Menelisik Alam Nikala yang Agung


Semoga Brahman melindungi kami berdua. Semoga Brahman mengaruniakan kepada kami pahala pengetahuan. Semoga kami mendapatkan kekuatan untuk meningkatkan pengetahuan. Semoga usaha belajar kami itu dapat mengungkapkan kebenaran. Semoga kita berdua tidak saling menilai negative satu sama lain.
           
Doa di atas diucapkan bersama oleh Guru dan Murid agar dikaruniai  kekuatan untuk menambah pengetahuan. Kemanunggalan bisa terjadi apabila Guru dan Murid sebenarnya dapat saling memahami. Di dalam hubungan itu terdapat juga disiplin, tetapi disiplin itu terlahir dari kebebasan-dalam hal ini tidak ada kejadian yang satu mengajar yang lain-keduanya belajar bersama untuk mencari kebenaran. Doa di atas merupakan suatu pendahuluan yang tepat bagi ajaran-ajaran mengagumkan tentang kematian yang dibahas dengan penuh kesungguhan oleh Yama, Dewa Penguasa Maut bersama Naciketa.
           
Diceritakan seorang Rsi bernama Vajasrava, ia punya anak laki-laki satu orang, yaitu Naciketa. Vajasrava artinya orang yang menjadi terkenal karena kedermawanan, sedang kata na-ciketa artinya tidak dapat dipahami, tidak dapat dipersepsi-sesuatu yang berada di luar batas kemampuan persepsi normal. Naciketa melambangkan segi mistik daripada agama yang menjurus kepada inti dan hakekat.
           
Di dalam upacara kurban yang diselenggarakan oleh Vajasrava yang sedang membagi-bagikan sapi tua yang tidak beranak lagi, tidak menghasilkan susu, kepada para Brahmana, Naciketa bertanya kepada ayahnya, kepada siapakah ayah berikan diri hamba ini? Ayahnya di dalam hati kecilnya mengetahui apa yang dimaksud oleh pertanyaan anaknya, ia merasa tersindir dan dengan penuh kemarahan ia menjawab: “Engkau akan kupersembahkan kepada Yama, Dewa Maut!” Ayahnya telah berniat untuk mempersembahkan dirinya kepada Yama- karena itu ia harus pergi menuju Yama.
         
Naciketa menyadarkan ayahnya, bahwa kematian itu merupakan kejadian biasa, kelahiran dan kematian merupakan suatu siklus yang berkelanjutan – mereka yang terlahir harus mati dan mereka yang mati harus lahir kembali (reinkarnasi).
           
Naciketa meneruskan perjalannya menuju Yama, tetapi Yama tidak ada ditempat, tiga malam Naciketa menunggu, Akhirnya Yama kembali, dan ia minta maaf kepada Brahmana muda yang telah menunggu tanpa mendapat pelayanan selayaknya.
           
Setelah terlebih dahulu minta maaf, Yama menawarkan kepada Naciketa tiga jenis berkah sebagai ganti tiga malam yang telah digunakan untuk menunggu. Naciketa mengajukan permohonan yang pertama agar kemarahan ayanya diredakan, semoga ayahnya hidup berbahagia terbebas dari rasa kekwatiran, dan semoga ia ingat kepadanya dan menerimanya kembali setelah ia meninggalkan Yama di sini.
           
Permohonan yang kedua, tidak ada perasaan takut di alam kesucian itu; menjadi tua dan kematian tidak terdapat di sana. Setelah melampaui kedua proses itu, jiwa akan menikmati kegembiraan di alam surga, terbebas dari perasaan lapar dan haus, terbebas dari kesedihan. Mereka yang hidup di alam surga akan menikmati kehidupan yang berkepanjangan. Paduka mengetahui O Yama, api suci yang dapat mengantarkan jiwa ke alam surga. Jelaskanlah itu kepada hamba itulah permohonan hamba yang kedua.
         
 Api suci khusus itu ialah untuk menghormati anak muda yang berani dan pantang menyerah ini. Inilah api yang dapat mengantarkan jiwa menuju ke surga sebagai pilihanmu yang kedua. Orang akan menamakan api suci itu api kurban Naciketa.

Permohonan yang ketiga, Naciketa ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam proses kematian itu, apakah kehidupan itu masih berlanjut setelah mati atau tidak. Apakah sebenarnya yang terjadi – masih tetap hidup atau tidak? Di dalam kematian itu apakah masih ada eksistensi atau tidak?
           
Dengan pertanyaan itu Posisi Yama sangat sulit sehingga Dia meminta agar Naciketa membebaskannya dari pertanyaan yang harus dijawab itu. Karena itu ia meminta kepada Naciketa agar mengajukan permohonan yang lain.
           
Tetapi Naciketa bukan murid biasa - ia tahu apa yang ia cari. Kepada Yama ia mengatakan, maka katakanlah kemana ia harus menuju untuk mendapatkan jawabannya. Yama sebaliknya menyatakan bahwa di seluruh alam semesta raya tidak ada lagi Guru yang mampu mengungkapkan rahasia kematian itu, terkecuali Yama, Dewa penguasa kematian itu sendiri. Dengan demikian Naciketa lalu menegaskan bahwa tidak ada lagi berkah yang lebih penting daripada pengetahuan tentang kematian ini – ia harus dapat mengetahui rahasia kematian itu – dan rahasia itu harus di dengar dari Dewa Penguasa Kematian sendiri. Namun Yama kembali meminta kepada Naciketa agar membebaskan dirinya dari kewajiban memberikan jawaban itu.
           
Yama menggunakan seluruh kemampuannya untuk membujuk Naciketa agar mengurungkan niatnya mengajukan pertanyaan yang muskil itu. Yama menggoda Naciketa dengan menawarkan berbagai jenis hadiah yang pasti akan mematahkan keinginan orang lain. Godaan itu meliputi berbagai bentuk kenikmatan yang sangat didambakan oleh kebanyakan manusia.
           
Tetapi Naciketa teguh imannya, tidak tergoda oleh segala godaan yang ditawarkan. Ia telah bertekad untuk tetap tinggal di sana sampai rahasia kematian diungkapkan kepadanya, dan rahasia itu harus diungkapkan oleh Yama sendiri.
                       
Jelaskanlah segala perbedaan pengertian tentang Alam Niskala Yang Agung itu. Karuniakan kepada hamba kemampuan yang dapat menembus selubung misteri tersebut. Itulah satu-satunya berkah yang telah dipilih oleh Naciketa.

Barangkali Yama belum pernah bertemu dengan siswa sehebat Naciketa. Ia tidak menemukan penggoda yang dapat menggoyahkan keinginannnya. Karena itu Yama terpaksa harus mempersiapakan murid barunya itu untuk menerima Rahasia Abadi itu. Yama mengawali dengan mengatakan bahwa dua jalan yang selalu ditempuh oleh manusia.

Baik itu satu, menyenangkan itu lain lagi. Keduanya itu mengandung tujuan yang berada yang dikaitkan dengan keinginan manusia. Akan selamatlah akhirnya mereka yang memilih jalan yang baik, namun mereka yang memilih jalan menyenangkan, akhirnya akan menyimpang dari tujuan. Yama mengatakan bahwa orang yang menempuh jalan kesenangan tidak akan mencapai tujuan akhir, karena ia akan dibelit oleh penderitaan yang tidak pernah berakhir sebagai akibat permainan dua sifat kembar yang saling bertentangan (rwabhineda) tersebut.

Dalam usaha mempersiapkan Naciketa untuk menerima kebenaran tentang kematian, Yama menunjukkan jalan yang Baik itu. Kebaikan yang dimaksud oleh Yama bukanlah Kebaikan sebagai lawan dari keburukan. Apabila baik yang dimaksud itu sekedar kebalikan dari keburukan, maka tentulah hasil terakhirnya akan sama saja. Apalah artinya jalan yang baik apabila di dalamnya terkandung juga keburukan? Jadi di sini Yama berbicara tentang kebaikan sebagai kebaikan Absolud, suatu kebaikan yang tidak mempunyai lawan tanding, bukan kebaikan hasil dari pertentangan yang terjadi di dalam jiwa. Kebaikan Absolud ialah Kebaikan yang tidak terjangkau oleh pikiran.

Kebaikan Absolut itu berada di luar batas ruang lingkup kontinuitas jiwa. Karena itu didalam menguraikan kedua jalan itu Yama menunjukkan dua jenis pengalaman jiwa yang berbeda – yang satu berada di dalam batas-batas ruang kontinuitas, dan yang lain berada di luarnya itu. Karena Naciketa telah bertanya tentang hakekat Alam Niskala yang bersifat transenden itu, maka dari permulaan sekali Yama menunjukkan kepadanya kalau hal yang ditanyakan itu berada pada Jalan Kebaikan, bahwa di ujung jalan kebaikan itulah terletak rahasia Alam Niskala yang bersifat Transenden itu.

Di sinipun hendaknya dipahami, bahwa kebijakan yang dimaksud bukan sepenuhnya merupakan kebalikan dari kebodohan. Kebijakan yang dimaksud di sini tidak mempunyai kebalikan. Kebijakan itu bangkit ketika keduanya yaitu kebodohan dan kepintaran tidak berfungsi. Di atas Yama menyatakan bahwa manusia tenggelam karena diberati oleh rasa kemilikan yang selalu dipeliharanya.

Jelaslah bahwa kebijakan yang dimaksud di mana orang menjadi ringan setelah semua rasa kemilikannya ditinggalkan – dan dengan demikian ia mampu berenang dengan ringan mengarungi arus kehidupan. Orang yang bijak bukanlah orang yang duduk bermalas-malasan di pantai dan tidak perduli terhadap adanya arus kehidupan. Tetapi ia berada di tengah-tengah arus kehidupan itu sendiri, berenang dengan ringan, karena setelah meninggalkan semua kemilikannya tidak ada lagi yang perlu dijaganya, dan dengan demikian ia dapat lebih pasti mendapatkan keselamatan diri. Orang yang meninggalkan segala-galanya tidak akan tenggelam karena arus itu sendiri bahkan melindungi dirinya.

Orang yang tidak memiliki kebajikan bersifat “kekanak-kanakan, ceroboh dan selalu ditipu oleh kekayaan”, demikian berulang-ulang mereka akan mengalami kematian, tetapi sebenarnya ia itu tidak pernah mati. Orang yang memiliki kebijakan tidak akan terpengaruh lagi – karena mereka telah menguasai kematian, dengan demikian merekapun bergerak bersama dengan kematian itu meski ketika masih hidup. Orang yang berulang-ulang digoncangkan oleh kematian tentu saja tidak menyadari adanya Alam Niskala Yang Agung di balik semuanya itu.

Jadi jelas hanya Dia saja yang dapat mengajarkan tentang Alam Transenden Yang Agung itu. Namun seluruh pengetahuan itu bukan merupakan hasil dari proses berpikir. Bagaimana mungkin pikiran manusia mampu bergerak hingga melampaui batas kemampuan pikir itu sendiri? Alam Transenden yang berada di luar batas itu tentulah berada di luar ujung terdepan pergolakan pikiran. “Itu lebih tinggi dari pikiran yang tertinggi, melampaui batas seluruh kemampuan berpikir”. “Jalan menuju ke sana itu ialah Guru itu”. Jadi jelas, bukan ajarannya yang dapat menyampaikan kita ke sana, tetapi Guru. Hanya Gurulah yang dapat mengantarkan kita melewati jalan itu. Guru itu lebih besar dari ajaran, Guru itu menguasai ajarannya, meliputi seluruh ajaran sedangkan seluruh ajaran itu tidak pernah melampaui kemampuan Guru.

Guru itu selamanya berada di luar batas ajaran; karena Dia itu tetap tidak termanifrstasikan, walaupun seluruh ajarannya telah dicetuskan. Dan kebijakan muncul apabila pikiran dan Guru mampu menyatu. Komunikasi sejati hanya mungkin apabila penunggalan itu telah terjadi. Ajaran keramat itu tidak diketahui dengan daya nalar. Rahasianya itu dikomunikasikan oleh Guru kepada murid melalui melalui suatu proses penunggalan. Dan di sini Naciketa telah menemukan seorang Guru, yaitu Yama sendiri. Rahasia kematian dapat diketahui hanya melalui pengertian yang menyatu dengan kematian – tidak ada cara lain lagi.

Yama telah datang dan menunggalkan diri dengan Rahasia Besar itu dan kepada Naciketa rahasia itu dapat dikomunikasikan. Yama melukiskan keadaan menunggal ini dengan sangat indahnya, “Naciketa seperti sebuah rumah yang terbuka bagi Brahma”. Dengan meninggalkan jalan yang memberikan kesenangan, ia kemudian membersihkan rumah dan membiarkan kosong hanya disediakan bagi Brahma. Penunggalan tidak mungkin bisa terjadi selama manusia masih melakukan kegiatan positif di dalam jiwanya. Dengan usaha-usaha penentraman jiwa, maka ruangan kosong tercipta. Dan hanya apabila di dalam jiwa itu telah tersedia suatu ruangan yang bersih dan kosong, maka Guru dan murid dapat manunggalkan diri.

Pikiran manusia tidak dapat menembus sampai melampaui batas dan mencapai Kebenaran Absolut. Kebenaran itu sendiri yang akan datang meresap ke dalam jiwa manusia dan itu akan terjadi apabila pikiran manusia telah bebas terbuka, tidak diikat oleh rasa kemilikan. Yama mengawali pelajarannya dengan menyatakan kepada Naciketa, Ketika para bijak mengarahkan Pikirannya menuju kepada Brahma di Alam Tanpa Batas, yang mengatasi Waktu, tidak mudah dipersepsi, bersembunyi di bagian paling rahasia, ketika seluruhnya terfokus sedemikian itulah, maka para bijak itu terangkat kesadarannya mengatasi kesadaran terhadap senang dan susah.

Jadi di sini keadaan itu hanya menunjukkan bahwa pikiran sudah tidak bergerak lagi, ia terpusat, diam dan mencoba menembus dengan kekuatan sangat besar. Lalu terjadilah kediaman yang teramat sangat sepi. Kesunyian yang sangat mendalam. Hanya dalam keadaan sedemikian inilah orang dapat mengalami penunggalan dengan Tuhan, Brahma yang keberadaanya bersumber dari suatu kondisi yang mengatasi Waktu, bermula dari suatu tempat yang teramat sangat rahasia bagi segala-galanya. Dalam pengalaman penyatuan ini kesadaran manusia terangkat sampai ke suatu level yang terbebas dari suka dan tidak suka, karena Kebaikan Mutlak itu berada jauh di luar batas libatan sifat kembar yang saling bertentangan.

Di sini Naciketa meminta kepada Yama apakah yang terdapat di luar batas Masa Lampau dan Masa Yang akan Datang, Masa Lampau dan Masa Yang akan Datang merupakan suatu proses Waktu, apa yang terdapat di luar proses waktu itu.

Yama menggunakan kata Padam (arah) untuk melukiskan cara pendekatan itu, yang menunjukan adanya suatu arah. Semua Kitab Suci, semua Guru, semua yang diekspresikan dengan kata-kata atau symbol atau juga mantra – hanyalah merupakan jari-jari penunjuk arah yang menunjuk ke suatu jurusan kearah mana pikiran harus ditujukan. Semuanya hanya merupakan penunjuk jalan yang akan diikuti oleh para murid yang ingin mencapai suatu tingkat kesadaran spiritual. Apabila Naciketa ingin mengetahui apa saja yang terdapat dibalik Alam Di Luar Batas Pikiran itu, maka ia harus bergerak dan menempuh jalan itu sendiri. Sebagai Guru Sejati, Yama hanya mengacu dan menunjukan arah yang sebaiknya ditempuh oleh Naciketa. Yama mengatakan bahwa arah atau padam itu ialah aksara suci OM. OM yang terdiri dari tiga huruf  A-U-M itu melambangkan daya penciptaan, daya pemeliharaan dan daya penghancuran kembali (pemralina).  

Haruslah diingat kalau OM itu bukan sekedar tiga aksara. Dengan melalui banyak latihan orang akan bisa mengucapkannya dengan tepat, bukan sekedar bisa mengucapkannya, tetapi mengetahui apa yang masih belum terucapkan. Suara yang terucapkan tergantung daripada suara yang tak-terucapkan. Yama menyatakan, rahasia Alam Transenden itu terletak di dalam aksara suci OM, tetapi rahasianya tidak akan terungkapkan hanya melalui pengucapannya, tetapi melalui sifat tak terucapkan yang berada di sisi lain dari aksara tersebut.

 Aksara OM itu sebenarnyalah Brahman. Aksara ini merupakan puncak tertinggi. Siapapun yang mengetahui kebenaran aksara ini akan mendapat semua yang diinginkan olehnya.
Yama menunjukkan, Dia yang mengetahui itu tidak dilahirkan; tidak dapat mati; tidak terlahir dari siapapun dan dari apapun; dan tidak ada sesuatupun yang telah terlahir darinya. Dia yang mengetahui itu ialah Vipascit.

Dia yang mengetahui (Vipascit) itu ialah Kesadaran Suci Murni – Kesadaran yang terbebas dari modifikasi. Kesadaran hanya dapat menjadi murni apabila telah kembali ke keadaan asal mula-mulanya sekali. Kesadaran mula itu merupakan warga dari Alam Tanpa Waktu, dan Alam Tanpa Waktu itu tidak terlahir dan juga tidak termatikan. Yama mengatakan kepada Naciketa, apabila ingin mengetahui rahasia Alam Transenden yang Agung itu, maka ia harus memahami ruang lingkup aksara keramat OM yang adalah identik dengan Brahma. Yang hanya dapat diketahui dengan Kesadaran Murni atau Atman itu.

Atman itu, lebih halus daripada yang terhalus, lebih kasar dari yang terkasar, teramat kecil dan juga teramat besar, melampaui bunyi dan bentuk, tanpa rasa raba, tanpa rasa licap dan tanpa bau, dia itu kekal, tidak pernah berubah dan tanpa awal dan akhir, bermukim di dalam sanubari setiap makluk hidup. Orang yang mempunyai jiwa dan indria terkendali pada saatnya akan berhasil melihat kemuliaan Atman, dan dengan demikian akan terbebas dari penderitaan dan kesedihan.

Jadi rahasia kematian tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, karena rahasia itu dikuasai oleh Atman, sedangkan Atman itu tidak tersentuh oleh pikiran. Apabila Atman memang mengetahui segala-galanya, maka pastilah Rahasia Kematian itu juga berada di dalam pengetahuan Atman. Maka Yama menginstruksikan kepada muridnya untuk berjuang mencari Atman, karena dengan menemukan Atman, anda akan mengetahui Rahasia Kematian.

Karena itu dengan menunggalkan diri dengan Atman Naciketa dapat menemukan rahasia Alam Transenden yang Agung itu. Di sini Atman itu dilukiskan sebagai nyala tanpa asap, Atman itu merupakan suatu kemurnianan mutlak, karena itu ia bagaikan api tak berasap. Yama mengatakan bahwa Atman itu Penguasa Masa Lalu dan Masa Yang Akan Datang karena Dia mengatasi proses waktu. Ia imanen dalam Waktu tetapi ia berada juga di luar Waktu.

Di alam Atman , matahari tidak bersinar, demikian juga bulan. Dan tidak perlu adanya bintang-bintang . Petir dan kilat tidak berfungsi di sana – mana pula aperlunya api yang dikenal di dunia ini. Dari cahaya Atman itulah semua yang bersinar ini mendapatkan sinarnya – dan kemuliaan-Nya itu menyinari seluruh Alam Ciptaan.

Di dalam kesadaran yang murni dan bersih, seperti kejernihan kaca cermin yang bersih, ia akan nampak di dalam kehidupan ini; tetapi di alam kematian Ia tampak bagaikan di alam mimpi – atau seperti pantulan cahaya di atas permukaan air yang beriak.

Kesadaran yang teguh itu disebut Yoga. Orang harus tetap waspada dan tanggap – karena Yoga itu datang dan pergi. Tetapi kilasan-kilasan yoga yang hanya sekejap itu dapat diketahui oleh orang yang gigih mengusahakan agar tidak ada sesuatu yang melekat pada bidang permukaan kesadaran itu. Ia harus menjaga agar bidang kesadarannya itu tetap bersih, tidak dinodai sedikitpun oleh garis-garis pengalaman yang berkesinambungan.

Kematian merupakan pengalaman sekejap – tetapi pada saat kematian itu Kekekalan itu bisa ditemukan. Yama meminta kepada Naciketa agar selalu waspada terhadap saat kematian – seperti kilat, dalam sekejap ia akan tahu rahasia kematian dan arti dari Alam Seberang Yang Agung itu.
Adalah orang yang tahu bagaimana melakukan kematian terus-menerus dapat mengetahui rahasia tentang kematian atau rahasia Kekekalan, inilah ajaran pemberi hidup yang disampaikan oleh Yama kepada orang-orang yang ingin mengetahui tentang arti kematian, dan dengan demikian ajaran ini juga penting bagi kehidupan itu sendiri.

0 Response to "Menelisik Alam Nikala yang Agung"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel