Makna Pelaksanaan Upacara Tawur Agung dalam Penyambutan Hari Raya Nyepi


Perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan untuk memperingati tahun baru Saka. Secara etimologi, kata Nyepi berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya sepi, simpeng atau hening. Umat Hindu meyakini Nyepi sebagai hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta atau air hidup. Untuk itu, umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Perayaan Nyepi dilaksanakan dengan penuh keheningan dengan menghentikan segala aktifitas, baik yang bersifat duniawi maupun dalam bentuk keinginan atau hawa nafsu. Berusaha mengendalikan diri agar dapat tenang dan damai lahir batin dengan menjalankan Catur Brata Penyepian.

Kondisi India sebelum tahun Masehi, diwarnai dengan pertikaian yang panjang antara suku bangsa yang memperebutkan kekuasaan sehingga Raja yang menguasai India silih berganti dari berbagai suku, yaitu: Pahlawa, Yuwana, Malawa dan Saka. Diantara suku-suku itu, yang paling tinggi tingkat kebudayaannya adalah suku Saka. Ketika suku Yuechhi di bawah Raja Kaniska berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78 Masehi. Pada tahun 456 Masehi atau tahun 378 Saka, orang India datang ke Indonesia mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan agama Hindu di Jawa. Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke-13) sistem kalender tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Negara Kertagama. Sejak saat itu, tahun Saka resmi digunakan di Indonesia. Masuknya agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14, dengan sendirinya membakukan sistem tahun Saka di Bali hingga sekarang. Perpaduan budaya (akulturasi) Hindu India dengan kearifan lokal budaya Hindu Indonesia (Bali) dalam perayaan tahun baru Saka inilah yang menjadikan pelaksanaan hari raya Nyepi unik seperti saat ini.

Nyepi jatuh pada penanggal Apisan sasih Kedasa (tanggal 1 bulan ke-10 tahun baru Saka). Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX). Umat Hindu merayakan tahun baru Saka selama 24 jam, dari matahari terbit (jam 6 pagi) sampai jam 6 pagi besoknya. Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Saka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada, suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan Paramatma atau Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal atau menyatu kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan pada tahun yang baru.

Rangkaian upacara Nyepi yang pertama adalah Melasti. Kata Melasti berasal dari kata Mala yang berarti kotoran dan Asti yang berarti membuang atau memusnahkan. Melasti bertujuan untuk membersihkan segala kotoran badan dan pikiran bagi kesejahteraan manusia. Upacara ini biasanya dilakukan dengan membawa arca, pretima atau pun barong yang merupakan simbolis untuk memuja manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, diarak oleh umat Hindu menuju laut atau sumber air. Hal ini dilakukan untuk memohon pembersihan dan tirta amertha (air suci kehidupan). Seperti dinyatakan dalam Rg Weda II, “Apam napatam paritastur apah” yang artinya air yang berasal dari mata air dan laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan. Selesai melasti, pretima, arca dan sesuhunan barong biasanya dilinggihkan di Bale Agung (Pura Desa) untuk memberkati umat.

Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Tawur Agung, tepatnya pada Tilem sasih Kesanga dan dilaksanakan pada waktu tengah hari. Tawur artinya membayar atau mengembalikan, yaitu mengembalikan sari-sari alam yang telah digunakan manusia. Sari-sari alam itu dikembalikan melalui upacara Tawur yang dipersembahkan kepada para Butha, dengan tujuan agar para Bhuta tidak mengganggu manusia sehingga bisa hidup secara harmonis. Setelah upacara Tawur pada tengah hari, dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu menyebar nasi tawur, mengobor-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda apa saja hingga bersuara ramai atau gaduh. Filosofi Tawur adalah agar kita selalu ingat akan posisi dan jati diri kita, dan agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam lingkungan.

Puncak hari raya Nyepi adalah dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian. Kegiatan ini dilakukan dengan penuh keheningan selama 24 jam. Adapun bagian dari Catur Brata Penyepian itu adalah Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan dan Amati Lelanguan. Amati Geni yaitu tidak boleh menyalakan api, Amati Karya tidak bekerja, Amati Lelungan tidak bepergian, dan Amati Lelanguan yang berarti tidak bersenang-senang. Dengan demikian, kita diharapkan mampu mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatan, serta merenungi dan mengevaluasi ketiganya.

Ketika melaksanakan Nyepi, kita tidak boleh menyalakan api. Tidak menyalakan api dalam arti tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan menghidupkan api. Dan yang lebih utama adalah mengendalikan sikap atau perilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (Krodha) dan api serakah (Lobha). Kita harus belajar mengendalikan api yang ada dalam diri untuk mencapai kedamaian batin. Kegiatan ini dalam Catur Brata Penyepian disebut dengan Amati Geni.

Selain Amati Geni, bagian Catur Brata Penyepian yang lain adalah Amati karya. Pada saat ini, umat Hindu tidak boleh bekerja. Tidak diperbolehkannya aktivitas kerja karena Amati Karya bermakna sebagai evaluasi diri dalam kaitan dengan karya (kerja). Merenungi hasil kerja dalam setahun dan sebelumnya, dan apakah sudah bermanfaat bagi kehidupan manusia. Mengevaluasi kerja kita, apakah aktivitas kerja itu sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (subha karma) dapat menolong manusia terhindar dari penderitaan. Aktualialisasi Amati Karya dalam konteks hari raya Nyepi merupakan perenungan pikiran yang religius. Mengajarkan umat Hindu dalam evaluasi hasil kerja, yaitu menyisihkan hasil kerja untuk yadnya, untuk Sang Hyang Widhi, untuk Rsi, untuk Leluhur maupun untuk Budhi.

Selanjutnya yaitu Amati Lelungan yang berarti tidak boleh bepergian. Tidak bepergian dalam arti tidak pergi dan keluar dari rumah. Kegiatan ini berfungsi sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber pengendalian diri. Dalam konteks yang lebih luas berarti evaluasi diri terhadap pekerjaan, hubungan dengan Tuhan, sesama dan alam sekitar, sehingga kita dapat menilai hasil kerja seobyektif mungkin. Apakah mutu meningkat untuk kebaikan atau bahkan malah merosot, dan langkah selanjutnya bisa menentukan sikap. Dengan melakukan evaluasi ini, diharapkan agar lebih memantapkan kualitas kerja untuk hidup manusia.

Dan bagian Catur Brata Penyepian yang keempat adalah Amati Lelanguan yang artinya tidak boleh bersenang-senang. Amati lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang untuk mulat sarira atau mawas diri terhadap kegiatan yang berkaitan dengan wacika. Wacika adalah perkataan yang benar, apakah dalam interaksi dengan sesama maupun dengan Tuhan sudah dilaksanakan atau belum. Manusia Hindu telah diajarkan agar tetap melaksanakan wacika yang parisudha, artinya dalam proses komunikasi tidak boleh berkata kasar dan tidak boleh menyebabkan orang tersinggung dan menderita. Perkataan (wacika) yang diparisudha itulah yang patut dipahami dan menata sikap seseorang agar hidup ini aman dan bahagia.

Sehari setelah Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Ngembak Geni. Dalam bahasa Indonesia, kata ngembak berarti mengalir dan geni yang berarti api, yang merupakan simbol dari Brahma (Dewa Pencipta). Pada saat Ngembak Geni inilah, tapa brata (Nyepi) yang telah dilaksanakan selama 24 jam bisa diakhiri dan kembali beraktifitas seperti biasa. Memulai hari yang baru untuk berkarya dan mencipta, berkreativitas kembali sesuai swadharma atau kewajiban masing-masing. Ngembak geni biasanya diisi dengan kegiatan Persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Shanti, yaitu mengunjungi kerabat atau saudara untuk bertegur sapa dan bermaaf-maafan.

Jika kita renungi secara mendalam, perayaan Nyepi mengandung makna dan tujuan yang sangat dalam dan mulia. Seluruh rangkaian Nyepi merupakan sebuah dialog spiritual yang dilakukan umat Hindu, agar kehidupan ini seimbang dan harmonis sehingga ketenangan dan kedamaian bisa terwujud. Mulai dari Melasti, adalah dialog manusia dengan Sang Pencipta serta para leluhur. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya merupakan dialog manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya untuk menyucikan Buana Alit dan Buana Agung. Pelaksanaan Catur Berata Penyepian merupakan dialog sang Atman dan Paramatman. Dalam diri manusia ada Atman yang bersumber dari Sang Pencipta. Ngembak Geni dengan Dharma Santhinya merupakan dialog spiritual antar sesama manusia untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian hidup.

Ada beberapa tujuan dilaksanakannya hari raya Nyepi. Dipandang dari aspek religius, merupakan suatu proses penyucian Buana Agung dan Buana Alit. Untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa) dengan cara membina kehidupan yang berlandaskan kebenaran (satyam), kesucian (siwam), dan keharmonisan (sundaram). Membiasakan diri untuk melakukan tapa, brata, yoga dan semadi bagi masing-masing pribadi umat. Sedangkan dari aspek sosial budaya merupakan wahana untuk intergrasi umat bersama-sama ngiring Ida Betara dari awal sampai nyejer di Bale Agung.

Percaya atau tidak, banyak bencana alam maupun kecelakaan yang terjadi menjelang pergantian tahun baru Saka, tepatnya sekitar bulan Oktober hingga Februari. Hal ini menunjukkan bahwa alam mulai kehilangan keseimbangan. Misalnya, bencana tsunami 26 Desember 2004 yang meratakan tanah Aceh. Juga gunung Kelud yang meletus pada 13 Februari 2014, yang abunya sampai ke Jawa Tengah. Hingga yang baru-baru ini terjadi yaitu longsor Banjarnegara dan kecelakaan pesawat Air Asia. Semua itu tidak hanya sekedar terjadi karena takdir Tuhan, tetapi juga mengingatkan pada kita untuk mengembalikan atau membayar apa yang telah kita ambil dari alam ini.

Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil dan menggunakan sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Hal ini perlu diimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang, sebagaimana umat Hindu yang selalu melaksanakan upacara Tawur Kesanga setiap menjelang tahun baru Saka. Mengingat kata Tawur yang berarti mengembalikan atau membayar, umat Hindu melakukan upacara ini untuk memohon keselamatan serta keseimbangan alam sehingga manusia bisa hidup di alam ini dengan damai dan harmonis.

Makna etika upacara Nyepi adalah sebagai upaya pengendalian diri. Hari raya Nyepi merupakan salah satu upacara yang dilaksanakan sebagai penentu jati diri umat Hindu, karena hanya hari raya inilah yang diakui oleh pemerintah sebagai hari besar agama Hindu. Catur  Brata Penyepian merupakan etika Nyepi yang dapat digunakan sebagai evaluasi diri dan pengendalian diri. Aspek teologi Nyepi merupakan pengejawantahan dari moral umat.  Catur  Brata Penyepian sebagai sarana perenungan untuk evaluasi kerja kita selama setahun dan mampu untuk mengendalikan pikiran dan mengendalikan diri. Kemampuan untuk pengendalian diri berarti perlu suatu jalan untuk mengatasi permasalahan hidup. Jalan untuk penyucian manacika, wacika, dan kayika, hingga akhirnya mampu mewujudkan “Jagadhita ya ca iti dharma”.

0 Response to "Makna Pelaksanaan Upacara Tawur Agung dalam Penyambutan Hari Raya Nyepi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel