Pengertian dan Fungsi Tempat Suci (Pura) Agama Hindu

HINDUALUKTA -- Pengertian dan Fungsi Tempat Suci (Pura). Umat beragama Hindu di Indonesia memiliki tempat-tempat suci, yang disebut dengan Pura. Pura bagi umat Hindu memiliki arti dan fungsi yang sangat penting, yaitu tempat untuk memuja Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dengan segala manifestasinya, baik secara pribadi ataupun di dalam kehidupan kelompok sosial masyarakat, atau tempat umat mendekatkan dirinya dengan sang pencipta yakni Tuhan itu sendiri. Selain itu, adalah juga tempat dialog/komunikasi sosial masyarakat, tempat pesaksian atas suatu aktivitas, dan sebuah lembaga pendidikan non formal dalam mengasah dan mendidik calon-calon pemimpin masyarakat. 



Tempat suci (Pura) yang menitipkan sarana dan kebutuhan mutlak umat Hindu ini, pembahasannya meliputi antara lain :
  1. Pengertian dan fungsi tempat suci (Pura).
  2. Struktur dan proses membangun tempat suci (Pura).
  3.  Macam bentuk bangunan suci dan pengelompokkan tempat suci (Pura)
Agama Hindu adalah agama yang tertua di atas bumi ini, agama yang telah diakui kehadirannya oleh dunia telah banyak mewariskan peradaban yang bernilai luhur, baik berupa warisan kebudayaan, tatanan kemasyarakatan maupun nilai-nilai mental spiritual yang tinggi yang bersifat universal dan “Sanatana Dharma”. Semua nilai ajaran, wujud budaya dan tatanan keagamaan tersebut telah dijadikan pedoman oleh umat Hindu di Indonesia di dalam mengamalkan ajaran agama Hindu itu sendiri dalam kehidupan seharihari. Dijadikan sarana untuk lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta, yakni Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). 

Mengerti, memahami dengan baik makna, pengertian, fungsi, struktur, proses pembangunannya serta jenis pengelompokkannya, akan lebih mudah dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama Hindu secara baik dan mantap dalam kehidupan sebagai umat Hindu sehari-hari. Terlebih lagi dalam perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin meluas dan mendunia. Mempelajari pembahasan dalam pedoman ini diharapkan dapat memberikan petunjuk untuk memahami hakikat kebenaran dan ajaran Hindu itu sendiri secara umum, kemudian peranan dan fungsi tempat suci Hindu (Pura) khususnya secara bulat dan utuh serta komplit, dalam arti tidak hanya diketahui dari satu sisi atau segi saja. Melalui pemahaman yang lebih luas dan menyeluruh diharapkan tidak terjadi dalam pemahaman dan persepsi yang keliru terhadap ajaran agama Hindu dengan segala aspeknya, termasuk peranan dan fungsi tempat suci (Pura) tersebut. 

Pengertian dan Fungsi Tempat Suci (Pura)

Istilah Pura yang dipakai sekarang sebagai nama tempat suci umat Hindu, berasal dari bahasa Sansekerta yang pada mulanya berarti sesuatu yang dikelilingi oleh tembok. Pura kemudian bermakna ‘benteng, kota, kerajaan, istana’. Dalam bahasa Jawa Kuna tidak jelas perbedaan antara pura dengan puri. Kedua kata itu bermakna seperti tersebut di atas. Sangat berbeda artinya di dalam bahasa Bali. Pura adalah berarti tempat suci sedangkanpuri berarti istana raja. Namun dalam kaitan ini selanjutnya dipakai pengertian seperti tersebut terakhir di atas, yakni sebagai tempat suci, dipergunakan istilah Kahyangan atau Parhyangan. 

Orang suci yang mengajarkan tentang Pura dan mendirikan Pura Pertama kali khususnya di Bali dalam bentuk maupun susunannya seperti yang ada sampai sekarang ini adalah seorang pujangga dan seorang Maha Rsi yaitu bemama Empu Kuturan. Hal ini terjadi sekitar abad ke sebelas (Xl). Disebutkan bahwa masa pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur (1019-1042) datanglah Empu Kuturan ke Bali dari Jawa Timur. Di Bali beliau mengajarkan perihal membuat Parhyangan atau Kahyangan Desa, baik yang disebut Sad Kahyangan maupun Kahyangan Jagat. Bali pada waktu itu diperintah oleh raja Marakata yaitu adik kandung raja Airlangga. Pada zaman Bali Kuno sebelum kedatangan dinasti Dalem ke Bali, istana raja disebut Keraton atau Kedaton. Kemudian semenjak pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan di Bali, istana raja bukan lagi disebut Keraton atau Kedaton melainkan Pura. Penggunaan nama pura sebagai istana raja seperti misalnya: Keraton Dalem di Samprangan yang disebut Linggarsapura, Keraton di Gelgel disebut Swecapura, Keraton di Klungkung bemama Semarapura, di Badung disebut Bandanapura dan di Mengwi disebut Kawyapura, dan yang lainnya. 

Penggunaan kata Pura sebagai nama tempat suci umat Hindu dipakai setelah dinasti Dalem yang berkeraton di Klungkung. Dalam hubungan ini kata pura yang berarti istana raja atau Keraton atau rumah pembesar ketika itu diganti dengan kata Pura. Selanjutnya kata Pura dipakai sebagai istilah untuk tempat suci. Selain Empu Kuturan, ada pula seorang tokoh agama Hindu, Pendeta suci agama Hindu dan Jawa Timur yang banyak jasanya dalam penyebaran ajaran agama Hindu dan dalam hal Kahyangan atau Parhyangan, yaitu Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirartha, yang sering juga dijuluki Pedanda Sakti Wau Rauh, Pangran Sangupati, Pedanda Sakti, Maha Rsi yang maha agung ini datang ke Bali pada abad keempat belas (XIV) pada masa pemerintahan raja Dalem Waturenggong (1460-1550) selama di Bali, Pedanda Sakti yang juga mengadakan Dharma Yatra ke Lombok dan Sumbawa (di Sumbawa beliau diberi gelas Tuan Semeru) banyak mendirikan tempat suci pura. Pura yang dibangun di Bali hampir menyebar keseluruh kabupaten yang ada, diantaranya adalah Pura Purancak dan pura Rambut Siwi di Negara Jembrana, Pura Pulaki di Singaraja, Pura Batu Klotok di Klungkung, Pura Masceti di Gianyar, Pura Luhur Uluwatu dan Pura Petitenget di Badung, Pura Tanah Lot di Tabanan, Pura Air Jeruk di Gianyar dan juga Pura Ponjok Batu di Singaraja. Demikian juga di Lombok beliau mendirikan sebuah pura yang bemama Pura Suranadi. 

Disamping pura-pura tersebut dan juga konsepsi Pura Kahyangan, Dang Hyang Dwijendra juga mengajarkan membuat pelinggih (bangunan suci) berupa Padmasana, yang kemungkinan besar pada zaman itu belum ada dan sampai kini pelinggih Padmasana adalah sthana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Meskipun istilah Pura sebagai tempat suci dan pemujaan terhadap Tuhan berasal dan zaman yang tidak begitu tua, namun prinsip dasar sudah ada jauh pada zaman sebelumnya. Pura sebagai tempat pemujaan konsepsinya sudah dikenal sejak zaman neolithikum dan kemudian berkembang pada jaman megalithikum yaitu sebelum kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia. Tempat pemujaan pada jaman itu adalah berupa punden berundak-undak yang menyerupai bentuk gunung. Gunung dianggap sebagai tempat suci, tempat roh leluhur dan para Dewa-dewa. Kemudian berkembang bersama dengan berkembangnya Kebudayaan Hindu di Indonesia. Terjadilah akulturasi kebudayaan antara kebudayaan Indonesia Purba dengan kebudayaan Hindu. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci atau alam roh leluhur sejalan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap bahwa gunung sebagai alam dewata. Akulturasi (perpaduan) dua unsur kebudayaan tersebut maka timbullah pandangan bahwa gunung di samping sebagai tempat roh leluhur juga sebagai alam Dewa-dewa. Berdasarkan jalan pikiran yang demikian itu, maka timbullah pengertian bahwa Pura adalah simbol dari gunung, konsep kesemestaan. 

Dalam perkembangannya yang terakhir, Pura tegasnya adalah sebuah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala manifestasinya, dengan segala perwujudannya dan Bhatara-Bhatara atau roh suci, leluhur bagi umat Hindu. Tempat suci dan juga tempat sujud umat Hindu di Indonesia. Sesungguhnya apa yang disebut Pura memiliki arti dan makna yang sangat dalam. Pura sebagai tempat suci, demikian pula seperti Pati, Pamrajan, Padharman, Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan dan yang lainya adalah bagian penting dan suatu “tubuh” masyarakat. Tempat-tempat seperti itu tidak saja memiliki kedudukan yang penting tetapi juga memiliki  fungsi yang sentral bagi dinamika kehidupan masyarakat dimaksud, baik kebudayaan dan peradaban masyarakat tersebut. Terkait dengan itu, dalam konsepsi Tri Hita Karana hal tersebut akan terlihat dengan jelas, hubungan manusia dengan Sang Pencipta (Tuhan), hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam lingkungan lainnya. Telah diuraikan bahwa Pura adalah tempat suci, Pura juga berarti tempat persujudan (tempat sujud) atau tempat persembahyangan. Pura adalah tempat menghadap Sang Pencipta manusia yakni Tuhan, tetapi juga tempat memohon berkat dan rahmat, wara nugraha dari Ida Sanghyang Widhi Wasa, tempat sujud lahir dan batin. Oleh karena itu, Pura adalah tempat yang sangat suci. Pura senantiasa dijaga kesuciannya, selalu dihormati oleh umat pemeluknya. Oleh karena itu ada larangan bagi orang yang “kotor” (Baca Sebel, Cuntaka) untuk masuk ke Pura. Dalam keadaan Sebel, umat dilarang untuk masuk ke Pura, misalnya “Kotor” dalam diri sendiri yakni haid, mentruasi, dan sebagainya. Demikian pula “kotor” yang disebabkan dan luar diri sendiri yakni masih dalam suasana berkabung karena ada kematian, karena wanita bersalin, karena wanita keguguran kandungan, karena sakit kelainan, karena perkawinan, karena gainia gamana, karena orang melakukan Sad Atatayi, karena bersetubuh dengan binatang, karena wanita hamil tanpa perkawinan yang sah secara agama, karena orang lahir tanpa upacara perkawinan dan karena nyolong semara dan yang lainnya sesuai dengan keputusan kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu. Berkata-kata tiada sopan, juga dilarang di dalam Pura. Pada setiap hari Kliwon atau Purnama Tilem, termasuk juga pada waktu piodalan dan hari-hari besar keagamaan lainnya (hari suci dan hari raya), sebelum umat bersembahyang ke Pura, umat diwajibkan mandi DAN berkeramas terlebih dahulu. Kebersihan dan kesucian Pura memang senantiasa dijaga oleh umat Hindu, karena bagi umat Hindu masalah kesucian adalah hal yang tak teinilai harganya. 

Karena agama pada hakikatnya adalah juga bertujuan untuk menyucikan diri umatnya (pullcation of live) maka peranan Pura semakin penting di samping unsur-unsur atau aspek-aspek agama lainnya. Maka dalam konteks ini Pura dapat juga dikatakan sebagai “spiritual centre” atau pusat rohani; tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi, dan juga tempat mengadakan renungan-renungan suci, renungan-renungan kerohanian. Pura itu memang benar-benar tempat yang suci. Jika Pura itu hanya sekedar tempat bersembahyangan saja, kiranya tidak perlu membangun Pura dengan bentuk bagus dan indah. Pura adalah tempat sujud jiwa raga kepada Ida Sang Hyang Widhi. Sujud dalam arti kata patuh dan taat, merendahkan diri dan setia. Siap sedia menjunjung serta menjalankan segala perintah, nasehat, petunjuk ajaran-Nya. Dan menjauhkan segala larangan-laranganNya pada setiap segi kehidupan kita, pada tiap denyutan dan tarikan napas serta dimanapun kita berada. Pura adalah tempat sembahyang, tempat menghambakan diri, dan mendekatkan diri yang fana ini kepada Ida Sang Hyang Widhi, Maha pencipta yang kekal dan baka itu. 

Di Pura adalah tempat memupuk serta memelihara ingatan umat kepada Ida Sang Hyang Widhi yang Maha Tunggal itu. Sungguh besar jasa dan peranan Pura bagi umat Hindu, dari zaman ke zaman, dari abad ke abad, berjasa tidak hanya dari segi batin, tetapi juga berjasa dalam segi sosial ekonomis. Secara tradisional Pura ternyata adalah juga sebuah “lembaga sosial” yang antara lain dapat mengembangkan dan membina nilai solidaritas, nilai kebersamaan. Nilai solidanitas inilah merupakan salah satu nilai penting bagi kualitas pertumbuhan masyarakat. 

Memang secara nasional dengan landasan ideologi Pancasila sesungguhnya kita ingin membangun masyarakat yang sosial religius. Dan lembaga-lembaga tradisi yang ada di Bali, termasuk Pura adalah lembaga yang dibangun untuk membangun dan mewadahi masyarakat yang sosial religius tersebut. Pura adalah tempat beribadah, tempat manusia mendekatkan dirinya kepada Ida Sang Hyang Widhi. Pura adalah tempat manusia mengabdi dan berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, tempat memohon dan bersujud kehadapan Yang Maha Pencipta. Di Puralah tempat manusia mempersatukan dirinya kepada Tuhannya, tempat memohon pertolongan, tuntutan dalam hidupnya ke arah jalan yang benar dan tepat serta memohon ampun atas segala dosa lahir dan batin. Di kala manusia duka atau riang gembira, dia datang ke Pura dan di saat manusia kecewa, mengalami penderitaan, kesakitan dan keperihatinan hidup, patutlah datang ke Pura. Di Pura jiwa akan merasa segar kembali untuk menghadapi beraneka perjuangan hidup dan kehidupan ini. 

Dilihat dari dimensi budaya, Pura sesungguhnya juga merupakan “pusat budaya”. Karena rasa estetis, rasa menghargai keindahan akan terus dipupuk oleh aktivitas budaya yang dilakukan dalam kegiatan upacara di Pura. Aktivitas budaya tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari segala aktivitas keagamaan. Nilai estetis atau nilai seni memang benar-benar dibina dan dikembangkan dalam aktivitas keagamaan di Pura. Suara gamelan dan kidung-kidung suci, warna-warna bunga dan berbagai macam bentuk sesajen, bangunan atau arsitektur pura dengan segala ukiran-ukirannya, malah seluruh bangunan Pura adalah sesuatu “barang” seni, suatu estetika, demikian pula warna-warna kain sebagai penghiasnya. 

Memang kita ketahui, bahwa para seniman Hindu mempunyai pandangan bahwa seni adalah persembahan. Maka apabila mereka mendapat kesempatan mewujudkan rasa seninya di Pura, mereka pun mewujudkannya secara maksimal karena mereka ingin mempersembahkan sesuatu yang terbaik. Seni memang telah manunggal dengan aktivitas keagamaan di Bali, terlebih lagi dalam aktivitas keagamaan di Pura; seni suara, seni tari, seni lukis, seni pahat, seni sastra dan yang lain adalah integrated dengan aktivitas keagamaan agama Hindu. Ketika Piodalan segenap umat Hindu berkumpul di Pura, mereka membicarakan, mempersoalkan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang menyangkut kepentingan bersama. Di Pura mereka mempunyai kesempatan untuk bertukar pikiran, saling mengenal satu dengan yang lainnya. Pura adalah tempat pelipur duka lara, tempat menunjukkan segala isi hati atas peristiwa yang menimpa dirinya kepada Tuhan. Dengan pergi ke Pura terasa lebih dekat dengan Tuhan, akibatnya hati merasa terhibur karena bergaul dan berkumpul dengan sahabat dan kawan. Di Pura juga tempat para filosof dan pujangga memohon inspirasi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab dikala pikiran tidak mampu lagi menuangkan segela gagasan yang baik tentang rahasia alam, akhimya Pura menjadi tempat untuk mendapatkan inspirasi baru. 

Dalam berbagai sumber disebutkan bahwa seni yang tertuang dalam beberapa karya estetis, adalah suatu jalan penyucian dan jalan pembebasan bagi umat Hindu. Dalam membangun sebuah Pura, seluruh komponen pembangunan adalah sebuah wujud persembahan. Dengan persembahan itu mereka merasa terbebaskan. Semua pikiran tertuju pada arah kesucian dan menuju Tuhan. Dalam seni sastra hal ini sangat nyata tersuratkan dalam bagian akhir perkawinan Ramayana, seperti berikut: 

Sang yogiswara sista sang sujana suddha munahira huwus mace sira, byakiawas ucapantan ring julung adhomukha pinaka niinittaning lepas. (Sang Yogiswasra semakin bahagia, sang sujana semakin suci pikirannya setelah membaca karya sastra ini, tentu jelas pandangannya terhadap baik dan buruk sebagai jalan mencapai kelepasan). 

Seni dalam agama Hindu memang jalan untuk mencapai ananda. Kebahagiaan yang tertinggi. Dari uraian tersebut, kiranya sudah jelas bagi kita bahwa Pura memang seharusnya memiliki kualitas estetis, kualitas keindahan. Dengan Demikian rasa indah, rasa estetis terbina apabila kita berada di Pura, rasa yang menyusup jauh ke dalam hati. Satu aspek lagi fungsi Pura yang tidak terlepas dari sosiokultural kehidupan umat Hindu adalah dijadikannya Pura sebagai tempat aktivitas pendidikan scara tradisional. Pendidikan dalam arti yang sedalam-dalamnya. Para Pandita sering “mengajarkan” sesuatu kepada siswanya di sebuah areal Pura. Dalam peristiwa lain Pura juga dipakai sebagai tempat aktivitas “mapapaosan”, diskusi keagamaan (Dharma Tula) dan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan metode pembinaan umat Hindu yang dipakai oleh PHDI Pusat yang dikenal dengan Sad Dharma (Dharma Wacana, Dharma Gita, Dharma Tula, Dharma Sruti, Dharma Sedana, dan Dharma Yatra). Semua itu sesungguhnya adalah kegiatan pendidikan dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Karena pendidikan pada akhirnya adalah aktivitas untuk mewariskan dan mengembangkan sosio-budaya maka Pura mempunyai fungsi penting dalam aktivitas tersebut. 

Satu contoh kecil proses pendidikan yang terjadi di Pura: Setiap orang yang datang ke Pura adalah semata-mata hendak bersujud kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Tunggal. Oleh karena itu hilanglah keistimewaan kedudukan dan kekayaan, rasa keangkuhan dan kemegahan yang dimiliki orang di luar Pura. Ketika seseorang masuk ke dalam Pura, gugurlah semuanya itu, ini mendidik watak manusia agar tidak kaku, congkak dan sombong dalam hidup di dunia yang hanya sebentar ini, karena yang dipandang oleh Tuhan bukanlah wajah, muka, kedudukan, kekayaan, kepandaian dan yang lainnya. Hanya sikap patuh, ketaatan dan taqwa yang menjadi sikap utama dihadapan Tuhan. Manusia diajarkan bagaimanapun juga ‘kedudukan seseorang dalam masyarakat, supaya tetap bisa mengendalikan diri, tidak berlebihan dan tetap taqwa pada Tuhan. Manusia diajar mengenal aturan dan memegang teguh disiplin. Manusia patut mengerti bahwa dirinya harus takut hanya kepada Ida Sang Hyang Widhi Yang Maha tunggal. 

Dalam berkumpul dan duduk berdampingan di halaman Pura, untuk melakukan kewajiban bersembahyang, merupakan pendidikan batin. Berdampingan ini mendorong kesadaran bahwa kita sekalian adalah sama-sama hamba dari Hyang Widhi. Pengertian Tat Twam Asi menyirami hati nurani, karenanya jiwa persaudaraan tumbuh, keinginan saling memaafkan. Segala rasa perselisihan, pertengkaran yang pernah dialami menjadi sirna. Persembahyangan adalah kewajiban utama di dalam melaksanakan ajaran Tuhan, kewajiban saling mencintai, dan menumbuhkan rasa persaudaraan dihadapan Tuhan sesama manusia adalah sama, hanya perbuatan baik, kesucian hati yang diutamakan, karena hal ini merupakan inti ajaran agama Hindu yang tertuang dalam Weda. Inilah mendidik manusia bahwa dirinya berasal dari satu sumber yakni Ida Sang Hyang Widhi. 

Duduk bersila atau bersimpuh dihalaman Pura dihadapan Tuhan, akan mendorong rasa ingin saling kenal. Timbulnya dialog/percakapan dalam suasana persembahyangan dan kesucian itu, paling tidak arah percakapan mengarah pada ajaran kebenaran (Dharma). Mudita dan Metri yakni ajaran tentang perikemanusiaan, ikut berbahagia bila orang lain beruntung, ikut merasakan duka bila orang lain menderita, rasa cinta kasih (Metri) akan  berkembang dalam dialog itu. Rasa belas kasihan kepada sesama akan menjiwainya. Manusia sadar sama-sama hamba Tuhan, sama-sama hidup, sama-sama mengabdi dan berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi. Oleh karena itu runtuhlah rasa kemurkaan, kesombongan, egoisme yang diganti dengan rasa belas kasihan, saling mencintai. Hati yang kaku dan keras perlahan menjadi lunak. Jiwa yang selama ini membangkang menjadi tunduk. Karena itu ajaran agama Hindu mengajarkan dan mengharuskan kepada pengikutnya untuk pergi bersembahyang ke masing-masing tempat sucinya (Puranya) pada hari-hari suci dan hari raya keagamaan. Demikianlah Pura menjadi sentrum atau pusat bagi hidup dan kehidupan umat Hindu sebagai pribadi dan juga anggota masyarakat di dalam mengabdi dan berbakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Dan uraian tersebut di atas, tiga aspek yang telah diuraikan yakni Sosial, Budaya dan Pendidikan, ternyata adalah sesuatu yang integral dalam “lembaga” Pura. Oleh karena itu melihat Pura dan juga termasuk membangunnya, haruslah dilihat dengan pandangan yang holistik, yang menyeluruh. Tidak hanya memperhatikan hal-hal yang lahiriah saja, tetapi juga hal-hal yang batiniah. Tidak hanya hal-hal yang sekala tetapi juga hal-hal niskala. Tidak saja hal-hal kekinian saja tetapi juga hal-hal di masa lampau dan masa yang akan datang. Hal mana sesuai dengan konsepsi Tri Samaya: Atita, Anagata, dan Wartamana (masa lampau, masa yang akan datang dan masa sekarang).Ada petikan yang menarik untuk direnungkan terkait dengan pura sebagai pusat kegiatan dan kehidupan umat Hindu. Petikan itu adalah nasihat dari Sri Rama (Ramadewa) kepada adiknya Sang Beratha, sebagai berikut : 

Dewa Kusala-sala muang dharma ika pahayun (Rumah-rumah Dewa dan tugu-tugu orang berjasa peliharalah sebaik-baiknya). 

Umum telah mengetahui bahwa tanda-tanda kebaikan atau keburukan sebuah desa khususnya di Bali dicirikan oleh Puranya. Bila dalam suatu desa, Pura desanya rusak, nyata penduduk desa kucar-kacir. Sebaliknya apabila dalam suatu desa Pura desanya bersih dan rapi, nyata penduduk desa itu hidup tenteram dan bahagia. Demikian Pura sebagai tempat suci, tempat memuja kebesaran dan keagungan Ida Sang Hyang Widhi, tempat “mendekatkan” diri kepadaNya, sekaligus sebagai sentra aktivitas sosial budaya dan pendidikan yang bernapaskan keagamaan, Hindu tentunya. 

Referensi:

Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 106-114

0 Response to "Pengertian dan Fungsi Tempat Suci (Pura) Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel