Persembahan yang kecil dan sederhana belum tentu bernilai rendah atau tidak berpahala, begitu pula sebaliknya persembahan yang serba banyak atau mewah akan bernilai mulia atau berpahala utama, yang jelas tidak demikian. Persembahan yang banyak dan mewah yang tidak dilandasi dengan ketulusan dan kesucian, maka tidak bermutulah persembahan tersebut. Apalagi yang berYadnya itu suasananya ricuh, kalut, resah, sedih, selalu bentrok, dalam hatinya duka, maka sia-sialah persembahan itu. Jika mampu mempersembahkannya hanya dengan seteguk, sebiji, sekuntum, termasuk juga hanya dengan sehelai daun, yang diiringi rasa bakti, rasa ikhlas, hati yang suci, rasa cinta kasih yang mendalam, suasana yang tenang dan tentram, maka persembahan yang demikian itulah diterima Hyang Widhi, (resapilah makna sloka Bhagavadgita IX — 26). Dalam praktek Yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu baik yang bersifat nitya karma maupun yang bersifat naiinitika karma, maka dalam mewujudkan dan kesempurnaan Yadnyanya, daun sering digunakan dan bahkan bukan hanya satu jenis daun, tetapi beragam menurut kebutuhan Yadnya itu.
Adapun jenis-jenis daun yang diperlukan sebagai sarana upacara Yadnya, antara lain :
a. daun beringin
b. daun bilwa
c. daun perancak
d. daun dadap
e. daun rumput, seperti : padang lepas, alang-alang dan yang lainnya.
f. daun pandan arum
g. daun pudak
h. daun pohon puring
i. daun enau
j. daun kelapa muda atau janur
k. daun nenas
l. daun andong
m. daun kayu tulak
n. daun kayu sisih
o. daun kayu sari
p. daun pisang
q. daun tingkih
r. daun salak
s. daun temen
t. daun sudamala
u. daun lain sebagainya termasuk juga jenis plawa.
Dan jenis-jenis tersebut di atas, ada yang sering penggunaannya dan ada juga yang jarang dipakai, dan semata-mata bukannya kurang antara daun yang satu dengan jenis daun yang lainnya kurang berguna, tetapi didasarkan atas kebutuhan dan jenis Yadnya yang dipersembahkan. Secara umum jenis-jenis daun yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya merupakan simbol kesucian serta ketulusan dalam berYadnya. Kemudian kalau kita perhatikan penggunaan daun beringin merupakan daun yang paling umum digunakan sebagai lambang kesucian, lambang agni, dan sebagai alas untuk kesucian, baik dalam upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, maupun pelaksanaan Yadnya dan yang lainnya. Juga daun Bilwa juga digunakan sebagai sarana Yadnya terutama dalam memuja Hyang Siwa. Selanjutnya kalau kita perhatikan sebuah canang yaitu Genten, maka pada canang tersebut terdapat sarana berupa pelawa, sirih, daun pandan harum, bunga dan sebagainya. Masingmasing sarana tersebut bermakna yang sangat utama, pelawa sebagai simbol atau melambangkan Hyang Wisnu (sedangkan Hyang Siwa dan Hyang Brahma digunakan kapur dan buah pinang), daun pandan harum simbol daya tarik atau rangsangan untuk memusatkan pikiran ke arah kesucian, serta bunga menggambarkan hati yang tulus ikhlas dan suci.
Dalam upakara Yadnya ada yang dikenal porosan silih asih. Dalam porosan silih asih ini terdapat sarana daun sirih yang bermakna penghormatan kepada Hyang Widhi. Mengingat unsur-unsur yang ada dalam porosan silih asih itu seperti: pinang, daun sirih, dan kapur, ini mengandung makna sebagai lambang pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pada “kwangen” yang terdiri dari kojong yang terbuat dari daun pisang, porosan silih asih (buah pinang, daun sirih, dan kapur), bunga, pelawa, cili (jejahitan dan daun kelapa muda/janur berbentuk muka manusia), serta uang kepeng bolong (yang berasal dari unsur-unsur pancadatu seperti: emas, perak, tembaga, timah, besi, dan dewasa ini penggunaan uang kepeng bolong dapat diganti dengan uang logam sebagai alat tukar yang sah dapat dibaca Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu. Wujud kwangen sebagai simbol Ongkara atau Aksara suci Hyang Widhi. Masing-masing unsurnya memiliki simbol tertentu dapat dibaca penjelasan sebelumnya.
Dalam membuat daksina kita jumpai penggunaan pelawa peselan yaitu campuran dari lima jenis daun dan buah-buahan yang juga disebut daun panca pala, seperti: daun durian simbol warna putih, daun manggis simbol warna merah, daun ceroring/duku simbol warna kuning, daun mangga simbol warna hijau, salak campuran warna-warna. Kelima daun tersebut (pelawa peselan atau daun panca-pala) kalau kita perhatikan dan segi warnanya dapat bermakna pemujaan terhadap Panca Dewata yaitu Dewa Iswara arah timur, Dewa Brahma arah selatan, Dewa Mahadewa arah barat, Dewa Wisnu arah utara, dan Dewa Siwa pada posisi tengah (madya). Pada daksina ada penggunaan daun sirih yang disebut Base Tampel atau Sirih Tampel, bentuknya menggambarkan orang-orang yang sedang bersembahyang.
Dalam melaksanakan upacara Pewiwahan (Manusa Yadnya), ada digunakan daun dadap beserta batangnya yang terdiri dari dua cabang dan masing-masing cabang diikat dengan benang, diisi dengan uang kepeng berjumlah sebelas, diisi dengan kwangen, kemudian ditancapkan agak berjauhan, lain kedua mempelai melangkahi dan diinjak hingga putus benang putihnya, ini disebut dengan “Pepegatan”. Upacara ini biasanya dilakukan di halaman depan pintu masuk rumah atau lebuh yang juga merupakan rangkaian upacara mekala-kala. Pepegatan bermakna melepaskan masa brahmacari atau masa remaja menuju masa Grahasta atau berumah tangga. Sedangkan mekala-kala bermakna untuk menghilangkan keletehan atau kekotoran dari kedua mempelai, agar dapat membina bahtera kehidupan berumah tangga yang baik dan sejahtera. Pada Banten Penyeneng kita jumpai penggunaan daun dadap yang disebut “Tepung Tawar”. Sarana ini terbuat dari daun dadap, kunyit dan beras yang telah ditumbuk (tidak terlalu halus) dan ditaruh pada sebuah kojong yang merupakan sarana kelengkapan Banten Penyeneng. Makna tepung tawar adalah untuk pesucian diri dan terbebas dari kekotoran.
Daun yang lainnya banyak digunakan sebagai sarana upacara agama, seperti daun kelapa muda (janur) dan daun enau (ron). Kedua jenis daun ini biasanya digunakan untuk membuat alas banten/taledan kojong/tangkih, tamas (alas banten yang bentuknya bulat), membuat canang, seperti: canang Ganten, Canang Lengawangi/Buratwangi, Canang Sari, Canang Gantal, dan jenis canang yang lainnya, membuat Lamak, membuat Cenigan, membuat Sampyan, membuat Tamyang, dan jenis upakara yang lainnya. Dalam penggunaan jenis daun janur dan daun enau ini biasanya dikerjakan oleh para wanita/para ibu anak diwujudkan menjadi jenis upakara atau bebanten yang diinginkan, dengan melakukan tetuwasan atau reringgitan sedemikian rupa yang mengandung nilai seni, indah, dan nilai spiritual. Dari segi penggunaannya sebagai sarana Yadnya tersebut di atas, daun janur dan daun enau bermakna kesucian dalam berYadnya.
Sedangkan reringgitan/tetuwasanpada banten bermakna atau menggambarkan tentang kelanggengan serta kesungguhan hati.
Kemudian dalam banten Mabyakala/Mabyakaon dijumpai adanya penggunaan Lis serangkaian dengan upacara dalam Panca Yadnya. Lis ini terbuat dari daun janur, daun andong merah, daun kayu tulak, daun kayu sirih, daun dadap, serta perlengkapan yang lainnya sesuai dengan desa, kala, patra. Lis digunakan untuk mencipratkan atau memercikkan tirtha atau air suci. Lis memiliki makna untuk sarana penyucian diri guna menjauhkan kekuatan negatif yang mengganggu manusia dan tentunya mendapatkan kekuatan dan kesucian lahir dan batin. Dalam tingkatan upacara yang lebih besar biasanya digunakan Lis Ageng/Lis Gede. Sedangkan dalam upacara biasa/kecil digunakan Lis Alit atau Lis Padma.
Demikian secara sederhana diuraikan beberapa jenis daun yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya, yang memiliki arti simbol tertentu sesuai dengan jenis upakara Yadnya yang dipersembahkan serta disesuaikan pula dengan desa, kala, patra atau situasi setempat dengan mengikuti keluwesan dan kesucian dan pada Yadnya yang dihaturkan kehadapan Hyang Widhi Wasa oleh umat Hindu dimanapun berada. Perlu diingat bahwa sarana persembahan berupa daun, bilamana tidak akan mengurangi makna Yadnya itu, dengan pertimbangan bahwa kesucian dan ketulusanlah yang menjadi dasar utama dari persembahan itu. Berikut ini ada beberapa daun sesuai dengan penggunaannya dalam upacara Yadnya antara lain :
- Sebagai sarana untuk kelengkapan dan kesempurnaan suatu Yadnya yang dipersembahkan.
- Sebagai sarana untuk dapat mengkonsentrasikan diri dari sarana untuk memuja Hyang Widhi beserta manifestasinya.
- Sebagai suatu cetusan hati nurani yang suci diiringi dengan rasa bakti untuk dipersembahkan kehadapan-Nya.
- Sebagai sarana untuk menyampaikan rasa terima kasih kehadapan Hyang Widhi atas anugerah-Nya.
- Sebagai sarana penyucian diri lahir batin guna terbebas dan kekotoran dan mara bahaya.
0 Response to "Arti dan Fungsi Daun dalam Yadnya Agama Hindu"
Post a Comment