Riwayat Singkat Orang Suci Agama Hindu

HINDUALUKTA -- Riwayat Singkat Orang Suci Agama Hindu. Telah diungkapkan bahwa banyak para Resi dalam agama Hindu yang berhasil menerima wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi. Hal ini penting diketahui oleh generasi pewaris agama Hindu itu sendiri. Para Resi tersebut di dalam agama Hindu yang paling sering disebut-sebut yakni tergolong ke dalam Sapta Resi inilah yang pertama kali menerima wahyu Veda. Ketujuh Resi (Sapta Resi) ini juga disebut pandita, menerima wahyu melalui Dewa Brahma, Sapta Resi menenima wahyu (Sruti) itu yaitu: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwada, Wasistha Kanta. Sekilas akan diuraikan tentang ketujuh para Maha Resi itu: Grtsamada, tentang sejarah kehidupan Maha Resi Grtsamada memang tidak banyak yang dapat diungkapkan, karena memang tidak banyak diketahui. Namun demikian Maha Resi Grtsamada telah berhasil menerima wahyu (sruti) tentang ayat-ayat suci Veda, yang kemudian dihimpunnya dalam Reg Veda terutama dalam mandala (II) dua. Wiswamitra, Maha Rsi Wiswamitra adalah maha resi yang kedua yang menerima wahyu. Wahyu ayat-ayat suci yang diterima itu kemudian dihimpun dalam Reg Veda pada mandala (III) tiga. Nama maha Resi Wiswamitra memang hanyak disebut-sebut dalam sejarah agama Hindu. 



Wamadewa, tidak jauh berbeda dengan Maha Resi Grtsamada, Maha Resi Wamadewa tidak banyak diketahui sejarah kehidupannya. Walau demikian di dalam cerita dikaitkan bahwa Maha Resi Wamadewa sejak berada dalam kandungan telah mencapai penerapan sempurna. Dalam cerita disebutkan bahwa Maha Resi Wamadewa semasih berada dalam kandungan ibunya telah berdialog dengan Dewa Indra dan Aditi, Maha Resi Wamadewa telah pula menerima wahyu (sruti) ayat-ayat suci Weda dan Ida Hyang Widhi yang kemudian telah mengimpun dalam Reg Veda pada mandala (IV) empat. 

Atri, Maha Resi Atri menerima wahyu Veda yang dihimpun dalam Reg Veda pda Mandala (V). Sejarah dan riwayat Maha Resi Atri tidak banyak diketahui.

Bharadwaja, nama Bharadwaja sebagai tokoh Maha Resi banyak disebut-sebut didalam Purana dan Ramayana (Ayodhya Kanda). Disebutkan bahwa Bharadwaja adalah putra Maha Resi Atri dan banyak dihubungkan riwayat hidupnya dengan Waliniki. Maha Resi Bharadwaja adalah termasuk maha resi yang telah menerima wahyu ayat-ayat suci Veda, yang kemudian dihimpun dalam Reg. Veda pada mandala (VI) enam. Sang Maha Resi ini disebutkan bersemayam di pertapaan Citrakuta dimana Rama dan Laksamana (dalam cerita Ramayana) pernah tinggal untuk sementara. Ia juga disebut bahwa Bharadwaja sebagai putra dari Brahaspati. Di samping nama Bharadwaja di atas, ada pula nama Bharadwaja sebagai putra Agrti, hal ini diuraikan dalam Wana Parwa (Mahabharata). Beliau keturunan Angira. Agaknya dari beberapa sumber dan pendapat, ternyata kita ketahui banyak nama tentang Bharadwaja. Tentu timbul pertanyaan, apakah nama itu menceritakan tokoh yang sama dalam situasi yang berbeda, atau dari nama tokoh yang berbeda-beda? Tentang hal ini memang agak sulit dan tidak mudah untuk menjelaskan secara tegas.

Wasistha, Maha Resi Wasistha telah juga menerima wahyu ayat-ayat suci Veda, Wahyu yang telah diterima itu kemudian dihimpun dalam ayat-ayat Reg. Veda pada mandala (VII) tujuh. Di dalam Mahabharata nama Maha Resi Wasista sama terkenalnya dengan nama Maha Resi Wiswamitra. Yang disebutkan kedua yaitu Maha Resi Wiswamitra dalam cerita Mahabharata disebutkan bertempat tinggal di tepi sungai Saraswati di hutan Kamyaka. 

Kanwa, Maha Resi Kanwa merupakan Maha Resi yang ketujuh yang banyak disebut namanya yang telah menerima wahyu dan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Wahyu yang telah diterima itu kemudian dihimpun dalam ayat-ayat Reg Veda mandala (VIII) delapan. Maha Resi Kanwa inilah yang ceritanya banyak disebut dalam kisah cintanya Sakuntala. Dimana pada cerita itu dikisahkan bahwa Resi Kanwa yang menunggui dan memelihara serta membesarkan bayi perempuan kecil yang nantinya dikenal dengan nama Sakuntala. Tentang ayat-ayat lainnya dalam Reg Veda, seperti pada mandala (I) satu merupakan kumpulan ayat-ayat yang turun dari berbagai keluarga Maha Resi. Wahyu itu dihimpun dan dipelihara oleh Maha Resi Sunalsepa, yakni putra angkat dari Maha Resi Wiswamitra dan Maha Resi Agastya serta Maha Resi Kaksiwan. Sedangkan Reg Veda mandala (IX) sembilan dan (X) sepuluh, atau bab terakhir terkenal karena dalam mandala ini hanya diungkapkan tentang dasar-dasar filsafat kerohanian. Ayat-ayat tersebut diturunkan melalui Bhagawa, Narayana, Prajapati dan Hiranyagabha, putra Prajapati. Selain Sapta Resi penerima wahyu Veda, ada juga beberapa Maha Resi yang dalam kehidupan agama Hindu. Dikenal dan disebut-sebut dalam kitab suci karena peran dan jasanva. Di antaranya adalah: Brgu, Agastya, Brahaspati, Tantular. Kuturan, Bharadah, Markandeya. Dwijendra, Astapaka, dan Wyasa.

Bhagawan Bhrgu, Bhagawan Bhrgu adalah salah seorang Maha Resi yang di dalam kitab Purana dianggap sebagai putra Brahma, dan sebagai pendiri dari warga atau bangsa Beliau yang di sebut bangsa Bhargawa. Tentang lahirnya Bhrgu banyak metologinya. Ada yang menyatakan lahir dan kulitnya Brahma, sedangkan di dalam Adi Parwa beliau dikatakan lahir dan api (Agni). Di samping Bhrgu sebagai keturunan Brahma, Bhrgu pula dikenal sebagai keturunan Waruna yang mulai ada pada zaman Wasiwasta Manwantara, dikenal dengan nama Waruni Bhrgu atau Waruna Putra. Disebut demikian karena dilahirkan pada saat upacara Waruna (Waruna Yoga). Sebagai kelompok keluarga Maha Resi, Bhrgu telah berumah tangga dengan mengawini Khyati dan telah pula mempunyai tiga putra dan seorang putri yakni Shata Widhata, Kawi dan Laksini, sebagaimana diuraikan dalam Wisnupurana.

Resi Agastya, dalam penyebaran agama Hindu Resi Agastya adalah sangat terkenal jasj-jasanya. Menurut pustaka Purana dan Mahabharata beliau lahir di Kasi (Beranes) sebagai penganut Siwa yang taat. Beliau merupakan atau sebagai pemegang obor dan pemberi penerangan suci seluruh pelosok. Beliau meninggalkan kota Kasi menuju ke selatan sebagai dharmaduta menyebarkan agama Hindu. Di India selatan Beliau dapat menaklukkan para Asura dan oleh karena ajaran-ajarannya dan dapat menjadikan daerah selatan tempat perkembangannya Dhanua. Kemudian nama beliau menyebar luas sampai ke India Belakang dan Indonesia sebagai penyebar agama Hindu. Di India Belakang nama beliau disebut dalam prasasti-prasasti. Di Indonesia dengan jelas disebut dalam prasasti Dinoyo di Jawa Timur pada abad VIII dibuat pelinggih untuk beliau. Oleh karena kebesaran dan kesucian Maha Resi Agastya, maka juga disebut Bhatara Guru sebagai perwujudan Siwa di dunia mengajarkan dharma. Di dalam sejarah agama hindu di Indonesia Maha Resi Agastya disucikan namanya di dalam prasasti-prasasti dan kesusastraan kuno. Yang paling dahulu sekali menyebut nama beliau adalah prasasti Dinoyo di Jaya Timur tahun Saka 682, dimana seorang raja bernama Gajayana membuat pura suci yang sangat indah untuk Maha Rsi Agastya dengan maksud untuk memohon kekuatan suci untuk menguasai kekuatan yang gelap. Di Porong (Jawa Tengah) prasasti tahun Saka 785 menyebutkan bahwa selama Matahari dan Bulan di Cakrawala dan selama dunia dikelilingi oleh empat samudra, selama dunia ini dipenuhi oleh hawa, selama itu ada kepercayaan kepada Maha Resi Agastya.

Di Bali didapatkan pemuliaan nama Resi Agastya sebagai saksi dan penganut sumpah-sumpah (Harichandana). Pemuliaan terhadap Bhatara Guni yaitu Maha Resi Agastya tidak hanya terbatas pada Bali, Jawa, Lombok saja tetapi juga di Sulawesi bagian Selatan, Kalimantan dan lain-lain. Mengingat usaha-usahanya dalam Dharmayatra ini maka istilah-istilah yang diberikan kepada Maha Resi Agastya diantaranya: 1. Agastya: artinya perjalanan suci yang tak kenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma, 2. Pitna Sagara artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan yang luas demi untuk Dharma.

Bhagawan Brhaspati, menurut beberapa kitab Purana, Bhagawan Brhaspati adalah putra Bhagawan Angirasa (Angira). Bhagawan Angira terkenal sebagai orang suci, Marasaputra atau diciptakan oleh Brahma melalui pikirannya. Nama-nama Marasaputa dan Dewa Brahma, antara lain Marici, Bregu, Angira dan lain-lain. Bhagawan Brhaspati semakin terkenal adalah karena beliau dikenal pula sebagai penasehat dari guru dan para Desa. Kepemimpinan Brhaspati kepada para dewa dikaitkan pula dengan timbulnya peperangan antara Dewa-Dewa melawan raksasa atau Asura. Asura mendapat guru dan penasehat dan seorang suci pula yaitu Bhagawan Sukra. Sebagai penghormatan terhadap Bhagawan Bhraspati, di dalam kitab Agni Purana bab 51 terdapat anjuran yang mengisyaratkan agar Bhagawan Bhraspati diarcakan dan ditempatkan dipersembahyangan atau candi-candi sebagai seseorang suci berkalung tasbih memegang pot air. 

Mpu Tantular, adalah seorang Resi yang tinggi pribadinya dan juga seorang pujangga besar Hindu. Hasil karyanya banyak tersebar, satu diantaranya yaitu Sutasoma. Karya ini menggambarkan bahwa Ida Sang Hyang Widhi adalah satu bukan dua, sekalipun ada yang mengatakan Siwa dan Budha. Bahkan dalam karya tersebut ada sebait syairnya menyuratkan: 

Rwaneka dhatuwinuwus bhuda Wiswa
Bhineka rakwa ringapan kena parwa nosen
Mangkang jiwattwa kalawan siwa tattwa tunggal
Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Artinya:

Tuhan itu dikatakan ada dua disebut Bhuda dan Siwa berbeda itu konon, namun kapan dapat dibagi dua, demikianlah kebesaran Siwa dan Budha adalah satu, berbeda sebutan tetapi tunggal itu tidak ada Tuhan yang dua. Jadi jelaslah bahwa kebenaran itu tunggal, tidak mendua. 

Inilah yang dimuliakan dalam sejarah agama Hindu dan menjadi keyakinan hidup, dan awal keyakinan kita bersama, keyakinan seluruh umat bersama.

Mpu Tantular adalah putra dari Mpu Bahula, cucu dan Mpu Bharadah yang saudara kandung dengan Mpu Kuturan. Mpu Tantular ini berputra empat orang yaitu Mpu Kanawawika, Mpu Asirnaranatha, Mpu Sidhimantra, dan Mpu Kepakisan, Mpu yang terakhir merupakan leluhur dari raja Dalem Waturenggong, kerajaan Gelgel di Bali. 

Mpu Kuturan, di dalam cerita Calon Arang, ada disebutkan seorang tokoh yaitu Mpu Kuturan. Beliau hidup di zaman kerajaan Erlangga. Mpu Kuturan ini memiliki saudara kandung yaitu Mpu Bharadah. Kedua Mpu ini adalah penasehat raja/Prabu Erlangga. Ketika kerajaan Erlangga mulai terjadi pertentangan, dimana nasehat Mpu Kuturan tiada didengarkan oleh para ksatria, maka beliau lalu mengadakan Dharma Yatra mengembara demi untuk kebesaran. Pengembaraan beliau akhirnya sampai ke Bali dengan melalui pesisir utara pulau Bali sampai ke ujung timur pulau Bali yakni padang Bai. Di sekitar Padang Bai diketahui sebuah pura berrnama Silayukti. Mpu Kuturan akhimya menetap di Bali dan di Pura Silayukti beliau meneruskan melakukan yoga. Ajaran dharma yang telah beliau miliki lalu disebarkan di Bali. Beliau menciptakan adanya pura yang disebut Kahyangan Tiga yaitu Pura Puseh, Pura Desa (bale agung) dan Pura Dalem. Ketiga sebagai perwujudan atau lambang dan Brahma, Wisnu dan Siwa. Ajaran agama Hindu terus menyebar luas sehingga meningkatlah kehidupan Dharma di Bali. Dalam Babad (cerita sejarah) diceritakan bahwa beliau meninggalkan dunia fana dengan mencapaimoksah di Bali yakni di pura Silayukti. Mpu Kuturan adalah maha resi yang besar jasanya bagi kehidupan dalam penyebaran agama Hindu di Bali. 

Mpu Bharadah, Mpu Bharadah adalah adik kandung Mpu Kuturan. Nama Mpu Bharadah sangat harum baik dalam tulisan-tulisan sejarah kehidupan agama Hindu di Nusantara. Mpu Bharadah sendiri pernah datang ke Bali. Hal ini dapat dibuktikan disebutnya nama Mpu Bharadah pada batu bertulis yang terdapat di Pura Batumadeg di Besakih tahun 1007. Mpu Bharadah terkenal pengetahuannya yang meliputi tiga zaman, yakni yang telah lewat, zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Dalam prasasti yang terdapat dalam area Mahashobya di Simpang, Surabaya, disebutkan antara lain “Yang mulia Bharadah, Mahaguru dan para pertapa dari para bijaksana yang terbaik yang dizaman bahari melalui latihan pengalaman mendapatkan pengetahuan yang sempurna dan mendapatkan Abhijana yaitu pengetahuan yang Parama.” Mpu Bharadah adalah Mahaguru dan para Yogin yang besar yang bebas dari keletehan yang diakibatkan dari ikatan duniawi. Dalain cerita Calon Arang, nama Bharadah kadang-kadang disebut Mpu Pradah. Beliau terkenal dalam sejarah membuat Negara Daha dari Kediri. Demikian tentang Mpu Bharadah. 

Dang Hyang Astapaka, Dang Hyang Astapaka adalah seorang pandita Budha yang datang dari Majapahit ke Bali. Beliau menyeberang dari Blambangan Jawa Timur dengan mengendarai perahu (jukung), menuju daerah Bali Timur. Dalam perjalanan beliau sempat singgah di pulau Serangan (di sebelah selatan Pulau Bali) di tempat mana kemudian didirikan sebuah pura bernama Pura Sakhyana yang berarti tempat Sakhyamuni atau budha. Pura tersebut hingga kini bernama Pura Sakenan. Dari Pulau Serangan kemudian beliau melanjutkan pelayaran ke arah Timur dan akhirnya menetap di suatu daerah bukit di Bali Timur (Karangasem) yang kini bemama Budha Keling.

Dang Hyang Markandeya, Dang Hyang Markandeya adalah orang yang pertama kali datang ke Bali untuk menyebarkan Agama Hindu, sebagai seorang pembaharu atau sang pionir dalam bidang Agama Hindu. Dang Hyang Markandeya adalah putra dari pasangan Sang Mrakanda dengan Dewi Manaswini, dan merupakan cucu dari Sang Niata. Beliau berasal dan Jawa Timur, memiliki Pasraman di kaki gunung Rawung yang sebelumnya melakukan pertapaan di gunung Raung wilayah sekitar pegunungan Dieng. Pegunungan Dieng terletak di pegunungan Dewata atau Jawata, sekarang dikenal dengan nama Pulau Jawa, Tepatnya di Jawa Timur. Kedatangan Dang Hyang Markandeya ke Pulau Bali pada mulanya bertujuan untuk membuka hutan demi kepentingan penduduk. Dem imewujudkan keinginan dan tujuannya itu, Dang Hyang Markandeya datang ke Pulau Bali dengan membawa pengikut sebanyak 400 orang. 

Mereka datang siap dengan segala peralatan untuk merabas hutan. Tiba di Bali, Dang Hyang Markandeya dengan seluruh pengikutnya memulai mewujudkan keinginan dan cita-cita luhurnya. Tapi sayang, keinginan tersebut tidak terwujud. Dalam pekerjaan perabasan hutan, banyak diantara pengikut Dang Hyang Markandeya meninggal dunia, banyak diantaranya dijangkiti penyakit, ada juga meningal akibat amukan binatang buas dan nyamuk-nyamuk hutan, serta binatang lainnya. 

Mengalami kegagalan seperti itu, Dang Hyang Markandeya tidak berputus asa. Sebagai orang sakti dan berjiwa besar, pekerjaan itu tidak dibatalkan, melainkan dihentikan untuk sementara waktu. Kemudian beliau kembali ke tanah Jawa. Di Jawa, Dang Hyang Markandeya berhasil mengumpulkan pengikut sebanyak 800 orang. Hampir semua pengikut itu dalam keadaan sehat walafiat, segar-bugar dan tampak lebih mantap, lebih mantap dilengkapi dengan perlengkapan kebutuhan hidup lainnya. Agaknya pengalaman menjadikan Dang Hyang Markandeya dengan segenap pengikutnya lebih berhati-hati. Setiba di Bali, Dang Hyang Markandeya tidak langsung merabas hutan, mereka terlebih dahulu melaksanakan suatu upacara selamatan. Mohon izin dan restu serta perlindungan dan Ida Sang Hyang Widhi, agar kegiatan merabas hutan direstui dan semua pengikutnya dalam keadaan selamat. Selesai upacara selamatan, barulah kegiatan merabas hutan dikerjakan, Dang Hyang Markandeya dan seluruh pengikutnya memulai merabas hutan dari arah utara terus ke selatan. Tidak ada rintangan yang begitu besar yang menghalangi kegiatan Dang Hyang Markandeya pada kedatangannya yang kedua. Kiranya Ida Sang Hyang Widhi telah memberikan restu dan keselamatan. Itulah kiranya sangat penting sekali dilakukan suatu upacara dalam melaksanakan suatu kegiatan. Ini agaknya yang tidak dilakukan oleh Dang Hyang Markandeya pada kedatangan beliau yang pertama di Bali, sehingga mengalami hambatan dan cobaan. 

Sesudah hutan-hutan berhasil dirabas, maka tanahnya dijadikan sawah-sawah, pekarangan dan lahan untuk perkebunan, semua dibagi-bagikan kepada masyarakat. Jugadiantaranya dibagikan kepada pengikut Dang Hyang Markandeya. Semenjak itulah terdapat sawah-sawah dan pemukiman penduduk seperti: Desa Payogan, Desa Puakan, Desa Taro, Desa Payangan dan yang Iain-lainnya. 

Semua nama itu ada kaitannya dengan kegiatan Dang Hyang Markandeya sewaktu beliau ada di Bali. Disebut Desa payogan karena beliau Dang Hyang Markandeya di tempat itu berhasil mempersatukan pikiran atau melakukan yoga. Ditempat ini terdapat sebuah  Pura yang bernama Pura Pecampuhan. Kemudian disebut dengan desa Pakuan. Karena ditempat ini beliau membagi-bagikan tanah kepada pengikut-pengikutnya. Di Desa Taro, ditempat ini Dang Hyang Markandeya mencapai maksud dan tujuannya. Di Desa Taro terdapat sebuah pura yaitu Pura Taro. 

Setelah sebagian cita-citanya Dang Hyang Markandeya berhasil, mencetak sawah, pekarangan dan membagi-bagikan kepada masyarakat dan pengikutnya, beliau tidak kembali ke tanah Jawa, Beliau mendirikan sebuah Pasraman yang diberi nama Pasraman Sarwada. Kemudian melanjutkan pembangunan dan Pasraman yang pertama, ke arah barat beliau berjalan dan mendirikan Pasraman yang baru yaitu Pasraman Murwa. Di Pasraman ini Dang Hyang Markandeya melakukan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi, sekaligus menyebarkan agama Hindu kepada seluruh masyarakat dan juga kepada seluruh pengikut beliau. Di tempat ini beliau mendirikan tempat pemujaan yang baru, yang pada mulanya diberikan nama Kahyangan Desa. Kemudian desa yang ada disekitarnya diberi nama Kahyangan desa, akhirnya menjadi Payangan seperti sekarang ini tempat di mana Dang Hyang Markandeya mengadakan upacara selamatan disebut Basuki. Agaknya dari kata Basuki menjadi Basukih yang selanjutnya menjadi Besakih, seperti yang sekarang ini yang ada yang kita warisi yaitu pura Besakih, pura terbesar bagi umat Hindu, baik di Bali  ataupun di seluruh Indonesia. Demikian keberhasilan Dang Hyang Markandeya mewujudkan cita-citanya di Pulau Bali, cita-cita dalam perjalanan suci. 

Keberhasilan Dang Hyang Markandeya tersebut mewuiudkan cita-citanya di daerah bali, maka seterusnya daerah tersebut disebut pulau Bali (Bali Pulina). Sementara pengikutpengikut beliau disebut Wong bali Aga, penduduk Bali yang pertama. Dang Hyang Markandeya adalah sosok Rsi yang mahagung dan berhati mulia. Sebagai seorang Rsi, Dang Hyang Markandeya tahu tugas dan kewajiban dari diri beliau yakni menyejahterakan rakyat lahir dan batin. Beliau tidak pernah berkeinginan menggerogoti hak miliki rakyat. Selain menciptakan lahan pertanian untuk mencapai kesejahteraan lahir, beliau juga memberikan bimbingan rohani, penyegaran batin kepada seluruh masyarakat dan pengikutnya. Mendidik mereka untuk memahami hakikat hidup yang sesungguhnya, bahwa di atas manusia masih ada kekuatan lain yakni Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang sangat menentukan atas keberadaan manusia. Demikian sekilas tentang perjalanan Dang Hyang Markandeya. 

Dang Hyang Dwijendra, Dang Hyang Dwijendra adalah seorang Pandita Hindu. Beliau sangat dihormati di Bali karena kesuciannya, keunggulan budinya, ketinggian rohaninya, karena jasa-jasa serta pengabdian beliau terhadap agama Hindu, memberikan kesejahteraan rohaniah dan mengatasi kesengsaraan hidup. Dang Hyang Dwijendra berasal dan Jawa Timur yakni kerajaan Majapahit. Dang Hyang Asirnaranatha adalah nama ayah beliau. Kemudian beliau berada di Daha. Kemudian beliau dijadikan menantu oleh Dang Hyang Penataran di Daha. Di Daha Dang Hyang Dwijendra mengadakan Dharma Yatra (perjalanan suci) ke arah timur menuju Pasuruhan. Di Pasuruhan beliau diambil menantu oleh Dang Hyang Panawasikan. Setelah itu beliau meneruskan perjalannya ke arah timur lagi. Sampailah beliau di Blambangan. Ketika itu di Blambangan sedang diperintah oleh seorang raja bernama Sri Juru. Dan dari Blambangan Dang Hyang Dwijendra meneruskan perjalannya menuju pulau Bali. Kedatangan beliau di Bali disambut gembira oleh masyarakat Bali dan juga para raja di Bali. Di Bali beliau diberi gelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Konon, kehadiran beliau di Bali dilatar belakangi oleh dua hal yaitu :
  1. Kewajiban “Dharma yatra” kewajiban untuk menyebarkan ajaran Dharma (agama Hindu) pada setiap daerah yang beliau lalui selama dalam perjalanan.
  2. Perselisihan dengan raja Blambangan yaitu Sri Juru, akibat kesalahpahaman. Tentang hal ini ceritanya sebagai berikut sebagai pendeta yang agung, Dang Hyang Dwijendra diliputi oleh keagungan. Keagungan yang meliputi beliau adalah konon keningratnya berbau harum. Bau harum itu dapat melekat pada setiap orang atau benda yang lain bila tenjadi sentuhan. 
Pada suatu ketika salah seorang istri Sri Juru tergila-gila kepada Dang Hyang Dwijendra. Sri Juru beranggapan bahwa Dang Hyang Dwijendra telah memasang gunaguna kepada istrinya. Hal ini menimbulkan salah paham antara Sri Juru dengan Dang Hyang Dwijendra. Karena salah paham inilah Dang Hyang Dwijendra meninggalkan Blambangan menuju ke Bali. Tak lama kemudian, setelah perginya Dang Hyang Dwijendra ke Bali, Blambangan digempur oleh Dulang Mangap Bali di bawah pimpinan Patih Ularan. Dulang Mangap adalah nama Bhayangkara Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (Bali). Pertempuran sengit dan terus terjadi, ketika pertempuran itu, Sri Juru dikalahkan dan langsung gugur. Leherya dipenggal oleh Patih Ularan. Gugurnya Sri Juru ini sebagai terkena kutuk dari orang pendeta suci yaitu Dang Hyang Dwijendra. 

Dalam perjalanan Dang Hyang Dwijendra ke Bali, beliau melewati atau menyeberangi “Sagara Rupek”, laut sempit yang menghubungi ujung timur pulau Jawa dengan daratan pulau Bali. Dalam penyeberangan ini beliau disertai istri-istri dan tujuh orang putra. Dang Hyang Dwijendra menyeberang memakai ‘mengendarai “Waluh” sedang istri dan putra-putra beliau diangkut dalam sebuah perahu tradisional “jukung” yang bocor. Karena kesucian beliau Dang Hyang Dwijendra, perjalanan menyeberangi lautan itu berhasil dengan selamat sampai tempat tujuan. Mendaratlah beliau dengan istri dan anak di pantai Purancak, Jembrana. 

Di Purancak yakni sebuah desa, beliau berjumpa dengan seorang penggembala, kemudian pengembala ini memberikan petunjuk jalan arah ke timur kepada Dang Hyang Dwijendra. Perjalanan arah timur ini agaknya dihabisi oleh hutan-hutan lebat. Pada belantara ini beliau jumpai banyak binatang hutan; kera-kera sedang bergelantungan pada dahan kayu, burung-burung bernyanyi riang, auman binatang buas lainnya dan sebagainya. Dalam perjalanan itu, beliau menemukan seekor naga raksasa, sangat besar dan memenuhi jalanan. Mulutnya mengaga lebar Dang Hyang Dwijendra yang dengan tidak ragu-ragu masuk ke mulut ular itu, di dalam perut naga beliau menemukan bunga teratai. Kemudian bunga itu dipetik dan dibawa kembali keluar dari mulut naga itu, kejadian aneh terjadi. Tubuh Dang Hyang Dwijendra menadi hitam legam. Melihat kejadian ini, istri dan putraputra beliau pada lari tunggang-langgang. Namun beberapa saat setelah dikumpulkan oleh Dang Hyang Dwijendra ada satu putri beliau yang tak ditemui. Putri beliau yang pertama bernama Ida Ayu Swahhana hilang dan konon dipuja sebagai Dewa Melanting, yang luput dari usia tua dan kematian. 

Beliau meneruskan perjalanan menuju arah timur, kemudian singgah di desa Gading Wani. Di Desa ini Dang Hyang Dwijendra berhasil menyucikan Badesa Gading  Wani. Setelah tugas itu selesai, perjalanan beliau diianjutkan. Untuk sementara waktu Dang Hyang Dwijendra menetap di Kemenuh (wilayah Kecamatan Blahbatuh Gianyar). Pangeran Mas yang letaknya agak dekat dengan beliau, mendengar kemasyuran dan kesucian Dang Hyang Dwijendra, lalu Pangeran Mas memohon agar Dang Hyang Dwijendra sudi datang ke Mas. Pendeta suci itu tak menolak, bahkan beliau menyucikan Pangeran Mas. 

Pada waktu itu di keraton Swecapura (Gelgel Klungkung) bertahta raja Dalem Waturenggong. Beliau juga mendengar kemasyuran dan kesucian Dang Hyang Dwijendra, untuk datang ke Gel-Gel. Namun sebelum Gelgel, Ki Gusti Panulisan Dauh Baleagung memohon agar disucikan oleh Dang Hyang Dwjendra. Setelah disucikan haruslah Ki Gusti Panulisan Dauh Baleagung kembali bersama Dang Hyang Dwijendra. Perjalanan tidak langsung menuju Swecapura, tetapi harus ke Padang (Karangasem) karena saat itu Dalem Waturenggong berada di sana. Beberapa pembesar kerajaan dan rakyat sedang berada di sana untuk berburu dan menangkap ikan di laut. Dalem Waturenggong sangat marah kepada Ki Gusti Penulisan Dauh Baleagung karena terlambat kembali. Kemarahan itu sima setelah Dang Hyang Dwijendra bekata dengan lembut, “Sanghyang Dharma tidak boleh marah”. yang dimaksud dengan Sang Hyang Dharma oleh Dang Hyang Dwijendra adalah Dalem Waturenggong. Dang Hyang Dwijendra melihat Dalem Waturenggong tidak memperoleh satu pun buruhan. Beliau sangat kasihan melihat Dalem waturenggong. Dengan kesucian dan kesaktian yang dimiliki Dang Hyang Dwijendra kemudian mengucap mantra-mantra untuk memanggil binatang-binatang dan juga ikan di laut. Jala kemudian dipasang, ikan mulai merambat, binatang mulai mendekat dan sebagian terjerat. Itulah kehebatan Dang Hyang Dwijendra, dan kemukjizatan dari mantra yang diucapkan. Dalem Waturenggong sangat kagum sekali kepada Dang Hyang Dwijendra, sangat senang selain kesuciannya juga kesaktian, kepandaian sang Pandita suci itu. Keesokan harinya rombongan kerajaan bersama dengan Dang Hyang Dwijendra kembali ke keraton Swecapura (Gelgel). 

Dalam perjalanan pulang dari Padang ke Swecapura, rombongan harus menyeberangi sungai (tukad) Unda. Kebetulan sungai Unda saat ini sedang banjir besar. Pimpinan rombongan yang berada paling depan menghentikan perjalanan. Kemudian sang pandita suci itu bertanya, ‘Kenapa perjalanan dihentikan?”. “Hamba mohon ampun sang pendeta, air sungai sedang banjir besar.” demikian jawab pimpinan rombongan. Mendengar hal itu, kemudian Dang Hyang Dwijendra mengucapkan mantra-mantra dan memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi agar semua rombongan dapat dan bisa melewati sungai dengan selamat. Setelah itu Dang Hyang Dwijendra mencambuk kudanya menyeberangi sungai Unda. Akhimya semua rombongan bisa menyeberang, dapat melintasi sungai Unda yang sedang banjir itu. Demikian Dang Hyang Dwijendra telah memperlihatkan kebaikannya terhadap raja Dalem Waturenggong, Sang Raja semakin kagum dan penuh hormat. Tiba di Keraton Swecapura, kekaguman sang raja diperlihatkan dari perlakuan dan sikap sang raja terhadap pendeta suci itu. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu sang raja beranggapan bahwa Dang Hyang Dwijendra, pendeta suci itu adalah guru yang tepat untuk bersuci dan memohon pelajaran. Semenjak itu, Dalem Waturengong sangat rajin bersuci dan pada hari-hari tertentu seperti Purnama dan Tilem. Dengan demikian bertambahnya kesucian itu, semakin bertambah pula kasih sayang Tuhan kepada diri beliau. Hal ini terbukti dari kegiatan belajar kerohanian dan pembersihan diri itu, kesucian Dalem Waturenggong semakin bertambah. Dengan semakin bertambahnya kesucian itu, semakin bertambah pula kasih sayang Tuhan kepada diri beliau. Hal ini terbukti dengan berhasilnya Dalem Waturenggong meluaskan kerajaan, daerah kekuasaannya.

Sebagai seorang pendeta suci Dang Hyang Dwijendra berkewajiban untuk menyebarkan ajaran yang dimiliki, Demikian juga tujuan dari dharma yatra yang dilaksanakan adalah untuk menyebarkan ajaran kebenaran (dharma). Oleh karena itu, salah satu upaya untuk membangkitkan kesadaran beragama dan mempercepat proes penyebaran agama, Dang Hyang Dwijendra banyak membangun tempat suci (Pura) di Bali. Pura yang dibangun selama penjalanan suci Beliau di Bali antara lain, Pura Purancak dan Rambutsiwi di Negara-Jembrana, Pura Pulaki di Singaraja, Pura Pantai Klotok di Klungkung, Pura Masceti di Gianyar, Pura Ulu watu dan Petitenget di Badung, Pura Tanah Lot di Tabanan, Pura Air Jeruk di Gianyar, dan Pura Ponjok Batu di Singaraja. Melalui pura-pura itu diharapkan masyarakat Bali yang mengakui ajaran Hindu dapat menyatakan rasa baktinya kepada Sang Hyang Widhi. 

Karena banyaknya kegiatan yang dilaksanakan, demikian pula banyaknya pengabdian usaha penyebaran ajaran Hindu di Bali, masyarakat Dang Hyang Dwijendra diberi gelar atau julukan. Gelar Pendanda Sakti Wau Rauh, ini memiliki latar belakang. Pada waktu beliau menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Desa Gading Wani, ditemukan seluruh penduduk desa Gading Wani sedang dilanda wabah penyakit. Menyaksikan hal ini jiwa welas asih beliau terketuk. Beliau lalu menolong penduduk desa tersebut dengan memberikan “Sepah”-nya. Ternyata dengan sepah itu penduduk desa Gading Wani terbebas dan wabah penyakit. Karena kemukjizatan itulah gelar tersebut disandangnya. 

Dang Hyang Dwijendra juga dijuluki Dang Hyang Nirarta. Tentang hal ini konon ceritanya begini, sebagai pendeta yang suci dan agung, dalam setiap usaha dan kegiatan yang dilaksanakan, demikian juga menolong masyarakat seperti di desa Gading Wani, membangun Pura, Dang Hyang Dwijendra tidak pernah meminta upah atau artha dari masyarakat setempat. Melainkan apa yang dikerjakan adalah sebagai kewajiban dharma (dharma agama). Apa yang beliau kerjakan adalah untuk pengabdian yang suci dan tulus iklas kepada agama dan masyarakat. ltulah sebabnya beliau dijuluki Dang Hyang Nirartha (Nir = tanpa artha benda kekayaan). Betapa sucinya perbuatan beliau itu. 

Selain sebagai penyebar agama, Dang Hyang Dwijendra adalah juga seorang sastrawan. Banyak karya-karya yang beliau hasilkan berupa karya sastra berbentuk tembang (puisi) maupun gancaran (prosa). Diantara karya-karya beliau itu antana lain Gegutuk menur, Sara Kusuma, Ampik Legarang, Mahisa Langit, Dharma Pitutur, Mahisa Megat kung, Ewer, Dharma Putus, Usana Bali, Widhisastra, dan Nitisasira. Karya-karya sastra beliau itu disamping indah juga sarat dengan makna dan ajaran. Napas agama Hindu jelas nampak termuat di dalamnya. Bisa dipahami karena beliau adalah seorang agamawan sejati yang suci. Agaknya disadari oleh Dang Hyang Dwijendra sebagai salah satu upaya penyebaran dan penanaman ajaran Hindu di hati masyarakat. Bahkan satu upaya yang agaknva dapat meneruskan/mentransformasikan nilai-nilai Hindu kepada generasi penerusnya. Memang terbukti keuniversalan nilai ini sampai pada zaman globalisasi. 

Dang Hyang Dwijendra juga terkenal sebagai cikal-bakalnya wangsa Brahmana di Bali, terutamanya Brahmana Siwa. Brahmana yang dimaksud antara lain Brahmana Kemenuh, Brahmana Manuaba, Brahmana Keniten, Brahmana Mas dan Brahmana Antapan. Pembagian golongan brahmana ini memiliki cerita terdiri seperti berikut pada waktu Dang Hyang Dwijendra mengadakan dharma yatra dari Majapahit ke Daha beliau diambil menantu oleh Dang Hyang Penataran. Perkawinan ini melahirkan Brahmana Kemenuh. Kemudian dari Daha, beliau melanjutkan perjalanan ke Pasuruhan. Disini beliau kawin dengan seorang Brahmana, putra Dang Hyang Panawasikan. Hasil perkawinan ini menghasilkan Brahmana Manuaba. Dari Pasuruhan terus melanjutkan ke Blambangan. Di Blambangan beliau kawin dengan seorang putri golongan ksatria. Perkawinan ini melahirkan Brahmana Keniten. Setelah beliau berada di Mas, Ki Bendesa Mas mempersembahkan putri kepada Dang Hyang Dwijendra sebagai punia. Punia ini diberikan karena beliau telah berhasil menyucikan Bendesa Mas. Perkawinan ini melahirkan Brahmana Mas. Terakhir adalah beliau diberi persembahkan pembantunya yang cantik dan baik. Pembantu ini juga diambil istri, dan perkawinannya melahirkan Brahmana Antapan. Demikian konon ceritanya. 

Dang Hyang Dwijendra tidak saja melakukan Dharma Yatra di Bali. Setelah berhasil mendirikan beberapa Pura dan mengarang beberapa buah karya sastra dan agama sebagai sarana untuk penyebaran agama Hindu, beliau meneruskan perjalanan ke Lombok. Tidak jauh berbeda, di Lombok beliau mendirikan sebuah asrama di Suranadi. Dan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi, beliau juga mendirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Suranadi. Di situlah beliau menyerukan dan menyebarkan ajaran-ajaran kebenaran dengan tidak mengenal lelah. Penduduk setempat banyak yang datang berguru kepada beliau, sehingga beliau banyak memiliki “sisya” dan hingga kini penganut Hindu banyak tersebar di pulau Lombok. Ajaran-ajaran agama, ajaran-ajaran kebenaran yang beliau ajarkan ibarat obat yang dapat menyembuhkan jiwa yang sakit, ibarat air kehidupan (Amerta) bagi jiwa yang kekeringan. Dengan ajaran itu penduduk setempat memperoleh kesehatan jiwa/penyegaran rohani oleh karena itulah beliau diberi gelar Pan geran Sangupati. 

Dari Lombok beliau meneruskan perjalanan sucinya ke arah timur menuju pulau Sumbawa. Di sini pula beliau tak henti-hentinya memberikan pertolongan dan menyehatkan rohani kepada penduduk dengan mengajarkan ajaran kebenaran. Ajaran Dharma yang bersifat universal, mengandung hakikat hidup yang sebenarnya, termasuk juga praktik agama yang harus dilakukan. Tidak saja filsafat dan pengisian rohani, tetapi juga praktik dan keterampilan hidup. Oleh karena ajaran-ajaran yang tinggi itu, kemudian Dang Hyang Dwijendra mendapat gelar Tuan Semeru. Sampai di Sumbawa beliau tidak lagi meneruskan perjalanan suci ke Timur, melainkan kembali ke Pulau Bali. Di Bali aktivitas beliau diteruskan. Dan sampai akhimya beliau mencapai “Moksa” di Uluwatu (Badung). Yang dikenal dengan Pura Uluwatu sekarang, demikian sekilas kisah Dang Hyang Dwijendra.


Referensi:

Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 94-106

0 Response to "Riwayat Singkat Orang Suci Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel