Jenis Pakaian Sembahyang Umat Hindu

HINDUALUKTA -- Secara biologis tubuh manusia adalah bangunan fisik yang meliputi bermacam organ dengan berbagai jenis dan fungsinya yang kemudian menjadi satu kesatuan membentuk keutuhan jasmani manusia. Ketika tubuh jasmani manusia hendak ditampilkan dalam hubungan sosial, maka muncullah apa yang dinamakan sebagai “penampilan personal” yang tentunya akan selalu mengikuti perkembangan mode. Termasuk ketika umat Hindu melaksanakan kegiatan keagamaan (ritual yadnya) yang ternyata juga tidak bisa lepas dari perkembangan berbusana/berpakaian kekinian yang serba trendis atau modis.

Berbicara tentang busana/pakaian dalam kaitannya dengan penampilan personal seorang umat Hindu, Widana (2011: 132), membagi jenis dan penggunaan busana/pakaian menjadi empat kategori, yaitu : 

  1. Pakaian Sehari-hari, dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari (non formal), terutama dirumah, seperti untuk pria ; celana pendek atau celana kolor, baju kaos, kaos oblong, sarung, dan lain-lain. Sedangkan untuk wanita, kurang lebih hampir sama dengan pria, kecuali pemakaian daster, dan lain-lain yang umumnya bersifat apa adanya, santai, sederhana, bebas, dan praktis.
  2. Pakaian Resmi, dipergunakan dalam aktivitas formal di ruang-ruang dan waktu yang berhubungan dengan institusi, instansi, administrasi, birokrasi, lengkap dengan atribut uniform spesifik, sesuai dengan ikatan Korp, seperti; Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, Dokter, Perawat, Satpam, Hansip, Karyawan Swasta, termasuk seragam para siswa.
  3. Pakaian Aksi, dipegunakan dalam kesempatan mengadakan atau mengikuti acara-acara seremoni atau party (pesta), seperti ; resepsi, menghadiri undangan, peragaan busana, dan lain-lain yang lebih menekankan pada nuansa kebebasan berekspresi sesuai dengan perkembangan trend mode dan lebih menonjolkan penampilan estetis dan eksotis seperti halnya kalangan artis selebritis sebagai ikon mode.
  4. Pakaian Tradisi-Religi, dipergunakan pada saat kegiatankegiatan yang berhubungan dengan aktivitas sosial-religius (adat dan keagamaan), mulai dari jenis, kelengkapan dan tingkatannya (busana alit, busana madya, sampai busana agung). Tingkatan busana tradisi-religi ini secara berbeda digunakan oleh kalangan Pandita (Dwijati), Pinandita (Ekajati), kelompok Sampradaya dan juga umat Hindu pada umumnya (Walaka).

Untuk lebih memudahkan pemahamannya, berikut ini akan dibuatkan uraian rinci perihal jenis busana, termasuk pakaian tradisireligi, beserta katagori, sifat, pengguna dan peruntukannya. Gunanya adalah untuk memberikan gambaran dan kejelasan tentang busana mana yang sebenarnya paling patut atau pantas digunakan ketika umat Hindu melaksanakan aktivitas ritual. Sehingga ketika umat hendak mengenakan busana dapat memilah dan memilih sesuai jenis dan katagorinya. Dengan demikian tidak terjadi lagi “saltum” (salah kostum) yang bisa berakibat “salting” (salah tingkah), sekaligus bisa menyelaraskan diri antara penampilan personal/fisikal dengan acara/kegiatan yang sedang diikuti atau dilaksanakan, seperti terinci pada tabel berikut ini. 

Pembagian jenis busana/pakaian sebagaimana dipaparkan di atas, memberikan pemahaman bahwa setiap jenis kategori busana/pakaian dengan segala atributnya, dalam hal pemakaiannya selalu mengacu pada ruang dan waktu yang dalam praktiknya satu sama lain tidak bisa dipertukarkan. Artinya, siapapun yang hendak mengenakan busana/pakaian jenis atau kategori apapun, sedapatnya mengacu pada ruang dan waktu saat itu. Dimana kita berada dan kapan waktunya, akan menentukan pilihan jenis busana/pakaian apa yang akan dikenakan. Jika hendak melakukan aktivitas bhakti (ritual yadnya) misalnya, dengan melihat pembagian busana/pakaian di atas dapat diketahui bahwa yang ‘wajib’ dikenakan adalah busana tradisireligi (adat-keagamaan), khususnya lagi yang dikenakan oleh kalangan walaka atau umat Hindu pada umumnya, itupun disesuaikan juga menurut desa (daerah), kala (waktu) dan patra (situasi dan kondisi) masing-masing. 

Selain penggunaan busana/pakaian, yang juga tak kalah pentingnya adalah mengondisikan diri dalam keadaan Asuci laksana, terlebih dahulu membersihkan diri secara fisik, disertai juga penyucian pikiran serta penampilan dalam balutan busana/pakaian yang bersih, rapi dan sopan. Tentang pentingnya kebersihan dan kesucian lahir bathin, yang diperlukan dan menjadi syarat penting saat melaksanakan persembahyangan ini, di dalam kitab Silakrama, 41, dinyatakan : 

“Suddha ngaranya enjing-enjing madyus asudha sarira ma-Surya-sevana, amuja, majapa, mahoma”.

Maknanya :

‘Suci namanya, setiap hari membersihkan diri, sembahyang kehadapan Hyang Surya, melakukan pemujaan, melakukan japa dan homa yadnya/agnihotra’ (Titib, 1993: 22).

Berdasarkan kutipan sloka di atas, apa yang disebut Asuci laksana ini, tidak hanya menyangkut pembersihan badan, tetapi juga penyucian pikiran disamping tetap melakukan pemujaan atau persembahyangan. Pembersihan badan, termasuk juga berbusana/berpakaian yang bersih saat melaksanakan aktivitas bhakti persembahyangan merupakan syarat mutlak untuk menciptakan suasana suci/sakral. Bila badan, pakaian dan pikiran bersih, kemudian melakukan persembahyangan maka hal itu akan membuat suasana lebih khusuk (Titib, 1993 : 23). Itu berarti, apabila umat hendak melakukan aktivitas ritual bhakti baik dalam kaitan persembahan maupun persembahyangan maka sesungguhnya persyaratan yang dituntut cukup sederhana bahkan bersahaja, yang penting sesuai dengan kaidah susila/etika (Hindu). 

Soal segi estetika (keindahan) dalam penampilan memang tidak dapat dihalangi. Hanya saja ketika sudah mengarah pada eksplorasi dan eksploitasi diri umat dengan berpenampilan yang menunjukkan unsur-unsur pamer kemewahan, kemudian berusaha tampil trendis/modis, seperti gaya para artis selebritis, apalagi khususnya dari kalangan wanita dengan kamben di atas betis ditambah balutan kebaya tipis, bahkan sampai menunjukkan organ erotis (payudara), jelas tidak sepatutnya ditunjukkan. Sebab, jika dikaitkan dengan jenis busana sebagaimana dikemukakan di atas, busana trendis modis ala artis selebritis sudah masuk kategori jenis “pakaian aksi” yang lebih tepat, cocok dan pantas dikenakan pada aktivitas seremony/party/resepsi yang bernuansakan kebebasan berekspresi dan mengesankan suasana bersuka cita, gembira ria atau bahkan hurahura. Sementara beraktivitas keagamaan (persembahan/ persembahyangan) dengan tujuan menghaturkan bhakti yang bersifat suci/sakral sudah tentu sangat membutuhkan suasana tenang, nyaman, damai dan khusuk sebagai penunjang utama bagi terjalinnya suatu hubungan bhakti dengan Ida Sanghyang Widhi atau Ida BhataraBhatari yang disembah. 

Kelengkapan Busana/Pakaian Sembahyang

Dalam Paruman Sulinggih tahun 1976 telah ditetapkan tentang busana untuk kegiatan bhakti keagamaan (persembahan/ persembahyangan), khususnya lagi jika hendak ke Pura, yaitu :

  1. Bagi Pria/lelaki, meliputi : baju, kampuh, kain panjang, sabuk, dan alas kaki (fakultatif/boleh ya, boleh tidak);
  2. Bagi wanita/perempuan, meliputi : baju/kebaya (lengan panjang), kain panjang, sesenteng, sabuk, dan alas kaki (fakultatif/boleh ya, boleh tidak). Penekanan dalam hal berbusana ke Pura adalah unsur kesopanan, kerapian, dan kebersihan, serta dandanan yang sederhana dalam artian tidak menggunakan hiasan berlebihan, termasuk tidak menonjolkan bagian-bagian tubuh yang dapat merangsang. 

Selanjutnya juga dijelaskan tentang “Tata Cara dan Larangan Memasuki Pura” agar kesucian Pura tetap terjaga, yaitu :

  1. 1. Tidak dalam keadaan cuntaka/sebel (baru melahirkan, kematian, wanita datang bulan, bayi belum tiga upacara tiga bulanan, dll)
  2. Bersih lahir bathin; lahir : sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin : pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
  3. Wanita yang rambutnya diurai tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan : keasmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.
  4. Dilarang berpakaian tidak sopan atau menonjolkan bentuk tubuh/ aurat.
  5. Tidak boleh bercumbu, berkelahi, bertengkar, berkata kasar/ memaki, bergosip, menyusui bayi, meludah, buang air, mencorat-coret palinggih, dan lain-lain.
  6. Dilarang dalam keadaan sakit dan mabuk karena akan dapat membuat pura leteh.

Mencermati fenomena kian semaraknya penggunaan busana adat (tradisi-religi) yang semakin mengikuti trend mode kekinian, sekaligus agar tidak semakin kebablasan perkembangannya, maka salah satu organisasi berbasis Hindu, yaitu WHDI (Wanita Hindu Dharma Indonesia), karena mempunyai kewajiban dan tanggungjawab menata sikap/perilaku umat terutama dalam hal berbusana ke Pura, mengeluarkan surat himbauan yang ditujukan kepada seluruh umat sedharma yang isi suratnya seperti dikutip berikut ini:

Kepada yth.
Semeton sedharma
di Tempat

Om Swastyastu,
Sesuai dengan himbauan Pengurus WHDI Provinsi Bali, Etika Tata Cara Berbusana SEMBAHYANG bagi Wanita Hindu berkaitan dengan etika dan estitika SEBAIKNYA sebagai berikut :
  1. Tidak boleh menggunakan kebaya lengan pendek di atas siku ( baju tukung). Kebaya begitu bukan busana untuk sembahyang.
  2. Tidak boleh menggunakan kebaya brokat tipis (transparan), sebaiknya menggunakan kebaya model Kartini.
  3. Mengunakan kamben menutupi mata kaki namun tumit keliatan.
  4. Sebaiknya menggunakan sanggul, jika tidak memakai sanggul paling tidak rambut diikat dengan rapi ( tidak terurai/megambahan)
  5. Tidak boleh kepala memakai topi.
  6. Tidak boleh memakai bunga plastik, pakailah bunga alam yang segar.
Demikian himbauan ini untuk mendapat perhatian dan atas perhatiannya terima kasih. 

Sejalan dengan itu, agar perkembangan berbusana adat Bali tidak seamakin tergerus, tergeser dan tergusur perkembangan trend mode kekinian, sekaligus untuk turut melestarikan tradisi berbusana adat Bali yang baik dan benar, maka Gubernur Bali selaku pimpinan daerah, memandang penting mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali, yang ditetapkan tanggal 26 September 2018. Implementasi Pergub ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur Nomor 2231 Tahun 2018 yang berisi panduan teknis pelaksanaan Hari Penggunaan Busana Adat Bali dengan rincian sebagai berikut : 
  1. Busana Adat Bali digunakan setiap hari Kamis, Hari Purnama, Hari Tilem, Hari Jadi Provinsi Bali dan Hari Jadi Kabupaten/Kota.
  2. Etika pengguna busana adat Bali sesuai dengan nilai kesopanan, kesantunan, kepatutan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat.
  3. Busana adat Bali digunakan oleh pegawai di lingkungan lembaga pemerintahan, pendidik, tenaga pendidik, peserta didik, dan pegawai lembaga swasta.
  4. Pengguna busana adat Bali dikecualikan bagi pegawai lembaga pemerintahan, lembaga swasta dan lembaga profesional, yang oleh karena tugasnya mengharuskan untuk menggunakan seragam khusus tertentu atau karena alasan keagamaan.
  5. Bagi masyarakat Nusantara lainnya yang tinggal di wilayah Provinsi Bali dapat menggunakan busana adat Bali atau busana adat daerah masing-masing.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali, dan Instrukssi Gubernur Nomor 2231 Tahun 2018 yang berisi panduan teknis pelaksanaan Hari Penggunaan Busana Adat Bali, melingkupi pengertian berbusana adat dalam arti luas, termasuk busana adat ke Pura.

Apa yang disajikan di atas, pada intinya menyatakan, bahwa dalam hal etika berbusana hendaknya umat mengikuti norma-norma kesusilaan, dan pertimbangan yang bijaksana. Tidak hanya memikirkan kesenangan dan kepuasan diri pribadi melalui penampilannya, tetapi juga pertimbangkan situasi, kondisi dan bersikap toleransi terhadap desa (tempat), kala (waktu), dan patra (orang lain). 

0 Response to "Jenis Pakaian Sembahyang Umat Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel