Struktur dan Proses Membangun Tempat Suci (Pura) Agama Hindu

HINDUALUKTA -- Struktur dan Proses Membangun Tempat Suci (Pura) Agama Hindu. Ketentuan agama dalam mendirikan suatu tempat pemujaan harus dipenuhi, sehingga suatu tempat pemujaan layak dipergunakan sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi dan roh suci leluhur. Tempat pemujaan bukanlah semata-mata tempat sembahyang, adalah tempat suci. Karena untuk dapat merasakan keber-”ada”-an Tuhan yang paling baik dilakukan adalah pada tempat khusus, dan bukan sembarangan. Paling tidak tempat yang telah disucikan. 



Memperhatikan struktur Pura pada umumnya, akan nampak tiga areal (Tri Mandala), yakni Nista Mandala, Madya Mandala, Utama Mandala. Di mana masingmasing mandala akan dibangun pelinggih atau bangunan suci sesuai dengan fungsi dan kedudukan pelinggih itu di masing-masing mandala. Agaknya tidak menyimpang, bahwa konsepsi Tri Mandala ini adalah lambang dan Tri Bhuwana. Bahwa dalam ajaran Hindu Ida Sang Hyang Widhi bersifat Wyapi-wyapaka Nirwiakara. Tuhan itu berada di mana-mana di luar dan didalam ciptaannya dan mengatasi ciptannya. Tuhan berada di dalam dan di luar Tri Bhuwana. Oleh karenanya, tempat pemujaan adalah tempat umat memusatkan segala potensi dirinya untuk dapat menghayati keberadaan Tuhan seperti itu. Pada areal Nista Mandala Jaba Sisi/halaman paling luar adalah lambang dari Bhur Loka. Pada areal Madya Mandala-Jaba Tengah-halaman Tengah adalah lambang dari Bhuwah Loka. Sedangkan pada areal Utama Mandala bagian Dalam-halaman paling utama adalah lambang dari Swah Loka. Demikian lambang Tri Bhuwana (Bhur-Bhuwah-Swah) dan Jeroan (areal) masingmasing pada Pura.

Selain sebagai lambang Tri Bhuwana, pembagian pada tiga areal itu juga memiliki tuntutan tata susila bagi setiap umat Hindu. Tuntutan tata susila itu antara lain menyentuh Tri Kaya Parisudha. Tuntunan yang pertama adalah Kayika Parisudha (berbuat yang baik). Yang kedua yakni Wacika Parisudha (berkata yang baik) dan Manacika Pansudha (berpikir yang baik). Tuntunan tersebut sudah terlaksana ketika sudah mulai masuk Pura tiba pada halaman luar-tengah dan dalam. Nista-Madya-utama, berbuat, berkata dan berpikir. Disamping tuntunan pada arah kebaikan adalah juga ke arah kesucian. Sehingga tiba pada Utama Mandala, pikiran telah suci terpusat pada pemujaan dan pendekatan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi. Sesuai dengan konsepsi Tri Mandala itu, maka pada masing-masing areal terdapat beberapa bangunan yang mempunyai fungsi yang berbeda. Antara Pura yang satu dengan yang lainnya, tidak sama jumlah bangunan, namun ada beberapa bangunan (pelinggih) yang menjadi ciri pokoknya. Dan masing-masing areal itu dipisahkan oleh satu bentuk bangunan yang disebut Apit Surat (Candi Bentar), Gelung Kori (Kori Agung), yang masing-masing dihadapannya berisi Apit Lawang. 

Pada areal Nista Mandala (Jaba Sisi) halaman paling luar, pada umumnya terdapat bangunan seperti: Apit surang, bangunan yang memisahkan antara jalan umum dengan areal Pura. Begitu memasuki pintu Apit Surang, segala perilaku patut telah mengarah pada kebaikan dan kesucian. Tuntunan yang pertama dan Tri Kaya Parisudha yaitu Kayika Parisudha. Juga terdapat bangunan wantilan (bangunan besar) semacam balai desa. Bangunan ini adalah tempat umat mempersiapkan peralatan persembahyangan yang mungkin berasal dari jauh atau mengecek kembali perlengkapan yang dibawa. Sesungguhnya Wantilan ini memiliki banyak fungsi, diantaranya tempat pertunjukkan kesenian ketika ada Piodalan, tempat umat bermalam, tempat mempersiapkan perlengkapan menjelang piodalan, latihan menabuh, matembang dalam rangka mendukung piodalan, juga latihan menari. Adalah tempat proses pendidikan dan penerusan nilai-nilai budaya dan agama. Bangunan lainnya adalah dapur umum (pawaregan), tempat memasak bagi umat, memasak untuk kepentingan pemedek (umat yang datang dari jauh), juga memasak bagi para pengayah menjelang piodalan. Bangunan lainnya yang terkadang sebagai pelengkap adalah Kamar mandi atau tempat membuang air kecil. Demikian pula dalam perkembangannya pada areal ini dibuatkan satu bangunan baru untuk perpustakaan, tempat umat membaca kitab-kitab suci dan kitab-kitab agama. Agaknya bangunan kamar mandi dan perpustakaan ada dan dibuatkan karena kebutuhan umat pemedek yang semakin ramai tangkil ke Pura untuk sembahyang. Ini ada sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan zaman. Areal Nista Mandala, agaknya berkaitan erat dengan kehidupan umat dalam keseharian. 

Areal berikutnya adalah Madya Mandala, memasuki areal ini akan melewati Apit Surang dengan Apit Lawangnya. Melewati ini setiap umat selain sudah mengarahkan perilakunya pada kebaikan dan kesucian maka selanjutnya dibarengi dengan tuntutan perkataan yang baik serta ke arah kesucian. Bangunan fungsional lainnya yang ada diantaranya adalah Bale Kulkul. Pada umumnya bangunan ini ditempatkan pada arah Hum (Barat Daya) dan areal Madya Mandala. Bangunan menjulang tinggi ini bisa berisi atau digantungi sebuah atau dua buah Kulkul atau kentongan. Fungsi dari Kulkul ini antara lain berkaitan dengan pelaksanaan upacara seperti ketika Nedunang Bhatara, ketika Nyimpen. Demikian juga fungsi lainnya adalah sebagai tanda bahwa pertemuan antara krama (warga) penyungsung Pura akan segera dimulai yang membicarakan berbagai masalah tentang Pura seperti: persiapan Piodalan, rencana perbaikan Pura dan masalah lainnya. Kayu yang dibuat  Kulkul itupun tidak kayu sembarangan. Dibuat dan dipilih kayu khusus sesuai dengan petunjuk sastra dan agama. Biasanya terbuat dari kayu Dau (Dracontomelum mangiferum). Dan juga pembuatnya adalah seorang tukang Kulkul atau Undagi. 

Bangunan berikutnya adalah Bale Gong. Bangunan ini adalah berfungsi untuk tempat gamelan ketika ada upacara di Pura, di Bale ini sekeha (kelompok) Gong menabuh membunyikan gamelannya untuk meramaikan sekaligus mengiringi upacara piodalan. Sementara pada hari-hari biasa, bagi Pura yang telah memiliki Gong, pada Bale ini dilangsungkan latihan menabuh. Sedangkan bagi Pura yang tidak memiliki gong, ketika piodalan akan berusaha mencari sekeha gong untuk diminta mengiringi berlangsungnya pelaksanaan upacara piodalan. Bangunan yang tak kalah pentingnya adalah Suci atau dapur khusus. Bangunan dapur khusus ini berfungsi untuk memasak bahan-bahan perlengkapan upacara untuk persembahan dalam pemujaan ketika ada piodalan di Pura bersangkutan. Di Suci atau dapur khusus tempat memasak bahan bakti dan banten, ini adalah betul-betul khusus untuk memasak bahan persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Dengan kata lain di luar memasak keperluan persembahan, siapapun tidak dibenarkan untuk memasak ditempat ini. Oleh karena itulah pada bangunan ini disebut Suci karena khusus memasak untuk yang serba suci. 

Gedong Simpen adalah jenis bangunan lainnya. Bangunan mungil, seperti namanya gedong simpen adalah berfungsi untuk atau sebagai tempat menyimpan alat-alat perlengkapan upacara. Alat-alat tersebut seperti: Kober, Tedung Pagut, Mas-masang, termasuk Panawa Sanga, serta perlengkapan lainnya yang disebut Sopacara. 

