Filsafat Purva Mimamsa Darsana (Makalah)

KATA PENGANTAR 
Om swastyastu 
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Hyang Widi Wasa atas berkat dan restu yang diberikannya sehingga makalah mata kuliah Darsana ini bisa terselesaikan dengan tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan makalah ini, diantaranya: Ni Nyoman Sudiani, SE., S.pd.H., M.Fil.H sebagai dosen pengampu mata kuliah Darsana, teman-teman dikelas semua yang telah memberikan kami dukungan, dan semua pihak Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta yang terkait dalam menyediakan sarana dan prasarana guna mempermudah pencarian literature.

Makalah yang kami buat ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran bagi pembaca sangat diharapkan guna dijadikan pembelajaran pada pembuatan makalah yang akan datang. Terima kasih atas partisipasinya semoga semua isi yang ada dalam makalah bermanfaat bagi bembaca.
Om santi, santi, santi Om.

                                                                 BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sad Darsana berasal dari akar kata “drs” yang bermakna “melihat”, menjadi kata darsana yang berarti “penglihatan” atau pandangan. Dalam ajaran filsafat Hindu, Darsana berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darsana berarti enam pandangan tentang kebenaran yang mana merupakan dasar dari filsafat Hindu.

Sad Darsana merupakan bagian penulisan Hindu yang memerlukan kecerdasan yang tajam, penalaran serta perasaan, karena masalah pokok yang dibahasnya merupakan intisari pemahaman Weda secara menyeluruh dibidang filsafat, (Maswinara, 1990). Filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian integral dari agama.

Purva Mimamsa Darsana merupakan salah satu pandangan dari Sad Darsana. Seperti ajaran Darsana lainnya, Purva Mimamsa juga membahas tentang hakekat Brahman, Atman, dan Alam Material dan Moksa. Namun, setiap pandangan memiliki etika serta pokok-pokok ajaran dengan penekanan yang berbeda-beda. Dari penjelasan di atas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan sebagai berikut.

1.2    Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah pandangan Purva Mimamsa Darsana terhadap keberadaan Brahman, Atman, Maya dan Moksa?
  2. Bagaimanakah pokok-pokok ajaran dalam Purva Mimamsa Darsana?

1.3    Tujuan
  1. Pembaca dapat mengetahui dan memahami pandangan Purva Mimamsa Darsana terhadap keberadaan Brahman, Atman, Maya, dan Moksa.
  2. Pembaca dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok ajaran dalam Purva Mimamsa Darsana.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Purva Mimamsa
Kata Mimamsa, memiliki makna penyelidikan, yakni penyelidikan  yang sistematis terhadap Weda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Weda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Wedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.

Pendiri ajaran ini adalah Maha Rsi Jaimini. Sumber utamanya adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara dalam kitab Weda (Brahmana Kalpasutra). Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan akhir umat manusia adalah moksa, dan jalan untuk mencapainya adalah dengan cara melaksanakan upacara keagamaan seperti yang disebutkan dalam kitab suci Weda, (Sukro, 2014; Online).

2.2    Sejarah Purva Mimamsa
Sebagai tokoh aliran Mimamsa, Rsi Jaimini (murid Rsi Vyasa) yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-sutra. Dalam perkembangannya, ajaran Mimamsa-sutra kemudian dikomentari oleh para pengikutnya, seperti Sabaraswamin sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Dan yang terakhir oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Kemudian, dalam perkembangan berikutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu di satu pihak pengikut Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini tetap berpegang pada ajaran Mimamsa walaupun pokok ajaran mereka pada prinsipnya tidak berbeda, (Rifqi, 2012;Online).

Mimamsa dibedakan menjadi dua, yaitu Purva Mimamsa dan Uttara Mimamsa yang juga disebut dengan Vedanta. Purva Mimamsa  atau Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda, suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Veda atau bagian dari Veda yang hanya berurusan masalah mantra dan Brahmana saja, (Sudiani, 2012;36).

2.3    Pandangan Purva Mimamsa
a)    Brahman
Veda menurut Mimamsa tidak memiliki penyusun, baik manusia maupun Tuhan. Mimamsa tidak memberikan tempat kepada Tuhan dalam sistemnya. Dunia bukan diciptakan oleh Tuhan, sebab dunia tidak berawal dan berakhir. Tidak ada penciptaan dan peleburan, alasannya adalah seandainya dunia ini diciptakan oleh TuhanYang Maha Esa dan Maha Pengsih, maka tidak mungkin di dunia ini ada penderitaan. Namun, mimamsa bukan bersifat Atheis, karena mimamsa percaya dengan adanya Veda yang bersifat kekal yang didalamnya terdapat Dewa-Dewa sebagai manifestasi Tuhan, (Sudiani, 2012;40).

b)    Atman
Menurut Mimamsa, jiwa berbeda dengan tubuh, indriya dan budhi. Jiwa jumlahnya sangat banyak dan tak terhitung, tiap tubuh ada satu jiwa. Semua jiwa memiliki kesadaran yang bersifat kekal, berada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu. Disamping menjadi subjek pengetahuan, jiwa juga menjadi objek pengetahuan, artinya; kesadaran akan adanya objek mengandung di dalamnya kesadaran akan adanya pribadi. Pribadi itu segera dinyatakan oleh objek yang dikenal, umpamanya di dalam ucapan “Aku melihat sebuah meja”. Ucapan ini bermaksud menyatakan adanya sebuah ‘Meja’ dan sekaligus menyatakan adanya ‘Aku’. Demikianlah pribadi sekaligus menjadi subjek dan objek pengetahuan, hal ini disebabkan karena dalam pribadi ada dua unsur yaitu; unsur substansi dan unsur kesadaran, (Sudiani, 2012;39-40).

c)    Maya
Ajaran Mimamsa adalah ajaran yang bersifat pluralistik dan realististik dalam artian jiwa itu berjumlah bayak atau jamak, sedangkan alam semesta adalah nyata dan berbeda dengan jiwa. Mimamsa menolak pandangan Budha dan Advaita yang menyatakan bahwa dunia ini maya. Mimamsa juga percaya dengan adanya jiwa, sorga, neraka dan para Dewa yang semuanya ini dapat dicapai dengan upacara yang tepat melalui kitab suci Veda, (Sudiani, 2012;37).

d)    Moksa
Pada mulanya, tujuan hidup manusia menurut Mimamsa adalah pencapaian sorga, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Mimamsa menyatakan bahwa tujuan hidup manusia tertinggi adalah kelepasan, (Sudiani, 2012;40).

2.4    Pokok – Pokok Ajaran Mimamsa Darsana
Sistem filsafat Mimamsa termasuk dalam kelompok Astika yang ajarannya didasarkan sepenuhnya oleh kitab suci Weda. Mimansa mengakui kewenangan Weda sebagai kitab suci yang mengandung kebebaran yang sejati. Sebagai filsafat Mimamsa mencoba menegakkan keyakinan keagamaan Weda. Kesetiaan dan kejujuran yang mendasari keyakinan Weda terdiri dari bermacam-macam sistem yaitu:
  1. Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian dan menikmati hasil ritual di sorga,
  2. Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang melestarikan dampak dari ritual yang dilaksanakan,
  3. Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan dalam hidup ini bukanlah sebuah ilusi.
Tujuan utama sistem dilsafat ini adalah untuk mempertahankan dan memberikan landasan filsafat ritualisme bagi kitab suci Weda. Mimamsa berasal dan berkembang dari aspek ritual kebudayaan Weda dengan objek sasaran adalah untuk membantu dan menopang praktek keagamaan, melalui dua cara yaitu:
  1. Memberi metode interprestasi dan bantuan terhadap aturan-aturan Weda yang menyangkut keagamaan, sehingga dapat dimengerti, diselaraskan dan dapat diikuti tanpa kesulitan.
  2. Memberikan pertimbangan-pertimbangan filosofis dari kepercayaan-kepercayaan dalam hal mana upacara agama itu tergantung.
Pokok pembicaraan dalam sistem Mimamsa ialah pengukuhan kewibawaan Weda bagian Brahmana yang menekankan pada upacara keagamaan, maka dari itu Mimamsa disebut karma Mimamsa karena Brahmana merupakan karma kanda dari Weda. Upacara keagamaan ini sudah ada pada jaman Brahmana dan sebagai hasilnya sudah termuat dalam Kalpasutra. Mimamsa juga membahas ilmu tentang suara dan mantra, tetapi perhatian pokok Mimamsa adalah penggunaan meditasi dengan ritual. Ajaran Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya Aliran ini menerima adanya kejamakkan jiwa, sedangkan alam semesta   adalah nyata dan berbeda dengan jiwa, (Sudiani, 2012;36-37).

2.5    Metafisika Mimamsa Darsana
A.    Pandangan umum Mimamsa
Mimamsa menolak pandangan Buddha dan Advaita yang menyatakan bahwa dunia ini maya. Mimamsa juga percaya dengan adanya jiwa, sorga, neraka, dan Para Dewa yang semuanya ini dapat dicapai melalui upacara yang tepat menurut kitab suci Weda. Jiwa dan unsur-unsur materi pembentukan dunia ini menurut Mimamsa bersifat kekal atau permanen. Semua benda yang ada di dunia ini ditentukan oleh hukum karma phala. Ada tiga komposisi didunia  ini yaitu:
  1. Kehidupan jasmani sebagai tempat jiwa untuk menikmati akibat perbuataannya dari masa-masa kehidupan yang silam (Bhogayatana).
  2. Indriya yang dipergunakan sebagai alat oleh jiwa untuk menikmati adanya rasa suka-duka dalam hidup ini (Bhoga Sadana).
  3. Objek-objek yang merupakan buah dari suka-duka.

Mimansa tidak mengakui adanya Tuhan, sedangkan mengenai teori tentang atom sama dengan yang dikemukakan oleh Veisiseka. Menurut Mimamsa atom-atom ini tidak membutuhkan pengaturan dari Tuhan, melainkan diatur oleh hukum karma

Metafisika Mimamsa bersifat pluralistis dan realistis, artinya percaya dengan adanya jumlah jiwa yang tak terhitung dan dunia yang nyata, tetapi keduanya berbeda. Mimamsa percaya dengan hanya realitas seperti kenyataan adanya energi, moral, surga, neraka dan sebagainya yang tidak dapat diketahui melalui pengalaman indriya, (Sudiani, 2012;36-37).
Menurut Rsi Jaimini kitab suci Weda secara praktis hanyalah Tuhan semata dan Weda yang abadi tersebut tidak memerlukan dasar apapun untuk sandarannya. Tidak ada pewahyu illahi, karena Weda itu sendiri merupakan otoritasnya, yang merupakan satu-satunya sumber pengetahuan Dharna kita. Sutra pertama dari Mimamsa berbunyi “Atthato Dharmajijnasa”, yang menyatakan bahwa keseluruhan tujuan dari sitemnya, yaitu keinginan untuk mengetahui dharma atau kewajiban yang terkandung dalam pelaksanaan upacara-upacara dan kurban-kurban yang diuraikan oleh kitab suci Weda. Dharma itu sendiri memberikan ganjarannya, tujuan purwa Mimamsa adalah untuk menyelidiki kedalam sifat dari dharma. (Maswinara,1998;56).

BAB III
METODOLOGI

3.1    Cara Mencari (Epistimologi Purva Mimamsa)
Sendi utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman tentang keabsahan diri pengetahuan. Tidak seperti teori pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar ketika mereka berhubungan dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang kepada tindakan yang berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem yang konsisten. Mimamsa menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri.
Mengenai alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara, sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh Prabhakara. Keenam cara itu ialah:

1. Pratyaksa (Pengamatan Langsung)
Pratyaksa merupakan sumber pengetahuan yang paling tinggi. Proses untuk mengetahui keberan dari suatu pengetahuan dengan menggunakan indria, dalam hal ini indria berhubungan langsung dengan objek yang diamati. Tetapi, ada juga pengamatan yang bersifat transendental yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yakni sebagai berikut:
a.  Nirvikalpa
Merupakan suatu pengamatan terhadap objek tanpa penilaian, misalnya: ketika seseorang melihat sapi dia hanya mengetahui keberadaan sapi itu tanpa mengetui lebih luas tentang seberapa besar tubuhnya, makanannya apa, dimana hidupnya, serta perawatan untuk pemeliharaannya.
b.  Savikalpa
Savikalpa merupakan suatu pengamatan terhadap objek dengan suatu penilaian. miaslnya: ketika seseorang melihat sapi, dia pasti juga akan mengamati tentang tubuhnya, makanannya apa, dimana hidupnya, serta perawatan untuk pemeliharaannya.

2.  Anumana (Penyimpulan)
Anuamana berarti cara untuk mendapatkan kebenaran suatu pengetahuan dengan cara menyimpulkan. Penyimpulan adalah suatu proses penalaran dimana akan melewati suatu tahapan-tahapan berpikir tertentu yang diperlukan untuk mencapai suatu kesimpulan. Ada 5 tahapan dalam proses penyimpulan antara lain:
  1. Pratijna: memperkenalkan objek permasalahan tentang kebenaran pengamataan misalnya gunung itu berapi.
  2. Hetu: alasan penyimpulan dimanadalam hal ini terlihat ada asap yang keluar dari gunung tersebut
  3. Udaharana: menghubungkan dengan aturan umum tentang suatu masalah, yang ada dalam hal ini adalah bahwa segala yang berasap itu tentu ada apinya.
  4. Upanaya: Pemakaian aturan umum itu pada kenyataannya yang terlihat,  yaitu bahwa jelas gunung itu berapi.
  5. Nigamana: berupa penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya, dengan pernyataan bahwa gunung itu berapi, (Maswinara, 1999;130).

3.  Sabda (kesaksian)
Bagi para Mimamsa alat pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian atau sabda, yaitu sabda suci Weda. Weda dipandang bukan sebagai hasil karya manusia dan juga hasil karya Tuhan, karena Weda tidak disusun oleh manusia dan juga oleh Tuhan.  Weda adalah kekal.

Aliran Mimamsa yang meberikan perhatian yang besar kepada sabda sebagai sumber pengetahuan, karena sabda harus membuktikan kekuasaan dari Weda, yaitu yang bersifat pribadi dan yang tidak bersifat pribadi. Yang Pertama yang bersifat tertulis atau lisan dari seseorang, sedangkan yang kedua menyatakan kekuatan daripada Weda itu sendiri. Mimamsa tertarik pada kekuatan Weda yang bersifat pribadi karena memberikan arah untuk melakukan upacara keagamaan. Weda dipandang sebagai kitab yang mengandung perintah untuk melakukan kewajiban dan bersifat kekal.

4.   Upamana (Perbandingan)
Pandangan Mimamsa mengenai perbandingan berbeda dengan pandangan Nyaya. Nyaya mengakui perbandingan adalah sumber pengetahuan yang unik, tetapi Mimamsa selain menerima perbandingan sebagai sumber yang berdiri sendiri, menerima perbandingan pula sebagai perasaan atau hal yang sangat berbeda. Menurut Mimamsa pengetahuan muncul dari perbandingan bila kita tahu bahwa objek yang diingat adalah persis seperti yang diterima. Pengetahuan ini tidak dapat diklasifikasikan dalam persepsi, karena objek yang dikenal sama. Sabaraswamin mendefinisikan upamana sebagai pengetahuan tentang suatu objek yang tidak diterima dengan objek lain yang dikenalnya.

5.   Arthapatti (perkiraan tanpa bukti)
Arthapatti adalah suatu bentuk perkiraan yang sangat diperlukan terhadap sesuatu yang sulit dipahami melalui beberapa penjelasan yang berawalan satu dengan yang lainnya. Bila memberikan penjelasan kepada orang lain tentang sesuatu benda yang belum pernah dilihat sebelunnya, kita harus menjelaskan benda yang dimaksud itu dengan benda lain yang sudah dikenal, sehingga orang itu akan mudah mengerti. Pengetahuan yang diperoleh dari peristiwa ini bukanlah merupakan suatu kesimpulan dan pula merupakan suatu bentuk perbandingan.

6.   Anupalabdi  (tanpa persepsi)
Anupalabdi adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai tidak adanya pengamatan terhadap suatu objek dikarenkan bendanya memang tidak ada. Misalnya ada yang menyakan tentang ketidakadaan itu, makan jawabannya adalah coba lihat dan katakan apakah ada meja dikamar itu, maka jawabannya adalah cobalah lihat dan katakan.

3.2    Kegunaan (Aksiologi Purva Mimamsa)
a.    Kedudukan Weda di dalam Agama
Mimamsa tidak percaya dengan adanya penciptaan di atas dunia ini. Mimamsa juga tidak percaya tentang adanya Tuhan yang kekuasaanya berada di atas atau minimal setara dengan Weda. Menurut Mimamsa, Weda itu sendiri mendasari kebenaran yang abadi atau hukum-hukum tentang adanya perintah Weda. Weda menyiapkan ciptaan dari apa yang baik dan apa yang salah. Kehidupan yang baik adalah kebaikan yang mengabdi kepada kesetiaan terhadap perintah-perintah Weda.

b.    Kewajiban yang Mendasar
Ritual atau upacara yadnya haruslah karena berkaitan dengan Weda, bukan karena dengan tujuan yang lainnya. Pengorbanan yang dilakukan jaman Weda dikalkulasi untuk menyenangkan Dewi Matahari, Dewa Hujan dan Dewa-Dewa yang lain, atau hanya untuk memenangkan perang dan mengusir penyakit. Mimamsa merupakan kelanjutan dari pada sistem keagamaan yang bersumber dari Weda, maka itu upacara keagamaan secara detail lebih mendapat tempat dari pada Dewa-Dewa itu sendiri, yang secara perlahan-lahan menjauh dan menghilang ke dalam atau menjadi objek dari struktur. Dewa itu penting hanya  sebagai sesuatu, yang namanya harus diberikan, dimana dilakukan upacara. Tetapi tujuan dasar dari pada melakukan upacara yadnya itu adalah bukan persembahan untuk menyenangkan Dewa apapun.
Mimamsa percaya bahwa perbuatan yang wajib untuk dilakukan bukan untuk memberikan keuntungan kepada pelakunya, tetapi karena kita harus melakukannya. Mimamsa percaya suatu kewajiban tidak harus dilakukan dengan tujuan yang menarik, tetapi alam-lah yang mengajurkan agar seseorang melakukan tugasnya. Seorang filsuf barat  yang bernama Kant menganggap benar adanya Tuhan, dan menurut Kant pemujaan kepada Tuhan adalah kewajiban yang tertinggi, sedangkan menurut Mimamsa kewajiban adalah kekuasaan Weda secara pribadi yang berkaitan dengan tugas.

c.    Kebaikan yang Tertinggi
Pada awalnya kebaikan menurut Mimamsa adalah pencapaian sorga atau suatu keadaan di mana ditentukannya kebahagiaan sejati. Sorga dianggap sebagai akhir dari suatu upacara keagamaan, akan tetapi pada akhirnya Mimamsa menerima kelepasan sebagai tujuan tertinggi setelah penulis-penulis Mimamsa mendapat pengaruh dari pemikir-pemikir dari sistem filsafat India lainnya.
Menurut Mimamsa, jalan untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaan upacaara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang.
Kebebasan adalah keadaan yang tidak didasari, bebas dari kesenangan dan rasa sakit. Menurut Mimamsa keadaan mental dan kesadaran tidak ada pada jiwa, muncul kesadaran dan keadan mental itu, bila jiwa dikaitkan dengan objek melalui tubuh dan bagian-bagian tubuh lain. Kebebasan berarti lenyapnya hubungan jiwa dengan tubuh dan kembali kepada keadaan yang semula, yang bersifat kekal, berada dimana-mana dan meliputi segala sesuatu.

BAB IV
PENUTUP

4.1    Simpulan
Pendiri Purva Mimamsa adalah Rsi Jaimini (murid Maha Rsi Vyasa). Mimamsa dibagi menjadi dua jenis, yaitu Purva Mimamsa dan Utara Mimamsa. Purva Mimamsa artinya penyelidikan sistematis yang pertama. Maksudnya, sistem ini membicarakan bagian Weda yang pertama yaitu kitab Brahmana. Sedangkan Utara Mimamsa atau Wedanta yang artinya penyelidikan sistematis. Maksudnya, sistem ini membicarakan bagian Weda yang kedua, yaitu kitab Upanisad.
a.    Pandangan Mimamsa
  1. Brahman: Mimamsa tidak memberikan tempat kepada Tuhan di dalam sistemnya. Dunia tidak diciptakan oleh Tuhan, sebab dunia tidak berawal dan berakhir. Alasannya, jika dunia diciptakan Tuhan yang Maha Pengasih, tidak mengkin ada penderitaan di dunia ini. Mimamsa hanya percaya Veda yang bersifat kekal, tidak disusun oleh Tuhan, Dewa, maupun manusia.
  2. Atman: Mimamsa bersifat pluralisme yakni mengakui kejamakan jiwa atau atman yang berada disetiap tubuh mahluk hidup. Jumlah atman tak terhingga, bersifat kekal, berada dimana-mana, dan meliputi segala sesuatu.
  3. Maya: Mimamsa bersifat realistik, artinya percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan dalam hidup ini bukanlah sebuah ilusi (menolak ajaran Budha dan Advaita).
  4. Moksa: Pada awalnya, Mimamsa tidak mengakui adanya Moksa tetapi hanya meyakini adanya sorga dan neraka. Namun, setelah mendapatkan pengaruh dari filsuf-filsuf di India akhirnya mengakui adanya kelepasan sebegai tujuan tertinggi.
 
b.    Pokok-pokok ajaran Purva Mimamsa
  1. Mengakui otoritas Kitab Suci Veda (Astika)
  2. Perhatian pokok ajaran Mimamsa adalah meditasi dan ritual (upacara keagamaan)
  3. Tujuan utama sistem dilsafat ini adalah: (1). Untuk mempertahankan dan memberikan landasan filsafat ritualisme bagi kitab suci Weda sehingga mudah dipahami. (2). Menyusun aturan-aturan cara menerangkan isi Veda dengan benar.
  4. Percaya dengan adanya para Dewa dan Roh yang menyelamatkan dari kematian dan menikmati hasil ritual di sorga.
  5. Percaya adanya hukum karma phala sebagai reaksi dari ritual yang telah dilakukan.

c.    Epistimologi ajaran Mimamsa mengakui adanya enam jenis, dua dari yang pertama sama dengan yang dikemukakan oleh Nyaya.
  1. Pratyaksa (pengamatan langsung)
  2. Anumana (kesimpulan)
  3. Upamana (perbandingan)
  4. Sabda (kesaksian)
  5. Arthapati (perkiraan tanpa bukti)
  6. Anupalabdi (tanpa persepsi).

d.    Aksiologi Mimamsa
  • Kedudukan Weda di dalam Agama menjadi otoritas paling utama
  • Melaksanakan kewajiban yang paling mendasar dengan melakukan upacara keagamaan sesuai perintah kitab suci Veda.
  • Mencapai Moksa dengan pelaksanaan upacara keagamaan seperti yang diajarkan oleh kitab Weda yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang.

DAFTAR PUSTAKA
  • Maswinara, I Wayan.1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya: Paramita.
  • Sudiani, Ni Nyoman. 2012. Materi Ajar Mata kuliah Darsana.
  • Tim Penyusun. 1999. Buku Pedoman Dosen Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI.
  • Sukro, Komang. 2014. Purwa Mimamsa. Hindumenulis.blogspot.co.id. Di Akses Pada Tanggal 6 April 2016 Pukul 13:25 WIB.
  • Rifqi. 2012. Filsafat Mimamsa. Rifqimiftahulamili.blogspot.com. Di Akses Pada Tanggal 15 April 2016 Pukul 16:24 WIB.
Sumber: Maha Yuge

0 Response to "Filsafat Purva Mimamsa Darsana (Makalah)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel