Sikap/Etika Perilaku Sembahyang Dalam Hindu

HINDUALUKTA -- Menurut Poedjawijatna (1986 : 13), baik atau buruknya manusia itu dapat dinilai dari sikap dan perilakunya, terutama yang dilakukannya dengan sengaja. Setiap orang pasti memiliki sikap dan perilaku dalam suatu aktivitas apapun sebagai bentuk ekspresi dan aktualisasi dari karakter atau kepribadiannya masing-masing. Begitu pula halnya dengan sikap/etika perilaku umat Hindu ketika melaksanakan aktivitas bhakti keagamaan (ritual yadnya), sudah sepatutnmya tetap berlandaskan pada tuntunan Susila/etika Hindu yang berintikan pada sikap dan perilaku suci (asuci laksana). 

Oleh karena itu, bentuk-bentuk respon berbagai kalangan terhadap kian maraknya fenomena sikap dan perilaku umat Hindu dalam berpenampilan sesuai trend mode kekinian, tentunya sematamata untuk mengingatkan sekaligus meluruskan mindset umat, agar ketika beraktivitas bhakti keagamaan, sedapatnya menyesuaikan diri dengan norma susila/etika Hindu. Caranya dengan mengenakan busana tradisi-religi (adat-keagamaan) serta menunjukkan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan, kepantasan, kepatutan atau kesopanan berlandaskan ajaran Tri Kaya Parisudha. 

Mulai dari pikiran yang bersih, jernih dan suci, perkataan santun dan perilaku yang sopan. Tujuannya agar umat lebih fokus dan serius, baik niat dan hatinya ketika beraktivitas bhakti yang memang memerlukan konsentrasi dalam menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widhi. Sehingga apa yang diharapkan dalam suatu kegiatan ritual bhakti keagamaan, baik melalui persembahan maupun persembahyangan bisa tercapai sebagaimana permohonannya. 

Setidaknya melalui kutipan sebait mantram pada saat mengenakan atau memakai busana/pakaian dengan jelas dinyatakan bertujuan membersih-sucikan diri, yaitu : 

“Om Tham Mahadeva 

Ya Namah Svaha,

Om Busana Sarirabhyo

Parisudha Mam Svaha”.

Maknanya :

‘Om Sanghyang Widhi Wasa, di dalam perwujudan-Mu selalu TAT PURUSA, Mahadewa Yang Agung, pada saat hamba mengenakan pakaian ini hamba sujud kehadapan-Mu. Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga pakaian hamba menjadi bersih dan suci’ (Dana dan Suratnaya, 2013: 32).

Oleh karena itu, sebelum umat berniat mengenakan busana ketika hendak melaksanakan atau mengikuti aktivitas bhakti keagamaan (ritual yadnya), baik dalam bentuk persembahan maupun persembahyangan, sudah sepatutnya dimulai dengan mengarahkan pkiran untuk bagaimana nantinya berpenampilan dengan segala atributnya. Sebab pada dasarnya, apa yang akan dikatakan dan kemudian dilakukan berawal dan berpusat dari pikiran. Pikiran itu nantinya memengaruhi mindset untuk bersikap atau berpeilaku, apakah dalam berbusana dalam konteks aktivitas bhakti akan melandasi diri pada segi-segi etis, landasan teologis dan filosofis, atau hanya mementingkan unsur-unsur estetis bahkan eksotis demi sebuah penampilan trendis/modis?. 

Perihal mudah terpengaruhnya pikiran ini, rupanya kitab suci Sarasamuscaya, 82 telah menyadarinya, hingga tersuratlah kemudian dalam bentuk sloka yang berbunyi : 

“Lawan tattwaniking manah, nyang mata wuwusenta, nang mulat ring sarwawastu, manah juga sahayaning matanikan wulat, kunang yan wyakula manahnya, tan ilu sumahayang mata, mulata towi irikang watu, tan katon juga ya denika, apan manah ikang wawarengo ngaranya, hinganyan pradhaning manah kalinganika”

Maknanya :

‘Dan lagi hakikatnya pikiran itu, bahwa mata dikatakan dapat melihat berbagai benda, tiada lain sebenarnya pikiranlah yang menyertai mata melihat, adapun kalau pikiran kacau, tidak ikut menyertai mata (melihat), walaupun melihat benda itu, tidak tampak juga olehnya, sebab pikiuran itu sebenarnya yang mengetahui, oleh karena itu, maka sesungguhnya pikiranlah yang memegang peranan utama’ (Pudja, 1981: 50). 

Singkat kata, pikiranlah yang menjadi penentu ke arah mana sikap dan perilaku seseorang, termasuk yang akan mengantarkan sembah bhakti umat kepada Ida Sanghyang Widhi, bukan penampilan beserta muatan material artifisial yang melekat pada tubuh. Artinya, jika dalam persembahyangan pikiran terfokus pada Ida Sanghyang Widhi, maka sembah bhakti umat pasti akan diterima dan sampai pada-Nya. Sebaliknya, bila pikiran hanya terpusat pada penampilan personal/fisikal yang sarat muatan material (aksesoris/propertis) serba artifisial (buatan), maka sampai disitu jugalah tujuan yang akan dicapai, yaitu kembali pada hal-hal yang bersifat pemenuhan hasrat indrawi/duniawi (benda) bukan rohani (jiwa). Padahal sebenarnya, tujuan utama dan tertinggi dari aktivitas bhakti itu sendiri adalah ketika umat Hindu telah berhasil melakukan penguatan religiositas atau mencapai obsesi ke puncak kesadaran spiritualitas, bukan sekedar penampilan untuk maksud membangun identitas, seperti citra/image, status sosial/ekonomi, gengsi, gaya hidup, dll

Tidak heran jika kemudian untuk menegaskan sekaligus mengingatkan umat yang masih belum berkesadaran etis dalam berbusana tradisi-religi (adat-keagamaan), akhirnya dibuatkan semacam pengumuman/pemberitahuan lewat tanda bagaimana sepatutnya penampilan umat yang dapat dikatakan benar dan dianggap salah, seperti terlihat pada gambar berikut ini.



0 Response to "Sikap/Etika Perilaku Sembahyang Dalam Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel