Berpacaran dalam Perspektif Agama Hindu

HINDUALUKTA - Salah satu perdebatan yang selalu hangat dibicarakan dalam sudut pandang antar agama adalah masalah berpacaran. Berpacaran merupakan ajang untuk saling mengenal pasangan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Sebenarnya tidak ada satu agama pun yang secara khusus mengatur tentang tata cara berpacaran. Namun, masing-masing agama mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap fenomena berpacaran. Ada yang memperbolehkan, bahkan menganjurkan agar kedua insan berlainan jenis berpacaran agar bisa saling mengenal dan memahami satu sama lain. Ada pula yang secara tegas melarang berpacaran karena dikhawatirkan akan menjurus pada terjadinya zina. 

Berpacaran dalam Perspektif Agama Hindu
Image : @rpsphotography215 Via IG

Bagaimana dengan Hindu? Seperti halnya agama-agama lain, tidak ada ayat-ayat yang secara khusus mengatur mengenai berpacaran. Tetapi ajaran Hindu mengenal konsep Catur Asrama, empat jenjang atau tahap kehidupan manusia, yakni: Brahmacari, Grihasta, Wanaprastha, dan Sanyasin/ Biksuka. : Brahmacari adalah tahap seseorang menuntut ilmu pengetahuan untuk bekal ketika memasuki tahap-tahap kehidupan berikutnya. 

Grihasta adalah tahap menikah dan berumah tangga, serta melahirkan keturunan yang suputra. Wanaprastha adalah jenjang kehidupan untuk mencari ketenangan batin, dan mulai melepaskan diri dari keterikatan terhadap kemewahan duniawi. Biksuka atau Sanyasin ialah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduniawian dan hanya mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan jalan menyebarkan ajaran-ajaran dharma. Sebagaimana disebutkan di atas, Brahmacari adalah tahap seseorang belajar terhadap berbagai ilmu pengetahuan. Tahap ini dimulai sejak seseorang dilahirkan, masa anak-anak, masa remaja, hingga menjadi dewasa muda. Dalam tahap Brahmacari ini, seseorang tidak hanya belajar pengetahuan yang bersifat akademis, tetapi juga sosial kemasyarakatan, sehingga kelak dapat hidup bermasyarakat dengan baik. Dalam tahap Brahmacari, ada salah satu aspek belajar sosial kemasyarakatan yang sering kurang diperhatikan dalam tinjauan agama, yakni jatuh cinta dan berpacaran, karena pada tahap ini seseorang berada dalam usia remaja dan dewasa muda. Jatuh cinta adalah fenomena alamiah yang terjadi pada usia remaja dan dewasa muda, yang bisanya diikuti dengan berpacaran.

Apakah Hindu merestui kaum muda yang masih dalam tahap Brahmacari ini untuk berpacaran? Di dalam Reg Veda X.27.12, dinyatakan sebagai berikut: “Kiyati yosa maryanto vadhuyoh, Pariprita panyasa varyena, Bhadra vadhur bhaviati yat supesah, Svayam sa mitram vanute jane cit” Artinya: Terdapat banyak yang tertarik oleh kebaikan yang unggul (pria) dari beberapa orang yang hendak mengawini mereka. Seorang gadis menjadi kekasih yang beruntung yang memilih seorang teman (pria) bagi dirinya di antara para peminang”. Sloka dalam Reg Weda tersebut dapat dimaknai bahwa seorang gadis atau pemuda dapat memilih seorang lawan jenisnya untuk menjadi kekasihnya. “Kebaikan-kebaikan yang unggul” (atau lebih tepatnya kecocokan-kecocokan) di antara keduanya menjadi dasar pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Dari pernyataan yang diungkapkan Reg Weda tersebut bisa kita maknai bahwa berpacaran diperbolehkan dalam Hindu karena merupakan proses kehidupan yang harus dilewati oleh manusia untuk menemukan pendamping yang tepat ketika menapaki jenjang kehidupan Grihasta. Dengan demikian, masa berpacaran merupakan masa yang akan dialami ketika masa transisi dari masa Brahmacari menuju masa Grihasta. 

Namun, di sisi lain, berpacaran juga dapat mendorong terjadinya perbuatan zina, apabila yang bersangkutan tidak mampu mengendalikan nafsu birahinya. Untuk itu di dalam ajaran Hindu terdapat sloka-sloka yang menuntun untuk menahan kama (nafsu), sebagai berikut. 

Manavadharmasastra. VI11.357:

"Upacarakriya kelih, sparco bhusana vasasan, saha khatvasanam caiva sarvam samgrahanam smriamz". 

Artinya: 

"Memberikan sesuatu yang merangsang wanita (yang bukan istrinya), bercanda cabul dengannya, memegang busana dan hiasannya, serta duduk di tempat tidur dengannya adalah perbuatan yang harus dianggap sama dengan berzina. | 

Manavadharmasastra. VII1.358: 

"Striyam sprceda dece yah sprsto va marsayettaya parasparasyanumate sarvam samgrahanam smrtam".

Artinya: 

"Bila seseorang menyentuh wanita (yang bukan istrinya) pada bagian yang terlarang, atau membiarkan menyentuh bagian itu, walaupun semua perbuatan itu dilakukan dengan persetujuan bersama, haruslah dianggap berzina". 

Dengan demikian, berpacaran dalam perspektif Hindu tidak dilarang. Tetapi, yang diharapkan adalah berpacaran yang dilandasi dengan etika dan moral untuk mengendalikan diri. Pacaran tidak boleh diikuti dengan hubungan sex. Pacaran akan indah apabila dijalani dengan cinta, kasih sayang, saling menerima dan memberi, dan siap untuk memikul tanggung jawab. Inilah yang disebut dengan berpacaran yang sehat, 

Namun, di sisi lain berpacaran seringkali tidak berjalan mulus hingga ke jenjang pernikahan. Banyak pasangan yang putus di tengah jalan, berpisah, dan mengakibatkan patah hari. Sering kita dengar istilah “menjagain jodohnya orang”, sebuah istilah yang digunakan untuk sepasang kekasih yang telah lama berpacaran, tetapi ternyata harus berpisah, dan kemudian mantannya menikah dengan orang lain. Menanggapi hal ini, mereka yang meyakini ajaran agamanya melarang muda-mudi berpacaran akan mengklaim, bahwa larangan itu benar adanya, karena terbukti lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Daripada berpacaran dengan orang yang bukan jodohnya dan hanya akan menyebabkan seseorang patah hati karena ditinggalkan, lebih baik bila langsung dijodohkan dengan seseorang, dan baru “berpacaran” setelah menikah. Demikian argumentasi mereka yang meyakini kebenaran ajarannya yang melarang muda-mudi berpacaran. Kisah-kisah asmara yang putus di tengah jalan ini tentu menimbulkan pertanyaan, kalau memang ajaran agama memperbolehkan berpacaran, mengapa tidak semua pasangan mudamudi dapat langsung mendapatkan jodohnya, tetapi harus melalui jalan berliku terlebih dahulu? Beberapa kali berpacaran, tetapi harus mengalami putus cinta, dan patah hati, sampai akhirnya setelah mendapatkan pacar yang kesekian, baru berlanjut ke jenjang pernikahan. Hal ini kembali pada pemahaman mengenai hakikat dari Brahmacari yang merupakan tahap seseorang untuk belajar pada berbagai aspek kehidupan. Termasuk dalam hal ini belajar menghadapi kenyaraan, bahwa kehidupan yang dihadapi pada masa-masa mendatang tidak selalu indah sesuai dengan angan-angan dan harapannya. 

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, berpacaran sendiri merupakan tahap pembelajaran seseorang untuk mengerti dan memahami pasangannya. Tahap Brahmacari sebagai sebuah tahap pembelajaran, tentu tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan untuk bekal bekerja mencari nafkah kelak, tetapi juga belajar menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan dan menimbulkan kekecewaan. 

Angan-angan bahwa hanya dengan sekali berpacaran kemudian berlanjut hingga ke pernikahan, akan menjebak seseorang pada fantasi bahwa pernikahan adalah akhir dari perjalanan cinta, di mana mereka akan hidup berbahagia untuk selamalamanya. Fantasi semacam ini banyak tergambarkan pada berbagai dongeng anak-anak, seperti: Cinderella, Purri Salju, Bawang Putih-Bawang Merah, Klething Kuning, dan lain-lain. 

Dongeng anak-anak tersebut, baik di Indonesia maupun dunia, disadari atau tidak, akan menanamkan fantasi pada anak-anak bahwa pernikahan (pada tokoh-tokoh utamanya) adalah akhir dari perjalanan cinta dan menawarkan kebahagiaan untuk selama-lamanya. Padahal dalam tahap Grihasta atau berumah tangga, pasangan tersebut akan menghadapi berbagai persoalan rumah tangga yang membutuhkan kedewasaan dan kebijakan untuk mengatasinya. 

Misalnya: hubungan dengan keluarga besar pihak suami/istris salah satu pihak kehilangan pekerjaan, sehingga berimbas pada kondisi ekonomi keluarga tersebut, salah satu pihak mempunyai kekurangan, sehingga pasangan tersebut tidak mempunyai keturunan, dan lain-lain. 

Sebagaimana disebutkan di atas, ada ajaran agama tertentu yang melarang muda-mudi berpacaran, dan menawarkan memperoleh jodoh melalui jalan Tzaruf. Ta'aruf adalah proses perjodohan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan mediasi orang-orang yang dianggap bijak dan punya ilmu agama yang kuat. 

Orang tersebut mempunyai otoritas untuk menentukan jodoh tidaknya mereka (dan anehnya, laki-laki dan . perempuan yang akan dinikahkan justru tidak mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri nasib mereka). Proses perjodohan ini meniadakan kontak langsung antara laki-laki dan perempuan yang ingin dinikahkan. Menanggapi banyaknya kisah percintaan yang kandas di tengah jalan, para penganut ajaran bahwa perjodohan yang terbaik adalah melalui jalan Ta'aruf ini, menganggap bahwa Taaruf tidak hanya menghindarkan dari perbuatan zina, tetapi juga menghindarkan dari kisah-kisah asmara yang putus di tengah jalan dan memunculkan orang-orang yang patah hati. Lakilaki dan perempuan yang menemukan jodohnya melalui Ta aruf hanya tinggal melangkah ke jenjang pernikahan. Namun, benarkah pernikahan yang dilakukan dengan cara 12 aruf menjamin pasangan tersebut bahagia? Tampaknya tidak! Dalam kenyataannya, proses pernikahan dengan cara Taaruf dapat diibaratkan seperti. “membeli kucing dalam karung”, karena kita belum terlalu mengenal pribadi dan karakter orang yang akan menikah dengan kita. Data membuktikan bahwa pernikahan melalui proses Ta'aruf ternyata lebih banyak yang berakhir dengan perceraian daripada pernikahan yang dilandasi dengan proses berpacaran terlebih dahulu. 

Mengapa? Karena masing-masing pihak baru mengetahui sifat dan karakter asli pasangannya setelah menikah, sehingga sangat besar terjadi potensi ketidakcocokan, yang pada akhirnya pernikahan tersebut tidak bisa dipertahankan lagi. Dengan demikian, meskipun sering kita dengar kisah-kisah patah hati dari pacaran yang kandas di tengah jalan, namun proses pacaran tetap merupakan cara terbaik, alamiah, dan universal, yang dibutuhkan agar masing-masing insan belajar menjadi pasangan yang baik, dewasa, dan bijak ketika kelak menghadapi masalahmasalah di dalam pernikahan. Kisah-kisah putus cinta tersebut justru merupakan bagian dari pembelajaran hidup dan pendewasaan diri dari para muda-mudi sebelum mereka memasuki jenjang Grihasta.


Penulis : Budiana Setiawan (Tangerang Selatan)

Judul :Berpacaran dalam Pandangan Hindu

Referensi: Media Hindu Edisi 200 Desember 2020 Hal. 46-48

0 Response to "Berpacaran dalam Perspektif Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel