Wacana Kuasa Dalam Mitos Padi Di Dalam Geguritan Sri Sedana

HINDUALUKTA -- Konsepsi  seksualitas  sejak  jaman  Yunani klasik sampai era kontemporer tidak lepas dari wacana yang seksis. Menentukan menjadi laki-laki  yang  baik  dan  benar  berikut  menjadi perempuan yang terhormat di masyarakat tidak lepas  dari    interaksi  sosial,  bahkan  dapat menimbulkan wacana kekuasaan. Kode biologis yang pertama (laki-laki) dalam rentang sejarah klasik sampai modern hampir diseluruh dunia dicatat  mendapatkan  tempat  yang  istimewa dalam adat, agama dan institusi sosial sebelum meletusnya  wacana  feminisme  (perjuangan perempuan dalam menuntut kesetaraan posisi sosial) di Negara-Negara Industrial.

Perkembangan  ilmu  pengetahuan  seturut perubahan  sosial  yang  menjadi  akibatnya menjadi  biang  kerok  munculnya  wacana feminisme yang mampu merekonstruksi wacana seksualitas di masyarakat dalam bentuk praksis (protes, demonstrasi, dan wacana tandingan), artinya narasi kelaki-lakian dan keperempuanan bergeser dari kodrat menjadi relasional.


Menurut  Ritzer  dan  Goodman,1  dimana wanita tidak berperan disektor publik (bekerja), hal  tersebut  bukan  karena  keterbatasan kemampuan  atau  perhatian  mereka  tetapi karena ada upaya sengaja untuk mengucilkan mereka. Lebih lanjut feminisme dapat dipahami sebagai kajian sekaligus metodologi, hal tersebut sesuai  dengan  gagasan  Arivia2  feminisme bertujuan untuk mengungkapkan dalam realita sosial,  budaya,  politik  dimana  terdapat ketimpangan,  yaitu  ketertindasan  perempuan dan stereotip yang tidak benar.

Kongkritnya  perempuan  yang  memiliki vagina  pada  masa  pra-pergerakan  feminis dianggap  baik  dan  benar  sesuai  kodratnya dengan  perangai  lemah  lembut,  penurut, perawan,  aseksual  dan  pengasuh  kepada walinya dalam hal ini laki-laki. Sebaliknya laki-laki  dengan  slogan Macho haruslah  kuat, berwibawa,  pembimbing,  insan  seks  dan pemimpin kelaurga, tidak lagi menjadi rujukan.

Namun, tidak serta merta wacana ini dihargai sebagai cara pandang baru tentang seksualitas, terdapat kontra wacana yang datang dari adat, agama bahkan perempuan itu sendiri yang telah menganggap  karakteristik  perempuan  yang dikodratnya  sebagai  sesuatu  yang  esensial. Gambaran  perempuan  dalam  mitos,  fabel, kesusastraan  agama  menjadi  penguat  sikap romantisme tentang seksualitas. Mitos dalam wacana  romantis  seksualitas  memberikan gambaran utopis yang dianggap memberikan keteraturan.

Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos yang secara harfiah diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang dikatakan seseorang, secara lebih luas berarti pernyataan, sebuah cerita, ataupun alur suatu drama3. terkait dengan penulisan ini konsep mitos dimengerti sebagai sebuah cerita yang  melibatkan  tokoh-tokoh  mistik  seperti Dewa, Raksasa, guna mengungkapkan kejadian, asal-usul  sesuatu  hal.  Salah  satu  mitos  yang menggambarkan  pengkondisian  seksual  yang bernuansa romantik adalah mitos Dewi Sri atau Dewi Padi. Mitos Dewi Sri merupakan suatu cerita mistik mengenai awal mula munculnya tanaman padi di Bumi.

Sinopsis Mitos Kemunculan Padi

Sinopsis dalam tulisan ini diuraikan untuk mengetahui  gambaran  umum  cerita  dalam Geguritan  Sri  Sedana. Secara garis besar cerita dalam Geguritan Sri Sedana mengisahkan prihal mitologi timbulnya tanaman padi. Cerita dalam Geguritan Sri Sedana  dikatakan sebagai mitologi karena tokoh yang ditampilkan adalah tokoh Dewa-Dewi yang memiliki kekuatan adimanusia berikut  dengan  setting  atau  latar  cerita dikisahkan di Surga tempat para Dewa-Dewi.

Dalam Geguritan Sri Sedana dikisahkan Dewa Siwa sebagai penguasa alam Surga dan dunia fana, pada suatu hari Dewa Siwa mengadakan pertemuan  dengan  para  Dewa-Dewi  untuk menberikan umat manusia hadiah berupa benih yang dapat dimakan, selain dari singkong yang telah menjadi makanan pokok manusia ketika itu.  Selesai  pertemuan  tersebut  Dewa  Siwa kemudian melakukan meditasi, tidak berselang lama muncul sebiji bibit berwarna kuning, Dewa Siwa bersabda agar bibit tersebut dibawa ke dunia  untuk  kesejahteraan  umat  manusia. Selesai  bersabda  berhembus  angin  kencang yang membawa bibit tersebut jatuh ke Bumi, para  Dewa  mengejar  ke  arah  jatuhnya  bibit tersebut, sesampainya di Bumi bibit anugrah Dewa Siwa telah dimakan oleh Naga Anantaboga.

Mengetahui bibit telah dimakan oleh Naga Anantaboga  para  Dewa  meminta  agar  Naga bersedia  mengembalikan  biji  bibit  yang ditujukan untuk kemakmuran umat manusia. Naga Anantaboga berkenan memuntahkan bibit yang telah ditelan, namun terjadi hal yang tidak terduga dimana biji bibit yang dikeluarkan telah berubah  menjadi  seorang  anak  laki-laki  dan seorang  perempuan.  Kejadian  itu  kemudian dilaporkan kehadapan Dewa Siwa, tanpa berfikir panjang  beliau  bersedia  mengangkat  kedua anak itu menjadi anak angkatnya. Anak laki-laki diberikan nama Dewa Sedana sedangkan anak perempuan bernama Dewi Sri.

Berselang beberapa tahun kedua anak angkat Dewa Siwa telah tumbuh dewasa menjadi laki-laki  tampan  dan  perempuan  cantik.  Setelah mereka  tumbuh  remaja  diceritakan  Dewa Sedana dan Dewi Sri menjalin hubungan asmara yang terlarang, mengetahui hal tersebut Dewa Siwa  murka  dan  ingin  memutuskan  jalinan hubungan mereka dengan berbagai cara, ketika tengah  malam  diceritakan  Dewa  Sedana  dan Dewi Sri ditemukan sedang tidur berdua dalam satu  kamar  layaknya  suami  istri,  Dewa  Siwa kemudian menyeret Dewa Sedana sampai ke hutan  larangan  dan  memerintahkan  Dewa Sedana untuk memutuskan hubungan asmara dengan saudarinya Dewi Sri. Keinginan Dewa Siwa  tidak  dituruti  oleh  anak  angkat  beliau sehingga menimbulkan kemarahan Dewa Siwa seketika itu Dewa Siwa membakar Dewa Sedana menjadi abu.

Dewa Siwa memerintahkan Dewa Wara dan Wari untuk membuang mayat Dewa Sedana ke bumi yang telah ditutupi oleh peti, dari mulut Dewa  Sedana  keluarlah  burung  cetrung, tubuhnya berubah menjadi ular piton, adapun petinya berubah menjadi Belut, Katak dan Siput. Keesokan paginya ketika Dewi Sri terbangun, Dewi Sri tidak menemukan kakaknya, beliau mencari keseluruh ruangan sampai sore hari kemudian  membuat  sebuah  hiburan  dengan melubangi bambu yang dapat berbunyi nyaring ketika tertiup angin yang disebut dengan Sunari.

Melihat  Dewi  Sri  sangat  gigih  mencari kakaknya,  Dewa  Wara  merasa  terharu  dan memberitahu bahwa kakaknya telah menjadi abu  (mati)  dan  dibawa  ke  dunia.  Dewi  Sri kemudian menghadap Dewa Siwa dan bertanya kenapa  membunuh  kakaknya  dan  apa  yang menjadi penyebab Dewa Sedana dibunuh, Dewa Siwa kemudian menjawab prihal terbunuhnya Dewa Sedana karena menjalin hubungan asmara dengan adiknya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dewi Sri meminta Dewa Siwa untuk membunuh juga dirinya karena telah berbuat hal yang sama dengan Dewa Sedana selain dari Dewi Sri sangat mencintai  kakaknya.  Mendengar  perkataan Dewi Sri, Dewa Siwa sangat murka kemudian membakar  Dewi  Sri  dengan  matanya  dan membuang mayat Dewi Sri ke dunia berikut dengan sunari yang telah dibuatnya.

Diceritakan di suatu Desa hidup dua pasangan suami istri yang telah lanjut usia yaitu Kakek Patuk dan Nini Patuk dimana kegiatan hariannya setiap pagi pergi ke hutan mencari singkong dan keladi untuk dimakan. Pada suatu pagi ketika kedua  pasangan  tua  menuju  hutan  untuk singkong dan keladi mereka melihat mayat Dewi Sedana, kemudian Kakek Patuk dan Nini Patuk membuat lubang untuk menguburkan Dewi Sri sambil  Nini  Patuk  membuat  upakara  untuk upacara  kematian  Dewi  Sri  yang  sangat sederhana.

Setelah   prosesi   upacara   kematian berlangsung  dari  kuburan  Dewi  Sri  muncul suatu  tanaman  yang  aneh  berwarna  hijau mereka  sangat  terkejut  terhadap  kejadian tersebut,  ketika  itu  Dewa  Siwa  muncul  dan bersabda kepada Kakek Patuk dan Nini Patuk untuk membuka lahan di suatu tempat yang memiliki curah hujan yang cukup, tempat itu akan menjadi sawah serta memelihara tanaman padi tersebut untuk kesejahteraan keturunannya dikemudian hari.

Sabda  Dewa  Siwa  dilanjutkan  dengan menasehati keturunan Kakek Patuk dan Nini Patuk prihal bahayanya menjual atau merusak tanah  persawahan  karena  akan  membawa bencana  bagi  alam  serta  bagi  kehidupan keturunannya  dikemudian  hari,  maka diharuskan tetap melestarikan tanah sawah dan tanah  sawah  lahan  kering  selain  juga  demi kelangsungan hidup dalam hal ini kebertahanan pangan  dan  kehidupan  juga  untuk mempertahankan kebiasaan-kebiasaan (tradisi) yang telah dilakukan oleh leluhur.

Relasi Kuasa Dalam Mitos Padi

Mitos  Padi  dalam Geguritan   Sri   Sedana   menggunakan tokoh Dewa-Dewi sebagai tokoh utama  yang  memiliki  kekuatan  melebihi manusia biasa. Menurut Mauss4 dalam suatu cerita atau mitos Dewa-Dewa selalu memiliki status yang lebih tinggi dari umat manusia, hal ini terjadi karena pemberian Para Dewa begitu berharga  sehingga  manusia  tidak  mampu membalas dengan sesuatu yang sepadan. terkait dengan pendapat ahli di atas Hicks5 menjelaskan dalam suatu cerita atau mitos anugrah yang diberikan  oleh  para  Dewa  kepada  manusia adalah  berupa  kehidupan,  kesuburan  dan keberlimpahan.

Dewa  Siwa  adalah  salah  satu  tokoh  yang terdapat  dalam Geguritan   Sri   Sedana.  Setiap tokoh dalam cerita suatu karya sastra menurut Abrams6 memiliki moralitas, kepribadian dan emosi  sehingga  dapat  melihat  karakteristik tokoh-tokoh dalam cerita untuk mengungkapkan relasi  antar  tokoh  laki-laki  dan  perempuan dalam  membongkar  kerangka  berfikir  dan tindakan.

Relasi antara laki-laki dan perempuan tidak bisa  dilepaskan  dari  gagasan  yang  ada dibaliknya,  yakni  ideologi  gender,  ideologi patriarki  dan  ideologi  seks7.  Ketiga  ideologi tersebut  membentuk  tindakan,  perkataan (bahasa), dan segala bentuk realisasi di berbagai media. Menurut takwin8 oleh karena ideologi merupakan salah satu bentuk ketidaksadaran, maka  praktiknya  dalam  diri  manusia  tidak disadari, ideologi masuk lewat berbagai sumber yang terkait dengan struktur masyarakat. Sesuai dengan  pandangan  tersebut  menarik  untuk disimpulkan  tentang  relasi  kuasa  yang terangkum  dalam  istilah  ideologi  dimana menurut thompson9  ideologi  adalah  sistem berfikir,  sistem  kepercayaan,  praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik.

Berdasarkan  Sinopsis  di  atas  Dewa  Siwa menciptakan satu bibit yang kemudian menjadi sepasang anak buncing, bila dikaitkan dengan gagasan Fromm10 hal ini menunjukan hilangnya peran dasar alamiah perempuan yang digantikan oleh laki-laki yaitu penciptaan lewat pikiran, yang  tidak  membutuhkan  substansi  hidup maternal. Secara hermeneutik bibit merupakan hasil dari pembuahan atau insemenisasi namun dilakukan oleh Dewa Siwa sendiri, sedangkan bibit  yang  di  hembuskan  oleh    angin  dan dimakan  oleh  Naga  Ananta  Boga  sebagai pengganti rahim untuk melahirkan, pandangan tersebut sesuai dengan gagasan Dananjaya.

Penggantian rahim oleh mantra, Yoga, Api persembahan  atau  yang  lainnya  terdapat diberbagai mitos di hampir seluruh kebudayaan di  Dunia  yang  dapat  diartikan  sebagai kecemburuan  laki-laki  kepada  perempuan karena  tidak  memiliki  fungsi  prokreasi  atau melahirkan  yang  dimiliki  oleh  perempuan. Peran prokreasi secara alamiah hanya dimiliki oleh   perempuan,   melahirkan   anak, membesarkan  anak  yang  menurut  kaum naturalistik  disamakan  dengan  peran  bumi (sebagai Ibu), yang dapat menghasilkan tumbuh-tumbuhan  dan  berbagai  hasil  tanaman  yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Hanya perempuan  yang  secara  alamiah  melalui rahimnya melahirkan anak, begitu juga hanya di Bumi,  tumbuhan  yang  penting  bagi  manusia dapat tumbuh dan berkembang, tegasnya laki-laki cemburu akan peran penting yaitu mencipta.

Bila merujuk pada pandangan tersebut di atas, mulai dari proses penciptaan benih dan pergantian  rahim  menunjukan  secara  psikis pengambil  alihan  peran  alamiah  perempuan yaitu  penciptaan,  atau  Fromm12  menyatakan adanya  indikasi  dari  keirihatian  laki-laki terhadap perempuan dari perasaan inferioritas karena  ketidakmampuannya  melahirkan,  dan dari hasratnya untuk memperoleh kemampuan ini. Selain itu tokoh Dewa Siwa sebagai laki-laki dalam relasinya dengan tokoh Dewi Sri sebagai perempuan  terdapat  suatu  gagasan  tentang hubungan bertingkat dimana tokoh Dewa Siwa adalah yang tertinggi posisinya atau dominan, hal tersebut terlihat dari episode pemberian wahyu  atau  biji.  Dalam  pemberian  atau penganugrahan wahyu melibatkan tiga tokoh penting antara lain: 1) Dewa Siwa yang bertugas memberi  wahyu,  2)  Wahyu  itu  sendiri  yaitu berupa biji untuk bibit penjelmaan Dewi Sri, 3) dan  tokoh  penerima  wahyu,  yang  diberikan anugrah.  Hubungan  ketiga  tokoh  tersebut terbangun secara vertikal, artinya pihak pemberi anugrah  memiliki  posisi  dengan  strata  yang lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  pihak penerima wahyu atau wahyu itu sendiri.

Idealitas yang Seksis

okoh  atau  pihak  pemberi  wahyu  dalam (Geguritan Sri Sedana) yaitu Dewa Siwa sebagai pihak  yang  superior,  karena  merupakan  raja Dewa yang memiliki kuasa. Dewa Siwa sebagai penguasa berhak membuat keputusan mutlak, otoriter,  dan  harus  dianut  oleh  pihak  yang memiliki strata dibawahnya. Menurut Warren (dalam  Suryaningsih,  2013)13  salah  satu karakteristik yang jelas dari karya sastra dengan kerangka pikir patriarki adalah pola pikir yang berdasarkan nilai hierarkis yaitu yang merujuk pada  “atas-bawah”  yang  memberikan  nilai, status  ataupun  prestise  yang  lebih  tinggi terhadap segala sesuatu yang berada di atas.

tokoh  kedua  yaitu  Dewi  Sri  yang  telah berubah  menjadi  biji  tanaman  hijau,  dimana tokoh ini posisinya lebih rendah dari pemberi anugrah, menurut analisis Paz14 Dewi Sri sebagai wahyu  atau  anugrah  berada  pada  tokoh “ambang” atau diantara dan lebih rendah dari tokoh  dominan. tokoh  yang  ketiga  adalah penerima wahyu yang menduduki posisi yang paling bawah, karena hanya dapat menerima, namun tidak dalam kondisi subordinasi, karena pihak  penerima  wahyu  adalah  orang  yang terpilih, khusuk dalam bekerja, mengolah tanah, dan melakukan yajnya

Sesuai dengan data di atas penerima wahyu merupakan pihak yang rajin dalam mengolah tanah, bahkan sampai pada usia kakek-nenek, selain itu melihat mayat Dewi Sri kakek patuk dan  nenek  patuk  ingin  menguburkan  serta memberikan suatu upacara yajnya kecil. Lebih lanjut dalam episode dihukumnya Dewa Sedana dan  Dewi  Sri  karena  melakukan  hubungan sedarah, bila menitik beratkan pada tokoh Dewa Siwa dan Dewi Sri terdapat kerangka berfikir sebagai berikut dominasi.

Dualisme  nilai,  misalnya  pasangan  yang berbeda  dipandang  sebagai  oposisi  (dan bukannya  melengkapi)  dan  ekslusif  (bukan inklusif), dan yang menempatkan nilai (status dan  prestise)  kepada  salah  satu  dari  suatu pasangan gagasan dari pada yang lain (Warren, dalam Suryaningsih, 2013).

Pendapat ahli di atas menunjukan adanya suatu gagasan dualisme yang mana pihak yang diberikan nilai, status serta prestise yang tinggi kepada apa yang secara historis diidentifikasi sebagai  pikiran,  nalar,  logika  adalah  laki-laki atau  dalam  konteks  ini  adalah  Dewa  Siwa, sedangkan Dewi Sri (dan juga Dewa Sedana) diidentifikasi  secara  historis  sebagai  tubuh, perasaan, dan keterikatan badaniah. Dewa Siwa dilukiskan  sebagai  sosok  yang  menggunakan akal  sehat,  nalar,  melawan  Dewi  Sri  yang menggunakan  Perasaan  dan  keterikatan badaniah.

Berdasarkan  hal  tersebut  menarik  untuk meminjam  gagasan  Capra16  gejala  ini  bisa dikaitkan  dengan  dualisme  kultural,  yakni wanita intuitif, sedangkan pria adalah rasional, maka  terdapat  sebuah  legitimasi  oleh  Dewa Siwa untuk menghukum Dewi Sri. Jadi dapat dikatakan  Dewa  Siwa  sebagai  pihak  laki-laki telah dimaskulinisasi melalui pemikiran yang logis dan kritis sedangkan Dewi Sri merupakan pihak yang diintuitifkan atau difeminimkan. Jadi tidak  salah  menurut  pandangan  Basharat (2009)  mitos  keagamaan  cenderung  sangat male-dominated   dan   tidak   memberi penghargaan sama sekali terhadap perempuan.

Kesimpulan

Setelah  analisis  data  pada  bab-bab sebelumnya,  ada  suatu  temuan  yang menyimpulkan  bahwa  mitos  munculnya  padi dengan tokoh Dewi Sri dan Dewa Siwa sebagai tokoh utama memiliki suatu relasi kekuasaan yang timpang dimana terdapat asumsi ideologi gender  dan  ideologi  seks.  Ideologi  gender mengungkapkan adanya suatu perbedaan sosial peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial dimana kedudukan laki-laku lebih tinggi dari kehidupan sosial. Sedangkan ideologi seks mengungkapkan  adanya  suatu  tirani  abadi terhadap konstruksi perempuan sebagai mahluk intuitif  sedangkan  laki-laki  sebagai  mahluk rasional.DAFTAR PUSTAKAAbrams, M.H. 1988. Glossary of Litterasy Term (edisi ketujuh) . Jatinagor: Universitas PadjajaranArivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.Atmaja, Nengah Bawa. 2010. Komodifikasi Tubuh Perempuan Bali : Joged Ngebor Bali. Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Indonesia bekerja sama dengan Pustaka Larasan.Capra,  Fritjof.  2000. Titik   Balik   Peradabab   Sains,   Masyarakat   dan   Kebudayaan.  (M thoyibi Penerjemah). Yogyakarta: Benteng Budaya.Dananjaya, Ida Bagus Made Satya Wira. 20014. Mengarah ke Patriarki. (dalam Majalah Raditya Edisi Juli  2014.  No.  204.  Hal  40-41.  Denpasar:  Manikgni.Mariasusai  Dhavamony.  1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: KanisiusFromm, Erich. 2011. Cinta, Seksualitas dan Matriarki. Yogyakarta: Jalasutra.Hicks, David. 2007. Younger Brother and Fishing Hook in Timor. dalam “Ekofeminisme tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi dan Budaya” (Editor: Dewi Candraningrum). Yogyakarta: JalasutraMauss, Marcel. 1990. The  Gift:  Bentuk  dan  alasan  Pertukaran  Sosial  Kuno. dalam “Ekofeminisme tafsir  Agama,  Pendidikan,  Ekonomi  dan  Budaya”  (Editor:  Dewi  Candraningrum). Yogyakarta: Jalasutra.


Sumber:

Jurnal : Wacana Kuasa Dalam Mitos Padi Di Dalam Geguritan Sri Sedana

Oleh: Ida Bagus Ngurah; Universitas Mahasaraswati Denpasar


0 Response to "Wacana Kuasa Dalam Mitos Padi Di Dalam Geguritan Sri Sedana"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel