Koentjaraningrat (1992: 203) mengatakan dengan mengambil intisari dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh sarjana Antropologi, ada tujuh unsur kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia ini. Ketujuh unsur-unsur kebudayaan itu adalah (1) Bahasa, (2) sistem Pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian, (6) sistem religi, dan (7) Kesenian.
Agama hindu, bahasa dan sastranya sangat besar artinya dalam perkembangan budaya Bali. seni sastra sebagai salah satu aspek kebudayaan kesenian tidak terlepas dari dinamika budaya Bali. Dalam perkembangan budaya Bali selanjutnya nilai-nilai agama dan sastra memberikan kepuasan bathin yang mendalam bagi penekunnya. selain itu karena adanya kekhasan olah bahasa dan sastranya. Penyajian ini merupakan manifestasi ketrampilan para pengarang masa lampau yang tinggi. Dengan demikian sastra kalsik Bali mengandung hubungan bathin serta latar belakang budaya, sehingga melahirkan nilai-nilai etika, moral, religius dn dan nilai filosofis hindunya amat tinggi dan menjadi landasan dasar yang kuat bagi pembentukan jati diri masyarakat Bali dalam memantapkan kehidupan beragama hindu di Bali.
Masyarakat hindu di Bali sebagian besar masih tetap memelihara dan menyelamatkan warisan budaya berupa hasil karya sastra. Pemeliharaan dan penyelamatan naskah-naskah lama berupa lontar, dan karya sastra lainnya masih tetap diperhatikan. Karya-karya sastra tersebut di samping sebagai sumber ilmu pengetahuan juga dikalangan tertentu masih dipertahankan sebagai warisan yang disakralkan.
Di kalangan masyarakat hindu, tradisi bersastra dalam bentuk kegiatan pesantian, masih tetap hidup dan terpelihara bahkan sangat popular dan semakin disenangi oleh masyarakat hindu Bali dewasa ini. hal tersebut dilakukan dalam aktivitas pelestarian terhadap tembang-tembang atau lagu-lagu keagamaan melalui lomba kekawin, kidung dan mageguritan. Aktivitas tersebut diawali dengan lomba kidungantar Banjar, atau antar desa, antar instansi, sekolah dan lain-lain. Kemudian kegiatan–kegiatan lomba tembang yang masih bersifat lokal semacam itu mendapat perhatian yang baik dari pemerintah (Parisadha) sehingga muncullah istilah Utsawa Dharmagita, yaitu lomba tembang atau lagu-lagu agama hindu.
Dharmagita sebagai nyanyian keagamaan bagi umat hindu yang dipergunakan menyertai kagiatan keagamaan khususnya yang berhubungan dengan ritual/yadnya. Penggunaan Dharmagita dalam berbagai kegiatan keagamaan tersebut sangat dibutuhkan karena irama lagunya memiliki berbagai jenis variasi yang sangat membantu dalam menciptakan suasana hening yang dipancari oleh getaran kesucian sesuai jenis yadnya yang dilaksanakan. Di samping itu dilihat dari tema syair-syairnya banyak mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup yang baik serta lukisan kebesaran tuhan (ida Sang Hyang Widhi Wasa) dalam berbagai prabhawa-Nya yang dipuji-puji oleh umat hindu.
salah satu jenis Dharmagita yang masih disenangi dikalangan masyarakat hindu di Bali, yaitu dalam bentuk kegiatan mageguritan. Geguritan adalah salah satu bentuk tulisan (karangan) dalam kesusatraan Bali yang disusun dengan menggunakan pupuh-pupuh, seperti Pupuh Sinom, Pupuh Semarandana, Pupuh Mijil, Pupuh Maskumambang, Pupuh Pucung, Pupuh Pangkur, Pupuh Ginada, Pupuh Ginanti Pupuh Durma, dan Pupuh Dangdang. Naskah-naskah sastra tersebut didalamnyaterkandung nilai-nilai yang sangat luhur. Nilai-nilai tersebut merupakan refleksi dari ajaran kitab suci Weda yang senantiasa dipelajari dan diapresiasi melalui kegiatan pesantian. Dalam mengapresiasi ajaran-ajaran yang terkandung dalam karya sastra geguritan biasanya oleh masyarakat hindu dilakukan dengan magending (bernyanyi). Kegiatan mageguritan ini akhirnya melahirkan konsep magending sambilang malajah, malajah sambilang magending (bernyanyi sambil belajar, belajar sambil bernyanyi).
Salah satu geguritan yang banyak mendapat perhatian masyarakat adalah geguritan Dukuh Kawi. Geguritan ini merupakan pegangan yang wajib diketahui bagi seseorang yang telah menjalani kehidupan sebagai seorang pensehat raja dalam kehidupan dewasa ini adalah orang yang menjadi bagian dari pemerintahan atau staf ahli pemerintahan, yaitu bagaimana seseorang yang didalam menjalankan tugasnya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat memiliki pribadi yang baik dan budi perkerti yang luhur, tidak gampang terpengaruh oleh kehidupan duniawi dan apabila telah tiba waktunya seseorang yang telah yang mampu mentrasformasikan nilai-nilai luhur ajaran agama hindu agar lebih memfokuskan diri untuk selalu bakti kepada tuhan.
Untuk dapat mengetahui dan memahami nilai-nilai pendidikan agama hindu yang terkandung di dalam Geguritan Dukuh Kawipenulis tertarik untuk membahas “Nilai-nilai Pendidikan Agama hindu dalam dalam Geguritan Dukuh Kawi”.
Kata metode berasal dari bahasa yunani metodos atau bahasa latin Methodus, yang selanjutnya dapat diuraikan menjadi kata “meta dan hodos”. Kata “meta”berarti menuju, melalui, sesudah, mengikuti, dan “hodos” berarti jalan, cara atau arah (dalam redana, 2004 :1). Dengan demikian kata metode dapat didefinisikan sebagai cara atau jalan untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja dilakukan dengan cara-cara yang bersifat ilmiah menurut system tertentu. Metode penelitian merupakan suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Jadi metode penelitian adalah alat untuk mengambil kesimpulan, menjelaskan dan menganalisa masalah yang sekaligus merupakan alat untuk memecahkan masalah tersebut atau dengan kata lain merupakan formulasi atau perwujudan dari metode berpikir. Dalam penelitian ini, digunakan tiga teknik penelitian yakni studi pustaka, dan kajian teks.
Di dalam Geguritan Dukuh Kawi banyak terdapat ajaran-ajaran agama hindu yang dapat menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat, baik yang tertulis dalam lontar-lontar maupun dalam sastra-sastra hindu lainnya. Adapun intisari dan dasar dari keyakinan umat hindu adalah Panca Sraddha. Dalam ajaran agama Hindu Panca Sraddha merupakan lima dasar keyakinan umat hindu yang terdiri dari Widhi Sraddha, Atma Sraddha, Karmaphala Sraddha, Punarbhawa Sraddha, dan Moksa Sraddha. Adapun pokok-pokok ajaran agama hindu yang terdapat dalam Geguritan Dukuh Kawi adalah sebagai berikut :
Widhi Sraddha berarti keyakinan akan adanya Tuhan atau ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tuhan atau ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keyakinan akan adanya tuhan sudah terdapat sejak manusia itu ada. Tuhan atau ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak nampak oleh mata biasa namun beliau ada. sangat sulit untuk mendefinisikan atau merumuskanNya, sebab tuhan berpredikat serba Maha dan mengatasi segalanya. tuhan adalah dari mana asal mula semua ini. Pengertian ini menunjukkan bahwa tuhan Maha Pencipta, pemelihara, dan melebur alam beserta isinya. tuhan atau ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah Maha esa sebagaimana dikatakan dalam kitab suci Weda, Ekam eva adwityam Brahman” artinya hanya satu tidak ada duanya ida Sang Hyang Widhi Wasa. “Eko Naro yanad na dwitya’stikascit” artinya hanya satu tuhan sama sekali tidak ada duanya. Karena kita yakin adanya tuhan maka kita wajib bakti kepadaNya. Bakti atau Tattwa terhadap Tuhan yang Maha esa menurut umatnya tidak hanya taat kepada hukum-hukum suci yang telah diturunkan dalam bentuk wahyu (Sruti) tetapi juga menurut adanya penghormatan dengan menuliskan nama tuhan melalui puja mengenai sifat-sifat tuhan yang maha esa (Puja, 1982: 25).
Keyakinan terhadap adanya tuhan disebutkan dalam Geguritan Dukuh Kawi pada bait berikut ini :
Dari kutipan bait di atas diceritakan i DukuhKawi yang belum memiliki putra, berkeinginan istri beliau untuk segera memiliki putra dengan suara yang sendu beliau berharap agar i DukuhKawi mengabulkan permintaannya, setelah mendengar suara Dewi Adnyani yang menghiba, agar bersiap-siap untuk menuju ke dalam hutan, menghadap Beliau Hyang Guru, agar dikaruniai seorang putra. sesampainya di tengah hutan di depan Meru bertumpang sebelas sthana ida Bhatara Hyang GuruDukuh Kawi berdoa dan bermeditasi istri Dukuh juga ikut berdoa dan memuja.
Dari uraian tentang ajaran Widhi Sraddha adalah adanya kepercayaan tentang adanya tuhan dan dalam cerita Geguritan Dukuh Kawiterdapat keyakinan akan adanya tuhan dengan melaksanakan persembahan dan doa kepada ida sang Hyang widhi melalui semadhi dan tapa brata yang dilakukan Dukuh Kawi serta istrinya Dewi Adnyani untuk menghadap Beliau Hyang Guru. Dengan demikian sudah jelas dalam Geguritan Dukuh Kawi memiliki ajaran Widhi Sraddha.
Binatang tersebut ditemui di awan,
Semuanya minggir memberikan jalan,
Segala bahaya menyamping,
Karena anakku melaksanakan kewajiban
seorang pendeta,
Cinta dan bakti kepada raja,
tidak akan lah anakku,
Sampailah di jalan simpang sembilan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 97)
Dari kutipan bait di atas terlihat bahwa setelah manusia meninggal akan dimulailah perjalanan Atma menuju alam kedewataan sesuai dengan hasil perbuatan semasa hidup. Di dalam perjalanan menuju alam akhirat akan dijumpai bermacam-macam makhluk yang mengerikan seperti burung raksasa, singa raksasa, anjing raksasa, pohon yang daunnya senjata, semua binatang itulah yang akan menyiksa sang atma apabila di dalam kehidupannya di dunia masih terikat dengan hal-hal duniawi dan hanya menikmati kesenangan saja. Demikian tutur i Dukuh Sekar kepada i Gunatama untuk mengetahui bagaimana perjalanan sang atma ketika dia meninggal.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perjalanan Atma menuju alam kedewataan sesuai dengan hasil perbuatan semasa hidup merupakan ajaran Atma Sraddha yang tedapat didalam Geguritan Dukuh Kawi.
C. Ajaran Karmaphala Sraddha
Manusia diciptakan oleh tuhan untuk selalu berbuat baik ( subha karma ) agar mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman. Kewajiban manusia sebagai karma ( pekerja tuhan ) adalah bekerja, bertingkah laku yang baik, hasilnya diserahkan kepada ida Sanghyang Widhi Wasa untuk menentukannya. ida Sanghyang Widhi Wasa bersifat Maha Ada, Maha Kasih, karena itu Beliau selalu melimpahkan anugrahNya dan memberikan pahala dari setiap orang yang sesuai dengan perbuatannya ( karmanya ), karena Hyang Widhi selalu mengasihi dengan yadnya terhadap manusia, maka manusiapun harus berterima kasih kepadaNya. Berterima kasih atau membalas jasa pada orang yang berjasa merupakan perbuatan baik .
Bagi umat hindu sekarang merupakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan dharma, sehingga nantinya tidak mengalami kelahiran kembali. Dalam ajaran agama hindu dikenal dengan ajaran karmaphala yang dapat menentukan perbuatan manusia, baik sekarang maupun yang akan datang, sebagaimana disebutkan dalam Sarasamuscaya sebagai berikut :
Karmabhumirya brahma,
Phalabhumirasan mata,
iha yat kurute karma tat,
Paratrobhujyate.
Apan iking janma mangke, pagawayan subhaasubha karama juga ya, ikang ri pena pabhuktyan karmaphala ika, kalinganya, ikang subhaasubha karma mangke ri pena ika ankabukti phalanya, ri pegatni kabuktyannya, mang janma ta ya muwah, tumuta wasananing karmaphala, wasana ngaraning sangaskara, turahning ambematra, ya tinutning, paribhasa, swargacyuta, kunang ikang subhaasubha karma ri pena, tan pahala ika, matangnyan mangke juga pengpenga subhaasubha karma (Sarasmuscaya , 1970/1971 : 10.7).
Terjemahan :
sebab kelahiran menjadi manusia sekarang ini, adalah kesempatan melakukan kerja baik maupun kerja buruk, yang hasilnya akan dinikmati di akhirat, artinya kerja baik ataupun kerja buruk, sekarang ini, di akhirat sesungguhnya akan dikecap buah hasilnya itu, setelah selesai menikmatinya, menitislah pengecap itu lagi, maka turutlah bekas-bekas hasil perbuatannya, wesana disebut samsara, sisa-sisa yang tinggal sedikit dari bau sesuatu yang masih bekas-bekasnya saja, yang diikuti (sebagai) hukuman yaitu jatuh dari tingkatan sorga maupun dari kawah neraka, adapun perbuatan baik ataupun perbuatan buruk yang di akhirat, tidaklah berakibat sesuatu apapun, oleh karena yang sangat menentukan adalah perbuatan baik ataupun perbuatan buruk yang dillakukan sekarang juga. ( Kajeng, 1970 / 1971 : 10.7 ).
Jadi ajaran karmaphala yang terdapat dalam Geguritan Dukuh Kawi, karena Dukuh Kawi selalu melakukan perbuatan baik dalam menuntut ilmu pengetahuan atau ilmu kerohanian dengan jujur, setia dan penuh rasa tanggung jawab sehingga mendapatkan anugrah seorang putra yaitu, i Gunatama yang memiliki kebijaksanaan, selalu menjalankan ajaran dharma dalam hidupnya. hal ini melambangkan ubha karma, pada akhirnya ketika Dukuh Kawi meninggalkan dunia ini mendapatkan sorga. hal tersebut terdapat dalam Geguritan Dukuh Kawi sebagai berikut :
Jati ning margga ne sangha,
Bapa nuturang ring cening,
Apang cening dadi tasak,
Sakala niskala wruh,
Dewata ne sami nudunang,
Atma sami,
Papa swargga paddha katah.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 101)
Nanghing manut maring krama,
Ala ayu duke urip,
Ala solah ala temwa,
Ayu ulah ayu katemu,
Twara ja dadi makebang,
Dewa uning,
Dewatta ne manudunang.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 102)
Terjemahan :
benarnya jalannya yang simpang sembilan itu,
Ayah akan memberitahukan kepadamu anakku,
Agar anakku mengerti dan paham,
lahir bathin mengetahui,
Para Dewa semua menentukan,
Para atma semua,
Menderita di akhirat amat banyak.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 101)
Tetapi menurut hasil perbuatannya,
Baik buruknya perbuatan pada saat masih hidup,
Apabila berbuat yang jelek maka jeleklah yang akan ditemui,
Apabila berbuat baik maka sorgalah yang akan ditemui,
tiada dapat disembunyikan,
Dewa tahu,
Dewatalah yang menentukan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 102)
Dari kutipan bait di atas terlihat ajaran karmaphala terdapat dalam wejangan i Dukuh Sekar kepada i Gunatama bagaimana perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan pada saat kehidupan manusia di dunia, yang akan menentukan hasil perbuatan dipertanggung jawabkan setelah meninggal dan menuju alam akhirat. Apabila lebih banyak perbuatan baik maka sorgalah yang ditemui, apabila perbuatan buruk menguasai manusia itu maka nerakalah tempatnya atma menerima hasil perbuatannya. Dengan demikian perilaku yang baik, mempelajari kitab suci agama secara mendalam, baik dalam bentuk mantra suci Weda, ceritera-ceritera maupun purana-purana dan ajaran sastra lainnya, maka untuk menghindarkan diri dari kesengsaraan dan untuk mencapai tujuan agama hindu yaitu Jagadhita dan Moksa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa phala atau hasil perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan pada saat kehidupan manusia di dunia, yang akan menentukan hasil perbuatan dipertanggung jawabkan setelah meninggal dan menuju alam akhirat demikian ajaran karmaphala yang terdapat dalam Geguritan Dukuh Kawi yang merupakan ajaran dari karmaphala Sraddha.
E. Ajaran Moksa Sraddha
Tujuan hidup umat hindu ialah mendapatkan kebahagiaan lahir dan bathin yaitu Moksartham Jagadhita, merupakankebahagiaan bathin yang terdalam ialah bersatunya Atman dengan Brahman, yang disebut Moksa. Moksa atau Mukti atau Nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan. Merdeka atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian dan belenggu maya / penderitaan keduaniawian. Moksa adalah tujuan terakhir umat hindu. Menjalankan sembahyangan bathin dengan Dharana (cipta kasih), Dhyana (memusatkan cipta), dan samadhi (mengheningkan cipta), manusia berangsur-angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi ialah bebas dari ikatan keduniawian, untuk bersatunya Atman dengan Brahman. Dalam kutipan kitab suci Bhagawadgita VII. sloka 19 disebutkan sebagai berikut :
Bahunam janmanam ante,
Jnanavan mam prapadyate,
Vasudevah sarwam iti,
Sa mahatma sudurlabhah.
(Bhagawadgita, Vii : 19)
Terjemahan :
Pada akhir dari banyak kelahiran ,
orang yang bijaksana menuju kepada,
Aku, karena mengetahui bahwa tuhan
Adalah semuanya yang ada.
(Pudja, 1984)
Dari kutipan bait di atas menyebutkan banyak makhluk akan lahir dan mati, serta hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada binasa di kala semua makhluk binasa. suatu zat tertinggi yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuan yang utama, agar tidak mengalami penjelmaan ke dunia. Itulah tempat-Ku yang tertinggi, oleh karenanya haruslah berusaha demi Aku. Jika engkau selalu ingat kepada-Ku, tidak usah disangsikan engkau akan kembali kepada-Ku.
Agar tercapai tujuan hidup itu orang harus selalu berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Di dalam agama hindu terdapat ajaran Catur Purusa Artha sebagai pedoman hidup sehari-hari didalam membina hubungan atau pergaulaan dengan sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Catur artinya empat, purusa artinya jiwa atau hidup, artha artinya tujuan hidup. Adapun pembagian dari Catur Purusa Artha adalah sebagai berikut : (1) Dharma yaitu susila dan budi pekerti yang luhur, kebenaran, dharma merupakan tujuan hidup yang sangat penting karena hanya dengan dharmalah pada hakikatnya merupakan dasar untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan diri keluarga dan masyarakat serta umat manusia. (2) Artha yaitu harta kekayaan yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup. Artha juga berarti ilmu pengetahuan intelek. (3) Kama yaitu keinginan, nafsu duniawi dan naluri hidup. (4) Moksa yaitu tujuan yang keempat dalam hidup manusia yang terkandung dalam catur purusa artha. Moksahyaitu kebahagiaan yang abadi, terbebasnya atmadalam roda samsara atau punarbhawa. Yang juga disebut bersatunya atman dengan paramatman atau suka tanpa wali duka, kesucian dan bebasnya roh dari penjelmaan dan manunggal dengan tuhan, yang sering disebut kalepasan. Begitu pula di dalam Geguritan Dukuh Kawi dijelaskan mengenai ajaran Catur Purusa Artha sebagai pedoman hidup untuk mencapai kelepasan yaitu pada pupuh ginada bait 8, 13,15, 16 sebagai berikut :
I Dukuh lintang utama,
Mangregepang yogha sidhi,
Manguyup nyangga angkihan,
Matitis ngeningang kayun,
Terus tkeng kadewatan,
Dewa ashih,
Ashabda maring akasha.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 8)
Terjemahan :
Dukuh sangat utama,
Menghubungan diri dengan tuhan melalui yoga,
Memusatkan pikiran pada napas,
Menyucikan pikiran,
Memusatkan pikiran menuju kepada Dewa,
Para Dewa akan mengasihi,
Terdengar sabda dari langit.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 8)
Kendhele terus ring manah,
Sakayun siddha ne jani,
Ngagem suka ngajak pianak,
I Dukuh raris ngalesu,
Raris mangucap ring somah,
Dewi Adnyani,
Sampun siddha pakayunan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 13)
Terjemahan :
Kegembiraan melanda pikiran Dewi Adnyani,
Apa yang diinginkan sudah tercapai sekarang,
Hidup berbahagia dengan seorang anak,
I Dukuh lalu menyelesaikan doanya,
Lalu berkata kepada istrinya,
Dewi Adnyani,
Sudah tercapai keinginannya.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 13)
I dewa sayangang titiang,
Sakayun sida ulurin,
Sawarnan busana ne kawot,
Emas mirah abra murub,
Sami katur ring i dewa,
Saha buddhi,
Sampun siddha antuk titiang.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 15)
Terjemahan :
Adinda sangat saya sayangi,
Semua keinginan sudah dipenuhi,
Segala busana yang indah sudah dimiliki, e
Emas mirah serba gemerlap,
Semua diberikan kepada adinda,
Serta kasih sayang,
Sudah terpenuhi oleh hamba.
Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 15)
Masih i dewa mamedha,
Managih putra pang laki,
I dewa twah mawak beddha,
Mangkin siddha kadi kayun,
Nanghing kari maring garbbha,,
Titiang pamit,
Moksah maring kadewatan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 16)
Terjemahan :
Masih juga adinda memiki hati lobha,
Menginginkan seorang anak laki-laki,
Adinda memang selalu berbeda pendapat,
Sekarang tercapai keinginanmu,
Tetapi ketika masih di dalam rahim,
Kanda mohon diri,
Moksah menuju alam kedewatan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 15)
Dari kutipan bait-bait di atas terlihat ajaran-ajaran tentang Catur Purusa Arthasebagai pedoman hidup untuk mencapai kelepasan yaitu pada pupuh ginada bait 8, merupakan bagian pertama dari Catur Purusa Artha yaitu dharma. Dengan berpegang teguh pada ajaran dharma Dukuh Kawi selalu berpedoman pada dharma sehingga untuk mencapai sesuatu selalu berlandaskan dharma. Pada pupuh ginada bait 13, merupakan bagian dari kama dari Catur Purusa Artha yaitu menyebutkan keinginan Dewi Adnyani untuk memperoleh putra yang sakti dan bijaksana. Bait ke 15, menyebutkan harta benda yang telah diberikan oleh Dukuh Kawi kepada istrinya Dewi Adnyani berupa emas permata dan segala kemewahan hidup yaitu Artha. sedangkan bait ke 16 pupuh ginada dari Geguritan Dukuh Kawimenyebutkan bagian terakhir dari Catur Purusa Artha yaitu Moksah dimana Dukuh Kawi karena kekecewaan terhadap keinginan istrinya akhirnya beliau meninggalkan dunia menuju alam kedewataan dengan Moksah.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dharma mempunyai kedudukan yang paling utama dan penting dalam Catur Purusa Artha, dharmalah yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dalam menuruti kama dan menikmati artha di dunia ini. oleh karena itu dharma sangat dipuji dalam mencapai kelepasan yaitu lepas dari ikatan duniawi yang sesungguhnya merupakan tujuan akhir setiap manusia di dunia ini, sehinggaa dapat menikmati kebahagiaan abadi yang disebut Moksa. Dengan demikian ajaran Moksa Sraddha dapat dicapai dengan berpegang teguh pada ajaran dharma. Dukuh Kawi yang selalu berpedoman pada dharma sehingga untuk mencapai Moksa.
Jadi dalam penelitian ini teori hermeneutika digunakan untuk membedah ajaran-ajaran yang terkandung dalam Geguritan Dukuh Kawi sehingga diperoleh ajaran Widhi Sraddha, Atma Sraddha, Karmaphala Sraddha dan Moksa Sraddha.
3.2 Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu
Dalam Geguritan Dukuh KawiDalam Geguritan Dukuh Kawi terdapat nilai-nilai pendidikan agama hindu pada kehidupan manusia. Nilai merupakan landasan, alasan, atau motivasi dalam segala perbuatannya. Nilai dijabarkan dalam bentuk norma, kaidah, atau ukuran yang menjadi aturan, sehingga segala sesuatu yang memiliki nilai kebenaran dan kebaikan akan dianjurkan untuk dilaksanakan dan sebaliknya nilai yang tidak memiliki nilai kebenaran dan kebaikan maka segala sesuatu tersebut akan dilarang. Karya sastra bukan saja memberikan hiburan pada penikmatnya, tetapi juga menyuguhkan nilai-nilai anggun dan agung (suharianto, 1984 : 18). selanjutnya dikatakan bahwa karya sastra merupakan pengejawantahan usaha sastrawan dalam mengabdikan nilai-nilai kehidupannya.
Karya sastra klasik Indonesia mengandung nilai-nilai yang amat penting dan berharga sebagai warisan rohani bangsa Indonesia. Geguritan Dukuh Kawiadalah salah satu karya sastra Jawa Kuna yang dihasilkan di Bali. Karya sastra Jawa Kuna merupakan bagian dari sastra klasik Indonesia. Geguritan Dukuh Kawi mengandung nilai yang penting dan berharga, diciptakan di kalangan kaum brahmana mengandung berbagai nilai untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Dengan demikian dapat dikatakan Geguritan Dukuh Kawi bersifat didaktis, dipakai sebagai alat pengajaran atau pembina moral keagamaan dan etika. Adapun nilai yang terkandung dalam Geguritan Dukuh Kawiantara lain : (1) Nilai Pendidikan Tattwa; (2) Nilai Cinta Kasih; (3) Nilai Kesetiaan; dan (4) Nilai Pendidikan etika.
A. Nilai Pendidikan Ketuhanan / Sraddha
Ajaran agama hindu dibangun atas tiga kerangka dasar yaitu Tattwa, Susila dan Upacara. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Kata Tattwa berasal dari bahasa sansekerta dari kata “Tat dan Twa”. Tat artinya kebenaran dan Twa artinya mempunyai sifat. Jadi kata Tattwa berarti yang mempunyai sifat kebenaran. (sutama, 2000 : 55). Jika dilihat dari pemaknaannya Tattwa, Tat yang dimaksud adalah itu (that), sedangkan Twa adalah menunjukkan sifat (ness). Jadi Tattwa yang dimaksud adalah merujuk ke-itu-an (thatness), yang dibicarakan dalam thatness adalah hakekat dari tuhan ( Itu ) dengan segala realitanya.
Dalam naskah Siwa Sasana istilah Tattwadalam ajaran agama hindu dapat disejajarkan dengan filsafat sekarang ini. Dalam Tattwaselain mencakup pengertian filsafat Ketuhanan, juga menyangkut pengertian theology dan metafisika. ( Pudja, 1980 : 39). Dengan demikian, dari pengertian di atas berarti banyak bentuk permasalahan yang berkaitan dengan tattwa itu sendiri seperti : apa hidup ini, bagaimana hubungannya dengan tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Tattwa juga dipandang sebagai ajaran kebenaran yang bersifat hakiki.
Pengertian tentang Tattwa harus dimiliki oleh setiap umat manusia agar mereka dapat mengetahui dan menyadari dirinya sebagai manusia dan kemudian mampu menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia, alam dan dengan tuhan sebagai pencipta alam beserta isinya. Inti ajaran Tattwa atau filsafat di Bali khusuanya banyak dijumpai pada karya-karya sastra umumnya dalam bentuk Geguritan seperti : GeguritanJayaprana, GeguritanPakang Raras, GeguritanDukuh Siladri, GeguritanNi Sumala, GeguritanDharma Wisesa, GeguritanGiri Putri, GeguritanKapi Parwa, dan lain sebagainya.
Dari sekian banyak karya sastra Geguritan yang ada di Bali, salah satu diantaranyayaitu GeguritanDukuh Kawi ternyata banyak mengandung nilai-nilai pendidikan dan ajaran agama khususnya menyangkut ajaran tattwa yang meliputi pemujaan serta ketaatan kepada tuhan, percaya dengan adanya hukum karmaphala serta tentang keyakinan terhadap kemahakuasaan dan manifestasi tuhan dengan melakukan Yoga Samadhi. Pernyataan tersebut dapat dilihat dari tokoh-tokoh dalam cerita GeguritanDukuh Kawi.tokoh tersebut yaitu Dukuh Kawi yang merupakan seorang Brahmin yang setia dan taat menjalankan swadharmanya sebagai seorang pendeta yang menjadi penasehat raja Janggala yang pada akhirnya meninggalkan negeri Janggala menuju ke tengah hutan menjalankan pertapaan dan tiada henti berdoa dan semadi.
Dengan mengambil yoga dan samadi sebagai jalan memohon anugrah Dewa agar dianugrahi seorang putra, sehingga beliau berdiam di hutan dan akhirnya moksah di pertapaan giri Kusuma. seperti kutipan GeguritanDukuh Kawi pupuh ginada bait 16 sebagai berikut :
Masih i dewa mamedha,
Managih putra pang laki,
I dewa twah mawak beddha,
Mangkin siddha kadi kayun,
Nanghing kari maring garbbha,
Titiang pamit,
Moksah maring kadewatan.
Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 16)
Terjemahan :
Masih juga adinda memiki hati labha,
Menginginkan seorang anak laki-laki,
Adinda memang selalu berbeda pendapat,
sekarang tercapai keinginanmu,
Tetapi ketika masih di dalam rahim,
Kanda mohon diri,Moksah menuju alam kedewatan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada : 15)
Dari kutipan bait di atas menyebutkan apabila ada kepercayaan dengan adanya tuhan yang Maha esa diterima dengan adanya pembuktian yang menyatakan bahwa dengan adanya anugrah tuhan apapun yang diinginkan dengan hati yang tulus akan dapat tercapai. selanjutnya kepercayaan terhadap adanya tuhan yang Maha esa dapat dilihat juga dalam kutipan bait berikut :
Ditu maring padukuhan,
Genah bapa nangun Samadhi,
Mamangehang tapa bratta,
Tan mari ngastawa widdhi,
Ngrastitiang i dewa sami,
Mangda pada rahayu,
Matunggalan manyama,
Krabak-krubuk pada asih,
Keto bagus,
Madak kadagingan ja bapa.
(Geguritan Dukuh Kawi, Sinom: 17)
Terjemahan :
Di sana di Pedukuhan,
Tempat ayah bersemadhi,
menjalankan tapa brata,
selalu memuja Sang Hyang widhi,
mendoakan anak-anak semua,
agar selamat dan sejahtera,
bersaudara agar rukun,
saling asah, asih, asuh,
demikian anakku yang bagus,
semoga dikabulkan apa yang didoakan.
(Geguritan Dukuh Kawi, Sinom: 17)
Dari kutipan bait di atas terlihat i Dukuh Sekar mengajak i Gunatama putradari i Dukuh Kawi untuk ikut bersamanyamenuju padukuhan untuk bersama-sama menjalankan hidup sebagai pendeta dan selalu memuja ida Sang Hyang Widhi agar seluruh dunia beserta isinya dianugrahi kesejahteraan dan keselamatan.
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam Geguritan Dukuh Kawi terdapat nilai Tattwa, yang dapat dilihat pada kutipan dimana tokoh i Dukuh Sekar mengajak i Gunatama putradari i Dukuh Kawi untuk ikut bersamanyamenuju padukuhan untuk bersama-sama menjalankan hidup sebagai pendeta dan selalu memuja ida Sang Hyang Widhi yang semuanya merupakan nilai pendidikan Tattwa yang mencakup tentang percaya dengan adanya Tuhan.
B. Nilai Kesetiaan
Salah satu unsur dalam keimanan yang merupakan landasan ajaran agama hindu menurut Atharwa Weda XII.1.1. adalah Satya. Satya berarti kebenaran, yaitu sifat hekekat tuhan yang Maha esa sehingga kata itu diartikan sama seperti Ketuhanan Yang Maha Esa. Satya juga berarti kesetiaan atau kejujuran. Satya dalam cerita ini mengandung makna kesetiaan, cinta kasih. Dalam Geguritan Dukuh Kawidiwujudkan dalam kisah Dewi Adnyani sebagai tanda kesetiaan kepada suaminya Dukuh Kawi rela meninggalkan dunia ini dan putranya yang masih berumur satu bulan untuk moksa menuju alam kedewataan mengikuti suaminya. seperti kutipan bait berikut ini :
Sampun tutug ulanan,
Dewi Adnyani masuci,
Bawu tka kakambuhan,
Tka i macan ngelur,
Duh Dewi Adnyani dewa,
Wastu nyani,
Mangrangsuk Shiwa pralina.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 34)
Terjemahan :
Setelah usia bayi satu bulan tujuh hari,
Dewi Adnyani menyucikan diri,
Baru berusia satu bulan tujuh hari,
Datang I macan bersuara keras,
Duh, andika Dewi Adnyani,
Tibalah waktunya sekarang,
Menuju ke alam siwa.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 34)
Dewi Adnyani angucap,
Saking kapralina sedhih,
Treshna ne tong dadi pasha,
Ring sang rare dane matur,
“duh dewa atama ning wang,
Titiang pamit,
Mangiring gurun i dewa”.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 36)
Terjemahan :
Dewi Adnyani berkata
sedih hatinya akan dipralina,
Cintanya kepada putranya tidak dapat dipisahkan,
Kepads sang putra beliau berkata,
Duhai putraku buah hatiku,
Ibu pamit,
Mengikuti jejak ayahmu.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 36)
Dari kutipan di atas terlihat kesetiaan Dewi Adnyani yang akan satya dengan meninggalkan putranya yang masih bayi bernama i Gunatama. Akhirnya i Gunatama tinggal di dalam hutan dan dipelihara oleh semua jenis binatang hutan dan burung-burung yang berada di dalam hutan, karena ibunya Dewi Adnyani juga ikut meninggalkan dunia ini setelah i Gunatamaberumur satu bulan tujuh hari, selesai beliau menyucikan diri untuk setia kepada i Dukuh Kawi suaminya yang telah terlebih dahulu moksah menuju alam kedewataan.
Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada Geguritan Dukuh Kawi terdapat nilai kesetiaan, yang dpat dilihat dari kutipan cerita dimana tokoh Dewi Adnyani sebagai tanda kesetiaan kepada suaminya Dukuh Kawi rela meninggalkan dunia ini dan putranya yang masih berumur satu bulan untuk moksa menuju alam kedewataan mengikuti suaminya.
C. Nilai Cinta Kasih
Cinta kasih berpedoman pada ajaran susila hindu yaitu Tat Twam Asi. Tat Twam Asi adalah suatu konsep dalam filsafat hindu yang mengajarkan kesosialan yang tidak terbatas karena diketahui bahwa ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri (Atmaja, 2010 : 34). Dalam ajaran Catur Paramita, cinta kasih disebut Karuna. sebagai manusia yang berasal dari satu sumber maka manusia harus saling tolong menolong dan rela berkorban demi kebahagiaan orang lain (suhardana, 2007 : 72). hal ini akan dapat menjauhkan manusia dari timbulnya rasa benci. lebih lanjut Kaler (2008 : 6) mengatakan bahwa cinta kasih yang dalam batas tertentu begitu kuat sampai-sampai meluluhkan aku menjadi kami. hal ini berarti bahwa kepentingan umum jauh lebih penting dibandingkan kepentingan pribadi.
Dalam Geguritan Dukuh Kawi nilai cinta kasih terlihat pada kutipan bait berikut ini :
Sasampune kapralina,
Kocapan rarene kari,
Katon ring madya ning alas,
Sami buron ne mengempu,
Pacringik sakancannya,
Sami sedih,
Kanggen ring i Gunatama.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 35)
Terjemahan :
Setelah i Dukuh di upacarai,
Diceritakan sang anak,
Yang masih berada di tengah hutan,
semua binatang hutan memelihara,
semua merasa memiliki,
semuanya terlihat sedih,
Rindu dengan i Gunatama
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 35)
Rare ne mangkin,
I buron ya paddha ngemit,
Paddha nyaruang yeh panon,
Sang rare jenek aturu,
Sami buron ne magebag,
Mangiderin,
Paksi ne sami manemban.
(Geguritan Dukuh Kawi, Ginada: 35)
Dari kutipan bait di atas terlihat nilai cinta kasih terdapat pada para binatang dan burung-burung yang terdapat di dalam hutan. seluruh penghuni hutan merasa sangat sedih melihat bayi i Gunatama hidup seorang diri ditinggalkan moksa kedua orang tuanya. Dengan penuh kasih sayang para binatang hutan menjaga dan merawat sang bayi saling bergantian dengan membawakan bermacam-macam buah-buahan.
Jiwa pengorbanan ini dilakukan dengan sukarela dan tanpa pamrih. tanpa adanya cinta kasih kepada sesama maka manusia tidak akan bersalah ketika menyakiti orang lain atau merampas hak orang lain. Karena itu agama hindu dalam ajaran-ajarannya selalu menanamkan kepada umatnya agar saling mencintai. Apabila cinta kasih yang bersemayam dalam jiwa setiap umat manusia, maka apapun perbedaan yang timbul akan dapat diselesaikan dengan hati dan jiwa yang bersih, sehingga konflik, pertentangan maupun permusuhan dapat diatasi dengan arif dan bijaksana.
Dari uraian di atas dapat disimak nilai cinta kasih yang terkandung dalam Geguritan Dukuh Kawi, tercermin dari sifat penghuni hutan merasa sangat sedih melihat bayi i Gunatama hidup seorang diri ditinggalkan moksa kedua orang tuanya. Dengan penuh kasih sayang para binatang hutan menjaga dan merawat sang bayi saling bergantian dengan membawakan bermacam-macam buah-buahan. Nilai cinta kasih pada hakekatnya sangat tinggi sehingga perlu dicamkan karena itu agama hindu dalam ajaran-ajarannya selalu menanamkan kepada umatnya agar saling mencintai dan kasih sayang kepada sesama.
IV. PENUTUP
Berdasarkan data yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan mengacu pada hasil penelitian yang merupakan cerminan dari rumusan masalah, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : Geguritan Dukuh Kawi memiliki struktur yang meliputi : alur lurus yaitu peristiwa disampaikan melalui urutan awal, tengah, dan akhir. Aspek latar terbagi menjadi dua bagian, yaitu unsur tempat dan unsur waktu, Penokohan dalam Geguritan Dukuh Kawi diliputi tokoh utama yaitu Dukuh Kawi, tokoh sampingan Dukuh Sekar, i Gunatama, Manik Toya, Manik Sekar, Dewi Adnyani. Tema yang melandasi adalah dharma, swadharma (kewajiban sendiri) dan kesetiaan serta memiliki amanat mengenai berbuat yang baik sesuai ajaran dharma dan swadharma. Geguritan Dukuh Kawi mengandung ajaran-ajaran Panca sraddha meliputi : (1) Ajaran Widhi Sraddha; (2) Ajaran Atma Sraddha, (3) Ajaran KarmaphalaSraddha; (4) Ajaran Moksa Sraddha. Geguritan Dukuh Kawi mengandung nilai-nilai agama hindu yang meliputi : (1) Nilai Pendidikan Ketuhanan/Sraddha; (2) Nilai Kesetiaan; (3) Nilai Cinta Kasih; dan (4) Nilai Pendidikan etika.
Oleh : Ida Ayu Putu Sari, Ni Komang Ayu Irma Dewi
Universitas hindu Indonesia Denpasar
0 Response to "Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Geguritan Dukuh Kawi"
Post a Comment