Pengertian Sugihan Tenten
HINDUALUKTA-- Sugihan Tenten masih merupakan rentetan pelaksanaan hari Raya Galungan dan Kuningan. Sugihan Tenten mungkin jarang terdengar, karena pada umumnya orang hanya mengenal Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Jika Sugihan Jawa jatuh pada Wrhaspati/Kamis Wage Wuku Sungsang dan Sugihan Bali pada Jumat Kliwon Wuku Sungsang maka Sugihan Tenten jatuh pada Buda Pon Wuku Sungsang atau tujuh hari sebelum Hari Raya Galungan.
Disebut Sugihan Tenten karena merupakan hari ngentenin atau memperingatankan, mengingatkan umat manusia bahwa sebelum Kemenangan Dharma tiba Bhuta Tiga akan hadir untuk menggoda umat manusia.
Untuk itu, Sugihan Jawa, Sugihan Bali dan Sugihan Tenten, sebaiknya ketiganya dilaksanakan.
Mitologi Sugihan Tenten
Seperti diketahui Sugihan Pangenten bermakna ngingetin atau mengingatkan. Dikisahkan bahwa pada saat itu, Mpu Baradah pergi ke Bali menemui Empu Kuturan dengan maksut agar salah satu putra Raja Erlangga dijadikan raja di Bali. Namun, Empu Kuturan menolak permintaan tersebut. Akibat hal itu, Empu Baradah pun tersinggung lalu langsung meninggalkan tempat tanpa permisi untuk kembali ke Daha.
Ketersinggungan Mpu Baradah ini menimbulkan bhuta sebagai akibat lepasnya pengendalian diri. Maka dari itulah, diingatkan supaya pengendalian diri itu jangan sampai lepas agar bhuta kala dapat dikendalikan.
Sejak Sugihan Pangenten inilah mulai dimasukkan sebagai Nguncal Balung yaitu dari wuku Sungsang sampai wuku Pahang, terutama sejak wuku Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang.
Sejak Sugihan Pangenten inilah mulai dimasukkan sebagai Nguncal Balung yaitu dari wuku Sungsang sampai wuku Pahang, terutama sejak wuku Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang.
Nguncal balung artinya tulang sebagai pengukuh tubuh pada manusia dan binatang serta tempat melekatnya otot dan daging. Tanpa tulang, tubuh tidak akan mempunyai kekuatan. Nguncal balung maksudnya melepaskan kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang mudah dipengaruhi oleh godaan sang kala tiga, dengan sifat-sifat kalanya, sehingga kembali ke wujud semula atau Sang Hyang Tiga Wisesa.
Dalam Siwaisme disebut Siwa, kala dalam hal ini berarti energi atau kekuatan. Sang Hyang Kala Tiga dalam wujud purusha (Kala Rudra) maupun dalam wujud pradana (Durga Murti), sehingga kembali dalam keadaan somia (tenang). Keadaan somia akan berpengruh terhadap semua ciptaannya.
Oleh sebab itu, pada saat nguncal balung ini kurang baik melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti membuat rumah, tempat pemujaan termasuk penyuciaannya, membangun rumah tangga (kawin) dan sebagainya. Di samping itu, ada pula yang tidak mau membeli ternak untuk dipelihara atau dijadikan bibit.
Demikianlah pantangan-pantangan selama nguncal balung, yang pada dasarnya lebih banyak bertujuan mengurangi aktivitas-aktivitas jasmani agar dapat meningkatkan aktivitas rohani. Misalnya yang dilakukan oleh pertapa atau yogi.
Orang kebanyakan dalam mengurangi aktivitas fisiknya dan lebih menekankan pada kegiatan ritualnya dapat melakukan kegiatan yang bersifat menambah pengetahuan tentang agama, kesenian, dan kemasyarakatan. Dengan kegiatan ini diharapkan umat Hindu dapat mengurangi hal-hal yang mengarah pada pemuasan hawa nafsu yang berlebih-lebihan.
Salah satu cara mencapai tujuan yang dimaksud, di beberapa daerah di Bali pada saat Sugihan Pangenten ini melaksanakan kegiatan ngelawang yaitu memakai barong dengan mengelilingi wilayah desa adatnya. Malahan ada yang sampai ke luar jauh dari wilayah desanya dengan melewati tiap lawang (pintu rumah penduduk) agar bhuta dengan segala kekuatannya kembali ke tempatnya yang semula.
Dalam filosofi Hindu, munculnya para bhuta adalah akibat kekeliruan pelaksanaan manusia dalam kehidupannya, sehingga pada saat itu Dewa Trimurti menciptakan para bhuta. Dewa Brahma diutus menjadi topeng bang, Dewa Wisnu menjadi telek dan Dewa Siwa menjadi barong. Selanjutnya dalam ngelawang ini barong itulah di-iring untuk menyelamatkan manusia terhadap godaan para bhuta dalam kehidupannya.
0 Response to "Pengertian Sugihan Tenten"
Post a Comment