānṛta, makādi ring caturwed, nirantara wijilnya sangkeng tutuk nira. Sādara ta mahārāja Yudhiṣṭira, i têka sang ṛṣiwara, maswagata maweh pādyārghācamanīya, mangaturi ratwāsana..... (Ādiparwa XVII hal : 285)
Terjemahannya :
.....beberapa lamanya menjadi raja itu, batara Nārada datang, yaitu seorang wiku (dewa) dari sorga, siap dengan bunyi-bunyian tujuh suara, nyanyian dan tarian, lagipula empat macam weda tidak karuan keluar dari mulut. Maharaja Yudhiṣṭira menghormat kedatangan sang resi itu, menyambut dengan air pencuci kaki dan kumur sebagai tanda penghargaan, menyerahkan tempat duduk raja..... (Zoetmulder, 2006:119).
.....Irikān ḍatêng bhaṭāra Brahmā..... (Ādiparwa XVII hal : 286)
Terjemahannya :
.....disanalah batara Brahmā datang..... (Zoetmulder, 2006:286)
.....prihati ta sarwadewatā, matang yan panangkil ri bhaṭāra Brahmā, mapulung rahi sahana nira, amintānugraha ri patya nikang daity kalih. Mojar ta bhaṭāra Brahmā ri sang Wiśwakarmā : “Sṛjyatām prāthaniyaikā pramadeti mahātapāḥ!”..... (Ādiparwa XVII hal : 287)
Terjemahannya :
. ....para dewa bersedih hati, lalu menghadap batara Brahmā, berundinglah semuanya minta anugerah, yaitu kematian dua raksasa itu. Maka kata batara Brahmā kepada sang Wiśwakarmā :Sṛjyatām prāthaniyaikā pramadeti mahātapāḥ!”..... (Zoetmulder,2006:287).
Teks Ādiparwa yang merupakan karya sastra agama mengandung nilainilai ketuhanan seperti yang dijelaskan dalam kutipan di atas.Bhaṭāra Nārada datang menemui Yudhiṣṭira dan Bhaṭāra Brahmā datang menemui Sunda dan Upasunda merupakan nilai ketuhanan yang menyangkut kesucian, karena para dewa berkesempatan untuk menemui makhluk yang ada di dunia.Apalagi kedatangan Bhaṭāra Nārada kepada Yudhiṣṭira disambut dengan baik oleh Yudhiṣṭira, karena Bhaṭāra Nārada dianggap orang suci.Kedatangan para dewa kepada Bhaṭāra Brahmā juga tidak terlepas dari nilai siwam karena hanya anugerah dari Bhaṭāra Brahma-lah yang dapat mengalahkan Sunda dan Upasunda. Oleh karena kesucian dari Bhaṭāra Brahmā, maka beliau memerinthkan Sang Wiśwakarmā untuk membuat gadis yang sangat cantik, anugerah tersebut merupakan kesucian yang diberikan Brahmā kepada Wiśwakarma.
3.3 Sundaram
Sundaram merupakan unsur estetika Hindu yang terbentuk dari nilai-nilai keindahan.Adapun nilai-nilai keindahan dalam cerita Sunda dan Upasunda adalah kecantikan dari Tilottamā yang membuat para dewa berfokus hanya pada Tilottamā, seperti yang dijelaskan berikut ini.
.....manêmbah ta sira mapradakṣiṇa ri bhaṭāra Brahmā (Sanghyang Rudra sira milw anangkil ri bhaṭara Brahmā), kapūhan de ning hayu sang Tilottamā, ginawe nira ta ng muka patang siki, lor, kidul, kulwan, wetan, yatanyan tan anghelānolih, tuminghal i rūpa sang Tilottamā, an mapradakṣiṇa. Mangkana ta sang hyang Indra hêla-hêla tinghal nira, ginawe nira tang nera sahasra, tathapinya tan warêg juga tumon, ngūniweh tang dewatā kabeh, kapwa Tilottamā wiṣaya ning matanya... (ĀdiparwaXVII hal : 287-288)
Terjemahannya :
.....menyembah kepada batara Brahmā (Sanghyang Rudra menghadap juga kepada batara Brahmā) tertawan oleh molekjelitanya, maka dibuatnya muka 4 (empat) buah, utara, selatan, barat, dan timur, supaya tidak susah menolehnya melihat sang Tilottamā yang sedang menyembah itu. Demikian pula sanghyang Indra pandangan matanya tidak memberi kepuasan, lalu dibuatnya mata seribu buah, tiada juga kenyang memandangnya, demikian pula para dewa semua, hanya Tilottamā-lah yang menjadi sasaran matanya..... (Zoetmulder,2006:287-288).
Kutipandi atas melukiskan kecantikan dari Tilottama yang membuat para dewa terus memandangnya, hingga Sanghyang Rudra memiliki wajah empat dan Sanghyang Indra memiliki mata seribu hanya untuk memandang Tilottamā. Begitupun para dewa yang lain hanya fokus terhadap kecantikan Tilottamā seorang.
Oleh karena berbentuk parwa (prosa) dalam tradisi mabebasan di Bali maka Ādiparwa dilantunkan dengan palawakya. Dalam melagukan palawakya sangat bergantung pada tabuh basa atau intonasi dan onek-onekan, yaitu pengejaan dan pemenggalan kata-kata.
Menurut Suarka (2007:28) konsep mabebasan tidak hanya dipahami sebagai aktivitas bersastra, tetapi juga merupakan konsep metodologis. Prinsip dasar mabebasan adalah memandang karya sastra sebagai basa makulit, suatu bentuk penggunaan bahasa yang khas bersifat menyembunyikan atau membungkus sesuatu. Ada 3 (tiga) langkah yang ditempuh dalam mabebasan, yaitu wirama (membaca), wiraga (menerjemahkan), dan wirasa (mengungkapkan makna).
Wirama (membaca) merupakan langkah penting dalam mabebasan, karena semua konvensi yang memungkinkan suatu tanda bermakna wajib diperhatikan oleh pembaca teks.Wiraga (menerjemahkan) dalam mabebasan mengindikasikan adanya proses menafsirkan teks yang akan memudahkan pembaca dalam memahami teks dan mengungkapkan makna sebuah kaya sastra. Wirasa (mengungkapkan makna) dalam mabebasan dimaksudkan dengan memahami konsep membaca karya sastra sebagai tindak mengkonsumsi karya sastra, maka dalam rangka proses produksikonsumsi, wujud karya sastra dipahami sebagai satu bentuk produk yang ditujukan untuk dikonsumsi oleh konsumen atau pembaca. Proses pemaknaan merupakan gerak bolak-balik secara terus menerus, dalam mabebasan peserta biasanya memperhatikan dan mendalami setiap aspek karya sastra (manelebin) lalu mendiskusikan (mabligbagang) kemudian merekontruksi makna karya sastra yang dihadapinya (Suarka, 2007:29-30).
C. PENUTUP
Berdasarkan uraian yang dibahas maka dapat disimpulkan, estetika Hindu merupakan estetika yang didasarkan atas ajaran-ajaran agama Hindu yang mengandung tiga unsur, yaitu Satyam yang berarti kebenaran, Siwam yang berarti kesucian, dan Sundaram yang berarti keindahan.
Cerita Sunda dan Upasunda terdapat di dalam teks Ādiparwa, Ādiparwa merupakan parwa pertama di dalam Mahābhārata, Ādiparwa ini berbentuk parwa (prosa) yang merupakan karya sastra agama Hindu yang sarat akan nilainilai atau ajaran-ajaran agama Hindu. Cerita Sunda dan Upasunda mengandung unsur-unsur estetika Hindu, yaitu Satyam, Siwam, dan Sundaram.Adapun unsur Satyam dalam cerita Sunda dan Upasunda adalah pada saat mereka dengan ketulusan dan kesungguhan melakukan pertapaan di puncak Gunung Windhya.
Unsur Siwam dalam cerita Sunda dan Upasunda terlihat saat Bhaṭāra Nārada mendatangi kepada Yudhiṣṭira, Bhaṭāra Brahmā mendatangi Sunda dan Upasunda untuk memberikan anugerah, serta para dewa yang menghadap Bhaṭāra Brahmā. Unsur Sundaram dalam cerita Sunda dan Upasunda, dapat dilihat dalam pelukisan kecantikan dari Tilottamā yang membuat para dewa terfokus hanya pada Tilottamā Di samping itu, unsur Sundaram juga dapat dilihat dalam tradisi mabebasan di Bali, Ādiparwa karena berbentuk parwa umumnya dinyanyikan secara palawakya, sehingga tradisi mabebasan di Bali terdiri dari wirama, wiraga, dan wirasa pada saat palawakya memberikan keindahan bagi penikmat kesenian Bali.
0 Response to "Estetika Hindu Dalam Cerita Sunda Dan Upasunda Pada Teks Ādiparwa"
Post a Comment