Pelangi Senja Dibalik Cinta Kasih Orang Tua
Fetty Maryasa |
Setengah abad saya melalui perjalanan di dunia ini. Sebelum sampai di penghujung jalan ingin menuangkan rasa syukur atas indahnya perjalanan ini dan pelangi di langit yang selalu menyertainya. Masih ingat lagu masa kecil ‘Pelangi’? Sangat indah dan menyejukkan jiwa. Waktu kecil sampai remaja saya tumbuh menjadi minoritas di sebuah kecamatan di Jawa Tengah. Almarhum bapak adalah seorang pendidik yang sangat tinggi dedikasinya. Walaupun saya dan keempat saudara perempuan semua, namun beliau selalu mengajarkan kemandirian dan kepribadian. Almarhum ibu mengajarkan bagaimana melukis kehidupan dengan banyak kegiatan dan arti. Betapa besar nilai pendidikan yang sudah diajarkan beliau pada kami.
Walaupun saya tidak mendapatkan pelajaran Agama Hindu selama sekolah namun nilai agama yang ada di buku rapor dan ijazah adalah nilai Agama Hindu. Saya mendapatkan buku dari almarhum bapak untuk dipejari sendiri. Pada saat evaluasi belajar bapak akan ke Departemen P&K Propinsi di Semarang untuk mengambil soal. Saya (dan 4 saudara) harus menyampaikan soal tersebut ke Kepala Sekolah dalam amplop yang rapat tertutup. Ini merupakan salah satu warna dalam pelangi hidupku, bagaimana harga diri harus ‘ditawarkan’ dengan integritas.
Almarhum ibu mengajarkan untuk menjadi wanita yang sejati. Ada 2 pembantu di rumah, Lik Samiyem dan Mbok Kerto. Mereka ada di rumah bukan untuk melayani saya bersaudara. Mereka adalah asisten ibu. Saya dan saudara harus bisa mengurus diri sendiri, bagaimana mengatur waktu belajar dan menjadi mandiri. Sabtu sore dan Minggu merupakan waktu bersama di rumah. Kami berlima berbagi tugas membantu Mbok Kerto dan Lik Samiyem, menyapu, mencuci, memasak dan pekerjaan rumah lainnya. Mereka seperti halnya pegawai menikmati hari libur di akhir pekan. Kami semua harus menghargai mereka baik dalam komunikasi maupun perilaku. Kami tidak membedakan makanan yang dimakan. Kami harus menghormati mereka karena mereka lebih tua. Warna kedua pelangi kami yaitu harga diri dengan saling menghargai.
Kami harus menjadi manusia berpribadi. Pendidikan sampai sarjana (kecuali kakak nomor 1) adalah minimal yang harus kami selesaikan. Selain itu kami harus menjalani pendidikan non formal. Selain nilai budi pekerti di atas, kami juga harus mandiri dalam ekonomi. Ibu membantu perekonomian keluarga dengan membuka toko kelontong, persewaan pengantin dan merias pengantin. Bersama bapak, ibu juga bertani. Saat panen tiba, kami harus ke sawah sepulang sekolah. Sambil mengawasi orang-orang memanen untuk memastikan tidak ada pencurian, kami ikut menuai padi.
Panen padi berarti saatnya kami mempunyai uang untuk membeli barang ekstra seperti baju baru atau tas. Padi yang kami petik bisa dikeringkan dan digiling untuk kami jual dan uangnya merupakan bonus kami. Dalam perdagangan, kami harus membantu ibu menghitung uang penjualan pada malam hari, dan menggantikan jaga toko sepulang sekolah agar ibu bisa beristirahat. Kami juga diberikan kesempatan untuk berkreasi. Saya masih ingat bagaimana membuat es setiap malam dan menggoreng bakwan utnuk mengurangi kerusakan gandum. Inilah warna pelangi ketiga bahwa hidup itu harus berusaha dan memberikan arti.
Warna pelangi terindah dalam hidupku adalah bagaimana orang tua menjaga kehormatan kami sebagai wanita. Kami harus menggunakan pakaian yang tertutup (walaupun non muslim). Sebelum jam 6 sore kami sudah harus di rumah. Kami harus menjaga hubungan baik dengan semua orang termasuk dengan pria. Pendidikan tersebut melekat dalam hati dan secara otomatis terbawa saat umur 17 tahun harus mandiri kuliah di Bogor. Beruntung dapat tempat kos yang mempunyai nilai sama dengan orang tua sehingga tidak ada ‘shock culture’. Lucu juga kalau ingat masa kuliah. Mantan pacar harus menerima tamparan di pipi karena berani mencium di malam tahun baru. Saya harus selalu memegang pesan orang tua, kalau pacaran cukup gandeng tangan saja. Hm…hm….masih cocok gak ya untuk sekarang?
“Pelangi…pelangi….alangkah indahmu. Merah kuning hijau di langit yang biru……..” ini adalah penggalan lagu pelangi. Seindah pelangi seindah perjalanan setengah abad hidupku. Pelangi ada setelah hujan reda. Hujan dan panas adalah hukum alam. Begitu juga hidup, ada susah dan senang, hitam dan putih. Coba bayangkan kalau hanya ada salah satu misalnya hanya ada warna hitam, betapa gelapnya dunia ini. Perjalanan hidupku tentu saja selain pelangi ada hujan dan panas bahkan ada petir juga. Semua sudah saya lalui hingga sampai saya menyelesaikan tulisan ini. Semua terekam dalam hati tetapi pelangi adalah warna yang kusukai, dan rasa syukurlah yang harus selalu kuucapkan.
Perjalanan hidupku sebagai seorang perempuan, dari gadis sampai berkeluarga dengan dua anak penuh dengan batu kerikil di jalanan. Begitu juga dengan karirku. Namun semua kuhadapi dengan selalu dekat Yang Maha Kuasa. Persoalan hidup adalah ujian dari Tuhan yang akan membuat saya lebih baik. Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar kemampuanku. Terimakasih Tuhan atas semua karuniaMu. Kau titipkan aku pada orang tua yang super hebat yang telah mengantarkanku di jalan dharma. Kau berikan keluarga kecil yang penuh warna, suami yang saling mengisi serta sepasang anak yang sudah dewasa. Anak-anak sudah mulai mandiri dan saatnya untuk memberikan arti lebih dalam kehidupan ini.
Oleh: Fetty Maryasa
0 Response to "Pelangi Senja Dibalik Cinta Kasih Orang Tua"
Post a Comment