Terkadang pada bangunan ini terutama pada beranda depannya dapat dipergunakan untuk menerima tamu-tamu terhormat seperti para Sulinggih, para rohaniawan lainnya termasuk juga para guru wisesa yang datang kepura tidak dalam rombongan besar, hanya beberapa orang saja. Seperti biasanya digelarkan selembar tikar kemudian duduk lesehan bersama-sama. Letaknya berdekatan dengan Suci adalah Bale patandingan Suci dan Bale Patandingan ini secara logika memang harus letaknya berdekatan. Karena di Bale Patandingan inilah tempat Nanding, merangkai, mengatur, menyusun semua yang dimasak, semua persiapan, dan perlengkapan upacara yang dimasak di suci sebelum dipersembahkan sebagai bhakti atau banten kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya atau istadewatanya, dalam pemujaan atau piodalan di Pura. 

Demikian beberapa bangunan di areal Madya Mandala. Selanjutnya adalah beberapa bangunan pelinggih di Utama Mandala. Tentu yang menjadi batas antara Madya Mandala dengan Utama Mandala adalah Gelungkuri atau Candi Kurung,yang dilengkapi dengan Apit Lawang. 

Gelungkuri ini memiliki pintu hanya satu. Pintu ini adalah pintu khusus untuk keluar masuk bagi mereka yang terlibat langsung sebagai pelaksana upacara. Bagi orangorang yang keluar masuk untuk melakukan persembahyangan sama sekali tidak boleh keluar masuk melalui pintu Gelungkuri ini. Mereka harus keluar masuk melewati dua pintu Petatasan, di sebelah kiri dan kanan Gelungkuri itu. Secara simbolik (nyasa) hiasan atau profil yang ada pada Gelungan adalah Bhoma (Bhauma Bhs. Sansekerta), yang berarti yang lahir dari bhumi. Bhoma adalah putra Wisnu dengan Prthiwi Dewi, Wisnu dalam wujud fisik adalah air. 

Sedangkan Prthiwi Dewi dalam wujud fisiknya adalah bumi atau tanah. Karena pertemuan air dan tanah inilah ada yang lahir dan tanah, atau tumbuh, dan itu adalah Bhoma, yang tiada lain adalah tumbuh-tumbuhan atau kayu. Kalau kayu itu maha besar, disebut Vanaspatatyah (bahasa Sansekerta), Bhanaspati, Vanaspati (bahasa Jawa Kuno). Sesungguhnya ada makna dan nilai simbolis kenapa hiasan Bhoma sebagai pembatas antara Madya Mandala yang Utama mandala, yang diperhatikan pada Gelungkuri. Kembali pada konsepsi Tri Mandala sebagai suatu rangkaian areal pura, itu tidak lain adalah merupakan simbol (nyasa) dari sebuah gunung. Struktur sosok gunung itupun juga terdiri dari Tri Mandala. Urutannya yang paling bawah adalah Nista Mandala, yakni lereng gunung. Bagian tengah gunung adalah Madya Mandala, yakni badan gunung. Sedangkan yang paling atas atau puncak gunung adalah Utama Mandala, yakni puncak gunung. 

Dalam kenyataan, sebuah gunung di Madya Mandala adalah hutan, ada tumbuhtumbuhan yang lahir dan tanah. Aga Vanaspati, kayu-kayu raksasa, seperti galibnya hutan. Jadi Bhoma Vanaspati adalah merupakan batas antara lereng gunung (Madya Mandala) gunung, dengan puncak (Utama Mandala) gunung. Itulah sebabnya kenapa pada dedanga sebuah Gelungkuri pada umumnya selalu dipakai atau dipahatkan profil Bhoma, karena dia merupakan simbol (nyasa) hutan sebagai batas lereng gunung dengan puncak gunung. 

Masih dalam konsep ini, pada sebelah kiri dan kanan kedua Pelatasan Gelungkuri itu ada dua profil area. Yang disebelah kanan, bermuka kera, bergelung Candi Kurung adalah nandiswara. Sedangkan yang disebelah kiri, bemuka raksasa, memakai gelung Candi Kuning juga, adalah Mahakala. Baik Nadiswara ataupun Mahakala adalah perwujudan Siwa yang menjaga gunung Mahameru atau gunung Kailasa, tempat Dewa Siwa (Gininatha) bersemayam dengan saktinya Parwathi Dewi. Dalam konsep yang Siwaaistis, Nandiswara dan Mahakala, bukan berfungsi hanya sebagai arca Dwarapala (penjaga pintu), tetapi lebih konseptual lagi. Karena secara spiritual, prabhawa atau perwujudan anthropomorphic Siwa sebagai Nandiswara dan Mahakala, adalah sebagai peneliti dan sebagai penghukum, bagi mereka yang memasuki pura dengan tujuan-tujuan jahat atau tujuan yang tidak baik. 

Di depan dari pada Kuri Agung ini, juga terdapat dua buah bangunan pelinggih yang disebut Apit Lawang, letaknya adalah di sebelah kiri dan kanan. Bangunan yang menyerupai Tugu ini disebut apit lawang karena memang mengapit lawang atau jalan keluar masuk di pintu Candi Kurung (Kuri agung). Fungsi daripada bangunan ini adalah hampir sama dengan area Dwarapala, namun tidak sekonseptual Nandiswara dan Mandala. Tidak dijelaskan siapa sebenarnya yang dipuja di Pelinggih Pengapit Lawang ini sebagai Dwarapala. Hanya diketahui Prekanggen (tangan kanan) Ida Bhatara atau pembantu istadewata, dan Ida Sang Hyang Widhi. Juga disebutkan bahwa untuk pintu keluar masuk bagi umat yang datang mengaturkan sembah atau sembahyang, melewati Peletasan khusus, yang terkadang ada dua buah disebelah kiri dan kanan. Pintu ini adalah pintu keluar masuk dan Utama Mandala ke Madya Mandala. Selain untuk masyarakat umum dalam arti umum yang melakukan sembahyang, pintu ini dalam keseharian adalah berfungsi untuk keluar masuk bagi penjaga Pura, tukang sapu dan sebagainya. 

Pintu ini juga sebagai pintu keluar masuk bagi pengayah (pelaksana upacara), bagi para pembantu fungsional upacara seperti Pedanda, Pemangku, tukang banten (Mancaghra). Pada beberapa Pura yang tergolong atau berfungsi sebagai Pura jagat, didepan Gelungkuri ini juga terdapat sebuah pelinggih yang disebut dengan Bale Ongkara. Simbol Ongkara adalah aksara suci (Om) yakni nyasa dari Ida Sang Hyang Widhi. Bale ongkara ini secara fisik adalah juga nyasa (simbol) dari kesucian pikiran bagi setiap umat yang akan melakukan pemujaan dan persembahyangan di Pura khususnya pada areal Utama Mandala. Dengan kata lain, setiap orang yang datang ke Pura adalah ingin mendekatkan diri dengan Tuhan, oleh karena Tuhan adalah suci maka harus disertai pikiran yang suci. Demikian simbol bale ongkara atau juga sering disebut bale mondar-mandir, berlokasi di depan Kuri agung di sebelah kiri dan kanan, yang merupakan pintu masuk ke Utama Mandala., Bangunan yang lainnya adalah Bale Pawedan, Pada bangunan ini adalah tempat Ida Pedanda menghaturkan Upacara dan memimpin persembahyangan umat. Seperti namanya Pawedan yakni tempat bagi Pedanda melakukan pemujaan ketika ada piodalan. Muput dan menyelesaikan pelaksanaan upacara kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Bentuk bangunan ini tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. 

Hampir bersamaan fungsinya, pada beberapa Pura besar atau Pura Jagat dikenal dengan Bale Gajah. Disebut Bale Gajah, karena pada keempat sudut dasarnya memakai Karangsan atau Karang gajah, dalam bentuk yang distilisasikan dalam konsep profil dan ornament Bali. Sebenarnya Bale Gajah ini berfungsi sebagai tempat Ida Pedanda Siwa dan Ida Pedanda Budha memuja (mapuja), ketika memimpin dan muput pelaksanaan upacara di Pura. Di Bale Gajah ini, tidak sembarangan Pedanda yang boleh naik mapuja untuk muput dan memimpin upacara dan pemujaan yang dipersembahkan di Pura. Selaras dengan petunjuk dari ajaran sastra dan agama Hindu, yang boleh mapuja di Bale Gajah adalah Wiku Astupungku atau Wiku Bhasirnangkara. Satu bangunan lagi yang agak panjang dan besar wujud bangunannya adalah disebut Bale Agung. Dasar bangunannya agak tinggi dan atapnya disangga beberapa buah tiang. Bangunan ini fungsinya dalam penghayatan agama secara immanent, adalah merupakan tempat suci, Dewa-dewi mengadakan pertemuan (parum-pesamuan). Sering juga Bale ini disebut dengan Bale Pasamuan. Pertemuan para Dewa-Dewi ketika ada Piodalan atau Ngusaba di Pura, pun pula setelah upacara mekits (Melasti-Melis) yakni upacara pratima dari bhatara. Selesai upacara Melasti, termasuk upacara pemendaknya, semua tapakan, pralingga, arca-arca perwujudan yang disucikan, pratima seupacara, atau perlengkapan upacara yang disucikan, disthanakan di Bale Agung. Sehingga pada waktu itu para Dewi-dewi, Bhatara-Bhatari dalam penghayatan yang immanent, berkumpul di Bale Agung untuk mengadakan pesamuan, untuk memberikan wara nugraha berupa keselamatan dan kesejahteraan kepada umat manusia. 

Anglurah (Penglurah), adalah nama sebuah bangunan pelinggih yang keseluruhannya terbuat dari batu padas atau batu bata. Wujudnya berbentuk Tugu. 

Satu bangunan lagi yang paling penting dan selalu harus ada di Pura adalah bangunan pokok (bangunan utama) yang menjadi sthana dan Tuhan yang dipuja. Wujud bangunannya pada Pura-pura lama adalah berupa Gedung Agung. Sedangkan dalam wujud yang dikembangkan sekarang di seluruh Indonesia, bangunan utama itu berwujud Padma. Bangunan utama ini adalah pelinggih yang paling suci diantara pelinggih dan bangunan lainnya di Pura. 

Gedung Agung, bangunannya berbentuk gegedongan yang dibagi atas tiga bagian yaitu: dasar gedong, badan gedong, dan atas gedong. Badan gedong dengan tembok keliling pada keempat sisinya, sehingga pada badan gedong berbentuk sebuah ruangan. Ruangan ini dapat dicapai melalui pintu pada bagian sisi depan dan gedong. Bagian atas gedong dibuat bersusun dengan atap dan bahan ijuk. Bangunan ini berfungsi untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya atau Istadewata yang disthanakan pada Pura bersangkutan. Seperti misal di Pura Desa maka Gedong itu adalah sthana dari Dewa Brahma. Demikian pula misalnya di Pura Puseh maka menjadi sthana Dewa Wisnu, sedangkan di Pura Dalem adalah sthana dari Dewa Siwa dalam wujud sebagai Dewi Durgha yaitu Sakti dan Dewa Siwa. 

Padma adalah bangunan, pelinggih tersuci sebagai tempat atau sthana dan Ida Sang Hyang Widhi. Berdasarkan lokasi dan kedudukannya, bangunan Padma pada umumnya banyak sekali bentuk dan jenisnya. Demikian pula berdasarkan rong (ruang), pepalihan (tingkatannya), unsur dan struktur profil-profil yang dipahatkan dalam bangunan Padma itu bermacam-macam, sehingga namanyapun berbeda-beda. 

Pada umumnya, Padma yang merupakan sthana dan Ida Sang Hyang Widhi, dan sebagai simbul (nyasa) dan alam makrokosmos (Tri Bhuwana) yang juga ciptaan Tuhan, berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi sembilan sesuai arah mata angin atau konsep Pangider-ider. 
  1. Padmakancana : berlokasi di Timur menghadap ke Barat.
  2. Padmasana : berlokasi di Selatan menghadap ke Utara.
  3. Padmasari : berlokasi di Barat menghadap ke Timur.
  4. Padmasana Lingga : berlokasi di Utara menghadapke Selatan.
  5. Padma Asta Sadana : berlokasi di Tenggara menghadap ke Barat Laut.
  6. Padmanoja : berlokasi di Barat Daya menghadap ke Timur Laut.
  7. Padmakaro : berlokasi di Barat Laut menghadap ke Tenggara.
  8. Padmasaji : berlokasi di Timur Laut menghadap ke Barat Daya.
  9. Padmakurung : berlokasi di tengah-tengah marong (beruang) tiga, dipuncaknya menghadap ke Lawang atau pintu keluar. (Berdasarkan lontar Wariga Catur Wirasasari). 

Berdasarkan rong (ruang), papalihan (tingkatan) bentuk dan jenis Padma dibedakan menjadi: 
  1. Padma Anglayang, memiliki singgasana bebaturan marong tiga, strukturnya pitung (tujuh) palihan, pada dasarnya memakai Bedawangnala, yang dibelit oleh Naga.
  2. Padma Agung memiliki Singgasana bebaturan marong kalih (dua), strukturnya limang (lima) palihan, pada dasarnya memakai badawangnala dan dibelit oleh Naga.
  3. Padmasana, memiliki Singgasana bebaturan marong siki (satu), strukturnya limang palihan, pada dasamya memakai badawangnala yang dibelitkan oleh Naga. 
  4. Padmasari marong siki, strukturnya mapalih tiga yaitu ring sor (bawah), disebut palih taman, ring madya (tengah) disebut palih Sancak, ring luhur (atas atau puncak) disebut palih Sari. Tidak memakai badawangnala dan Naga.
  5. Padmacapah marong siki, strukturnya mapalih kalih, yakni ring sor disebut palih Taman, ring luhur disebut palih Capah. Tidak memakai Badawangnala dan Naga. Dan unsur struktur, bentuk dan jenisnya agaknya hampir memiliki fungsi yang sama kecuali Padmasari dari Padmacapah. Semua Padma itu diciptakan adalah untuk sthana dan Ida Sang Hyang Widhi (Siwa Raditya). Sedangkan Padmasana dari Padmacapah, adalah berfungsi sebagai penyawangan (perwakilan) dan Pengayengan secara umum. Tidak khusus sebagai sthana Hyang Widhi (Siwa Raditya).
Ditinjau dari proses penyelesaian upacaranya semua bentuk dan jenis Padma yang telah diuraikan sekilas itu, akan ada juga perbedaannya. Kalau Padmasari dari Padmacapah, yang berfungsi sebagai tempat penyawangan atau pengayengan secara umum, pada waktu upacara pemelaspas hanya memakai pedagingan ring sor (bagian bawah) dan ring luhur (bagian Puncak). Kalau Padma-padma yang lainnya sebagian tempat atau sthana Ida Sang Hyang Widhi (Siwa Raditya), pada waktu upacara Pemelaspas, penyucian, dan memfungsikan bangunan padma-padma itu menjadi suci dan utuh, pedagingan akan diisi, pada bagian-bagian dasar, tengah dan puncak. Pendagingan itu tak lain adalah bentuk bhakti yang terdiri dan lima unsur logam yakni: Emas, Besi, Perak, Suasana dan Tembaga. Terkadang termasuk juga batu mulia yang disebut mirah. Sebagai nyasa yang sarat dengan konsep filosofis, setelah dipuja oleh para Pedanda pada waktu Upacara Pemelaspas Pedagingan. Secara spritual akan memberikan kesucian dan kekuatan kepada semua bangunan Padma yang telah diciptakan. Dan menjadilah satu bangunan pelinggih yang suci sebagai sthana dari Ida Sang Hyang Widhi (Siwa Paditya). 

Setelah diuraikan sekilas tentang tempat suci (Pura) yang pada umumnya terdiri dari tiga areal (Tri Mandala), maka selanjutnya adalah uraian sekilas tentang proses pembangunannya (Proses membangun tempat Suci, Pura). Mendirikan bangunan tempat suci (Pura atau Pelinggih), memang agak rumit jika dibandingkan dengan persyaratan mendirikan bangunan untuk rumah biasa. Memiliki beberapa persyaratan dalam proses pembangunannya. Hal ini disebabkan karena bangunan Pura atau Pelinggih adalah tempat suci, tempat untuk memuja dan mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sedangkan rumah adalah tempat manusia berteduh dengan segala aktivitas kehidupannya dalam menjalin kehidupan. Langkah pertama dalam membangun tempat suci adalah menentukan lokasi dimana akan dibangun. Menyadari bahwa Pura adalah tempat suci, maka dalam penentuan lokasi ini maka harus dipilih tempat yang suci, tanah berbau harum, berada pada arah matahari terbit atau arah gunung (pada umumnya adalah arah Timur dan Utara). Kedua arah ini adalah arah “Ulu” / Hulu (Keluan: Bahasa Bali). Menurut keyakinan Hindu bahwa arah Ulu itu adalah arah Matahari terbit dan arah gunung. Matahari terbit dan gunung adalah dianggap arah yang suci karena kedua sumber alam itu diciptakan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan pada semua makhluk. Sinar matahari penuh dengan unsur-unsur energi yang dapat memberikan kehidupan pada semua mahkluk. Demikian pula gunung sumber penampungan air dan hutan. Air di gunung mengalir, membentuk sungai sampai ke sawah dan ladang-ladang. Tanpa matahari dan air, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia tidak bisa hidup. Karena itu di areal rumah, desa, tempat suci, Pura diletakkan atau berada pada arah Ulu, arah suci, arah sumber kehidupan.

Setelah menemukan dan menentukan lokasi Pura sesuai dengan persyaratan kesuciannya, maka tahap selanjutnya adalah mulai mengadakan persiapan pembangunan tempat suci dengan beberapa langkah seperti berikut yaitu Ngeruak Karang, Nyukat Karang, Rasarin, Memakuh, Ngurip-urip (Mendem Pedagingan). Ngeruak Karang atau sering disebut upacara Ngeruak adalah berfungsi untuk melakukan wisudha bhumi (pembersihan Tanah), merubah status tanah yang diupacarai, dan tanah tegalan atau tanah sawah dijadikan tanah tempat pemujaan atau tempat suci Pura. Upacara ngeruak ini termasuk ke dalam jenis upacara Bhutayadnya. Adapun urutan upacaranya adalah pertama melangsungkan upacara Caru pangruwak yaitu caru ayam brumbun lengkap dengan runtutannya (perlengkapan) dengan jumlah urip 33 (tiga puluh tiga). Diletakkan sesuai dengan urip bhuwana (amanca desa). Tahap kedua adalah melangsungkan upacara Byakala, Durmanggala dan Prayascita. Dilengkapi pula dengan Segehan Agung dan Panyambleh. 

Nyukat Karang adalah tahap pengukuran atau mengukur dan menentukan dengan pasti letak tiap-tiap Pelinggih (bangunan suci), antara jarak yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan ketentuan dan lontar Asta Dewa. Sebagai contoh saja, dalam pembangunan pelinggih Kamulan pada sebuah Pemerajan, ada yang menggunakan hitungan tiga dari batas pekarangan. Kalau hal itu dipergunakan berarti menggunakan perhitungan “Gumi” dan dasa Wara. 

Setelah menentukan lokasi masing-masing bangunan pelinggih tempat suci, maka pada lokasi itu dibuatkan lubang untuk selanjutnya diadakan upacara Nasarin. Upacara ini adalah meletakkan beberapa jenis upacara sebagai dasar daripada bangunan suci yang akan dibangun. Contoh upakaranya tumpeng merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buahbuahan, lauk-pauk dengan daging ayam bulu warna biying yang dipegang berisi sampian tangga, banten ini dialasi dengan peras. Canang pendeman ialah canang burat wangi, canang pengraos, canang tubungan, pesucian. Alat penyugjug terdiri dari cabang kayu dapdap bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cincin bermata mirah, kalau memungkinkan sebuah keris. Sebuah bata merah dengan gambar Bedawang nala, dengan tulisan Ongkara di punggung Bedawang nala tersebut. Sebuah bata merah yang lain diisi gambar padma dengan tulisan dasaksara. Sebuah batu bulitan (batu hitam) diisi tulisan Tri Aksara. Sebuah kelungah (buah kelapa gading) berisikan tulisan Omkara. Kelungah itu diisi kasturi (melubangi dengan bentuk segitiga), airnya dibuang diganti dengan wangi-wangian seperti; burat wangi, menyan dan sebuah kewangen, kekaras berisi uang kepeng 11 (sebelas) kepeng. Kelungah dan perlengkapannya dibungkus dengan kain putih dan diikat benang merah, hitam, putih, kuning, pada puncaknya diisi sebuah kewangen berisi uang kepeng 33 (tiga puluh tiga) kepeng, dan sebuah kewangen yang berisi tulisan Ongkara merta dengan isi uang kepeng. Semua perlengkapan upakara ini dimasukkan ke dalam lubang dasar pelinggih dengan tata pelaksanaan sebagai berikut; lubang dasar daripada pelinggih terlebih dahulu diupacarai dengan byakala, durmenggala, dan prayascita. Selanjutnya diukur dalamnya lubang, dengan alat penyugjug tadi. Umat yang akan menyungsung tempat suci itu, melakukan sembahyang. Semua bunga alat sembahyang yang telah dipakai sembahyang dimasukkan ke dalam lubang. Di atas bunga tadi ditaruh tumpeng warna merah, yang berisi daging ayam warna bulu biying, ditindih dengan batu bata merah, disusun dengan kelungah kelapa gading, batu bulitan, kewangen, canang pendeman dan terus ditimbun sampai rata. Di atas timbunan upakara itu dibuat bangunan (didirikan bangunan pelinggih). Upakara itu sesungguhnya bisa disederhanakan lagi dengan tidak mengurangi makna spiritualnya dan tentu atas petunjuk dari Sulinggih, Pandita dan tukang banten. 

Setelah selesai bangunan yang dibuat, lalu diupakarai dengan Durmenggala, Prayascita, Pangambyan, Tumpeng guru, daging itik putih diguling, Tumpeng putih kuning, daging ayam betina putih di panggang. Ajuman putili kuning, tipat kelanan, daksina, dan canang pesucian selengkapnya. Dengan demikian bangunan itu sudah dapat dihaturkan canang daksina. 

Tahap selanjutnya adalah upacara Memakuh atau Melaspas. Tujuan dari pada upacara melaspas ini adalah untuk mensucikan bangunan setelah berbentuk pada waktu upacara sebelumnya. Dengan telah sucinya bangunan itu secara spiritual maka diharapkan Ida Bhatara menurunkan wara nugraha dan berstahana di tempat pemujaan tersebut. Banten pemakuhannya antara lain peras, lis, soroan, daksina, canang lengawangi, buratwangi, tipat kelanan, dan ayam putih, perlengkapan pemakuhan, bagia, orti, sap-sap, ulap-ulap, paso anyar berisi air dan daun lalang sebelas helai, pengurip-urip darah ayam putih, susur, keramas, toya candana, kumkuman, rantasan saperadeg, semeti, pahat, andel-andel berisi benang, toya pemakuhan dan tukang yang membuat sikut. Cara pelaksanaannya pertama menghaturkan upacara pesaksian ke Surya serta mohon Tirtha Panglukatan dan Penguripurip. Melakukan penglukatan, memukul pasak-pasak di bagian hulu dan bangunan, mempoleskan pengurip-urip, melis dan prayascita durmenggala. Pemangku memuja banten pamangkuhan dan pamelaspasan dan disertai dengan ngayabang sesajen pemelaspas. Upacara ditutup dengan persembahyangan bersama dan metirtha oleh semua umat penyungsung tempat suci tersebut. 

Masih terangkai dengan tahap upacara melaspas adalah upacara pengurip-urip tau upacara mendem padagingan. Upacara ini adalah mengisi “Pedagingan” pada palinggih atau bangunan suci yang telah selesai dikerjakan, dengan makna bahwa pelinggih tersebut telah memiliki kekuatan spiritual dan kekuatan alam. Juga dengan telah selesainya upacara mendem padagingan ini, maka seluruh bahan pembuatan bangunan suci itu tidak lagi berfungsi sebagai awalnya atau asalnya, melainkan telah menjadi satu kesatuan yang bernama bangunan suci (pelinggih), tempat sthana dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Membuat dan memimpin suatu upacara mendem padagingan di suatu bangunan suci seperti pelinggih-pelinggih di Pura atau Merajan harus dipimpin oleh Sulinggih atau Sang Diksita (Pandita). Unsur pelengkap pedagingan itu telah disinggung dihalaman depan. Sebagai contoh satu jenis pedagingan Pelinggih Kamulan ada disebutkan dalam Lontar Dewa Tattwa:

Mwang padagingan Sanggah Kamulan, prihpih emas, selaka tembaga, jarum tembaga, selaka wesi, pudhi inirah kalih, wangi-wangian, winadaha rapetan putih, inulisan wastra putih, iniket dening lawe tri datu, catur warna wenang, muwah praboting, manusa dening sangkep, kewali waja, kwangen kalih, arthanya 200 sangkep, saprakatyanya.

Terjemahannya:

Lagipula pedagingan sanggah Kamulan, lempengan emas, perak tembaga, jarum perak, tembaga, besi, pudhi mirah dua, bau-bauan harum, ditaruh dalam rapetan putih, diikat dengan benang tiga warna atau boleh juga empat warna, disertai dengan peralatan manusia selengkapnya, kwali baja, kewangen dua buah, uang sesarinya 200 kepeng dan selengkapnya. 

Dengan selesainya upacara mendem pedagingan, bolehlah dilangsungkan upacara Ngenteg Linggih, dan tempat suci itu sudah memadai untuk tempat sembahyang dan melakukan pemujaan. Sedikitnya 10 tahun sekah diharapkan melakukan upacara Mendem Pedagingan yang baru. 

Referensi:

Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 114-126

0 Response to "Struktur dan Proses Membangun Tempat Suci (Pura) Agama Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel