Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Geguritan Dukuh Kawi

HINDUALUKTA -- Kehidupan  masyarakat  Bali  sangat  penuh dengan aktivitas berkebudayaan. Kebudayaan berasal  dari  bahasa sansekerta  “Buddhayah” adalah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”, “daya dari budhi”. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang  harus  dibiasakannya  dengan  belajar, beserta  keseluruhan  dari  hasil  budi  dan karyanya itu” (Koentjaraningrat, 1992 : 9). 


Koentjaraningrat  (1992:  203)  mengatakan dengan  mengambil  intisari  dari  berbagai kerangka  tentang  unsur-unsur  kebudayaan universal yang disusun oleh sarjana Antropologi, ada tujuh unsur kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia ini. Ketujuh unsur-unsur kebudayaan itu adalah (1) Bahasa, (2) sistem Pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian, (6) sistem   religi, dan (7) Kesenian.

Agama  hindu, bahasa dan sastranya sangat besar artinya dalam perkembangan budaya Bali. seni sastra sebagai salah satu aspek kebudayaan kesenian tidak terlepas dari dinamika budaya Bali.  Dalam  perkembangan  budaya  Bali selanjutnya  nilai-nilai  agama  dan  sastra memberikan kepuasan bathin yang mendalam bagi  penekunnya. selain  itu  karena  adanya kekhasan olah bahasa dan sastranya.  Penyajian ini  merupakan  manifestasi  ketrampilan  para pengarang masa lampau yang tinggi. Dengan demikian  sastra  kalsik  Bali  mengandung hubungan bathin serta latar belakang budaya, sehingga  melahirkan  nilai-nilai  etika,  moral, religius dn dan nilai filosofis hindunya amat tinggi dan menjadi landasan dasar yang kuat bagi  pembentukan  jati  diri  masyarakat  Bali dalam  memantapkan  kehidupan  beragama hindu di Bali.

Masyarakat hindu  di  Bali  sebagian  besar masih tetap memelihara dan menyelamatkan warisan  budaya  berupa  hasil  karya  sastra. Pemeliharaan dan penyelamatan naskah-naskah lama berupa lontar, dan karya sastra lainnya masih tetap diperhatikan. Karya-karya sastra tersebut  di  samping  sebagai  sumber  ilmu pengetahuan  juga  dikalangan  tertentu  masih dipertahankan   sebagai   warisan   yang disakralkan.

Di  kalangan  masyarakat hindu,  tradisi bersastra  dalam  bentuk  kegiatan pesantian, masih  tetap  hidup  dan  terpelihara  bahkan sangat  popular  dan  semakin  disenangi  oleh masyarakat hindu Bali dewasa ini. hal tersebut dilakukan dalam aktivitas pelestarian terhadap tembang-tembang  atau  lagu-lagu  keagamaan melalui lomba kekawin, kidung dan mageguritan. Aktivitas tersebut diawali dengan lomba kidungantar Banjar, atau antar desa, antar instansi, sekolah  dan  lain-lain.  Kemudian  kegiatan–kegiatan lomba tembang yang masih bersifat lokal  semacam  itu  mendapat  perhatian  yang baik  dari  pemerintah  (Parisadha)  sehingga muncullah  istilah Utsawa   Dharmagita,   yaitu lomba tembang atau lagu-lagu agama hindu.

Dharmagita sebagai  nyanyian  keagamaan bagi umat hindu yang dipergunakan menyertai kagiatan   keagamaan   khususnya   yang berhubungan    dengan ritual/yadnya. Penggunaan Dharmagita dalam  berbagai kegiatan keagamaan tersebut sangat dibutuhkan karena irama lagunya memiliki berbagai jenis variasi  yang  sangat  membantu  dalam menciptakan  suasana  hening  yang  dipancari oleh getaran kesucian sesuai jenis yadnya yang dilaksanakan. Di samping itu dilihat dari tema syair-syairnya  banyak  mengandung  ajaran agama, susila, tuntunan hidup yang baik serta lukisan kebesaran tuhan (ida Sang Hyang Widhi Wasa)  dalam  berbagai prabhawa-Nya yang dipuji-puji oleh umat hindu.

salah  satu  jenis Dharmagita yang  masih disenangi dikalangan masyarakat hindu di Bali, yaitu  dalam  bentuk  kegiatan mageguritan. Geguritan adalah  salah  satu  bentuk  tulisan (karangan) dalam kesusatraan Bali yang disusun dengan  menggunakan  pupuh-pupuh,  seperti Pupuh Sinom, Pupuh Semarandana, Pupuh Mijil, Pupuh  Maskumambang,  Pupuh  Pucung,  Pupuh  Pangkur,  Pupuh  Ginada,  Pupuh  Ginanti  Pupuh  Durma,  dan  Pupuh  Dangdang. Naskah-naskah sastra tersebut didalamnyaterkandung nilai-nilai  yang  sangat  luhur.  Nilai-nilai  tersebut merupakan refleksi dari ajaran kitab suci Weda yang  senantiasa  dipelajari  dan  diapresiasi melalui kegiatan pesantian. Dalam mengapresiasi ajaran-ajaran  yang  terkandung  dalam  karya sastra geguritan biasanya  oleh  masyarakat hindu dilakukan dengan magending (bernyanyi). Kegiatan mageguritan ini akhirnya melahirkan konsep magending  sambilang  malajah,  malajah  sambilang magending (bernyanyi sambil belajar, belajar sambil bernyanyi). 

Salah  satu  geguritan yang banyak mendapat perhatian masyarakat adalah  geguritan  Dukuh  Kawi.  Geguritan ini merupakan pegangan yang wajib  diketahui  bagi  seseorang  yang  telah menjalani kehidupan sebagai seorang pensehat raja dalam kehidupan dewasa ini adalah orang yang menjadi bagian dari pemerintahan atau staf  ahli  pemerintahan,  yaitu  bagaimana seseorang yang didalam menjalankan tugasnya sebagai  abdi  Negara  dan  abdi  masyarakat memiliki pribadi yang baik dan budi perkerti yang  luhur,  tidak  gampang  terpengaruh  oleh kehidupan  duniawi  dan  apabila  telah  tiba waktunya seseorang yang telah yang mampu mentrasformasikan  nilai-nilai  luhur  ajaran agama  hindu  agar  lebih  memfokuskan  diri untuk selalu bakti kepada tuhan.

Untuk  dapat  mengetahui  dan  memahami nilai-nilai  pendidikan  agama hindu  yang terkandung  di  dalam Geguritan   Dukuh   Kawipenulis  tertarik  untuk  membahas  “Nilai-nilai Pendidikan  Agama hindu  dalam  dalam Geguritan Dukuh Kawi”.

II. METODE  PENELITIAN

Kata  metode  berasal  dari  bahasa yunani metodos  atau  bahasa  latin Methodus, yang selanjutnya dapat diuraikan menjadi kata “meta dan hodos”. Kata “meta”berarti menuju, melalui, sesudah, mengikuti, dan “hodos” berarti jalan, cara atau arah (dalam redana, 2004 :1). Dengan demikian  kata  metode  dapat  didefinisikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja dilakukan dengan cara-cara yang bersifat ilmiah menurut system tertentu. Metode  penelitian  merupakan  suatu  usaha untuk  menemukan,  mengembangkan,  dan menguji  kebenaran  suatu  pengetahuan.  Jadi metode penelitian adalah alat untuk mengambil kesimpulan,  menjelaskan  dan  menganalisa masalah yang sekaligus merupakan alat untuk memecahkan  masalah  tersebut  atau  dengan kata lain merupakan formulasi atau perwujudan dari  metode  berpikir.  Dalam  penelitian  ini, digunakan  tiga  teknik  penelitian  yakni  studi pustaka, dan kajian teks.

III. PEMBAHASAN

3.1 Ajaran-ajaran Dalam Geguritan Dukuh Kawi

Di   dalam   Geguritan   Dukuh   Kawi   banyak terdapat ajaran-ajaran agama hindu yang dapat menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat, baik yang tertulis dalam lontar-lontar maupun dalam  sastra-sastra hindu  lainnya.  Adapun intisari dan dasar dari keyakinan umat hindu adalah Panca   Sraddha.  Dalam  ajaran  agama Hindu Panca  Sraddha merupakan lima dasar keyakinan umat hindu yang terdiri dari Widhi Sraddha,    Atma  Sraddha,  Karmaphala  Sraddha,  Punarbhawa    Sraddha,    dan    Moksa    Sraddha.    Adapun pokok-pokok ajaran agama hindu yang terdapat  dalam  Geguritan  Dukuh  Kawi  adalah  sebagai berikut :

A. Ajaran Widhi Sraddha

Widhi Sraddha berarti keyakinan akan adanya Tuhan  atau  ida  Sang  Hyang  Widhi  Wasa.  Tuhan  atau ida  Sang  Hyang  Widhi  Wasa. Keyakinan akan  adanya tuhan  sudah  terdapat  sejak manusia  itu  ada.  Tuhan  atau  ida  Sang  Hyang  Widhi   Wasa  tidak  nampak  oleh  mata  biasa namun  beliau  ada. sangat  sulit  untuk mendefinisikan  atau  merumuskanNya,  sebab tuhan berpredikat serba Maha dan mengatasi segalanya. tuhan adalah dari mana asal mula semua ini. Pengertian ini menunjukkan bahwa tuhan Maha Pencipta, pemelihara, dan melebur alam beserta isinya. tuhan atau ida Sang Hyang Widhi   Wasa   adalah  Maha esa  sebagaimana dikatakan  dalam  kitab  suci Weda, Ekam   eva   adwityam  Brahman”  artinya hanya satu tidak ada duanya ida  Sang  Hyang  Widhi  Wasa. “Eko Naro  yanad  na  dwitya’stikascit”  artinya hanya satu tuhan sama sekali tidak ada duanya. Karena kita yakin adanya tuhan maka kita wajib bakti kepadaNya. Bakti atau Tattwa  terhadap  Tuhan  yang Maha esa menurut umatnya tidak hanya taat  kepada  hukum-hukum  suci  yang  telah diturunkan dalam bentuk wahyu (Sruti)  tetapi  juga  menurut  adanya  penghormatan  dengan menuliskan nama tuhan melalui puja mengenai sifat-sifat tuhan yang maha esa (Puja, 1982: 25).

Keyakinan  terhadap  adanya tuhan disebutkan dalam Geguritan  Dukuh  Kawi  pada  bait berikut ini : 

Wawu ngrenga shabda ngoddha,
Makejit raris nyawurin,  
“Dewa Ayu lana luwas, 
Pedhek ring ida Hyang Guru,
Drika titiang mapinunas,
Pianak muani,”
Pajalan nya padadwanan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 6)

Terjemahan :
Baru didengar ada suara yang menggoda,   
Berkedip lalu menjawab,   
Adinda cantik marilah berangkat,   
Menghadap Beliau Hyang Guru,    
Di sana kita memohon,    
Seorang putra laki-laki,   
Berangkatlah mereka berdua.        
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 6)

Sampun rawuh tengah ing alas,
Makalihan matur bakti,
Ring ajeng meru tumpang solas,
Parhyangan ida Hyang Guru,
Dane Dukuh mangradhana,
Dane istri, 
Manguncarang pangastawa.        
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 7)

Terjemahan :   
Setelah sampai di tengah hutan,   
Keduanya menghaturkan bakti,   
Di depan Meru bertumpang sebelas,   
sthana Ida Bhatara hyang guru,   
Dukuh Kawi berdoa, meditasi,   
Istri Dukuh,   
Berdoa dan memuja.         
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 7)

Dari kutipan bait di atas diceritakan i DukuhKawi yang belum memiliki putra, berkeinginan istri beliau untuk segera memiliki putra dengan suara yang sendu beliau berharap agar i DukuhKawi mengabulkan  permintaannya,    setelah mendengar suara Dewi Adnyani yang menghiba, agar bersiap-siap untuk menuju ke dalam hutan, menghadap Beliau Hyang Guru, agar dikaruniai seorang putra. sesampainya di tengah hutan di depan Meru  bertumpang  sebelas sthana   ida   Bhatara  Hyang  GuruDukuh  Kawi berdoa dan bermeditasi istri Dukuh juga ikut berdoa dan memuja.

Dari uraian tentang ajaran Widhi  Sraddha  adalah  adanya  kepercayaan  tentang  adanya tuhan dan dalam cerita Geguritan  Dukuh  Kawiterdapat keyakinan akan adanya tuhan dengan melaksanakan  persembahan  dan  doa  kepada ida sang Hyang widhi melalui semadhi dan tapa brata yang dilakukan Dukuh Kawi serta istrinya Dewi  Adnyani untuk menghadap Beliau Hyang Guru. Dengan  demikian  sudah  jelas  dalam Geguritan  Dukuh  Kawi memiliki ajaran Widhi Sraddha.

B. Ajaran Atma Sraddha

Keyakinan kedua dari Panca Sraddha, adalah percaya  adanya Atma yaitu  percikan tuhan dalam  tubuh  manusia  yang  disebut jiwatma. Atma berasal dari ida  Sang  Hyang  Widhi  yang member  kehidupan  semua  makhluk. Sang Hyang   Ama   disebut  juga Sang   Hyang   Urip,   karena manusia, hewan, dan tumbuhan adalah makhluk hidup yang terjadi dari dua unsur yaitu badan dan Atma. Badan adalah kebendaan yang terbentuk dari lima unsur kasar yaitu Panca Maha  Bhuta.  Di dalam badan melekat sepuluh indria     (Dasa     indria). Atma adalah  yang menghidupkan makhluk itu sendiri, sering juga disebut  badan  halus  dan atma yang menghidupkan  badan  manusia  disebut Jiwatman.

Badan dengan Atma ini bagaikan hubungan kusir  dengan  kereta.  Kusirnya  adalah Atma, keretanya adalah badan. Indria di badan kita tidak akan berfungsi tanpa Atma. Misalnya mata tidak dapat melihat jika tidak dijiwai oleh Atma. Atma yang berasal dari ida  Sang  Hyang  Widhi  mempunyai sifat Antarjyotih (bersinar tidak ada yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna).  Pertemuan  antara  atma dan badan keadaan awidhya.  Awidhya  artinya gelap, lupa pada  kesadaran. Awidhya muncul  karena pengaruh    unsur    Panca    Maha    Bhuta    yang mempunyai sifat duniawi, menyebabkan Atma dalam diri manusia dalam keadaan Awidhya.

tujuan  kehidupan  ialah  menghilangkan Awidhya  guna  meraih  kesadaran  yang  sejati dengan  cara  berbuat  baik  (Asubha   Karma). Menyadari sifat Atma yang sempurna dan penuh kesucian   menimbulkan   usaha   untuk menghilangkan pengaruh Awidhya tadi. Apabila manusia meninggal, yang rusak hanyalah badan kasar, sedangkan Atma tetap ada. Atma kembali akan mengalami kelahiran dengan membawa karma  wasana    (bekas hasil perbuatan) oleh karena  itu  haruslah  berbuat  baik  atas  dasar pengabdian  untuk  membebaskan Sang   Atma   dari ikatan duniawi. Ajaran Atma Sraddha dapat dilihat dari kutipan bait Geguritan  Dukuh  Kawi  berikut ini.

Atma ne raris majalan,
Di jalan katah kapanggih,
Paddha ngembar don senjata,
Peteng-peteng kawahe katemu,
Paksi raja singha raja,
Sona yaksi,
Siharya watek swasiksa.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 97)

Paddha kapanggih ring awan,
Sami ya paddha nyamping,
Sarwa ala padha mimpas,
Apan cening darma Dukuh,
Treshna bakti ring sang Natha,
Sing nya cening,
Tked maring margga sangha. 
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 98)

Terjemahan :

Sang Atma lalu melanjutkan perjalanan,   
Di perjalanan banyak sekali dijumpai,   
Jalan yang penuh dengan daun senjata,   
Malam-malan dijumpai kawah,   
Burung raksasa dan singa raksasa,   
Demikian pula anjing raksasa,   
Semuanya ikut menyiksa para Atma.        
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 97)

Binatang tersebut ditemui di awan,   
Semuanya minggir memberikan jalan,   
Segala bahaya menyamping,   
Karena anakku melaksanakan kewajiban 
seorang pendeta,   
Cinta dan bakti kepada raja,   
tidak akan lah anakku,   
Sampailah di jalan simpang sembilan.         
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 97)

Dari  kutipan  bait  di  atas  terlihat  bahwa setelah  manusia  meninggal  akan  dimulailah perjalanan Atma menuju  alam  kedewataan sesuai dengan hasil perbuatan semasa hidup. Di dalam  perjalanan  menuju  alam  akhirat  akan dijumpai  bermacam-macam  makhluk  yang mengerikan  seperti  burung  raksasa,  singa raksasa, anjing raksasa, pohon yang daunnya senjata,  semua  binatang  itulah  yang  akan menyiksa sang     atma     apabila  di  dalam kehidupannya di dunia masih terikat dengan hal-hal  duniawi  dan  hanya  menikmati kesenangan saja. Demikian tutur i Dukuh Sekar kepada i Gunatama untuk  mengetahui bagaimana  perjalanan sang   atma   ketika  dia meninggal.

Dari  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan perjalanan Atma menuju  alam  kedewataan sesuai dengan hasil perbuatan semasa hidup merupakan ajaran Atma  Sraddha yang tedapat didalam Geguritan Dukuh Kawi.

C. Ajaran Karmaphala Sraddha

Manusia diciptakan oleh tuhan untuk selalu berbuat baik ( subha karma ) agar mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman. Kewajiban  manusia  sebagai karma  (  pekerja tuhan ) adalah bekerja, bertingkah laku yang baik, hasilnya diserahkan kepada ida Sanghyang Widhi     Wasa  untuk  menentukannya. ida Sanghyang Widhi Wasa bersifat Maha Ada, Maha Kasih,  karena  itu  Beliau  selalu  melimpahkan anugrahNya dan memberikan pahala dari setiap orang  yang  sesuai  dengan  perbuatannya  ( karmanya ), karena Hyang Widhi selalu mengasihi dengan yadnya terhadap  manusia,  maka manusiapun harus berterima kasih kepadaNya. Berterima kasih atau membalas jasa pada orang yang berjasa merupakan perbuatan baik .

Bagi  umat hindu  sekarang  merupakan kesempatan  yang  baik  untuk  melaksanakan dharma,  sehingga  nantinya  tidak  mengalami kelahiran kembali. Dalam ajaran agama hindu dikenal dengan ajaran karmaphala yang dapat menentukan  perbuatan manusia, baik sekarang maupun  yang  akan  datang,  sebagaimana disebutkan  dalam Sarasamuscaya  sebagai berikut : 

Karmabhumirya brahma,
Phalabhumirasan mata,
iha yat kurute karma tat,
Paratrobhujyate.    

Apan  iking  janma  mangke, pagawayan  subhaasubha karama  juga ya, ikang  ri  pena pabhuktyan karmaphala ika, kalinganya, ikang subhaasubha karma mangke ri pena ika ankabukti phalanya, ri pegatni kabuktyannya, mang janma ta ya muwah, tumuta wasananing  karmaphala, wasana ngaraning sangaskara, turahning ambematra, ya tinutning, paribhasa, swargacyuta, kunang ikang  subhaasubha  karma ri pena, tan pahala ika, matangnyan mangke juga pengpenga subhaasubha karma (Sarasmuscaya , 1970/1971 : 10.7).

Terjemahan : 

sebab  kelahiran  menjadi  manusia sekarang  ini,  adalah  kesempatan melakukan  kerja  baik  maupun  kerja buruk, yang hasilnya akan dinikmati di akhirat, artinya kerja baik ataupun kerja buruk,  sekarang  ini,  di  akhirat sesungguhnya  akan  dikecap  buah hasilnya itu, setelah selesai menikmatinya, menitislah  pengecap  itu  lagi,  maka turutlah bekas-bekas hasil  perbuatannya, wesana disebut samsara, sisa-sisa yang tinggal  sedikit  dari  bau  sesuatu  yang masih bekas-bekasnya saja, yang diikuti (sebagai)  hukuman  yaitu  jatuh  dari tingkatan  sorga  maupun  dari  kawah neraka, adapun perbuatan baik ataupun perbuatan buruk yang di akhirat, tidaklah berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang  sangat  menentukan  adalah perbuatan  baik  ataupun  perbuatan buruk yang dillakukan sekarang juga. ( Kajeng, 1970 / 1971 : 10.7 ).

Jadi ajaran karmaphala yang terdapat dalam Geguritan   Dukuh   Kawi,   karena Dukuh   Kawi   selalu  melakukan  perbuatan  baik  dalam menuntut     ilmu     pengetahuan     atau     ilmu     kerohanian dengan jujur, setia dan penuh rasa tanggung jawab sehingga  mendapatkan anugrah seorang putra yaitu,  i  Gunatama  yang memiliki kebijaksanaan,  selalu  menjalankan    ajaran dharma dalam hidupnya. hal ini melambangkan ubha karma, pada akhirnya ketika Dukuh Kawi meninggalkan dunia ini mendapatkan sorga. hal tersebut terdapat dalam Geguritan  Dukuh  Kawi  sebagai berikut :

Jati ning margga ne sangha,
Bapa nuturang ring cening,
Apang cening dadi tasak,
Sakala niskala wruh,
Dewata ne sami nudunang,
Atma sami,
Papa swargga paddha katah.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 101)

Nanghing manut maring krama,
Ala ayu duke urip,
Ala solah ala temwa,
Ayu ulah ayu katemu,
Twara ja dadi makebang,
Dewa uning,
Dewatta ne manudunang.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 102)

Terjemahan : 

benarnya  jalannya  yang  simpang sembilan itu,   
Ayah akan memberitahukan kepadamu anakku,   
Agar anakku mengerti dan paham,   
lahir bathin mengetahui,   
Para Dewa semua menentukan,        
Para atma semua,   
Menderita di akhirat amat banyak.        
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 101)

Tetapi menurut hasil perbuatannya,   
Baik  buruknya  perbuatan  pada  saat masih hidup, 
Apabila berbuat yang jelek maka jeleklah yang akan ditemui,   
Apabila berbuat baik maka sorgalah yang akan ditemui,
tiada dapat disembunyikan,
Dewa tahu,
Dewatalah yang menentukan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 102)

Dari kutipan bait di atas terlihat ajaran karmaphala terdapat dalam wejangan i  Dukuh  Sekar kepada i Gunatama bagaimana perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan pada saat kehidupan manusia di dunia, yang akan menentukan  hasil  perbuatan  dipertanggung jawabkan setelah meninggal dan menuju alam akhirat. Apabila lebih banyak perbuatan baik maka sorgalah yang ditemui, apabila perbuatan buruk menguasai manusia itu maka nerakalah tempatnya atma menerima hasil perbuatannya. Dengan  demikian  perilaku  yang  baik, mempelajari kitab suci agama secara mendalam, baik dalam bentuk mantra suci Weda, ceritera-ceritera  maupun purana-purana  dan  ajaran sastra lainnya, maka untuk menghindarkan diri dari kesengsaraan dan untuk mencapai tujuan agama hindu yaitu Jagadhita dan Moksa.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa  phala  atau  hasil  perbuatan  baik  dan perbuatan  buruk  yang  dilakukan  pada  saat kehidupan  manusia  di  dunia,  yang  akan menentukan  hasil  perbuatan  dipertanggung jawabkan setelah meninggal dan menuju alam akhirat  demikian  ajaran karmaphala  yang terdapat   dalam   Geguritan   Dukuh   Kawi  yang merupakan ajaran dari karmaphala Sraddha. 

E. Ajaran Moksa Sraddha

Tujuan hidup umat hindu ialah mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin yaitu Moksartham Jagadhita, merupakankebahagiaan bathin yang terdalam  ialah  bersatunya Atman dengan Brahman, yang disebut Moksa. Moksa atau Mukti atau Nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan. Merdeka  atau  terlepas  dari  ikatan karma, kelahiran,  kematian  dan  belenggu maya / penderitaan keduaniawian. Moksa adalah tujuan terakhir   umat hindu.   Menjalankan sembahyangan bathin dengan Dharana (cipta kasih), Dhyana (memusatkan  cipta),  dan samadhi  (mengheningkan  cipta),  manusia berangsur-angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi ialah bebas dari ikatan keduniawian, untuk bersatunya Atman dengan Brahman. Dalam  kutipan  kitab  suci Bhagawadgita VII. sloka 19 disebutkan sebagai berikut :

Bahunam janmanam ante,
Jnanavan mam prapadyate,
Vasudevah sarwam iti,
Sa mahatma sudurlabhah.
(Bhagawadgita, Vii : 19)

Terjemahan :   

Pada akhir dari banyak kelahiran ,   
orang yang bijaksana menuju kepada,   
Aku, karena mengetahui bahwa tuhan   
Adalah semuanya yang ada.    
(Pudja, 1984)

Dari kutipan bait di atas menyebutkan banyak makhluk  akan  lahir  dan  mati,  serta  hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada binasa di kala semua makhluk binasa. suatu zat tertinggi yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi  tujuan  yang  utama,  agar  tidak mengalami penjelmaan ke dunia. Itulah tempat-Ku  yang  tertinggi,  oleh  karenanya  haruslah berusaha demi Aku. Jika engkau selalu ingat kepada-Ku, tidak usah disangsikan engkau akan kembali kepada-Ku.

Agar tercapai tujuan hidup itu orang harus selalu  berbuat  baik  sesuai  dengan  ajaran agamanya.  Di  dalam  agama hindu  terdapat ajaran  Catur  Purusa  Artha sebagai pedoman hidup sehari-hari didalam membina hubungan atau  pergaulaan  dengan  sesama  manusia  dan  makhluk hidup lainnya. Catur artinya empat, purusa artinya jiwa atau hidup, artha artinya tujuan  hidup.  Adapun  pembagian  dari Catur Purusa   Artha   adalah  sebagai  berikut  :  (1) Dharma yaitu susila dan budi pekerti yang luhur, kebenaran, dharma merupakan  tujuan  hidup yang  sangat  penting  karena  hanya  dengan dharmalah pada hakikatnya merupakan dasar untuk   menciptakan   kebahagiaan   dan kesejahteraan  diri  keluarga  dan  masyarakat serta   umat   manusia.   (2)   Artha  yaitu  harta kekayaan yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup. Artha juga berarti ilmu pengetahuan intelek. (3) Kama yaitu keinginan, nafsu duniawi dan naluri hidup. (4) Moksa yaitu tujuan yang keempat dalam hidup manusia yang terkandung dalam catur purusa artha. Moksahyaitu kebahagiaan yang abadi, terbebasnya atmadalam  roda  samsara  atau  punarbhawa.  Yang  juga  disebut  bersatunya atman     dengan     paramatman atau suka tanpa wali duka, kesucian dan  bebasnya  roh  dari  penjelmaan  dan manunggal dengan tuhan, yang sering disebut kalepasan.  Begitu  pula    di  dalam Geguritan Dukuh  Kawi dijelaskan mengenai  ajaran Catur Purusa   Artha  sebagai  pedoman  hidup  untuk mencapai kelepasan yaitu pada pupuh ginada bait 8, 13,15, 16  sebagai berikut : 

I Dukuh lintang utama,
Mangregepang yogha sidhi,
Manguyup nyangga angkihan,
Matitis ngeningang kayun,
Terus tkeng kadewatan,
Dewa ashih,
Ashabda maring akasha.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 8)

Terjemahan :

Dukuh sangat utama,   
Menghubungan  diri  dengan tuhan melalui yoga,   
Memusatkan pikiran pada napas,   
Menyucikan pikiran,   
Memusatkan  pikiran  menuju  kepada Dewa,   
Para Dewa akan mengasihi,  
Terdengar sabda dari langit.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 8)

Kendhele terus ring manah,
Sakayun siddha ne jani,
Ngagem suka ngajak pianak,
I Dukuh raris ngalesu,
Raris mangucap ring somah,
Dewi Adnyani,
Sampun siddha pakayunan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 13)

Terjemahan :

Kegembiraan  melanda  pikiran Dewi Adnyani,   
Apa  yang  diinginkan  sudah  tercapai sekarang,
Hidup berbahagia dengan seorang anak,   
I Dukuh lalu menyelesaikan doanya, 
Lalu berkata kepada istrinya,
Dewi Adnyani,
Sudah tercapai keinginannya.         
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 13)

I dewa sayangang titiang,
Sakayun sida ulurin,
Sawarnan busana ne kawot,
Emas mirah abra murub,
Sami katur ring i dewa,
Saha buddhi,
Sampun siddha antuk titiang.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 15)

Terjemahan :

Adinda sangat saya sayangi,   
Semua keinginan sudah dipenuhi,   
Segala busana yang indah sudah dimiliki,   e
Emas mirah serba gemerlap,   
Semua diberikan kepada adinda,   
Serta kasih sayang,   
Sudah terpenuhi oleh hamba.
Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 15)

Masih i dewa mamedha,
Managih putra pang laki,
I dewa twah mawak beddha,
Mangkin siddha kadi kayun,
Nanghing kari maring garbbha,,
Titiang pamit,
Moksah maring kadewatan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 16)

Terjemahan :

Masih juga adinda memiki hati lobha,   
Menginginkan seorang anak laki-laki,   
Adinda  memang  selalu  berbeda pendapat,
Sekarang tercapai keinginanmu,   
Tetapi ketika masih di dalam rahim,   
Kanda mohon diri,
Moksah menuju alam kedewatan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 15)

Dari  kutipan  bait-bait  di  atas  terlihat ajaran-ajaran  tentang Catur    Purusa    Arthasebagai  pedoman  hidup  untuk  mencapai kelepasan  yaitu  pada  pupuh ginada  bait  8, merupakan bagian pertama dari  Catur  Purusa  Artha yaitu dharma. Dengan berpegang teguh pada  ajaran dharma Dukuh  Kawi  selalu berpedoman  pada dharma sehingga  untuk mencapai sesuatu selalu berlandaskan dharma. Pada pupuh ginada bait 13, merupakan bagian dari kama dari Catur    Purusa    Artha  yaitu menyebutkan  keinginan Dewi   Adnyani   untuk memperoleh  putra  yang  sakti  dan  bijaksana. Bait ke 15, menyebutkan harta benda yang telah diberikan oleh Dukuh Kawi kepada istrinya Dewi Adnyani  berupa  emas  permata  dan  segala kemewahan hidup yaitu Artha. sedangkan bait ke 16  pupuh ginada dari Geguritan Dukuh Kawimenyebutkan bagian terakhir dari Catur Purusa Artha yaitu Moksah dimana Dukuh Kawi karena kekecewaan  terhadap  keinginan  istrinya akhirnya  beliau  meninggalkan  dunia  menuju alam kedewataan dengan Moksah. 

Dari  uraian  di  atas  dapat  ditarik  suatu kesimpulan,  bahwa dharma  mempunyai kedudukan  yang  paling  utama  dan  penting dalam Catur   Purusa   Artha, dharmalah  yang mengantarkan  manusia  untuk  mendapatkan kebahagiaan    dalam  menuruti kama    dan    menikmati artha di dunia ini. oleh karena itu dharma sangat dipuji dalam mencapai kelepasan yaitu  lepas  dari  ikatan  duniawi  yang sesungguhnya merupakan tujuan akhir setiap manusia di dunia ini, sehinggaa dapat menikmati kebahagiaan abadi yang disebut Moksa. Dengan demikian ajaran Moksa  Sraddha  dapat dicapai dengan berpegang teguh pada ajaran dharma.  Dukuh  Kawi  yang  selalu  berpedoman  pada dharma sehingga untuk mencapai Moksa.

Jadi      dalam      penelitian      ini      teori      hermeneutika  digunakan  untuk  membedah ajaran-ajaran yang terkandung dalam Geguritan Dukuh  Kawi sehingga diperoleh ajaran Widhi Sraddha,  Atma  Sraddha,  Karmaphala  Sraddha  dan Moksa Sraddha. 

3.2  Nilai-nilai  Pendidikan  Agama  Hindu  

Dalam Geguritan Dukuh KawiDalam Geguritan  Dukuh  Kawi terdapat nilai-nilai pendidikan agama hindu pada kehidupan manusia.  Nilai  merupakan  landasan,  alasan, atau motivasi dalam segala perbuatannya. Nilai dijabarkan dalam bentuk norma, kaidah, atau ukuran yang menjadi aturan, sehingga segala sesuatu  yang  memiliki  nilai  kebenaran  dan kebaikan akan dianjurkan untuk dilaksanakan dan sebaliknya nilai yang tidak memiliki nilai kebenaran dan kebaikan maka segala sesuatu tersebut akan dilarang. Karya sastra bukan saja memberikan hiburan pada penikmatnya, tetapi juga menyuguhkan nilai-nilai anggun dan agung (suharianto, 1984 : 18). selanjutnya dikatakan bahwa karya sastra merupakan pengejawantahan usaha sastrawan dalam mengabdikan nilai-nilai kehidupannya.

Karya sastra klasik Indonesia mengandung nilai-nilai  yang  amat  penting  dan  berharga sebagai  warisan  rohani  bangsa  Indonesia. Geguritan  Dukuh  Kawiadalah salah satu karya sastra Jawa Kuna yang dihasilkan di Bali. Karya sastra Jawa Kuna merupakan bagian dari sastra klasik  Indonesia. Geguritan     Dukuh     Kawi mengandung nilai yang penting dan berharga, diciptakan  di  kalangan  kaum brahmana mengandung berbagai nilai untuk diwariskan pada  generasi  berikutnya.  Dengan  demikian dapat dikatakan Geguritan Dukuh Kawi bersifat didaktis, dipakai sebagai alat pengajaran atau pembina moral keagamaan dan etika. Adapun nilai yang terkandung dalam Geguritan  Dukuh  Kawiantara lain : (1) Nilai Pendidikan Tattwa; (2) Nilai Cinta Kasih; (3) Nilai Kesetiaan; dan (4) Nilai Pendidikan etika.

A. Nilai Pendidikan Ketuhanan / Sraddha

Ajaran  agama hindu  dibangun  atas  tiga kerangka dasar yaitu Tattwa, Susila dan Upacara. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan  yang  dilaksanakan.  Kata Tattwa berasal dari bahasa sansekerta dari kata “Tat dan Twa”. Tat artinya kebenaran dan Twa artinya mempunyai sifat. Jadi kata Tattwa berarti yang mempunyai sifat kebenaran. (sutama, 2000 : 55).  Jika dilihat dari pemaknaannya Tattwa, Tat yang  dimaksud  adalah  itu  (that),  sedangkan Twa adalah  menunjukkan  sifat  (ness).   Jadi   Tattwa yang dimaksud adalah merujuk ke-itu-an  (thatness), yang dibicarakan dalam thatness adalah hakekat dari tuhan ( Itu ) dengan segala realitanya.

Dalam naskah Siwa Sasana istilah Tattwadalam ajaran agama hindu dapat disejajarkan dengan  filsafat  sekarang  ini.  Dalam Tattwaselain mencakup pengertian filsafat Ketuhanan, juga  menyangkut  pengertian  theology  dan metafisika. ( Pudja, 1980 : 39). Dengan demikian, dari pengertian di atas berarti banyak bentuk permasalahan yang berkaitan dengan tattwa itu sendiri  seperti  :  apa  hidup  ini,  bagaimana hubungannya dengan tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Tattwa juga dipandang sebagai ajaran  kebenaran  yang  bersifat  hakiki. 

Pengertian  tentang  Tattwa harus dimiliki oleh setiap  umat  manusia  agar  mereka  dapat mengetahui  dan  menyadari  dirinya  sebagai manusia  dan  kemudian  mampu    menjalin hubungan  yang  harmonis  antara  manusia dengan  sesama  manusia,  alam  dan  dengan tuhan sebagai pencipta alam beserta isinya. Inti ajaran Tattwa atau filsafat di Bali khusuanya banyak  dijumpai  pada  karya-karya  sastra umumnya  dalam  bentuk Geguritan seperti   :   GeguritanJayaprana,  GeguritanPakang  Raras,  GeguritanDukuh  Siladri,  GeguritanNi  Sumala,  GeguritanDharma  Wisesa,  GeguritanGiri  Putri,  GeguritanKapi Parwa, dan lain sebagainya. 

Dari sekian banyak karya sastra Geguritan yang ada di Bali, salah satu diantaranyayaitu GeguritanDukuh     Kawi     ternyata  banyak mengandung nilai-nilai pendidikan dan ajaran agama  khususnya  menyangkut  ajaran tattwa yang meliputi pemujaan serta ketaatan kepada tuhan,  percaya  dengan  adanya hukum karmaphala serta tentang keyakinan terhadap kemahakuasaan dan manifestasi tuhan dengan melakukan Yoga  Samadhi. Pernyataan tersebut dapat  dilihat  dari  tokoh-tokoh  dalam  cerita GeguritanDukuh   Kawi.tokoh  tersebut  yaitu Dukuh  Kawi  yang merupakan seorang Brahmin yang setia dan taat menjalankan swadharmanya sebagai  seorang  pendeta  yang  menjadi penasehat  raja  Janggala  yang  pada  akhirnya meninggalkan negeri Janggala menuju ke tengah hutan menjalankan pertapaan dan tiada henti berdoa dan semadi. 

Dengan mengambil yoga dan samadi sebagai jalan memohon anugrah Dewa agar dianugrahi seorang putra, sehingga beliau berdiam di hutan dan akhirnya moksah di pertapaan giri Kusuma. seperti kutipan GeguritanDukuh  Kawi  pupuh  ginada bait 16 sebagai berikut :

Masih i dewa mamedha,
Managih putra pang laki,
I dewa twah mawak beddha,
Mangkin siddha kadi kayun,
Nanghing kari maring garbbha,
Titiang pamit,
Moksah maring kadewatan.
Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 16)

Terjemahan :

Masih juga adinda memiki hati labha,
Menginginkan seorang anak laki-laki,   
Adinda  memang  selalu  berbeda pendapat,   
sekarang tercapai keinginanmu,  
Tetapi ketika masih di dalam rahim,   
Kanda mohon diri,Moksah menuju alam kedewatan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 15)

Dari  kutipan  bait  di  atas  menyebutkan apabila ada kepercayaan dengan adanya tuhan yang  Maha esa  diterima  dengan  adanya pembuktian yang menyatakan bahwa dengan adanya anugrah tuhan apapun yang diinginkan dengan  hati  yang  tulus  akan  dapat  tercapai. selanjutnya  kepercayaan  terhadap  adanya tuhan yang Maha esa dapat dilihat juga dalam kutipan bait berikut :

Ditu maring padukuhan,
Genah bapa nangun Samadhi,
Mamangehang tapa bratta,
Tan mari ngastawa widdhi,
Ngrastitiang i dewa sami,
Mangda pada rahayu,
Matunggalan manyama,
Krabak-krubuk pada asih,
Keto bagus,
Madak kadagingan ja bapa. 
(Geguritan Dukuh Kawi, Sinom: 17)

Terjemahan :   

Di sana di Pedukuhan,   
Tempat ayah bersemadhi,   
menjalankan tapa brata,   
selalu memuja Sang Hyang widhi,   
mendoakan anak-anak semua,   
agar selamat dan sejahtera,   
bersaudara agar rukun,   
saling asah, asih, asuh,   
demikian anakku yang bagus,   
semoga dikabulkan apa yang didoakan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Sinom: 17)

Dari kutipan bait di atas terlihat i  Dukuh  Sekar mengajak  i  Gunatama  putradari i  Dukuh  Kawi untuk ikut bersamanyamenuju padukuhan untuk  bersama-sama  menjalankan  hidup sebagai pendeta dan selalu memuja ida  Sang  Hyang  Widhi  agar seluruh dunia beserta isinya dianugrahi kesejahteraan dan keselamatan. 

Dalam  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan bahwa dalam  Geguritan  Dukuh  Kawi  terdapat  nilai Tattwa, yang dapat dilihat pada kutipan dimana  tokoh i    Dukuh    Sekar    mengajak    i    Gunatama putradari i  Dukuh  Kawi  untuk ikut bersamanyamenuju padukuhan untuk bersama-sama menjalankan hidup sebagai pendeta dan selalu  memuja ida   Sang   Hyang   Widhi  yang semuanya merupakan nilai pendidikan Tattwa yang mencakup tentang percaya dengan adanya Tuhan.

B. Nilai Kesetiaan

Salah  satu  unsur  dalam  keimanan  yang merupakan  landasan  ajaran  agama hindu menurut Atharwa Weda XII.1.1. adalah Satya. Satya berarti  kebenaran,  yaitu  sifat  hekekat tuhan yang Maha esa sehingga kata itu diartikan sama  seperti  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.  Satya juga  berarti  kesetiaan  atau  kejujuran. Satya dalam cerita ini mengandung makna kesetiaan, cinta  kasih.  Dalam Geguritan    Dukuh    Kawidiwujudkan dalam kisah Dewi  Adnyani sebagai tanda kesetiaan kepada suaminya Dukuh  Kawi  rela meninggalkan dunia ini dan putranya yang masih berumur satu bulan untuk moksa menuju alam kedewataan mengikuti suaminya. seperti kutipan bait berikut ini :

Sampun tutug ulanan,
Dewi Adnyani masuci,
Bawu tka kakambuhan,
Tka i macan ngelur,
Duh Dewi Adnyani dewa,
Wastu nyani,
Mangrangsuk Shiwa pralina. 
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 34)

Terjemahan :
   
Setelah usia bayi satu bulan tujuh hari,
Dewi Adnyani menyucikan diri,   
Baru berusia satu bulan tujuh hari,   
Datang I macan bersuara keras,   
Duh, andika Dewi Adnyani,   
Tibalah waktunya sekarang,   
Menuju ke alam siwa.        
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 34)

Dewi Adnyani angucap,
Saking kapralina sedhih,
Treshna ne tong dadi pasha,
Ring sang rare dane matur,
“duh dewa atama ning wang,
Titiang pamit,
Mangiring gurun i dewa”.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 36)

Terjemahan :

Dewi Adnyani berkata    
sedih hatinya akan dipralina,   
Cintanya  kepada  putranya  tidak  dapat dipisahkan,   
Kepads sang putra beliau berkata,    
Duhai putraku buah hatiku,   
Ibu pamit,   
Mengikuti jejak ayahmu.         
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 36)

Dari kutipan di atas terlihat kesetiaan  Dewi Adnyani yang akan satya dengan meninggalkan putranya yang masih bayi bernama  i Gunatama. Akhirnya i  Gunatama    tinggal  di  dalam  hutan  dan dipelihara oleh semua jenis binatang hutan dan burung-burung yang berada di dalam hutan, karena  ibunya Dewi Adnyani juga  ikut meninggalkan  dunia  ini  setelah i   Gunatamaberumur satu bulan tujuh hari, selesai beliau menyucikan diri untuk setia kepada i  Dukuh  Kawi  suaminya  yang  telah  terlebih  dahulu moksah menuju alam kedewataan.

Dalam  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan bahwa pada  Geguritan  Dukuh  Kawi  terdapat  nilai kesetiaan, yang dpat dilihat dari kutipan cerita dimana tokoh Dewi Adnyani sebagai tanda kesetiaan  kepada  suaminya Dukuh  Kawi  rela meninggalkan  dunia  ini  dan  putranya  yang masih berumur satu bulan untuk moksa menuju alam kedewataan mengikuti suaminya.

C. Nilai Cinta Kasih

Cinta kasih berpedoman pada ajaran susila hindu yaitu Tat Twam Asi. Tat Twam Asi adalah suatu  konsep  dalam  filsafat hindu  yang mengajarkan  kesosialan  yang  tidak  terbatas karena diketahui bahwa ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti menyakiti  diri  sendiri  (Atmaja,  2010  :  34). Dalam ajaran Catur Paramita, cinta kasih disebut Karuna. sebagai manusia yang berasal dari satu sumber  maka  manusia  harus  saling  tolong menolong dan rela berkorban demi kebahagiaan orang lain (suhardana, 2007 : 72). hal ini akan dapat menjauhkan manusia dari timbulnya rasa benci. lebih lanjut Kaler (2008 : 6) mengatakan bahwa cinta kasih yang dalam batas tertentu begitu  kuat  sampai-sampai  meluluhkan aku menjadi kami. hal ini berarti bahwa kepentingan umum  jauh  lebih  penting  dibandingkan kepentingan pribadi.

Dalam Geguritan Dukuh Kawi nilai cinta kasih terlihat pada kutipan bait berikut ini :

Sasampune kapralina,
Kocapan rarene kari,
Katon ring madya ning alas,
Sami buron ne mengempu,
Pacringik sakancannya,
Sami sedih,
Kanggen ring i Gunatama.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 35)

Terjemahan :

Setelah i Dukuh di upacarai,   
Diceritakan sang anak,   
Yang masih berada di tengah hutan,   
semua binatang hutan memelihara,    
semua merasa memiliki,   
semuanya terlihat sedih,
Rindu dengan i Gunatama
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 35)

Rare ne mangkin,
I buron ya paddha ngemit,
Paddha nyaruang yeh panon,
Sang rare jenek aturu,
Sami buron ne magebag,
Mangiderin,
Paksi ne sami manemban.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 35)

Dari kutipan bait di atas terlihat nilai cinta kasih terdapat pada para binatang dan burung-burung yang terdapat di dalam hutan. seluruh penghuni  hutan  merasa  sangat  sedih  melihat  bayi i Gunatama hidup seorang diri ditinggalkan moksa kedua orang tuanya. Dengan penuh kasih sayang  para  binatang  hutan  menjaga  dan merawat sang bayi saling bergantian dengan membawakan bermacam-macam buah-buahan.

Jiwa  pengorbanan  ini  dilakukan  dengan sukarela dan tanpa pamrih. tanpa adanya cinta kasih kepada sesama maka manusia tidak akan bersalah  ketika  menyakiti  orang  lain  atau merampas hak orang lain. Karena itu agama hindu   dalam   ajaran-ajarannya   selalu menanamkan  kepada  umatnya  agar  saling mencintai. Apabila cinta kasih yang bersemayam dalam jiwa setiap umat manusia, maka apapun perbedaan yang timbul akan dapat diselesaikan dengan  hati  dan  jiwa  yang  bersih,  sehingga konflik,  pertentangan  maupun  permusuhan dapat diatasi dengan arif dan bijaksana.

Dari uraian di atas dapat disimak nilai cinta kasih yang terkandung dalam Geguritan  Dukuh  Kawi,  tercermin  dari  sifat  penghuni  hutan merasa sangat sedih melihat bayi i  Gunatama  hidup seorang diri ditinggalkan moksa kedua orang tuanya. Dengan penuh kasih sayang para binatang hutan menjaga dan merawat sang bayi saling  bergantian  dengan  membawakan bermacam-macam  buah-buahan.  Nilai  cinta kasih pada hakekatnya sangat tinggi sehingga perlu dicamkan karena itu agama hindu dalam ajaran-ajarannya  selalu  menanamkan  kepada umatnya agar saling mencintai dan kasih sayang kepada sesama.

IV. PENUTUP

Berdasarkan data yang diuraikan pada bab-bab  sebelumnya  dan  mengacu  pada  hasil penelitian  yang  merupakan  cerminan  dari rumusan masalah, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : Geguritan  Dukuh  Kawi  memiliki  struktur  yang  meliputi  :  alur lurus  yaitu  peristiwa  disampaikan  melalui urutan  awal,  tengah,  dan  akhir.  Aspek  latar terbagi menjadi dua bagian, yaitu unsur tempat dan unsur waktu, Penokohan dalam Geguritan Dukuh  Kawi diliputi tokoh utama yaitu Dukuh Kawi, tokoh sampingan Dukuh Sekar, i Gunatama, Manik  Toya,  Manik  Sekar,  Dewi  Adnyani.  Tema  yang  melandasi  adalah  dharma,  swadharma (kewajiban  sendiri)  dan  kesetiaan    serta memiliki amanat mengenai berbuat yang baik sesuai ajaran dharma dan swadharma. Geguritan Dukuh  Kawi mengandung ajaran-ajaran Panca sraddha meliputi : (1) Ajaran Widhi Sraddha; (2) Ajaran Atma  Sraddha, (3) Ajaran KarmaphalaSraddha; (4) Ajaran Moksa  Sraddha. Geguritan Dukuh    Kawi  mengandung  nilai-nilai  agama hindu  yang  meliputi  :  (1)  Nilai  Pendidikan Ketuhanan/Sraddha; (2) Nilai Kesetiaan;  (3) Nilai Cinta Kasih; dan (4) Nilai Pendidikan etika.

Oleh : Ida Ayu Putu Sari, Ni Komang Ayu Irma Dewi
Universitas hindu Indonesia Denpasar

0 Response to "Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Geguritan Dukuh Kawi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel