Pengertian Pandita dan Pinandita dalam Agama Hindu

HINDUALUKTA -- Pengertian Pandita dan Pinandita. Mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan di dunia ini didukung oleh beberapa unsur seperti kitab suci, hari suci keagamaan, orang-orang suci dan tempat suci. Semua unsur/komponen tersebut saling berkaitan dalam membina kehidupan beragama. Pendalaman dan penghayatan agama tidak hanya dapat dilakukan dengan mempelajari ajarannya saja, atau melaksanakan ibadahnya saja ditempat-tempat suci, namun diperlukan orang-orang suci, orang-orang bijaksana untuk menuntun, membimbing, agar tidak terlalu jauh menyimpang dari hakikat ajaran agama Hindu. Peraturan dalam agama Hindu menegaskan bahwa yang mempunyai kewenangan untuk memimpin suatu upacara Yadnya adalah orang suci/orang bijaksana, yang dalam hidupnya telah melakukan penyucian lahir dan batin melalui suatu upacara padiksan dan pawintenan. Orang yang telah melakukan upacara padiksan dan pawintenan itu disebut Pandita dan Pinandita. 

Pedanda (the height priest of Bali) from Brahmana Caste

Orang-orang suci agama Hindu (Pandita-Pinandita) sangat besar peranannya dalam kehidupan beragama, dijelaskan dalam pembahasannya meliputi pengertian orang suci dalam agama Hindu (Pandita-Pinandita), sasana dari wewenang orang suci dalam agama Hindu (Pandita-Pinandita), dan sekulas riwayat singkat orang-orang suci dalam agama Hindu di Indonesia. 

Orang-orang suci dalam dalam agama Hindu sangat besar dan penting peranannya dalam kehidupan beragama, membina umat dan sebagainya. Sejarah perkembangan agama Hindupun telah membuktikan bagaimana peranan para orang-orang suci Hindu pada zaman dulu di dalam menyebarkan agama Hindu, di dalam membina kehidupan keagamaan di tengah-tengah masyarakat, dan meneruskan ajaran-ajaran tersebut pada masa berikutnya. Agama Hindu yang mendasarkan ajarannya pada pustaka suci Veda, dalam sejarahnya mulai berkembang di lembah sungai Sindhu, India. Di lembah sungai inilah, salah satu contoh peranan orang-orang Suci Hindu, yakni Resi Bhagawan Wyasa menerima wahyu dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang kemudian mengabadikan ajaran tersebut dalam bentuk pustaka suci Veda.

Pengumpulan Veda dalam bentuk sekarang ini dapat diperkirakan antara 2.500 tahun sebelum Masehi. Walaupun demikian pengetahuan dan ajaran suci yang terkandung di dalamnya bersifat kekal dan abadi (sanatana), mampu mengatasi ruang dan waktu. Dan lembah sungai Sindhu itu, kemudian menyebarkan pengaruhnya ke seluruh bagian India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan Indonesia, dan sekarang telah menyebar keseluruh dunia. Orang suci yang menyebarkan ajaran itu dan daerah sungai Sindhu, Gangga, dan Yamuna ke daerah India Selatan, India Belakang dan Indonesia adalah Resi Agastya. 

Tanpa mengetahui, mengerti, memahami dengan baik orang-orang suci dalam agama Hindu, kemudian tugas dan fungsinya, sasana, kewenangan serta sejarah perkembangannya, terasa sulit untuk dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa orang suci yang mempunyai kewenangan mengantarkan dan memimpin suatu upacara Yadnya, terasa pelaksanaan upacara yadnya tersebut kurang mantap.

Mempelajari bahasan dalam pedoman ini diharapkan dapat memberikan petunjuk untuk memahami hakikat kebenaran dan ajaran Hindu itu sendiri secara umum dan peranan orang-orang suci (Pandita-Pinandita) dalam agama Hindu di dalam kehidupan beragama sangat diharapkan tidak terjadi persepsi yang keliru terhadap ajaran agama Hindu dengan segala aspeknya. Pembahasan materi dalam pedoman ini secara umum ada kaitannya dengan pembahasan konsep-konsep ajaran agama Hindu lainnya baik yang telah dibahas ataupun nanti dalam pembahasan lainnya. Harapan pembahasan ini dapat dijadikan pedoman dasar dalam pelaksanaan kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat umat Hindu di Indonesia. 

Pengertian Pandita dan Pinandita

Semua agama yang ada di Indonesia mempunyai orang-orang suci. Orang suci tersebut mampu dan berwenang untuk memimpin umat dan memimpin suatu upacara religi. Pada sisi kehidupannya yang lain orang suci juga bertugas untuk membina kehidupan umat beragama.

Kehidupan keagamaan umat Hindu di Indonesia, banyak memiliki orang-orang suci, mulai dari orang-orang suci sebagai penerima dan penyebar agama Hindu dan awal mula berkembangnya, orang-orang suci yang kemudian melanjutkan perjuangan dan meneruskan ajaran-ajaran yang telah terwariskan sampai pada orang-orang suci yang berkedudukan sebagai pemimpin dan “pemuput” suatu upacara ritual. Berdasarkan sifatnya yang khas mungkin dapat kita sebutkan adalah karena kesaktiannya atau kemujizatannya, kesucian perbuatannya serta idealismenya yang demikian patuh pada fungsinya menyebabkan mereka menjadi orang suci. Ciri seperti itu adalah indikator sebagai orang suci, juga ciri lainnya, yaitu kemampuan menggubah ayat-ayat suci (soka-sloka suci) Veda. Ciri dan indikator tersebut menandakan bahwa orang suci dalam agama Hindu mempunyai gelar dan fungsi yang berbeda di dalam kehidupan keagamaan. Kemampuan dan ciri lainnya, orang suci memiliki sifat-sifat tertentu, termasuk juga jabatan-jabatan tertentu. Orang suci adalah juga Pandita, Pinandita juga adalah sastrawan (Kawi sastra), juga seorang yogin. Orang suci juga seorang “guru” dengan berbagai bidang ilmu, misalnya ilmu agama, sastra, perang, politik, kepemimpinan, astronoini, dan sebagainya. 

Sudah menjadi kewajiban umat Hindu untuk memberikan penghargaan kepada orang-orang suci tersebut. Sehubungan dengan hal itu, wujud penghargaan dan rasa hormat tersebut diantaranya tertuang dalam ajaran Catur Guru (Guru Bhakti) mengkhususkan pada guru pengajian, pada ajaran Panca Yadnya (lima korban) yaitu Resi Yadnya (korban suci pada para resi) sebagai realisasi dari ajaran Tri Ma (tiga utang) yakni pada Resi Ma (utang kepada para Resi). 

Memperhatikan sejarah agama Hindu dari awal mula munculnya diperkirakan 2.500 tahun sebelum masehi, berkembang dan India ke Indonesia bahkan di beberapa penjuru dunia, banyak disebutkan orang-orang suci yang berjasa membina dan mengembangkan ajaran agama Hindu itu sendiri, juga ada disebutkan beberapa gelar dan fungsi dan orangorang suci tersebut. Kitab Reg Veda dan kitab-kitab Sruti dan Smerti serta yang lainnya, pada garis besarnya ada menyebutkan beberapa nama atau gelar yang tergolong orang suci. Diantaranya adalah: Resi atau Maha Rsi, Brahmana, Hotar (Hetri), Udgatri, Purohita, Acarya atau Mahacarya, Pitamaha, Bhatri atau bhatara dan yang lainnya. 

Semua nama gelar itu, yang paling banyak disebut-sebut adalah Rsi (Resi) atau Maha Rsi. Kitab Sruti tidak menjelaskan arti “Rsi” itu kecuali menyebutkan gelar penerima wahyu atau penggubah mantra-mantra yang terdapat dalam Sruti itu. Disana sini nama Rsi dikaitkan dengan nama keluarga dan keturunannya sehingga mantra mantra itukadang-kadang dapat menjadi sumber informasi mengenai sejarah atau silsilah para Rsi yang dikaitkan dengan permulaan ciptaan-ciptaan alam semesta. 

Kitab Purana, seperti Agni Purana secara etimologis menjelaskan arti kata Rsi dan akar kata (V) R yang berarti suara. Istilah ini didasarkan pada pengertian analogis yang menganggap bahwa Rsi sebagai penerima dan kemudian menyampaikan suara yang diterima dan Tuhan sebagai Wahyu. Veda menyebutkan ada banyak nama-nama Rsi yang terkenal sebagai pemikir di dalam agama Hindu. Rsi-Rsi tersebut diantaranya Wiswamitra, Wyasa, Kanwa, Agastya, Waliniki dan lain-lain. 

Menurut ilmu bahasa kata Rsi berasal dan akar kata “R” yang berarti “suara gaib” yang kemudian berarti “Wahyu” (Revolusi). Semua mantra merupakan “Wahyu” (Sruti)sehingga para Rsi yang kedudukannya sebagai penerima wahyu, dikenal dengan Sruta Rsi. Ia juga disebut Satya Rsi karena suara-suara yang disampaikan berasal dan Tuhan Yang Maha Benar, Satya yang berarti kebenaran absolut. Oleh karena pada Rsi dalam fungsinya menerima maka para Rsi itu pun secara fungsional berkewajiban: (1) Untuk memahami suara. (2) Menyampaikan apa yang didengarkan, (3) Menulis apa yang telah didengar dan dimengerti itu. 

Sesuai dengan perkembangan berbagai penguraian istilah, makin jelas bahwa perbedaan antara Rsi-Rsi itu adalah terletak pada perbedaan kualitatif. Tidak semua Rsi sama ahlinya dan jasanya. Karena itu dibedakan antara pengertian Maha Rsi dan Rsi tanpa predikat keistimewaannya. Selain perbedaan itu, dapat pula dibedakan ke dalam tiga kelompok besar : Brahma Rsi, Raja Rsi dan Dewa Rsi.

Kitab-kitab Purana Kelompok Rsi dibagi atas tiga kelompok yaitu (1) Brahmarsi (Brahma-Rsi) misalnya Wasistha. (2) Rajarsi (Raja-Rsi) misalnya Wiswamitra, (3) Dewarsi (Dewa-Rsi) misalnya Kasyapa. Pembagian seperti itu juga dapat dibaca dalam kitab Brahmanda Purana. 

Pembagian kelompok Rsi tersebut di atas, terdapat pula pengertian lain yang kalau ditelusuri lebih jauh tidak hanya merupakan fungsi, misalnya yang disebut Satyarsi, Srutarsi atau yang lainnya. Kesemuanya ini disebut Maha Rsi untuk membedakan dan RsiRsi yang timbul kemudian, dan semua jenis Rsi di atas merupakan induk karena kemudian dan kelompok-kelompok itu akhimya berkembang berbagai jenis Rsi.

Seorang Brahma Rsi pada hakikatnya bertugas mengembangkan, mempelajari dan mengajarkan Catur Veda, Dharmasastra, SadanggaVeda, Inimansa dan Nyayasastra. Dengan penguasaan ilmu yang mengkhusus dalam bidang itu, maka sifat dan fungsinya sebagai Maha Rsi dapat dipertahankan. Ini tidak berarti kelompok kedua Rsi lainnya dapat mengabaikannya, melainkan cukup bila mereka tahu walaupun tidak terlalu mendalami sekali. 

Kelompok kedua, Raja Rsi juga berasal dan Brahma Rsi. Raja Rsi diberikan tugas untuk memelihara dunia dalam arti penekanannya pada usaha memberi perlindungan, memerintah sebagai kepala negara, maka kedudukan mereka tidak lagi sebagai Brahmarsi tetapi menjadi Rajarsi. Salah satu contohnya adalah Rsi Mama dengan semua keturunannya.

Ada juga yang disebut kelompok Dewa Rsi. Sesungguhnya kelompok ini juga berasal dan Brahma Rsi, hanya saja kemudian berfungsi untuk menjadi pengaruh para Dewa. Dewa Rsi yang terkenal antara lain adalah Narada dan Parwata. Secara initologis juga dikemukakan bahwa yang disebut sebagai Dewa Rsi adalah Rsi yang karena kelahirannya berasal dan kelompok Dewa-Dewa. Sebagai contohnya adalah Narayana. Semua para maha Rsi itu berkewajiban untuk mempertahankan sifat ke-Rsiannya. Sifatsifat itu meliputi: Dirghayusa (panjang umur), Matikerti (mampu melaksanakan keinginan), Siddha Iswarya (sempurna sejak dalam kandungan), Diwya Caksu (mampu mengetahui jauh maupun dekat, masa dulu maupun masa yang akan datang), Prtyaksa Dharmanah (menjadi karena pengetahuan pratyaksa pengetahuan langsung), Gotraprawartaka (mempunyai keturunan), Satkarmanirala (tidak terhalang melakukan yadnya), Silinah (berpegang teguh pada kesusilaan), Cramedhinah (gemar dalam tugas numah tangga dan tidak takut pada makanan sederhana). 

Jika kesembilan tugas itu dapat dipegang teguh dan dilaksanakan oleh seorang Rsi maka ia dapat mempertahankan sifat ke-rsi-annya. Dan itu pula menyebabkan ia dikenal terus-menerus sebagai seorang Maha Rsi. Hal itu pula menjadi latar belakang seorang yang telah didiksa atau diwinten untuk menjadi rsi atau orang suci harus berpegang teguh kepada brata (pantangan-pantangan) yang diwajibkan. Pantangan atau brata itu adalah suatu kewajiban dalam usaha untuk mengembangkan kesusilaan dan kekuatan batinnya agar tetap mampu memelihara kesucian baik lahir maupun batin, atau kesucian pikiran, perbuatan dan upacara.

Kitab Brahmanda Purana, menyebutkan nama dan kelompok rsi secara lebih terperinci antara lain : (1) Nama Rsi di wilayah Timur Wiswamitra, Yawakrta, Raibhya, Kanwa dan Gangga. Penunjukkan wilayah Timur, mungkin bagian dan India timur seperti daerah Banggala, yang kemudian nama-namanya tersebar sampai ke Indonesia yaitu Wiswamitra dan Kanwa. (2) Nama Rsi di wilayah Selatan: Dattatreya, Namuci, Pramuci, Waliniki, Soma, Kimdu dan Agastya. Penunjukkan wilayah selatan di antaranya daerah Dekkan sampai pada ujung pantai selatan. Hubungan Indonesia dengan India Selatan sangat banyak pada zaman prasejarah itu, tidak mengherankan kalau nama-nama seperti Agastya dan Wakiniki sangat terkenal di Indonesia. (3) Nama Rsi di wilayah Barat Kamnya, Kawisa, Wrsangu, Narada, Wamadewa, Sambhari, Astrawakra, Suka, Bhrgu, Lomasa dan Mudgalya. Dan daerah wilayah Banal ada kaitannya dengan penyebaran kafilah dan daerah Hindu dengan membawa nama Bhagawan Bhrgu dengan penyebaran utama di wilayah Sumatra. Wilayah barat ini sebagai wilayah penyebaran Mahabharata, karenanya terbawa pula nama-nama Rsi terkemuka di dalam Mahabharata, (4) Nama Rsi di wilayah Utara: Kasyapa, Wasistha, Atri, Gautama, Yamadagni, Bharadwaja dan Sanaka. Dari semua nama itu yang banyak berhubungan dengan penyebaran agama Hindu di Indonesia adalah Kasyapa, Wasitha, Gautama dan Rsi Bharadwaja. Penyebaran ke Indonesia bersamaan pula dengan penyebaran melalui wilayah timur maupun selatan, sebagai dua arus jalan penyebaran agama Hindu.

Disamping pengelompokkan rsi ini menurut wilayah atau daerah, dapat pula dikelompokkan menurut kedudukan atau fungsinya yaitu: Srula Rsi, Salya Rsi, Brahma Rsi, Dewa Rsi, Tapa rsi dan Raja rsi. Ada empat sifat yang menyebabkan Rsi penting artinya bagi kehidupan umat Hindu : (1) Widya atau ilmu, (2) Satya atau kejujuran, kebenaran, (3) Tapa atau pengendalian diri, (4) Sruta atau penerima wahyu. Keempat sifat ini memperluas fungsi dan kedudukannya dalam perkembangan kehidupan dan pembinaan umat Hindu. Perkembangan selanjutnya, terutama pada dekade pembangunan sekarang ini baik di Indonesia ataupun di Bali pengertian orang suci dipergunakan pada sebutan Pandita dan Pinandita. 

Pandita dalam bahasa Sansekerta berarti orang pandai, cendikiawan, bijaksana, sarjana, sujana, pendeta. Yang dimaksud dengan Pandita adalah pendeta, seorang rohaniawan Hindu yang telah madwijati melalui upacara diksa. Dwijati artinya lahir kedua kali. Pertama lahir atau dilahirkan oleh Ibu-Bapak (Guru Rupaka). Kedua dilahirkan pula dan diakui anak oleh seorang guru Pengajian (Nabhe). Sedangkan Diksa adalah upacara penyucian seorang welaka menjadi Pandita. Upacara penyucian ini selain ritual ada juga ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia. Pandita di Bali sering disebut sulinggih, memiliki brata-brata tertentu untuk dapat melaksanakan sasana-sasana yang patut ditaatinya dalam hidupnya.

Upacara diksa bukanlah sekedar merupakan upacara perubahan status belaka dan seorang walaka menjadi sulinggih. Di dalam proses upacara itu terkandung makna yang mendalam mengenai hubungan batin antara guru Nabhe dengan sisyanya (calon diksita). Upacara diksa merupakan salah satu cara untuk meningkatkan diri dan fase kehidupan yang belum sempurna menuju kehidupan baru dalam dunia yang lebih sempurna. Pada kenyataannya orang yang telah didwijati diberikan berbagai sebutan tergantung ada ketentuan keluarga dan wangsanya. Ada yang disebut Pendanda, Rsi, Bhagawan, Bhujangga, Empu dan Dukuh. Semua dwijati itu memiliki kedudukan sejajar dalam pandangan agama Hindu. Keseluruhannya termasuk Pandita karena semua gelar dwijati itu baru boleh dipakai setelah melalui proses upacara diksa. Di dalam yajur Veda XX, 25 diuraikan tentang diksa itu sebagai berikut : 

Dengan melaksanakan brata seseorang memperoleh diksa,
Dengan melakukan diksa seseorang memperoleh daksina, 
Dengan daksina seseorang melaksanakan sraddha,
Dan dengan sraddha seseorang memperoleh sattya.

Brata adalah suatu janji diri untuk melaksanakan pantangan-pantangan keagamaan agar mendapat kesucian rohani. Diksa artinya telah memperoleh kesucian atau Dwijati. Daksina adalah pendapatan yang suci karena didapatkan dari perbuatan suci dan terhormat. Sraddha artinya keyakinan atau keikhlasan untuk mengabdi pada Ida Sang Hyang Widhi. Satya adalah kebenaran yang tertinggi. 

Berbeda dengan Pandita, Pinandita adalah seorang rohaniawan Hindu tingkat ekajati. Seorang calon pinandita tidak didiksa melainkan diwinten. Dengan demikian statusnya berbeda dengan Pandita. Pada umunmya seseorang yang telah melakukan upacara pawintenan pemiliki sebutan tertentu, untuk di Bali disebut dengan Pemangku. Pemangku adalah rohaniawan Hindu yang masih tergolong pada tingkat Ekajati. Ekajati dalam bahasa Sansekerta berarti hanya lahir sekali. Lahir atau dilahirkan dan kandungan Ibu dan Bapak (Guru Rupaka).

Baik Pandita ataupun Pinandita tetap mempunyai tanggung jawab moral terhadap pembinaan kehidupan umat beragama Hindu di Indonesia. Selama memimpin suatu upacara adalah juga pemimpin tradisional masyarakat umat Hindu yang mempunyai kharisma.

Demikian sekilas pengertian orang-orang suci Hindu dan sebutan Rsi hingga sampai pada sebutan Pandita dan Pinandita yang berkembang akhir-akhir ini.

Referensi:

Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 79-86

0 Response to "Pengertian Pandita dan Pinandita dalam Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel