Itihasa Uttara Kanda
HINDUALUKTA-- Diceritakan Sita sedang mengandung anak Rama. Layaknya seorang wanita yang sedang hamil, ia pun mengalami ngidam. Ngidam Sita berbeda dengan ngidamnya wanita lain, karena Sita meminta kepada Rama untuk pergi ke tepi Sungai Gangga dan memberikan persembahannya kepada petapa yang hidup di sana. Rama menyanggupi permintaan Sita, dan berjanji bahwa besok ia akan membawa Sita ke sana. Rama, yang telah menjadi Raja Ayodya, berbincang-bincang ringan dengan para penasihatnya. Ia melontarkan pertanyaan kepada mereka tentang pendapat rakyatnya tentang dirinya dan keluarganya. Ia meminta mereka berkata jujur, karena kejujuranlah yang terbaik.
Dengan kejujuran, ia dapat merubah sesuatu yang dirasa buruk menjadi lebih baik. Awalnya, para penasihat ini merasa ragu, tetapi Rama terus mendesak mereka. Akhirnya, mereka pun berkata jujur tentang apa yang disampaikan penduduk Ayodya mengenai raja mereka. Penduduk Ayodya mengagumi kekuatan dan keperkasaan Rama yang sanggup mengalahkan kawanan raksasa di Alengka. Ia juga berhasil mengembalikan istrinya yang diculik Rawana. Akan tetapi, mereka merasa heran kenapa Rama mau menerima kembali Sita yang sudah begitu lama ditahan di Alengka. Sita tidak mungkin masih suci dan tidak ternoda oleh raksasa-raksasa itu. Rama yang mendengar bahwa rakyatnya bergunjing soal Sita, terkejut bukan main. Ia mengumpulkan saudara-saudaranya dan menceritakan isi hatinya yang sedih . dan kecewa atas penilaian rakyatnya.
Nilai yang dapat di ambil adalah “sekalipun seorang raja yang gagah, yang mampu mengalahkan musuh-musuhnya namun ketika orang yang ia cintai membawa aib bagi diri dan keluarganya ia merasa sangat terbelenggu sehingga seorang Raja sekalipun tak segan mengasingkan istrinya ketika istrinya dianggap sudah tidak suci lagi. Hal ini mestinya tidak patut ditiru dalam menjalani kehidupan kita”.
Rama kemudian meminta Laksmana untuk membawa Sita keluar dari Ayodya besok. Bertepatan dengan permintaan Sita sendiri untuk mengunjungi petapa di Sungai Gangga. Lagi-lagi Laksmana ditempatkan di posisi yang sulit. Ia akhirnya menuruti permintaan kakaknya itu dan membawa Sita pergi ke tempat yang diinginkannya.
Nilai yang terdapat dalam paragraph ini ialah “Bahwa apapun yang diperintahkan oleh seorang raja baik itu benar ataupun salah hendaknya sebagai seorang ksatria yang patuh kita harus mengikuti perintah itu”.
Sita sangat gembira karena permintaannya dituruti. Sayangnya, Rama tak bisa ikut karena ia tak akan tega melakukan hal itu. Setibanya di tepi Sungai Gangga, Laksmana tak mampu lagi menahan kesedihannya. Ia benar-benar seperti makan buah simalakama. Bahkan ia berkata bahwa ia lebih baik mati dari pada melakukan hal itu. Ia menyesal bukan main tidak menolak perintah kakaknya.
Nilai yang dapat diambil adalah “ketika seseorang bisa melakukan apa saja demi tercapainya masud dan tujuannya, meskipun dalam pencapaianya ada yang menjadi korban dan yang akhirnya menjadikan beban kepada yang melakukannya”.
Ya, Rama berniat mengasingkan Sita di tepi Sungai Gangga, dan tugas itu diberikannya kepada Laksmana. Laksmana menjelaskan kepada Sita alasan Rama menyuruhnya membawa Sita ke tempat itu. Sita terkejut dan pingsan. Tetapi, Sita adalah seorang perempuan yang tegar. Ia menuruti perintah Rama yang disampaikan kepada Laksmana itu. Laksamana meminta Sita untuk menemui seorang petapa bernama Walmiki, yang tinggal di sana.
Nilai yang dapat dipetik dari paragraph diatas ialah “Sekalipun ia terkenal dengan ketegaran hatinya dalam menghadapi setiap masalah tetapi pasti ada masalah yang mampu membuatnya merasa terpukul, sehingga ia tak mampu menahan derita dari masalah tersebut dan membuatnya terhanyut dalam kesedihan dan pendritaan”.
Sita sebenarnya sangat sedih dan berniat bunuh diri jika saja ia tak ingat kalau ia sedang mengandung anak Rama. Sebab jika ia mati, maka Rama tak akan punya keturunan. Akhirnya, Sita tinggal di pengasingan sekali lagi, tetapi kali ini tanpa suaminya. Tak lama, Sita melahirkan bayi kembar yang diberi nama Lawa dan Kusa. Nama anak mereka yang terakhir ini, Kusa, menarik perhatian saya. Kusa dalam bahasa Sansekerta memiliki arti rumput, sedangkan dalam bahasa Jepang, kusa juga berarti rumput. Saya jadi terpikir, apa mungkin ada kaitan antara keduanya, melalui agama Budha yang dulu datang dari Asia Selatan merambahi bumi Cina lalu datang ke Jepang? Sungguh menarik.
Lawa dan Kusa adalah murid Walmiki, sang petapa. Suatu hari, Walmiki meminta mereka untuk menceritakan kisah Ramayana kepada Rama, yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung mereka. Dari cerita yang saya baca, tampaknya kedua bersaudara ini tidak tahu kalau Rama adalah ayah mereka. Di kisah Ramayana yang dinyanyikan oleh si kembar itu, terungkaplah kalau Sita sebenarnya suci. Suatu hal yang menurut saya cukup aneh untuk diceritakan kembali, karena Rama toh sudah membuktikan kesucian Sita di Alengka, ketika Sita masuk ke dalam api. Sita dipertemukan kembali dengan Rama. Untuk kedua kalinya, ia harus membuktikan kesuciannya. Kali ini, Sita berseru pada dewa bumi untuk menelannya jika ia memang suci dan setia kepada Rama. Bumi pun terbelah, dan membawa Sita masuk bersamanya. Rama merasa marah, sedih, dan putus asa. Ia berseru kepada Bumi untuk mengembalikan Sita-nya. Tetapi, Bumi tetap bergeming. Diam seribu bahasa. Rama berkata bahwa ia akan mengobrak abrik isi bumi jika Sita tidak dikembalikan kepadanya. Brahma, sang dewa tertinggi, akhirnya turun tangan dan menenangkan Rama.
Sebagai seorang laki-laki, saya tentunya tidak suka dengan perlakuan Rama terhadap Sita. Rama yang seorang raja, harusnya dapat dengan mudah membuktikan kepada seluruh warganya bahwa Sita masih suci, dan layak menjadi permaisurinya. Apalagi, peristiwa pembakaran Sita dilihat oleh banyak saksi hidup yang bisa dipertanggungjawabkan perbuatannya. Atau bisa saja Sita membuktikan kesuciannya lagi di hadapan warga Ayodya seperti yang ia lakukan di Alengka dulu. Sebagai seorang raja yang bijak, Rama seharusnya melakukan hal itu, alih-alih mengambil keputusan yang tidak dipikir baik-baik dan mengusir Sita yang sedang hamil. Bahkan seorang ibu di India, yang berbakti kepada Rama, menganggap bahwa pengusiran Sita ke hutan adalah sesuatu hal yang tidak bisa ia terima. Selain kisah di atas, ada satu kisah juga di buku ketujuh ini yang mengganggu pikiran saya. Diceritakan bahwa ada seorang brahmana tua yang menjerit-jerit menghadap Rama sambil membawa anaknya yang meninggal dunia, padahal usianya masih begitu muda. Brahmana ini mengancam akan bunuh diri di depan pintu istana jika Rama tidak menghidupkan kembali anaknya. Dia berkata bahwa Rama akan sangat berdosa jika ia mati, karena itu berarti ia telah membunuh seorang brahmana.
Penasihat Rama dikumpulkan dan seorang brahmana bernama Narada, mengungkapkan permasalahan yang sebenarnya terjadi hingga menyebabkan meninggalnya anak itu. Narada berkata bahwa ada seorang Sudra yang bertapa di masa itu (Dwapara Yuga). Sudra sendiri adalah kasta terendah dalam agama Hindu, yang menurut buku ini tugasnya adalah menghaturkan puja kepada ketiga kasta di atasnya, Brahmana, Ksatria, dan Waisa. Sudra diperbolehkan bertapa jika ia berada di Kali Yuga (masa dimana Darma sudah mengalami kemunduran), tetapi jika ia bertapa di masa itu, maka ia akan membawa ketidakstabilan bagi negeri dan raja yang berkuasa harus mengambil tindakan tegas atau ia akan masuk neraka.
Rama bergegas mencari Sudra itu ke seluruh tempat, dan menemukannya di sebuah gunung di selatan. Rama bertanya kepada petapa itu untuk memastikan identitasnya. Petapa itu bernama Sambuka, dan ia berasal dari kasta Sudra. Begitu mengetahui hal itu, Rama langsung menebas lehernya.
Nilai yang dapat di ambil adalah “sekalipun seorang raja yang gagah, yang mampu mengalahkan musuh-musuhnya namun ketika orang yang ia cintai membawa aib bagi diri dan keluarganya ia merasa sangat terbelenggu sehingga seorang Raja sekalipun tak segan mengasingkan istrinya ketika istrinya dianggap sudah tidak suci lagi. Hal ini mestinya tidak patut ditiru dalam menjalani kehidupan kita”.
Rama kemudian meminta Laksmana untuk membawa Sita keluar dari Ayodya besok. Bertepatan dengan permintaan Sita sendiri untuk mengunjungi petapa di Sungai Gangga. Lagi-lagi Laksmana ditempatkan di posisi yang sulit. Ia akhirnya menuruti permintaan kakaknya itu dan membawa Sita pergi ke tempat yang diinginkannya.
Nilai yang terdapat dalam paragraph ini ialah “Bahwa apapun yang diperintahkan oleh seorang raja baik itu benar ataupun salah hendaknya sebagai seorang ksatria yang patuh kita harus mengikuti perintah itu”.
Sita sangat gembira karena permintaannya dituruti. Sayangnya, Rama tak bisa ikut karena ia tak akan tega melakukan hal itu. Setibanya di tepi Sungai Gangga, Laksmana tak mampu lagi menahan kesedihannya. Ia benar-benar seperti makan buah simalakama. Bahkan ia berkata bahwa ia lebih baik mati dari pada melakukan hal itu. Ia menyesal bukan main tidak menolak perintah kakaknya.
Nilai yang dapat diambil adalah “ketika seseorang bisa melakukan apa saja demi tercapainya masud dan tujuannya, meskipun dalam pencapaianya ada yang menjadi korban dan yang akhirnya menjadikan beban kepada yang melakukannya”.
Ya, Rama berniat mengasingkan Sita di tepi Sungai Gangga, dan tugas itu diberikannya kepada Laksmana. Laksmana menjelaskan kepada Sita alasan Rama menyuruhnya membawa Sita ke tempat itu. Sita terkejut dan pingsan. Tetapi, Sita adalah seorang perempuan yang tegar. Ia menuruti perintah Rama yang disampaikan kepada Laksmana itu. Laksamana meminta Sita untuk menemui seorang petapa bernama Walmiki, yang tinggal di sana.
Nilai yang dapat dipetik dari paragraph diatas ialah “Sekalipun ia terkenal dengan ketegaran hatinya dalam menghadapi setiap masalah tetapi pasti ada masalah yang mampu membuatnya merasa terpukul, sehingga ia tak mampu menahan derita dari masalah tersebut dan membuatnya terhanyut dalam kesedihan dan pendritaan”.
Sita sebenarnya sangat sedih dan berniat bunuh diri jika saja ia tak ingat kalau ia sedang mengandung anak Rama. Sebab jika ia mati, maka Rama tak akan punya keturunan. Akhirnya, Sita tinggal di pengasingan sekali lagi, tetapi kali ini tanpa suaminya. Tak lama, Sita melahirkan bayi kembar yang diberi nama Lawa dan Kusa. Nama anak mereka yang terakhir ini, Kusa, menarik perhatian saya. Kusa dalam bahasa Sansekerta memiliki arti rumput, sedangkan dalam bahasa Jepang, kusa juga berarti rumput. Saya jadi terpikir, apa mungkin ada kaitan antara keduanya, melalui agama Budha yang dulu datang dari Asia Selatan merambahi bumi Cina lalu datang ke Jepang? Sungguh menarik.
Lawa dan Kusa adalah murid Walmiki, sang petapa. Suatu hari, Walmiki meminta mereka untuk menceritakan kisah Ramayana kepada Rama, yang tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung mereka. Dari cerita yang saya baca, tampaknya kedua bersaudara ini tidak tahu kalau Rama adalah ayah mereka. Di kisah Ramayana yang dinyanyikan oleh si kembar itu, terungkaplah kalau Sita sebenarnya suci. Suatu hal yang menurut saya cukup aneh untuk diceritakan kembali, karena Rama toh sudah membuktikan kesucian Sita di Alengka, ketika Sita masuk ke dalam api. Sita dipertemukan kembali dengan Rama. Untuk kedua kalinya, ia harus membuktikan kesuciannya. Kali ini, Sita berseru pada dewa bumi untuk menelannya jika ia memang suci dan setia kepada Rama. Bumi pun terbelah, dan membawa Sita masuk bersamanya. Rama merasa marah, sedih, dan putus asa. Ia berseru kepada Bumi untuk mengembalikan Sita-nya. Tetapi, Bumi tetap bergeming. Diam seribu bahasa. Rama berkata bahwa ia akan mengobrak abrik isi bumi jika Sita tidak dikembalikan kepadanya. Brahma, sang dewa tertinggi, akhirnya turun tangan dan menenangkan Rama.
Sebagai seorang laki-laki, saya tentunya tidak suka dengan perlakuan Rama terhadap Sita. Rama yang seorang raja, harusnya dapat dengan mudah membuktikan kepada seluruh warganya bahwa Sita masih suci, dan layak menjadi permaisurinya. Apalagi, peristiwa pembakaran Sita dilihat oleh banyak saksi hidup yang bisa dipertanggungjawabkan perbuatannya. Atau bisa saja Sita membuktikan kesuciannya lagi di hadapan warga Ayodya seperti yang ia lakukan di Alengka dulu. Sebagai seorang raja yang bijak, Rama seharusnya melakukan hal itu, alih-alih mengambil keputusan yang tidak dipikir baik-baik dan mengusir Sita yang sedang hamil. Bahkan seorang ibu di India, yang berbakti kepada Rama, menganggap bahwa pengusiran Sita ke hutan adalah sesuatu hal yang tidak bisa ia terima. Selain kisah di atas, ada satu kisah juga di buku ketujuh ini yang mengganggu pikiran saya. Diceritakan bahwa ada seorang brahmana tua yang menjerit-jerit menghadap Rama sambil membawa anaknya yang meninggal dunia, padahal usianya masih begitu muda. Brahmana ini mengancam akan bunuh diri di depan pintu istana jika Rama tidak menghidupkan kembali anaknya. Dia berkata bahwa Rama akan sangat berdosa jika ia mati, karena itu berarti ia telah membunuh seorang brahmana.
Penasihat Rama dikumpulkan dan seorang brahmana bernama Narada, mengungkapkan permasalahan yang sebenarnya terjadi hingga menyebabkan meninggalnya anak itu. Narada berkata bahwa ada seorang Sudra yang bertapa di masa itu (Dwapara Yuga). Sudra sendiri adalah kasta terendah dalam agama Hindu, yang menurut buku ini tugasnya adalah menghaturkan puja kepada ketiga kasta di atasnya, Brahmana, Ksatria, dan Waisa. Sudra diperbolehkan bertapa jika ia berada di Kali Yuga (masa dimana Darma sudah mengalami kemunduran), tetapi jika ia bertapa di masa itu, maka ia akan membawa ketidakstabilan bagi negeri dan raja yang berkuasa harus mengambil tindakan tegas atau ia akan masuk neraka.
Rama bergegas mencari Sudra itu ke seluruh tempat, dan menemukannya di sebuah gunung di selatan. Rama bertanya kepada petapa itu untuk memastikan identitasnya. Petapa itu bernama Sambuka, dan ia berasal dari kasta Sudra. Begitu mengetahui hal itu, Rama langsung menebas lehernya.
0 Response to "Itihasa Uttara Kanda"
Post a Comment