Arti dan Fungsi Bunga dalam Yadnya Agama Hindu

HINDUALUKTA -- Arti dan Fungsi Bunga dalam YadnyaSetelah diuraikan mengenai api dan air sebagai sarana upacara Yadnya pada uraian dalam kegiatan belajar satu, maka pada bagian ini akan diuraikan mengenai arti dan fungsi bunga sebagai sarana upacara Yadnya. Bunga merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam membuat Yadnya. Sarana berupa bunga memiliki peranan yang sangat penting untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu persembahan atau Yadnya. Baik yang digunakan untuk pelaksanaan Yadnya setiap hari atau nitya karma, maupun untuk keperluan Yadnya dalam waktu-waktu tertentu atau naiinitika karma. Kalau kita perhatikan kaitannya dengan pelaksanaan Panca Yadnya, bunga banyak digunakan untuk membuat banten atau sesajen atau upakara Yadnya.


Kemudian dalam kepentingan yang lainnya, bunga juga dipakai sebagai suatu hiasan untuk menumbuhkan suasana keindahan dan menciptakan suasana kenyamanan dalam suatu kegiatan tertentu, baik dalam lingkungan keluarga, aktivitas kemasyarakatan, kegiatan hiburan, kegiatan hari raya Nasional, kegiatan pesta perkawinan, kunjungan pada tempat-tempat tertentu, dan sebagainya. 

Dalam kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini yang sangat pesat, kebutuhan akan bunga semakin banyak digunakan oleh masyarakat, walaupun dalam penggunaannya tidak berkaitan dengan kepentingan upacara agama. Sungguh tidak mengherankan sekali, bunga dalam dinamika terakhir ini dapat dijadikan sumber devisa Negara Indonesia dalam peranannya sebagai sumber komoditi ekspor nonmigas, contohnya: jenis bunga anggrek dan bunga jenis lainnya. Dan hasil ekspor bunga ke luar negeri terbukti negara Indonesia dapat mendatangkan sumber penghasilan yang sangat memuaskan.

Dalam perkembangan sektor Pariwisata saat ini yang mengalami dinamika yang sangat pesat di wilayah Nusantara tercinta ini, bahwa bunga diperlukan dalam jumlah yang sangat besar, yang digunakan untuk perhiasan meja tamu dalam suatu hotel berbintang maupun non bintang, restoran, ruang pertemuan yang bersifat Nasional maupun Internasional. Tidak saja itu, bunga juga banyak melengkapi hiasan taman-taman desa bahkan untuk tanam dalam pekarangan rumah penduduk, serta bunga juga menghiasi taman pada suatu tempat pemujaan, seperti Sanggah, Pemerajan, Taman Pura, dan sebagainya. Bilamana kita menyempatkan diri untuk sejenak melihat kesibukan suatu pasar (khususnya yang ada di Bali), banyak para pedagang yang kita jumpai, dan yang tidak mau ketinggalan adalah para pedagang bunga, yang memberikan pelayanan pada pembeli untuk memenuhi sarana Yadnyanya. Sungguh banyak manfaat dan kegunaan bunga dalam kehidupan bagi manusia. Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan kehidupan bagi umat Hindu, bunga memiliki nilai religius, nilai spiritual, dan nilai kesucian yang sangat tinggi. Bunga yang digunakan untuk keperluan Yadnya atau persembahan, bukannya bunga yang sembarangan atau bunga yang diperoleh asal ada dan asal dapat, tetapi bunga yang dipilih khusus sesuai dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran Agama Hindu. 

Menyimak makna sebuah sloka suci dalam kitab suci Bhagavadgita Bab IX-26 (dapat dibaca pada halaman 3 dan 4 di depan), ada ditegaskan tentang penggunaan bunga sebagai sarana dalam upacara Yadnya. Dalam sloka tersebut ada tersurat kata puspam yang maksudnya adalah bunga yang digunakan sebagai sarana suci dalam upacara Yadnya. Istilah lain dari bunga adalah puspa, kembang dan ada juga menyebut nama Kusuma. Puspa atau kembang merupakan wujud benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasan. Puspa atau kembang merupakan sarana untuk menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Hyang Widhi Wasa yang mempersembahkan Yadnya sebagai wujud upakaranya. Sebagai landasan utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai dengan cinta kasih. Walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekuntum bunga, apabila landasan kesucian dan cinta kasih yang menyertainya, maka persembahan yang Demikianlah yang diterima oleh Hyang Widhi. Sebaliknya, apabila memiliki kemampuan untuk mempersembahkan yang serba banyak, serba mewah, serba meriah, serba semarak, juga tidak ada salahnya, sepanjang semua persembahan tersebut merupakan persembahan yang terhormat, persembahan yang dilandasi oleh rasa ikhlas dan suci, tentulah baik pahalanya, karena Hyang Widhi dapat menerima persembahan tersebut yang disertai dengan kesadaran tinggi, bukan sifatnya pamrih yang semata-mata untuk menerima balasannya. Juga bukan merupakan suatu persembahan yang sifatnya paksaan. Suatu persembahan akan dapat diterima dan berpahala dengan terpuji, bilamana kesederhanaan serta kesemarakan disertai oleh pendalaman maknanya dan berlandaskan pada konsep kebenaran atau dharma. 

Memang di dalam kitab Rg. Weda kita jumpai teori Yadnya, dimana Maha Purusa dalam penciptaan di dunia ini. Ia lakukan melalui Yadnya dan yang dipergunakan sebagai Yadnya adalah badannya sendiri. Pengorbanan yang tertinggi adalah kurban yang dilakukan dengan mengorbankan diri sendiri. Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut, apapun yang dijadikan kurban dalam upacara Yadnya itu adalah tidak lain dan pada-Nya, karena Maha Purusa pada permulaan ciptaannya menjadikan semua ini dengan jalan berkurban yang berasal dari dirinya sehingga dengan demikian dunia dan seisi alam ini identik dengan-Nya. Di dalam mantra Wedaparikrama, ada mantra untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut: 

“Om Puspa-dantaya namah (puspa).
Om kum Kumara wijaya naham (akcala).
Om Cri gandhecwari-amertebhyo namah swähä (gandha).

Artinya:

Yang dimaksud dengan puspa-danta ialah Ciwa, gelar diberikan kepada Ciwa. Dan mantra di atas, penggunaan kembang atau bunga bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai lambang Siwa yang tidak berbeda dari pada-Nya. 

Aksata atau biji-bijian berupa beras adalah lambang benih (biji). Kumara adalah putra Siwa. Aksata adalah hasil satu ciptaan yang tidak lain dan pada ciptaanNya. Gandha adalah bau harum, yang berasal dan kembang atau bunga dan biji-bijian itu. Gandha adalah sifat yang tidak terpisah. Gandha diumpamakan sebagai amrta (lambang kehidupan yang abadi). Gandha adalah amrta yang di dalam mantra di atas dihubungkan dengan Siwa sebagai Iswara”, (baca Wedapanikrama, Gde Pudja, M.A., S.H. : 46-47). Dan mantra di atas yaitu mantra puspa, perlu diingat bahwa puspa dimaksudkan sebagai wujud dan Sang Hyang Puspadanta merupakan gelar Sang Hvang Siwa atau Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian, adanya bunga puspa sebagai lambang Siwa dan adanya bunga atau puspa sebagai sarana persembahan atau sarana pemujaan kehadapan Hyang Widhi (Bhagavadgita, IX, 26). Berdasarkan sumber-sumber Sastra Agama Hindu ada menegaskan perlunya melakukan persembahan dengan sarana yang dibenarkan oleh ajaran agama Hindu serta yang memiliki nilai kesucian. Dengan Demikian perlu dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana pemujaan maupun dipakai sebagai sarana upacara Yadnya secara umum, antara lain : bunga yang mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah warnanya, bunga yang tidak mudah layu, bunga yang dalam keadaan segar atau bunga yang baru dipetik, bunga yang tidak tua atau kering, serta bunga yang lainnya yang memenuhi syarat-syarat kesucian. Perlu diingat, bunga sebagai sarana dalam upacara Yadnya sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu diperciki tirtha pengelukatan agar terbebas dari segala kekotoran dan malapetaka. Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan adalah jenis bunga yang dapat menghindari umatnya dan perbuatan-perbuatan dosa atau malapetaka, antara lain:

a. Dalam Kekawin Siswaratri Kalpa, menyebutkan sebagai berikut:

“Menur, kenyeri arja kacubung, saha waduri putih, lawan kutal. Angsoka saha naga puspa hana tanguli bakula kalak macampaka, saroja biru, bang, putih. Sahananing kusuma halapan ing samangkana. Mlakadi semining majarja, sulasih panakaraning anggar cana sira”

Yang artinya:

Menuh, kenyeri, gambir raja, kecubung serta meduri putih dan bunga kutat, angsoka serta bunga cempaka. Seroja bini, merah, putih semuanya bunga-bunga hendaknya dipetik yang demikian. Sebagai pelaksanaan memuja pagi-pagi, bunga sulasih, sebagai sarana memuja beliau (Siwa).

b. Dalam Lontar Wariga Gemet, ada juga menjelaskan tentang bunga yang dibolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan atma) serangkaian dengan upacara Pitra Yadnya, antara lain: Bunga Jepun, Sari, Sincer, Pucuk Pasat, Tulud Nyuh, Kwanta, Soka Keling, Kenyeri Putih, Gambir Lima, Kabari Walanda Syulan, Tiga Kancu, Sedap Malam, Anggrek Wulan, Karmrakan, Gunggung Cina, Mawar, Pucuk Dadu, Tunjung Bang, Jepun Sudamala, Seruni Putih, Anggrek Madu, Sarikonta, Temen, Sempol, Pucuk Susun, Soka Natar, Kuranta, Kembang Kuning, Cempaka Keling, Bunga Gambir, Tunjung, Lungsur, Panca Galuh, Grayas, Sandat, Sokasti,  Cempaka Kuning, Cempaka Putih, Katrangan, Bunga Parijata, Pucuk Bang Lamba, Teleng Biru, Menuh Susun, Angsana Wungu, Teleng Putih, Dause Gde, Medori Putih, Sulasih Harum, Tunjung Tutur, Sudhamala, Tunjung Nilawati, Grana Petak, Gadung dan bunga Monasuli Ergilo.

c. Dalam Naskah Siwagama dan menegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara Yadnya, terutama untuk membuat “Puspalingga” serangkaian upacara Pitra Yadnya yakni untuk memuja upacara Pitara dan roh suci leluhur, terutama daam upacara atma Wedana (Memukur atau Nyekah), antara lain: Bunga Medori Putih dan Bambu Buluh.

d. Dalam naskah Dasanama, menyebutkan tentang bunga yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih sebagai sarana upacara Yadnya adalah bunga Tunjung atau bunga teratai. 

Bunga Teratai atau bunga dikatakan merupakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja Kusuma atau rajanya bunga-bungaan. Ditegaskan pula, apabila bunga Teratai/Tunjung tidak ada, dapat pula memakai bunga jenis yang lainnya, asalkan bunga penggantinya memiliki warna yang sesuai, suci, bersih dan tidak layu. Di samping itu ada juga jenis bunga yang memiliki nilai yang utama dalam upacara Yadnya adalah bunga Ratna. Bunga Ratna sebagai bunga yang utama untuk memuja Tuhan/Hyang Widhi Wasa atau sarana utama dalam upacara keagamaan. Bunga yang memiliki nilai keutamaan merupakan bunga yang dapat menarik daya pesona yang memandangnya dengan demikian bunga yang demikian itulah yang dapat digunakan sehagai sarana pemujaan. 

Demikianlah sekilas uraian mengenai jenis bunga yang baik dan bunga yang diperkenankan untuk digunakan sebagai sarana upacara Yadnya. Berikut ini akan dikemukakan pula beberapa uraian yang membahas tentang jenis bunga yang dilarang dalam penggunaannya sebagai sarana upacara Yadnya berdasarkan ajaran agama Hindu. 

a. Dalam Naskah Agastya Parwa, menegaskan :

“Kalinanya nihan ikan kemban tan yogya pujakena ri bhatara: kemban inuleran, kemban rurutan inunduh, kemban semuten, kembah laywan-laywan naranya alewan mekar-kebhah mungah ri sema. Nahan ta lwir nin kemban tan yogya pujakena de nika tan sattwika. Kemban utama ía pujaken ira, maran saphala rupa nira, apan magawe ya yajnma lawan rupa ikan wwan tuhaganamuja naranya “.

Yang artinya:

Inilah bunga yang tidak dapat untuk dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa digoncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang liwat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. ltulah jenisenis bunga yang tidak patut dipersembahkan agar supaya wajahnya sesuai dengan yang diharapkan, sebab orang yang selalu memuja tersebut akan membentuk kelahiran dan wajahnya.

Dalam sumber yang sama, berikut ini menegaskan bagaimana keutamaan bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan. Adapun bunyi sloka sebagai berikut:

“Kunan ikan sari mahala tanpa pirak, tanpa janma, tan wruh maniwi swaini, mogha kinasihan denin laki wisesa manke sila nika nuni: Jnanabhakti stu nathe ya, bhakti maswaini nuniweh ri dewata ika nuni, ndatan tepet bhakti niki, tan upakara phala nin bhaktinya resep. Dumehnya wirupa mwan tanpa janma. Tan wruh amahelepa silanya nuni, agelem amajeken kemban tan yogya pujakena, tan aradin, olah bwat jawanya, apan samanke kemban tan yogya pujakena rin bhattara “.

Yang artinya:

Wanita buruk rupa, tidak kaya, tidak bangsawan, tidak bisa melayani suami, tetapi disayang oleh laki-laki utama. Perbuatannya dahulu demikian, ia itu bakti kepada suami, bakti kepada bhatara, tetapi baktinya tidak tepat, karena tanpa upakara. ltulah yang menyebabkan ia buruk rupa dan tidak bangsawan, sifatnya dahulu ialah tidak tahu menjadikan tingkah lakunya sopan dahulu (ia) gemar mempersembahkan bunga yang tidak patut dipersembahkan, tidak bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena kembang yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara. 

Menyimak makna sloka tersebut di atas, maka dapat ditegaskan di sini, walaupun sungguh besar rasa bakti kehadapan Hyang Widhi dan kepada sesama ciptaan-Nya, tetapi rasa bakti tersebut tidak disertai dengan wujud persembahan berupa upakara Yadnya, maka kuranglah bermakna cetusan rasa bakti itu. Demikian pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bakti itu kehadapan Hyang Widhi dengan persembahan upakara Yadnya, tetapi persembahan yang kita haturkan kehadapan-Nya tidak pada tempatnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut dipersembahkan, mempersembahkan sarana Yadnya yang tidak suci, persembahannya itu camah (kotor), mempersembahkan sarana Yadnya dan hasil jarahan (yang bukan milikinya), termasuk juga disini mempersembahkan bunga kembang/puspa/sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan dharma, maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu diingat bahwa rasa bakti ke hadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara Yadnya yang memiliki nilai kesucian sesuai dengan jenis dan makna dan Yadnya itu sendiri. 

b. Dalam Naskah Siwagama, ada menegaskan : tentang bunga yang tetap baik atau dilarang penggunaannya sebagai sarana upacara Yadnya, khususnya dikaitkan dengan pelaksanaan Dewa Yadnya dalam fungsinya untuk sarana memuja kebesaran Hyang Widhi, antara lain: bunga turuk umung atau bunga kedukduk yang konon menurut initolognya disebut dengan bunga lalat, baunya yang tidak harum dan bunga tersebut kotor atau tidak suci.

c. Menurut Naskah Yama Purwana Tattwa; menyebutkan mengenai bunga yang dilarang memakainya yaitu bunga yang keadaannya camar atau bunga yang tidak suci, seperti bunga yang digigit belalang, bunga yang ada bekas dimakan ulat. Bunga yang seperti itu dilarang dan pemakainya untuk membuat puspa Iingga maupun untuk Yadnya yang lainnya.

d. Dalam naskah Aji Janantaka; menegaskan mengenai jenis bunga yang dilarang penggunaannya sebagai sarana dalam pemujaan. Sesuai naskah tersebut jenis bunga yang dilarang, antara lain jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga salikonta. Kedua jenis bunga tersebut konon menurut mitologinya tidak mendapat waranugraha dan tidak mohon pengelukatan Hyang Siwa, sehingga mendapat kutukan untuk dilarang digunakan dalam penggunaannya sebagai sarana pemujaan kehadapan Hyang Widhi. 

Demikian beberapa sumber yang menyebutkan jenis-jenis bunga yang diusahakan atau dilarang untuk tidak digunakan sebagai sarana upacara Yadnya, karena alasan tidak memiliki kesucian, tidak segar, layu, dan bekas dimakan ulat, serta alasan lainnya. Dalam beberapa naskah keagamaan ada dijumpai penjelasan mengenai bunga yang memiliki arti dan makna tertentu, seperti bunga sebagai lambang restu dari Hyang Widhi Wasa, bunga perlambang jiwa alam pikiran, dan bunga merupakan sanana upacara keagamaan atau sarana upacara Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu. Penjelasan mengenai bunga sebagai perlambang restu dan Hyang Widhi dijumpai dalam beberapa naskah keagamaan, seperti :

a. Dalam Kekawin Ramayana; adanya Bunga Gandha Kusuma perlambang restu Hyang Widhi tenhadap Sang Rama ketika berperang menumpas ketidakbenaran  atau dharma, maka Sang Rama direstui dengan dijatuhi hujan bunga yang harum baunya.

b. Dalam kakawin Arjuna Wiwaha, ada menegaskan dalam keberhasilan Sang Arjuna melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi dan sebagai bukti Hyang Widhi merestui tapanya, maka secara tiba-tiba berhamburan hujan bunga Puspa Warsa yaitu hujan bunga sebagai lambang Dewa Siwa (Hyang Widhi ) telah merestui tapanya Sang Arjuna dengan mendapatkan anugrah Panah Pasupati, yang merupakan senjata lambang kekuatan dharma untuk menumpas ketidakbenaran atau adharma. 

c. Dalam naskah Sumarasantaka; menceritakan tentang bidadari Dewi Harini yang diutus Dewa Indra untuk menggoda tapanya Bhagawan Trenawindu. Dewi Harini menjelma menjadi Dewi Induwati, namun sayang inisiatifnya untuk menggoda tidak berhasil serta mendapat kutukan Bhagawan Trenawindu sehingga tidak berhasil ke sorga kemudian kawinlah Dewi Induwati dengan Sang Aja hingga berputra laki bemama Sang Dasaratha. Sampai pada batas waktunya telah berakhir kutukan Dewi Induwati untuk kembali ke sorga maka melalui Bhagawan Narada dengan perantara bunga dijatuhkan pada Dewi Harini dan berhasillah terlepas kutukannya serta kembali ke sorga lagi.

d. Dalam cerita Wana Parwa; yang mengisahkan Prabhu Nala dengan permaisurinya Dewi Damayarti. Oleh karena suasana kebingungan yang mencekam Prahhu Nala sampai-sampai Dewi Damayarti ditinggalkan. Namun berkat kesucian, kesetiaan, serta cinta kasihnya sangat mendalam pada Prabhu Nala, maka sang permaisuri melakukan swadharma dengan baik walaupun ditinggal pergi suaminya. Suatu ketika bertemu pulalah Prabhu Nala dengan Dewi Damayarti, tetapi kesuciannya masih dicurigai dan masih disangsikan, karena lama ditinggal pergi. Ketika kesangsiannya sedang memuncak datanglah Dewa Angin memberikan kesaksiannya yang menyatakan Dewi Darmayarti masih setia dengan Prabhu Nala dengan pesaksian hujan suci bunga sebagai saksi dan restu para Dewa di kahyangan bahwa memang benar Dewi Damayarti masih suci dan setia kepada Prabhu Nala.

e. Dalam Kidung Aji Kembang; bahwa Dewata Nawa Sanga dilambangkan bunga Tunjung atau teratai yang berwarna sembilan sesuai dengan arah Asia Aiswarya atau Asta Dala, seperti: Dewa Iswara arah timur dengan lambang bunga lunging putih. Dewa Mahesora arah tenggara dengan lambang bunga tunjung dadu, Dewa Brahma arah selatan dengan lambang bunga tunjung merah, Dewa Rudra arah barat daya dengan lambang bunga tunjung jingga, Dewa Mahadewa arah barat dengan lambang bunga tunjung kuning, Dewa Sangkata arah barat laut dengan lambang bunga tunjung wilis atau bunga tunjung hijau, Dewa Wisnu arah utara dengan lambang bunga tunjung hitam, Dewa Sambhu arah timur laut dengan lambang bunga tunjung biru, dan Dewa Siwa di tengah dengan lambang bunga tunjung lima warna atau panca warna. Penggunaan kidung Aji Kembang yang memiliki makna suci ini biasanya dinyanyikan saat pelaksanaan upacara Pitra Yadnya.

f. Dalam naskah Dwijendra Tattwa; menjelaskan bunga teratai yang berwarna tiga, seperti bunga teratai warna putih pada arah timur, bunga teratai warna hitam arah utara, dan bunga teratai warna merah arah selatan. Ketiga jenis bunga teratai tersebut sebagai lambang Sang Hyang Tri Murti. 

Kemudian bunga juga sebagai lambang jiwa dan alam pikiran manusia. Dalam rangkaian upacara Pitra Yadnya kita menjumpai adanya penggunaan Sekarura yang merupakan campuran bunga, uang kepeng dan beras kuning. Sekarura yang ini biasanya ditaburkan mulai dari mayat itu diberangkatkan, dalam perjalanan sampai di setra. Sesungguhnya makna dan sekarura ini adalah lambang ungkapan perasaan atau hati nurani antara orang yang meninggal dengan orang yang ditinggalkan. 

Menyimak kisah cerita Hariwangsa, ada dikisahkan tentang ketulusan dan cetusan kasih Prabhu Kresna terhadap Dewi Rukmini dengan memberikan sekuntum bunga sebagai lambang kasihnya yang suci murni dan tiada duanya. Selanjutnya ada pula sebagai suatu ketegasan mengenai bunga melambangkan jiwa kepahlawanan dengan bunga kembang sepatu merah atau wirakusuma yaitu bunga yang gagah berani. 

Sedangkan mengenai arti atau makna bunga sebagai sarana keagamaan atau sarana upacara Yadnya, sangat penting artinya dan memiliki makna yang sangat mulia, seperti makna religius atau makna spiritual serta makna kesucian. Penggunaan sarana bunga dalam upacara Yadnya sangat banyak kita jumpai. Dalam berbagai upakara atau banten, bunga merupakan sarana pokok dan mengandung makna tersendiri sesuai dengan jenis upakara atau wujud bantennya. 

Adapun beberapa upakara yang menggunakan bunga sebagai sarananya, antara lain Canang Genten yang menggambarkan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Hyang Tri Murti. Masing-masing sarananya memiliki arti tertentu, seperti reringgitan menggambarkan kelanggengan atau kesungguhan hati, pelawa menggambarkan ketenangan/kesucian hati, sirih melambangkan Hyang Wisnu, Kapur melambangkan Hyang Siwa, buah pinang menggambarkan penunggalan dengan Hyang Widhi Wasa, bunga menggambarkan hati yang tulus ikhlas dan suci, dan pandan harum menggambarkan daya tarik atau rangsangan untuk memusatkan pikiran ke arah kesucian dalam memuja Hyang Widhi Wasa (Mas Putra, 11-12).

Jenis-jenis upakara/banten yang lainnya lagi seperti: Canang Lengawangi /Barutwangi, Canangsari, Canang Gantal, Canang Tabungan, Canang Pangeraos, Canang Payasan, Canang Pangresikan,Penyeneng, Daksina, Canang Meraka, Dapetan, Peras, Pengulapan Alit, Pengambean, Tumpeng Penyeneng, Tumpeng Cru, Prayascita Sakti, Soroan, Byakaonan, dan jenis upakara lainnya dalam Panca Yadnya. Dalam persembahyangan bersama ataupun persembahyangan yang dilakukan secara perseorangan, biasanya mempergunakan kwangen yang terbuat dan sebuah kojong dan daun pisang atau daun kelapa muda/janur yang di dalamnya diisi porosan silih asih, dihiasi dengan bunga, pelawa, cili, serta diisi uang kepeng. Masing-masing perlengkapan itu mengandung arti, tangan simbol ongkara, kojong simbol arda candra, uang simbol windu dan bunga atau juga pelawa simbol nada.

Dalam persembahyangan bersama/perseorangan biasanya melakukan persembahyangan secara umum sebanyak lima kali yang disebut Panca Sembah. Adapun rincian Panca Sembah antara lain : 
  1. Sembah Puyung atau Sembah dengan cakupan tangan kosong yang tujuannya memohon ketenangan dan kesucian jiwa.
  2. Sembah yang kedua dengan memakai bunga ditujukan pada Hyang Siwa Raditya yaitu menifestasi Hyang Widhi sebagai matahari untuk menyaksikan, untuk mengantarkan sembah kita. Bunga yang digunakan adalah bunga yang berwarna merah atau bunga lainnya.
  3. Sembah yang ketiga dengan memakai bunga atau kwangen ditujukan kepada Hyang Widhi untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan hidup.
  4. Sembah yang keempat dengan memakai kwangen ditujukan ke hadapan Hyang Widhi untuk memohon wara nugraha-Nya.
  5. Sembah kelima adalah sembah tangan kosong, dengan tujuan untuk menghaturkan rasa terima kasih atas anugerah-Nya. 
Sebelum persembahyangan dimulai, maka semua sarana yang diperlukan dalam Panca sembah hendaknya dipersiapkan dengan lengkap dan yang memenuhi persyaratan kesucian. Yang perlu dipersiapkan antara lain: dupa, bunga, kwangen, tempat tirtha dan yang lainnya yang berkenan dengan pelaksanaan persembahyangan. Bila persembahyangan itu dilakukan sendiri sesuai dengan urutannya. Namun apabila dipimpin oleh Pandita atau Pinandita, maka kita tinggal mengikuti tuntunan serta puja dari Pandita atau Pinandita tersebut. 

Secara lengkap urutan persembahyangan dimulai dari asana atau sikap duduk yang baik (padmasana untuk pria dan wajrasana untuk wanita), pranayama yaitu teknik pengaturan napas yang baik ke arah kesucian (menarik napas/puraka, kata sodhana yaitu penyucian tangan kanan dan kiri, penyucian sarana sembahyang (dupa, kwangen dan bunga) serta menyucikan mulut, melakukan trisandhya bersama, melakukan panca sembah (baca uraian di depan), mohon tirtha, mohon bija dan persembahyangan telah usai. Untuk membangkitkan dan menumbuhkan suasana kesucian dalam sembahyang dapat pula diiringi dengan gita atau nyanyian keagamaan (dapat berupa kidung atau yang sejenisnya), terutama saat memperhatikan tentang arti dan fungsi bunga dalam upacara Yadnya, maka sesungguhnya makna dan upakara Yadnya atau bebanten yang dipersembahkan sehagai sarana pemujaan, antara lain merupakan cetusan hati manusia (umat Hindu) untuk menyatakan terima kasih kepada Hyang Widhi, dimana perasaannya itu diwujudkan dengan isi dunia, yang berupa: air, api, bunga-bungaan, dan sebagainya; merupakan perwujudan Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya, merupakan alat konsentrasi dan juga upakara Yadnya atau bebanten merupakan pelajaran untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan kemahakuasaannya untuk menuntun dan memberikan anugerah kepada umat Hindu.


Referensi:
Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 55-65

0 Response to "Arti dan Fungsi Bunga dalam Yadnya Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel