Masyarakat Bali Sudah Terlanjur Dicap Kaya
Masyarakat Bali Sudah Terlanjur Dicap Kaya |
HINDUALUKTA-- Pendapatan perkapita jauh di atas rata-rata pendapatan nasional. Turis datang membawa dolar. Tak hanya hotel mewah dan restoran yang meraup dolar, kerajinan Bali pun maju pesat dan diincar turis. Untuk apa lagi orang Bali mengelola tanah pertanian dan perkebunan?
Pemuda-pemuda Bali tak mau lagi berlumpur-lumpur di sawah, apalagi menuntun sapi membajak tanah. Lebih baik ke kota menjadi pelayan kafe. Gadis-gadis gunung, yang di masa lalu asyik di kebun kopi, sudah mulai canggung berjalan di kebun yang banyak durinya. Mereka lari ke kota, menganyam benang untuk dijadikan topi, baju, tas dan sebagainya. Sawah dan kebun terlantar karena generasi tua yang berpredikat petani juga mulai berkurang. Pemerintah pun tak pernah memikirkan petani. Leluhur orang Bali di masa lalu menjaga betul hasil pertanian untuk kepentingan yadnya (ritual keagamaan), baik yadnya berupa piodalan di pura maupun hari besar keagamaan seperti Galungan.
Karena itu ada hari yang disebut Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Orang Bali
yang beragama Hindu datang ke kebun-kebun membawa sesajen, lalu menepuk-nepuk pohon pisang, pohon juwet, pohon sotong, agar segera berbuah untuk bisa dipersembahkan pada hari raya Galungan. Uang bisa mengubah semuanya.
Orang Bali tetap membawa sesajen ke kebunnya. Tak banyak ada pisang di kebun, lalu beli pisang di pasar yang didatangkan dari Jawa. Tak ada sotong (jambu biji) karena isi kebun hanya kopi, lalu membeli buah peer dari Cina. Janur pun sudah didatangkan dari Banyuwangi bertruck-truck tiba di Pasar Badung bersamaan dengan bunga, ayam, bebek setiap malam. Supermaket muncul di setiap kota, lalu di pedesaan muncul mini market berjaringan, dan orang Bali membeli apel Amerika di sana untuk dipersembahkan ke pura.
Dulu, jika ada gadis Bali tak bisa membuat banten atau sesajen, sekecil apapun bentuknya, ibunya bersedih. Sekarang, tidak ada ibu yang bersedih seperti itu, malah berkata dengan manis pada anaknya: “Iluh, belikan ibu daksina di Pasar Sanglah….” Sang anak langsung naik sepeda motor sambil menyanyi: “Iluh, iluh, ajak je melali….” Lagu top grup band asal Ubud ini mengiringi sepeda motor ke pasar membeli canangsari, daksina, dan segala perlengkapannya. Tak peduli yang menjualnya orang Bali atau orang Jawa, orang Hindu atau bukan, barang yang dibeli sudah benar atau salah. Yang penting, uang sudah berbicara, dan menurut seorang pendharmawacana kondang Bali, kalau sudah terjadi transaksi dengan uang, segala dosa dan kekurangan banten (sesajen) sudah terhapuskan.
Budaya konsumtif masyarakat Bali juga mempengaruhi kebijakan publik. Karena orang Bali kaya, membeli sepeda motor begitu mudah. Apalagi dengan teknik mencicil. Setiap menit ada iklan pencicilan sepeda motor di radio-radio swasta Bali. Hampir di setiap rumah tangga orang Bali ada sepeda motor. Di Denpasar, menurut survey yang tidak serius, satu orang bahkan satu motor, jadi di dalam satu rumah bisa ada empat sepeda motor. Salahkah masyarakat? Tidak juga, karena pemerintah tak pernah mengurusi, bahkan berpikir pun mungkin belum, bagaimana menata transportasi dalam kota Denpasar. Tak ada angkutan kota yang terkordinir yang bisa menjangkau seluruh jalan, seperti di kota-kota lain di Indonesia.
Terlanjur dicap kaya dan terlanjur manja dimanfaatkan dengan baik oleh para pendatang. Orang Bali yang malas memasak dibantu pendatang dengan menjajakan makanan di pinggir-pinggir jalan. Mau bakso atau pecel lele, semua tersedia. Jagung rebus pun dijual oleh pendatang dan sekalian jagungnya
dari luar Bali. Jagung yang dulu tumbuh di tegalan orang Bali sudah tak laku, kurang manis, kurang besar, kurang ini dan kurang itu, karena pemerintah memang tak pernah mengurusi pertanian. Bahkan jeruk Kintamani busuk di pohonnya karena upah memetik lebih besar dari harganya, lantaran kalah bersaing dengan jeruk Malang atau jeruk impor.
Ternyata uang pariwisata tak selamanya melimpah. Dulu ketika bom meledak di Kuta tahun 2002, turis semakin sepi, uang pun semakin sulit. Gadis-gadis gunung yang dulu menganyam benang untuk topi, mulai istirahat. Begitu juga pemudanya. Di kampung mereka bingung, mau ke sawah, kuku kakinya sudah terlanjur kena cat (kotek, begitulah disebut). Para pemudanya tak mau pegang cangkul, masak lengan bertato dan rambut dicat pirang pegang cangkul? Mereka menunggu dunia wisata pulih, dan ketika benar mendekati pulih, turis mulai agak ramai, bom meledak lagi bulan Oktober 2005.
Masihkah orang Bali hidup dengan pola terlanjur kaya? Sulit mengubah kenikmatan menjadi kesahajaan dalam waktu singkat. Padahal kenikmatan itu sudah berakhir, kemesraan bersama uang turis sudah berlalu, karena sekarang sudah banyak pekerja dari dauh tukad bekerja disektor pariwisata ikut mengais rejeki. Karena pola konsumtif terus merasuk, orang Bali pun menjual tanah, untuk membeli apel Amerika, pizza, bakso dan jagung rebus, sementara pendatang yang berjualan bakso berdikit-dikit membeli tanah orang Bali.
Orang Bali harus berubah, kalau tidak akan musnah. Kata “musnah” terlalu seram, tapi kalau disebut orang Bali akan menjadi “budak tolol” di pulaunya sendiri, bisa terlalu kasar. Yang jelas, persepsi orang Bali hasrus berubah, dan mau bekerja keras di bidang apapun sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Kalau tidak, bisa setress. Mari selamatkan Bali, kembalilah bersahaja, berkarib dengan tanah pertanian, sumber kehidupan budaya asli.
Sumber: Facebook
Oleh Agung Joni
0 Response to "Masyarakat Bali Sudah Terlanjur Dicap Kaya"
Post a Comment