Sasana dan Wewenang Orang Suci dalam Agama Hindu

HINDUALUKTA -- Sasana dan Wewenang Orang Suci dalam Agama Hindu. Seorang yang telah didiksa, maka ia berstatus sebagai orang Suci atau di Bali disebut dengan Sulinggih. Diberi gelar sesuai dengan wangsanya atau keturunannya dan mempunyai wewenang untuk nglokaparacraya artinya yaitu sebagai orang/tempat umat memohon petunjuk kerohanian dan sebagai orang yang dimohon untuk menyelesaikan (muput) suatu upacara/upakara agama.



Seperti diketahui, upacara diksa berfungsi untuk meningkatkan status orang dari welaka menjadi sulinggih atau dwijati. Pandita disebut dwijati artinya telah lahir dua kali. Pertama lahir dari guru nabhe, melalui suatu proses penyucian, pendidikan dan upacara ritual tertentu. Welaka artinya anak. Meskipun sudah dewasa bahkan sudah tua dalam tingkatan rohani. Sedangkan yang boleh didiksa adalah orang yang telah mencapai tingkatan rohani yang tinggi.

Upacara diksa juga berfungsi sebagai lembaga inisiasi (upacara perubahan status) dari status welaka menjadi sulinggih. Setelah melewati dan atau melakukan upacara diksa (dalam keseluruhan prosesnya) barulah calon diksita boleh melakukan lokaparasraya dan menjadi guru loka termasuk menjadi nabhe. Sebelum puncak acara diksa dilakukan, terlebih dahulu seorang calon harus mempersiapkan diri lahir dan bathin. Diantara persiapan itu adalah melakukan Vedadyana dan Vedaraksana yaitu mempelajari Veda dan menjaga Veda. Di samping ilu juga melakukan Tirtayatra ke pura-pura kahyangan Jagat dan Dang Kahyangan untuk menyucikan diri. 

Secara resmi calon diksita itu diuji oleh penguji dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan umum lainnya yang akan menunjang tugas-tugas diksita narti. Proses diksita berikutnya dilakukan oleh tiga orang guru yang kesemuanya adalah Pandita yang cukup senior baik pengalaman, usia ataupun penguasaannya pada agama. Ketiga Pandita itu adalah guru nabhe, yaitu Pandita yang akan memimpin dan bertanggung jawab pada proses pendiksaan itu. Guru nabhe inilah yang napak calon diksita sehingga menjadi dwijati atau pandita guru. Yang kedua adalah Guru Wakira. yang mengajar calon diksita tentang segala ilmu pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang diksita. Guru yang ketiga adalah guru saksi, yaitu pandita yang bertugas sebagai guru saksi tentang segala proses upacara pandiksaan. Pentingnya guru saksi ini adalah untuk benar-benar menjadi saksi hahwa segala prosedur upacara pendiksan yang dipimpin oleh guru nabhe sudah benar-benar berjalan sesuai dengan sastra atau ketentuan yang berlaku untuk itu. Demikian pula guru saksi wajib mengetahui segala proses belajar yang diberikan oleh guru waktra.

Yang paling penting diketahui yang juga merupakan bagian dari proses upacara diksa adalah dilakukannya kegiatan amati raga, amati aran, amati sasana dan amati wesa oleh calon diksita. 

Amati raga dimaksudkan adalah secara simbolis calon diksita dianggap dilepaskan badan kasamya dan kemudian akan lahir kembali sebagai dwijati dengan badan yang baru. Amati aran artinya bahwa dalam upacara diksa ini calon diksita mengganti nama welakanya dengan nama sulinggihnya. Hal ini juga dari proses lahir yang kedua tentu dibarengi dengan nama baru. Misalnya, sewaktu welaka bernama Ida Bagus Oka, setelah melalui upacara diksa atau setelah menjadi sulinggih namanya diganti umpamanya menjadi Ida Pedanda Ngurah. Demikian pula sewaktu welaka bemama I Made Merta, setelah melalui upacara diksa nama tersebut diubah umpama menjadi Empu dharnika dan sebagainya.

Amati sasana, artinya sasana sewaktu welaka tidak boleh dilakukan lagi setelah sulinggih. Misalnya waktu welaka boleh melakukan jual-beli atau kegiatan ekonomi, tetapi setelah menjadi sulinggih kegiatan itu tidak boleh lagi dilakukan. Kegiatan atau sasarana sewaktu welaka dan ketika menjadi sulinggih sangat berbeda. Amati wesa artinya, atribut waktu welaka diganti dengan atribut sulinggih. Misalnya busana walaka harus diganti dengan busana sulinggih. Tidak hanya pakaian, demikian perilaku, sikap termasuk warna pakaian, yang mengarah pada kesucian. Calon diksita harus berumur berkisar antara 40 sampai 60 tahun. Puncak upacara padiksan adalah calon diksita di ”tapak” oleh guru nabhe dengan meletakkan telapak kaki nabe di atas kepala calon diksita. Usai upacara puncak dengan tanda penapakan itu, maka selanjutnya calon diksita resmi menjadi diksita atau dwijati atau pandita. Setelah itu yang bersangkutan mempunyai hak untuk melakukan ke alam lokaparasraya. Untuk melakukan hal ini dilakukan pula melalui suatu upacara beberapa waktu setelah upacara diksa. Upacara lokaparasraya ini pertama-tama dilakukan dengan upacara ngalinggihang “Veda” bertempat pamerajan diksita disaksikan oleh guru waktra dengan saksi. Cepat atau lambatnya upacara ini tergantung pada kemampuan diksita dan dengan pertimbangan guru waktra. Setelah upacara ngelinggihang Veda, dilanjutkan dengan tirtayatra ke pura-pura kahyangan jagat dan pura-pura Padharman yang bersangkutan. Dengan selesainya upacara ngelinggihang Veda maka sulinggih yang bersangkutan sudah boleh melaksanakan kegiatan lokaparasraya seperti “nibakang dewasa” (memberi hari baik dan buruk kepada umat) atau “Muput” suatu upacara Yadnya (memimpin dan menyelesaikan suatu upacara Yadnya). Selain itu juga dituntut untuk tetap menjaga sifat perilaku seorang sulinggih dengan brata (pantangan) yang telah ditentukan.
 
Menjadi seorang sulinggih, calon diksita harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan : (1) Laki-laki yang sudah berumah tangga atau laki-laki yang “Nyukla Brahmacari (laki-laki yang sedang menuntut ilmu dan tidak kawin), (2) Wanita yang sudah berumah tangga atau wanita yang tidak kawin (Kanya), (3) Pasangan suami istri yang sah, (4) Sehat dan bersih secara lahiriah termasuk tidak cacat jasmani (Cedangga), (5) Sehat dan bersih secara batiniah, tidak menderita penyakit saraf atau gila, (6) Berpengetahuan luas meliputi pengetahuan umum, paham terhadap bahasa Kawi, Sansekerta, bahasa Indonesia, mendalami masalah Wariga, Tattwa, sasana-sasana dan Yadnya, (7) Memiliki efiliasi sosial yang baik yakni berkelakuan baik dan bijaksana terhadap sesama, alam dan pemerintah serta tidak tersangkut masalah kriminal dan subversif, (8) Lulus diksa-pariksa yang dinyatakan dengan surat oleh Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten/Propinsi setempat. (9) Sudah mempunyai calon nabhe yang akan menyelesaikan (muput) upacara padiksa. 

Seorang Pandita, mempunyai wewenang untuk memimpin atau muput upacara Yadnya. Kewenangan pandita ini dimuat atau diuraikan dalam lontar Bhisirna Parwa, Udyoga Parwa, Bhomantaka, Brahsasana dan silakrama, karena seorang Pandita sudah dianggap telah memiliki ilmu kerohanian yang cukup tinggi. Lontar Udyoga Parwa menyebutkan karma Pandita telah memiliki ilmu kerohanian yang sempurna dan tinggi, maka beliau pun dapat menyempurnakan pihak lain seperti melakukan dengan memimpin upacara yana. Sementara dalam lontar Bhomantaka disebutkan karena kesempurnaan ilmu dan rohanian Pandita dapat membebaskan diri beliau dan kekuasaan dan hawa nafsu.

Majelis tertinggi umat Hindu Indonesia yakni Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam keputusan Mahasabha (rapat besar) 11 tahun 1968 menetapkan wewenang Pandita atau Sulinggih adalah menyelesaikan segala upacara Panca Yadnya umat Hindu Indonesia. Pandita juga berkewajiban untuk memberikan Upadesa (tuntunan keagamaan) untuk lebih memantapkan pengertian dan pengalaman ajaran Agama Hindu. Meskipun Pandita memiliki wewenang untuk menyelesaikan semua jenis upacara Panca Yadnya, namun dalam batas-batas tertentu Pandita memberikan wewenang kepada Pinandita untuk muput beberapa tingkat dan jenis upacara Yadnya tertentu, seperti misalnya upacara Piodalan di pura-pura, pinandita dapat muput upacara piodalan sampai pada tingkat, “Madudus Alit”.

Di dalam lontar Eka Pratama dijelaskan tentang wewenang Tri Sadaka sebagai berikut Pandita Siwa, Pandita Budha dan Pandita Bhujangga, sesungguhnya beliau bersaudara. Pandita Siwa bertugas Amrestita Sarwa Prani, artinya untuk menyucikan alam atas atau Swah Loka. Pandita Budha bertugas Amrestita Sarwa Pawana, artinya menyucikan atmosfer atau alam tengah atau Bwah Loka. Pandita Bhujangga bertugas untuk Amretista Sarwa Prani, artinya untuk menyucikan semua mahluk hidup di alam bawah atau Bhur I.oka. Tugas ketiga Pandita itu secara rutin dilaksanakan setiap tahun pada waktu upacara “Tawur Kasanga”, sehari menjelang hari raya Nyepi. Sasana seorang Pandita. Kata Sasana berasal dan bahasa Sansekerta yang berarti peraturan, hukum, pelajaran, pemerintah. Sasana adalah peraturan-peraturan dalam pengendalian diri baik lahiriah maupun batiniah. Sehubungan dengan Pandita, sasana dapat pula diartikan sebagai tingkah laku norma-norma kesusilaan yang luhur dan para Wiku atau Pandita. Ketentuan-ketentuan tentang kesusilaan yang berlaku bagi Pandita antara lain diuraikan dalam pustaka Silakrama, Wrettisasana, Simasasana dan yang lainnya.

Dalan kitab Silakrama ditekankan bahwa para Pandita hendaknya dapat menguasai dan melaksanakan ajaran Yama dan Nyama brata, dimuat sebagai berikut :

Madatamcchenna piweeca madyam
Prananna hinsenna wadecca inithyam,
Prasya daran imarasapi necched
Tah swargatnicched grhawat prawestun
(Sarasamuccaya, 19256)

Artinya :

Dan lagi jangan hendaknya mengambil kalau belum ada peranjian, jangan Engkau minum-minuman yang memabukkan, jangan melakukan pembunuhan, jangan berdusta dalam kata-kata, jangan menginginkan istri orang lain jika bermaksud pulang ke surga. 

Ajaran Panca Yama Brata meliputi lima petunjuk tingkah laku untuk mencapai kesucian rohani, yaitu : Ahimsa (tidak membunuh-bunuh), Brahmacari (belajar dan menuntut ilmu), Satya (setia pada kebenaran), Awyawaharika (tidak suka bertengkar), asteya (tidak suka mencuri). Sedangkan ajaran Panca Nyama Brata juga lima petunjuk kesucian yang tingkatannya lebih tinggi lagi yaitu Akrodha (tidak suka marah), Gurususrusa (selalu rapat dan hormat kepada guru, segala tingkah lakunya tidak pemah lupa dengan petunjuk guru), Sauca (bersih lahir dan batin), Aharalaghawa (tidak makan secara sembarangan atau mengikuti ketentuan makan yang berlaku bagi puta wiku), terakhir adalah Apramada (selalu tekun dan berketetapan hati untuk melaksanakan ajaran kependetaan, juga berarti tidak berbohong tidak angkuh).

Disamping itu pandita juga harus berpegang pada ajaran Dasa Sila dalam bertingkah laku. Dasa Sila itu antara lain: Drti (selalu berpikir bersih), Ksama (suka mengampuni), Dama (pandai menasehati diri sendiri), Asteya (tidak mencuri atau curang), Sauca (bersih lahir dan batin), Indariyanigraha (selalu mengendalikan geraknya dasendaria), Hrih (artinya mempunyai rasa malu), Wida (suka belajar mencari ilmu), Surya (jujur dan taat janji), Akrodha (sabar dan tidak pemah marah). 

Seorang Wiku/Pandita juga harus berpegang pada Catur Paramita yaitu Maitri (selalu mengembangkan sifat-sifat suka bersahabat), Kuruna (selalu ada rasa belas kasihan pada mereka yang menderita), Mudita (bersimpati terhadap orang yang mendapat kebahagiaan), Upeksa (suka melupakan kesalahan dan dosa-dosa orang lain kepada diri sendiri). Juga seorang Pandita harus berpegang pada Tri Kaya Parisudha yang meliputi Manacika (berpikir yang baik), Wacika (berkata yang baik), kayika (berbuat atau berlaksana yang baik).

Sasana seorang Pandita di samping menyangkut aturan-aturan sikap mental juga menyangkut fisik seperti makan dan minum, berpakaian dan sebagainya, yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku seorang Pandita sehari-hari mencerminkan kepribadian dan kesucian yang dimilikinya. Seorang Pandita harus menjadi penuntun umat dalam hidup sehari-hari, tidak hanya dalam kegiatan keagamaan dan kegiatan ritual. Sikap sehari-hari yang harus ditunjukkan oleh Pandita sebagai wujud dan sasananya adalah sebagai berikut: Selalu bakti pada guru Nabhe, tidak boleh mencaci-maki guru Nabhe, tidak boleh tidak bosan kepada guru Nabhe, tidak boleh tidak ikhlas terhadap guru Nabhe, tidak boleh menentang guru Nabhe, tidak boleh menginjak bayangan guru Nabhe, tidak boleh duduk di tempat duduk guru Nabhe, tidak dibenarkan memutuskan pembicaraan guru Nabhe, tidak berjual beli, tidak ingkar janji, tidak bertengkar, tidak boleh marah, tidak terlibat dalam perkara pidana dan tidak mengendarai seperda motor atau mobil sendirian. 

A rtham mahantarasadya
Widyadaicvatyanemewa ca
Wicaredasamunnaddham yah
San pandita ucyate
( Sarasamuccaya, 25. 10 )

Artinya :

Adapun orang yang keadaannya mempunyai kewibawaan, berlimpah yang besar karena tahu Ia akan pentingnya ilmu, disegani dan berkuasa, tidak sombong, tidak tergopohgopoh, tidak kasar, orang yang demikian pandita namanya.

Pantangan atau aturan yang juga harus ditaati dalam hal makan dan minum oleh seorang Pandita. Tidak boleh makan daging babi piaraan, makan daging ayam, anjing, tikus, ular, kucing, harimau, rase, kera, tupai, kadal, binatang yang berkuku satu dan yang berjari lima. Yang paling tidak boleh dimakan adalah burung hantu, burung elang, gagak, burung jalak, burung kakatua, burung bangau. Jenis ikan yang buas dan terlalu besar tidak boleh dimakan oleh Pandita. Tumbuh-tumbuhan yang tidak baik dimakan oleh Pandita adalah bawang putih/bawang bakung, bawang merah dan cendawan. Makanan dan minuman lainnya tidak boleh dimakan/diminum oleh Pandita ialah: sisa-sisa makanan, makanan yang terletak di bawah benda-benda yang tidak suci. Makanan yang diragukan kesuciannya. Pandita tidak boleh minum-minuman keras seperti tuak, arak, dan sejenisnya yang mengandung alkohol, termasuk juga minum susu yang berasal dari binatang buas. Tentang makanan ini dalam kitab Slokantara disebutkan:

Aharalaghawa ngarannya adangana ring pinangan, tan pinangan
asing dinalih cumah ring loka, kunang yan amanganausing dinalih
camah de sang sudha brata, tan brahmana saiwasogata ngarannya, janma 
tuccha ngaranya, yeka pataka, tan warung tunamuh ring kawah temahaninniya.
(Slokantara, 15.14)

Artinya:

Aharalaghawa namanya serba ringan dengan apa yang dimakan segala yang disebut tidak suci akan kotor di dunia tidaklah dimakan, maka bila dimakan segala yang disebut tidak suci, oleh orang yang suci yang melakukan brata, tidak brahmana Siwa, Budha namanya, manusia hina namanya, berdosalah Ia pasti jatuh di dalam neraka akhirnya. 

Untuk tetap menjaga kesuciannya seorang Pandita harus pula memperhatikan larangan yang tidak boleh dikunjungi. Tempat-tempat yang terlarang bagi seorang Pandita, yakni tidak boleh mengunjungi orang yang mempunyai pekerjaan hina, misalnya rumah tukang jagal (potong) hewan, terlebih lagi makan bersama atau makan di rumah tukang jagal tersebut. Demikian juga seorang Pandita tidak boleh duduk di tempat perjudian atau dengan segala jenis permainan yang ada taruhannya, dan beberapa tempat larangan lainnya. 

Antara Pandita dengan Pinandita juga mempunyai status dan wewenang yang berbeda termasuk pula sasanananya. Seorang Pinandita adalah seorang rohaniawan Hindu pada tingkat Ekajati. Kelahirannya sekali, tidak didiksa tetapi diwinten. Setelah melalui upacara pawintenan, seorang Pinandita dapat menyelesaikan upacara Yadnya tertentu, atau biasanya pada semua pura tertentu khususnya pura yang di-emong-nya (menjadi tanggung jawabnya). Demikian pula untuk upacara purnama, tilem dan upacara-upacara pada hari raya keagamaan lainnya, bisa dan cukup diselesaikan, di puput” oleh Pinandita. Pada umumnva di Bali Pinandita ini adalah pemangku. Namun apabila ada upacara-upacara besar seperti Padudusan Agung disebuah pura, atau melakukan tawur, dan sebagainya harus diselesaikan oleh seorang pandita. Demikian pula sebagai contoh dalam sebuah upacara purnama dalam umat Hindu di Bali, selain oleh Pinandita (Pemangku) juga dipuput oleh Pandita (Sulinggih). Demikian pula dalam beberapa hal persembahyangan tertentu pada sebuah pura dapat dipuput dan dipimpin oleh seorang Pinandita/Pemangku hanya menangani salah satu tempat suci saja. Untuk hal ini misalnya Pemangku Pura Desa, atau pemangku Pura Dalem atau Pemangku Pura Puseh. Ketiga pemangku ini mempunyai tugas dan tanggung jawab penuh pada pura yang di-emong-nya. Karena perbedaan status, sasana dan juga wewenang, maka persyaratan Pinandita agak lebih longgar jika dibandingkan dengan persyaratan untuk menjadi Pandita. Persyaratan yang perlu diperhatikan untuk menjadi seorang Pinandita antara lain : 
  1. Laki-laki atau wanita yang sudah berumah tangga/berkeluarga, 
  2. Laki-laki atau wanita yang mengambil brata Sukla Brabmacari, 
  3. Pasangan suami istri, 
  4. Bertingkah laku yang baik dalam kehidupan sehari-hari, 
  5. Berhati suci dan berperilaku yang suci, 
  6. Taat dan melaksanakan ajaran agama dengan baik,
  7. Mengetahui ajaran-ajaran agama (Wruh ring utpati, sthiti, pralinaning sarwa dewa), 
  8. Tidak menderita penyakit saraf atau gila, 
  9. Suka mempelajari/berpengetahuan di bidang kerohanian, 
  10. Dapat pesetujuan dan pengurus serta dukungan dan masyarakat setempat/masyarakat pengemong (penyungsung) pura bersangkutan, 
  11. Mendapat penataran atau pengesahan dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia setempat (Kabupaten/Propinsi). 
Persyaratan tersebut di atas adalah persyaratan umum sebagai seorang calon Pinandita, kecuali ada hal-hal lain seperti petuah dari roh leluhur (semacam pawisik) atau mamutru (nyanyian) dan lain sebagainya. Untuk di Bali terkadang menjadi seorang Pinandita ada tiga cara yaitu dipilih oleh warga dengan tetap memenuhi persyaratan seperti di atas, mendapatkan pawisik atau matuwun dan yang ketiga karena keturunan dan keluarga Pinandita (Pemangku). 

Sasana Pinandita jelas berbeda dengan sasana Pandita, sasana ini harus ditaati dan dijauhi. Seorang pinandita hendaknya setiap hari mengadakan penyucian diri, asuci laksana. Mohon tirta pada Pandita (Dwijati) untuk melebur kotoran-kotoran yang ada dalam dirinya. Tirtha yang dimohon adalah tirtha panglukatan dan pahersihan. Jika ingin menyelesaikan / mengantarkan suatu upacara piodalan terlebih dahulu mohon izin atau panugrahan dan Sang Pandita atau Sulinggih, dan kepala guru Iswara supaya tidak berdosa dan tidak menyalahi aturan dalam sasana kepinanditaan. Demikian juga dalam hal berbusana/berpakaian, seorang pinandita selalu memakai busana dengan warna putih (sarwa petak). Dan pada saat memuja atau mengantar atau muput suatu upacara diperkenankan memakai genta/bajra. 

Seorang pinandita mengutamakan kebenaran, menegakkan dharma, kesucian, mempelajari hal-hal kerohanian, mengetahui filsafat ketuhanan dan tetap menjadi panutan bagi umat, tetap mempelajari ajaran agama. Tidak memiliki sifat yang bertentangan dengan umat/pengempon. Bahkan harus membimbing dan membina umat pada arah pendalaman dan penghayatan serta pengalaman nilai ajaran agama. Dalam perilaku kehidupan seharihari di tengah tengah masyarakat, seorang Pinandita tidak boleh berjudi atau bermain yang membawa konsekuensi taruhan, tidak dibolehkan duduk datang ke tempat perjudian. Dilarang dekat, bergaul dengan orang jahat, kalau memberi nasehat pada orang jahat agar menjadi orang yang berguna masih dibenarkan. Harus menjauhi kutukan dan sumpah (tan wenang kita anayub cor). Dalam perilaku yang lain, seorang pinandita tidak boleh menjunjung sesuatu beban dalam bentuk apapun, karena pinandita telah ada pada kehidupan yang suci. Demikian seterusnya tidak diperkenankan ada di warung-warung, duduk atau diam di bawah atap (tatarub) yang tidak suci atau diragukan kesuciannya. Jika seorang Pinandita meninggal dunia tidak boleh dikuburkan. Yang paling penting dan harus selalu dilaksanakan adalah seorang Pinandita selalu memperdalam tentang Tattwa (filsalat) dan berpegang pada dharma (kebenaran dan kebijaksanaan). Demikian sekilas tentang sasana dan wewenang orang suci agama Hindu yaitu Pandita dan Pinandita. 

Referensi:

Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 86-94

0 Response to "Sasana dan Wewenang Orang Suci dalam Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel