Pengertian Wiwaha dan Tujuannya serta Syarat-syaratnya

HINDUALUKTA -- Umat Hindu mengenal empat jenjang atau tahapan kehidupan yang disebut dengan Catur Asrama. Empat Tahapan ini diantaranya yakni Brahmacari, Grhasta, Wanaprasth dan Bhiksuka/Sanyasin. Adapun penjelasan dari keempat tahapan di atas yakni sebagai berikut:



  1. Brahmacari Asrama Adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu.
  2. Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. 
  3. Wanaprastha Asrama Merupakan tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian.
  4. Sanyasin Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas.

Pengertian Wiwaha

Sesuai dengan judul Tulisan ini maka kita akan membahas tahapan kedua yakni Grhasta atau tingkatan berumah tanggga. Tahan ini dilalui dengan cara melaksanakan Pawiwahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Wiwaha memiliki arti pesta pernikahan; pernikahan. Jadi dengan demikian Pawiwahan dapat diartikan sebagai kedudukan khusus dan penting sebagai awal dari masa berumah tangga atau grhastha asrama.

Didalam kitab Manawa Dharmasastra dijelaskan bahwa wiwaha bersifat sakral, wajib hukumnya, dalam arti harus dilakukan oleh setiap orang yang hidupnya normal. Melaksanakan wiwaha bagi umat Hindu yang sudah cukup umur merupakan salah satu amanat dharma dalam hidup dan kehidupan ini.

Upacara Wiwaha dianggap sah jika memiliki Tri Upasaksi (Tiga Saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa saksi adalah Saksi Dewa (Ida Sang Widhi Wasa) yang di mohon untuk menyaksikan upacara pawiwahan tersebut, Manusa Saksi adalah Saksi Manusia. Dalam hal ini semua orang yang hadir pada saat dilaksanakan upacara utamanya, seperti Pemangku dan Perangkat Desa (Bendesa Adat, Kelian Dinas dan sebagainya). Bhuta Saksi adalah saksi para Bhuta Kala.

Pada saat dilaksanakan Upacara Byakala kita membakar tetimpug (beberapa potongan bambu yang kedua ruasnya masih ada) sehingga timbul suara ledakan. Suara ledakan tersebut merupakan simbul memanggil Bhuta Kala untuk hadir di areal upacara, kemudian diberikan suguhan dengan harapan tidak mengganggu jalanya upacara tersebut. Setelah selesainya Upacara Wiwaha (Byakala). Maka pasangan pria dan wanita tersebut telah resmi menjadi suami istri (Dampati) dan berkewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang Grhastin.

Syarat-syarat Wiwaha

Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:172 menjelaskan bahwa suatu suatu perkawinan (wiwaha) dianggap sah menurut agama Hindu jika memenuhi hal-hal sebagai berikut.
  1. Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh pendeta atau rohaniawan dan pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
  2. Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu (agama yang sama).
  3. Berdasarkan tradisi yang telah berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala atau upacara mabiakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha. Demikian juga untuk umat Hindu yang berada di luar Bali, sahnya suatu perkawinan yang dilaksanakan dapat disesuaikan dengan adat dan tradisi setempat.
  4. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan atau perkawinan.
  5. Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, kuming atau kedi (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau ingatan serta sehat jasmani dan rohani.
  6. Calon mempelai cukup umur, untuk pria minimal berumur 21 tahun, dan yang wanita minimal berumur 18 tahun.
  7. Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah yang dekat atau sapinda.

Apabila salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka perkawinan tersebut dikatakan tidak sah atau gagal. Selain itu untuk legalitas perkawinan berdasarkan hukum nasional, juga tidak kalah pentingnya agar perkawinan tersebut dianggap legal, sah dan kukuh, maka harus dibuatkan “Akta Perkawinan” sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:172).

Orang yang berwenang mengawinkan adalah yang mempunyai status kependetaan atau dikenal dengan mempunyai status Loka Praya Sraya. Demikian juga yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 bab IV Undang-Undang No. 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut.
  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri yang bersangkutan.
  2. Suami/Istri.
  3. Pejabat berwewenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
  4. Pejabat yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan ini putus, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2014:173).
Tujuan Wiwaha

Di dalam kitab Smrti dijelaskan bahwa perkawinan (wiwaha) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Hindu. Karena dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa Wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya bersifat wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang dialami normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya. Penderitaan yang dialami oleh seseorang demikian pula oleh para leluhur akan dapat dikurangi bila memiliki keturunan. Penebusan dosa seseorang akan dapat dilakukan oleh keturunannya seperti dijelaskan dalam ceritera/Itihasa.

Jadi tujuan utama dari wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan/sentana terutama yang Suputra. Yaitu anak hormat kepada orang tua. Cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti kepada Tuhan. Suputra sebenarnya berarti anak yang mulia yang mampu menyebrangkan orang tuanya dari neraka ke surga. Seorang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam kitab Nitisastra berikut :

Orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dibandingkan dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaanya dibandingkan oleh orang yang mampu membuat satu yadnya secara tulus ikhlas, dan orang yang mampu membuat seratus yadnya masih kalah keutamaanya dibandingkan dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak yang saputra. Demikian keutamaan seorang anak yang saputra.

Lebih jauh dijelaskan oleh Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha itu disamakan dengan Samskara yang menempatkan kedudukan perkawinan sebagai lembaga yang memiliki keterkaitan yang erat dengan Agama Hindu. Oleh karena itu semua persyaratan yang ditentukan hendaknya dipatuhi oleh umat Hindu. Dalam upacara Manusia Yadnya, wiwaha Samskara (Upacara Perkawinan) dipandang merupakan puncak dari upacara Manusa Yadnya, yang harus dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya. Wiwaha bertujuan untuk membayar hutang kepada orang tua atau Leluhur, maka itu disamakan dengan Dharma.

Wiwaha Samskara diabadikan berdasarkan Weda, karena ia merupakan salah satu sarira samskara atau penyucian diri melalui perkawinan. Sehubungan dengan itu Manawa Dharmasastra menjelaskan bahwa untuk menjadikan bapak dan ibu maka diciptakanlah wanita dan pria oleh Tuhan, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh Dharma yang harus dilaksanakan oleh pria dan wanita sebagai suami istri.

Dalam berumah tangga ada beberapa kewajiban yang perlu dilaksanakan yaitu : Melanjutkan keturunan, Membina rumah tangga, Bermasyarakat dan Melaksanakan Panca Yadnya. Kitab Manusmrti juga menjelaskan bahwa Pawiwahan memiliki tujuan untuk menghasilkan keturunan Karena seseorang yang memiliki keturunan dapat menebus dosa-dosa orang tua dengan jalan melahirkan seorang "putra". Kata putra berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya "ia yang menyebrangkan/menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka".

0 Response to "Pengertian Wiwaha dan Tujuannya serta Syarat-syaratnya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel