Foto-Foto Mahasiswa STAH DNJ Rayaankan Malam Siwaratri di Pura Halim
HINDUALUKTA-- Tanggal 8-9 Januari 2016, Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta (STAH DN Jakarta), merayakan hari raya Siwalatri di Pura Agung Taman Sari Halim Perdana Kusuma, DKI Jakarta.
Perayaan tersebut dihadiri oleh Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Prof. Dr. Ir. I Made Kartika Dhiputra, Dipl.Ing, Para Dosen Stah, Puluhan Mahasiswa dan puluhan masyarakat Hindu dari Sejabotabek.
Selain itu, hadir pula Direktur Urusan Agama Hindu Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama, Drs. I WAYAN BUDHA, M.Pd. Dalam sambutanya dia berharap agar mashasiswa stah bisa menjadikan Siwalatri sebagai pedoman untuk mengoreksi diri. Pasalnya keimanan seseorang tidak dapat di ukur oleh siapapun, baik parisada maupun orang lain. Sebab keimanan seseorang hanya bisa diukur oleh diri kita pribadi.
"Ada yang sering bertanya, apakah jika saya tidak melaksanakan siwalatri saya tidak beragama Hindu? Belum tentu, Karena keiman seseorang tidak bisa diukur oleh Parisada, Pengurus Pura, dosen-dosen ataupun orang lain. Sebab rasa keagamaan itu hanya dapat dirasakan oleh diri masing-masing. Tetapi dalam kontek beragama, itu harus dilakukan karena ajaran agama adalah salah satu cara untuk menjaga kwalitas diri. Terutama dalam menjaga hubungan kepada Tuhan, Teman, Masyarakat dan mahluk lainya agar tetap harmoni," kata dia dalam sambutanya.
Seperti diketahui, Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan.
Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa. Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap.
Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama. Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan.
Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna. Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini.
Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri. Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh.
Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.
Berikut Foto-Foto Mahasiswa STAH DNJ dalam perayaan Malam Siwalatri:
Perayaan tersebut dihadiri oleh Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Prof. Dr. Ir. I Made Kartika Dhiputra, Dipl.Ing, Para Dosen Stah, Puluhan Mahasiswa dan puluhan masyarakat Hindu dari Sejabotabek.
Selain itu, hadir pula Direktur Urusan Agama Hindu Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama, Drs. I WAYAN BUDHA, M.Pd. Dalam sambutanya dia berharap agar mashasiswa stah bisa menjadikan Siwalatri sebagai pedoman untuk mengoreksi diri. Pasalnya keimanan seseorang tidak dapat di ukur oleh siapapun, baik parisada maupun orang lain. Sebab keimanan seseorang hanya bisa diukur oleh diri kita pribadi.
"Ada yang sering bertanya, apakah jika saya tidak melaksanakan siwalatri saya tidak beragama Hindu? Belum tentu, Karena keiman seseorang tidak bisa diukur oleh Parisada, Pengurus Pura, dosen-dosen ataupun orang lain. Sebab rasa keagamaan itu hanya dapat dirasakan oleh diri masing-masing. Tetapi dalam kontek beragama, itu harus dilakukan karena ajaran agama adalah salah satu cara untuk menjaga kwalitas diri. Terutama dalam menjaga hubungan kepada Tuhan, Teman, Masyarakat dan mahluk lainya agar tetap harmoni," kata dia dalam sambutanya.
Seperti diketahui, Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan.
Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek. Orang yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa. Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah (pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural dan ideal seperti itu amat sulit didapat. Ia harus selalu diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah malam untuk memusatkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap.
Karena itu, Siwa Ratri lebih tepat jika disebut ”malam kesadaran” atau ”malam pejagraan”, bukan ”malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang yang masih belum mendalami agama. Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, kita melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan.
Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna. Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini.
Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri. Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh.
Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.
Berikut Foto-Foto Mahasiswa STAH DNJ dalam perayaan Malam Siwalatri:
0 Response to "Foto-Foto Mahasiswa STAH DNJ Rayaankan Malam Siwaratri di Pura Halim"
Post a Comment