Pola dan Strategi Pembinaan Kelembagaan Hindu
Institusi keagamaan adalah suatu organisasi yang tersusun relative tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi keagamaan yang terarah dan mengikuti individu, memiliki otoritas formal dan sangsi moral untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenan dengan dunia supra empiris.
Ada dua tipe intitusi keagamaan yaitu institusi keagamaan bahan, dalam hal mana organisasi keagamaan bercampur menjadi satu dengan organisasi adat. Pada tipe ini hampir keseluruhan kegiatan manusia dalam berbagai sector kehidupan bersifat religious, dan pimpinan masyarakat sekaligus pimpinan agama.Sedangkan tipe kedua disebut institusi keagamaan modern, yang menunjukkan adanya perbedaan yang tegas antara institusi yang berfungsi mengatur hal-hal yang bersifat sacral dan profane.
Sebagai sebuah proses, terlembaganya institusi keagamaan setidaknya melalui tiga tahapan penting, yaitu:
1. Lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, yakni sebagai pemujaan.
2. Lembaga keagamaan berkembang sebagai pola doktrin dan atau keyakinan.
3. Lembaga keagamaan berkembang sebagai pola organisasi. Dalam kenyataannya ketiga tahap tersebut di atas saling mendukung.
1. Awal Kehadiran Parisada Hindu Dharma
Pada tanggal 21 sampai dengan 22 Februari 1959 berlangsung Pesamuan Agung Hindu Bali di gedung Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, Pesamuan ini memutuskan berdirinya suatu Dewan bernama Parisada Hindu Dharma Bali. Peristiwa inilah yang menjadi tonggak berdirinya Parisada Hindu Dharma, majelis tertinggi umat Hindu Indonesia.
Susunan pengurusnya terdiri atas 11 orang Sulinggih dengan ketuanya Ida Bagus Pedande Gde Sidemen, 22 orang paruman Walaka dengan ketuanya I Gusti Bagus Oka. Tugas pengurus ini
adalah mengatur, memupuk dan mengembangkan kehidupan umat Hindu di Bali menurut ajaran sastra-sastra agama. Usaha ini tidak berjalan mulus karena situasi polotik dalam negeri belum stabil, agama Hindu belum memperoleh pengakuan dari pemerintah.
Perkembangan institusi ini menjadi lebih baik setelah dilaksanakan Dekrit Presinden 5 Juli 1959. Parisada menyelenggarakan Peasmuan Agung I pada tanggal 03 Oktober 1959 di SMP Dwijendra Denpasar, yang menghasilkan karya agama yang diberi nama Dharma Prawerti Sastra yang isinya berkaitan dengan dharma, widhi, tatwa, atma, samsara, karmapala dan moksa.
2. Visi dan Dinamika Parisada Hindu Dharma
Secara garis besar visi Parisada Hindu Dharma dalam melakukan aktualisasinya dibagi dua yaitu: Dharma Agama dan Dharma Negara.
Dharma agama dimaksudkan sebagai kewajiban untuk bertindak, bekerja dan melaksanakan pengabdian bagi kepentingan kemajuan dan kemuliaan agama, Dharma Negara adalah melaksanakan kewajiban terhadap ketentuan-ketentuan Negara.
Sabha II Parisada Hindu Dharma diselenggarakan pada tanggal 02 sampai dengan 05 Desember 1968 di Denpasar. Atas dasar ketetapan Sabha Parisada Hindu Dharma II Nomor III/Kep/PHDP/1968, kepemimpinan parisada semakin terpola dengan formatur pengurus :
- Pengurus Parisada Pusat dipilih melalui formatur, dan dalam hal ini formatur tidak secara otomatis duduk dalam pengurus;
- Formatur terdiri dari 5 orang, yaitu dua orang Sulinggih dan 3 orang Walaka yang diambil dari peserta sabha yang terdaftar Dalam hal ini tidak termasuk peninjau.
- Tuga-tugas formatur menyusun pengurus harian lengkap dan minimal pengurus harian. Oleh pengurus harian selambat-lambatnya dua minggu sudah tersusun lengkap pengurus lainnya.
Pada tanggal 21 sampai 24 Februari 1971 dilaksanakan Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Propinsi seluruh Indonesia di Yogyakarta, untuk melaporkan kegiatan di daerahnya masing-masing. Pada Pesamuan ini ditetapkan; pelaksanaan Eka Dasa Rudra, Keramaning Sembah, usaha mempertahankan adat yang telah berlaku di daerah-daerah, terutama mengenai Pitra Yadnya dan Manusia Yadnya, Penetapan Candi Prambanan, candi Penataran, dan pura Besakih menjadi tempat bertirta Yatra.
Pada tanggal 27 sampai 29 Desember 1973 diselenggarakan Maha Sabha III Parisada Hindu Dharma seluruh Indonesia di Denpasar, yang memutuskan;
1. Panggalantaka 2. Hari-hari raya Hindu
2. Perihal pediksaan 4. Keluarga Berencana menurut pandangan Hindu
Maha Sabha IV Parisada Hindu Dharma se Indonesia dilaksanakan di Denpasar tanggal 22 sampai 27 Desember 1980. Ada keputusan yang menari yang dianggap sebagai landasan munculnya dinamika umat yaitu keinginan mendirikan berbagai infrastruktur kesehatan seperti BKIA, Poliklinik, membentuk ikatan-ikatan swadharma, dan membentuk serta memfungsikan organisasi kepemudaan dan organisasi Wanita Hindu.
Maha Sabha V dilaksanakan pada tanggal 24 sampai 27 April 1984 di Denpasar. Visi utama dari hasil pertemuan ini adalah:
- Pertama, ikut memikirkan dan menangani berbagai problema social yang muncul sebagai dampak modernisasi.
- Kedua, tidak ada alternative lain, pembangunan yang telah memperlihatkan bukti-bukti kemajuan harus dilanjutkan dengan memanfaatkan segala pengetahuan dan teknologi. Artinya, Umat Hindu sebagai bagian dari bangsa Indonesia senantiasa meningkatkan terus dukungan dan peran sertanya dalam mewujudkan cita-cita pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang secara eksplisit digariskan GBHN.
Dengan berlandaskan pada Maha Sabha V, maka visi umat Hindu Indonesia menjadi semakin jelas dan konsisten, tidak semata-mata membangun umatnya ke dalam, tetapi juga membangun lingkungan alam dan lingkungan social dalam tatanan masyarakat Pancasila berdsarkan UUD 1945.
0 Response to "Pola dan Strategi Pembinaan Kelembagaan Hindu"
Post a Comment