HINDUALUKTA -- Jenis-Jenis Bangunan Suci (Pura) dan Pengelompokkannya dalam Agama Hindu. Bangunan suci sebagai tempat suci, adalah untuk membantu manusia menuju bersatunya Atma dengan Paramatma, mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Oleh karena itu banyak terdapat bangunan suci sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut. Namun dengan banyaknya bangunan suci tersebut, bukan berarti Hindu menganut sistem polytheisme. Untuk mencapai tujuan tersebut dan mempermudah pemujaan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, maka diadakan pengelompokkan bangunan suci Pura. Selain pemujaan kepada Tuhan dengan segala manifestasinya, juga memiliki makna sosial budaya yang luhur. Pengelompokkan itu benar-benar merupakan upaya umat Hindu untuk mendayagunakan kepercayaan kepada Tuhan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Berdasarkan fungsi dan karakternya maka bangunan suci Pura dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
- Bangunan suci Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa (Dewa Pratistha), seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan Jagat.
- Bangunan suci Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja roh suci leluhur (Atma Pratistha), seperti Pura Paibon, Pura Dadia dan Pura Padharman.
Pengelompokkan berdasarkan ciri, yang antara lain diketahui atas dasar penyiwi atau kelompok masyarakat pemuja. Penyiwi terkelompok di dalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial, ikatan ekonomis, ikatan geneologis (garis keturunan), kien. Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan jasa seseorang guru suci (Dang Guru). Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian seperti bertani, berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan genalogis adalah atas dasar garis kelahiran. Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut di atas, maka terdapat beberapa kelompok bangunan suci Pura, sebagai berikut :
#Pura Umum
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (prabhawanya). Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Pura Kahyangan Jagat. Bangunan suci atau pura-pura yang tergolong mempunyai ciri-ciri tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur dan Pura Sad Kahyangan lainnya. Pura lainnya, yang tergolong pura umum adalah pura yang fungsinya sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran atau jasa guru suci atau Dang Guru. Pura ini dipuja oleh seluruh umat Hindu yang merasa berhutang jasa kepada Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang telah diberikan. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti: Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Pojok Batu, Pura Petitenget, Pura luhur Uluwatu dan pura yang lainnya. Pura-pura lain yang tergolong umum juga yaitu pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemujaan dan kerajaan yang pernah ada di Bali, seperti Pura Taman Ayun, di Mengwi Badung, yang merupakan Pura Kerajaan Mengwi, Pura Dasar Gelgel merupakan Pura Kerajaan Gelgel di Klungkung (Semarapura), dan lain-lainnya. Pura Kahyangan Jagat, khususnya yang ada di Bali pendiriannya benar-benar didirikan atas dasar landasan filosofis yang sesuai dengan ajaran jiwa agama Hndu, disamping juga kontak bathin leluhur kita pendiri. Kahyangankahyangan itu dengan yang dipuja. Hakikat Hyang Widhi yang Tunggal dengan sifat-sifat Maha KuasaNya, secara konsepsional filosofis melandasi pendirian Kahyangan tersebut yang diterapkan oleh para Dang Guru dahulu seperti Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha. Berdasarkan landasan Kahyangan Jagat dapat dikelompokkan berdasarkan landasan konsepsi sebagai berikut :
- Konsep Rwa bhineda yakni: Pura Besakih sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai Pradhana.
- Berdasarkan Korsi Cauir Loka Pala (merupakan kongkritisasi dan Cadusakti) atau empat sifat kemahakuasaan Tuhan yaitu: Kahyangan Lempuyang di ufuk Timur, Kahyangan Watukaru di ufuk Barat, Kahyangan Puncak Mangu di ufuk Utara, dan Kahyangan Andakasa di ufuk Selatan.
- Berdasarkan konsepsi Sad Winayaka yang ada hubungannya dengan Sad Kretih (Sad Winayaka = kelompok enam Dewa. Sad Kretih enam jenis prakerti yadnya) Kahyangan tersebut adalah: Kahyangan gunung Agung (Besakih), Kahyangan Lempuyang (Lempuyang Luhur), Kahyangan Gua Lawah, Kahyangan Uluwatu, Kahyangan Batukaru, Kahyangan Pusering Tasik (Pusering Jagat di Pejeng).
Ketiga jenis konsepsi yang melatarbelakangi secara filosofis pendirian Kahyangan Jagat di Bali, akhirnya menjadi satu konsepsi yang dinamai konsepsi Padmabhuwana, diwujudkan dalam sembilan Kahyangan Jagat di Bali. Dalam penggabungan tiga konsepsi itu terlihatlah bahwa:
- Pura Besakih dilandasi oleh Konsepsi Rwa Bhineda dan Sad Winayaka.
- Pura Lempuyang (Luhur) dilandasi oleh Konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka.
- Pura Batukaru dilandasi oleh konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka.
Oleh karena penggabungan ketiga konsepsi itu tercakup dalam konsepsi Padmabhuwana, maka sembilan Kahyangan Jagat di Bali yaitu:
- Pura Besakih pada arah Timur Laut.
- Pura Lempuyang pada arah Timur.
- Pura Andakasa pada arah Tenggara.
- Pura Gua Lawah pada arah Selatan.
- Pura Luhur Ulu Watu pada arah Barat Daya.
- Pura Batukaru pada arah Barat.
- Pura Puncak Mangu pada arah Barat Laut.
- Pura Batur pada arah Utara.
- Pura Pusering Tasik (Pusering Jagat) pada arah Tengah-Tengah.
Apabila sembilan Kahyangan Jagat ini diletakkan pada lukisan daun Padma, maka sesuai sekali dengan arah sembilan penjuru dan oleh karenanya sembilan Kahyangan Jagat di Bali ini disebut juga Nawa Dikpalaka, yang artinya sembilan penjaga penjuru bhuwana. Tentang Sad Kahyangan, agaknya belum ada kepastian yang tepat bangunan suci Pura yang mana yang tergabung dalam Sad Kahyangan itu ditemui beberapa sumber berupa lontar-lontar yang memuat Sad Kahyangan, tetapi diantara lontar-lontar tersebut terdapat Kahyangan-Kahyangan Jagat di Bali sebagai Kahyangan berbeda dengan Kahyangan yang dimaksudkan Sad Kahyangan pada sumber lain. Berikut dikutipkan bangunan suci pura Kahyangan itu menurut masing-masing sumber, yaitu:
- Lontar Kusumadewa, menyebutkan Sad Kahyangan itu antara lain; Pura Watukaru, Pura Gunung Agung (Besakih), Pura Lempuyang (Lempuyang Luhur), Pura Goa Lawah, PuraUluwatu, dan Pura Pusering Tasik (Pusering Jagat) di Pejeng Gianyar.
- Lontar Usana Bali, menyebutkan Pura Catur Loka Pala, dan tidak ada menyebutkan Pura Sad Kahyangam Pura Catur Loka pala itu adalah: Pura Lempuyang (Lempuyang Luhur), Pura Watukaru, Pura pucak Mangu dan Pura Andakasa.
- Lontar Dewapurana Bangsul, menyebutkan Pura Sad Kahyangan itu antara lain Pura Watukaru, Pura Basukihan, Pura Watuklotok, Pura Rambut Pekendungan, Pura Dalem Sakenan, Pura Air Jeruk.
- Lontar Babad Pasek Kayu Selem, menyebutkan Pura Sad Kahyangan itu antara lain: Para Ulun Danu, Pura Lempuyang (Lempuyang Luhur), Pura Watukaru, Pura Beratan, Pura Pejeng (Pusering Jagat) dan Pura Andakasa.
- Lontar Widhicasitra, menyebutkan Pura Sad Kahyangan itu dibagi dalam dua kelompok: Kelompok pertama meliputi: Pura Sakenan, Pura Tanah Lot, Pura Besakih, Pura Batukaru, Pura Rambut Siwi, dan Pura Silih Jong.
f. Lontar Padma bhuwana, menyebutkan Sad Kahyangan itu antara lain: Pura Besakih, Pura Dalem Puri, Pura Tampahyang, Pura Andakasa, Pura Watukaru dan Pura Penataran.
g. Lontar Kul Putih, menyebutkan Pura sad Kahyangan itu antara lain Pura Watukaru, Pura Tolangkir (Pura besakih), Pura Lempuyang (Lempuyang luhur), Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu dan Pura Pusaring Tasik (Pusering Jagat di Pejeng).
Demikian beberapa sumber lontar memuat Pura Sad Kahyangan di Bali yang masing-masing menyebutkan tidak sama. Tentu masih ada lagi sumber lontar yang lainnya yang belum diungkap. Sementara itu dalam kitab Upadesa ada disebutkan Pura Kahyangan Jagat disertai dengan letaknya dan manifestasinya Tuhan Yang dipuja. Disebutkan bahwa yang disebut Pura Kahyangan Jagat ialah pura-pura Kahyangan agung terutama yang terdapat di delapan penjuru mata angin dan pusat Pulau Bali. Pembagiannya adalah :
- Pura Lempuyang tempat Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Iswara, diujung Timur Pulau Bali.
- Pura Andakasa, tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Brahma terletak di Selatan Pulau Bali.
- Pura Batukani tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Mahadewa, terletak di Bagian Barat pulau Bali.
- Pura Ulun Danu Batur, yang mempunyai fungsi sebagai pura Ulun Danu tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Wisnu terletak di Utara pulau Bali.
- Pura Goa Lawah tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Maheswara, terletak di Tenggara Pulau Bali.
- Pura Luhur Uluwatu, tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Rudra, terletak di Baratdaya pulau Bali.
- Pura Bukit Pengelengan yang disebut juga Pura Gunung Mangu, tempat memuja Hyang widhi dalam perwujudannya sebagai Sangkara terletak di Barat Laut pulau Bali.
- Pura Besakih tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Sambhu, terletak di Timur Laut pulau Bali. Disamping merupakan Pura Kahyangan Jagat tempat Shambhu, Pura Besakih juga merupakan pura suci pusat dan semua pura Kahyangan Agung penyungsungan jagat di Bali. Besakih menjadi pusat Kahyangan dan bertempat di tengah-tengah pulau Bali adalah untuk memuja Siwa.
#Pura Teritorial
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa adat. Ciri khas suatu desa adat pada dasarnya memiliki tiga buah bangunan suci pura yang disebut dengan Kahyangan Tiga, yang meliputi Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Nama-nama Kahyangan tiga nampaknya juga bervariasi seperti pada beberapa desa di Bali. Pura Desa sering disebut Pura Bale Agung, Pura Puseh sering disebut Pura Segara bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.
Pura Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan hidup: Parhyangan=tempat suci pemujaan, Pawongan=manusia, Palemahan=wilayah lingkungan), yaitu unsur Parhyangan dan setiap desa adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga masyarakat desa memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk desa dan masyarakatnya. Unsur yang kedua dan ketiga dari Tri Hita Karana adalah Pawongan dan Palemahan. Di dalam mewujudkan rasa aman, tenteram, sejahtera lahir dan bathin dalam kehidupan desa adat berlandaskan tiga hubungan krama desa dengan wilayah desa adat, hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya dalam desa adat dan hubungan krama desa dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi) sebagai pelindung. Dengan tercakupnya unsur keTuhanan dalam kehidupan desa maka desa terutama desa di Bali mencakup pula pengertian sosioreligius. Hal mana juga didukung dan kata Hyang yakni bearti suci mendapat awalan ka- dan akhiran-an yang menunjuk tempat. Sedangkan Tiga berarti Tiga, maka menjadilah Kahyangan tiga yaitu tiga buah bangunan suci, Desa Puseh dan Dalem.
Pada Kahyangan Tiga, pemujaan dilakukan terhadap Tri Murti sesuai dengan konsepsi yang telah disepakati sebagai dasar keagamaan Hindu. Pada masing-masing Pura dan Kahyangan Tiga dipuja Ida. Sang Hyang Widhi dalam sthana manifestasinya dan prabhawa yang berbeda-beda. Di pura Desa, tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta. Di Pura Puseh, tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara alam semesta. Di Pura Dalem tempat pemujaan Dewa Siwa dalam wujudnya sebagai Dewi Durgha dengan fungsi sebagai pelebur atau pemralina alam semesta beserta dengan isinya.
Kahyangan Tiga yang merupakan unsur parhyangan dan Tri Hita Karana, penempatannya pada desa adat diatur sebagai berikut: Pura Desa biasanya dibangun ditengah-tengah pada salah satu sudut dan Catur Pata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat Wantilan (balai desa), rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melantingnya. Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dan desa yang mengarah ke pantai, karena itu Pura Puseh sering disebut Pura Segara di Bali Utara. Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dan desa karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup.
#Pura Fungsional
Pura ini mempunyai karakter fungsional karena umat penyiwinya (pendukung penyungsungnya) terikat oleh ikatan kekaryaan, seperti: mempunyai profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti: bertani, berdagang, nelayan dan sebagainya. Karena bertani dalam mengolah tanah tidak dapat dipisahkan dengan air, maka para petani mempunyai ikatan yang disebut Pura Empelan atau Pura Ulunsuwi atau Pura Subak. Demikian pula berdagang, umumnya Pura Melanting didirikan di dalam suatu pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
#Pura Kawitan
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan Wit atau asal leluhur berdasarkan garis kelahiran (geneologis). Suatu keluarga inti (Ayah, ibu dan anakanak) dalam istilah antropologi disebut keluarga batin mempunyai tempat pemujaan yang disebut Sanggah atau Pemerajan. Selanjutnya keluarga inti itu berkembang, keluarga inti itu telah bertambah banyak jumlahnya dan sudah ada yang keluar termasuk sudah kawin dari rumah asal atau rumah inti, maka tempat pemujaan keluarga inti tersebut disebut Sanggah Gede atau Pamrajan Agung. Selanjutnya pada tingkat yang lebih luas yaitu pada tingkat klen mempunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia, Pura Paibon, sehingga mereka sering disebut ikatan tunggal sembah atau klen atau tunggal dadia. Apabila klen itu membesar lagi sehingga mencakup Jagat, maka mereka mempunyai tempat pemujaan yang disebut Padharman, biasanya terdapat di Pura Besakih, seperti Padharman Dalem, Padharman Arya dauh, Padharman Arya Kepakisan dan yang lain-lainnya. Pada Pura Kawitan ini adalah berfungsi untuk memuja roh leluhur yang sudah dipandang suci atau roh para Rsi yang dianggap telah menjadi Dewa-Dewa atau Bhatara-Bhatari. Pura Kawitan ini sering juga disebut “Pura Sangkaning Dadi” yang artinya Pura mula penjelmaan. Disamping Pura Kahyangan Tiga yang ada pada tiap-tiap satu desa, maka setiap pekarangan rumah umat Hindu diharapkan mendirikan satu bangunan suci yang disebut Sanggah yang berarti tempat suci, karena perubahan huruf h dan r. Secara etimologi adalah berasal dan kata sa dan angga (sa berarti satu dan angga berarti badan). Jadi bearti sam badan atau penunggalan suksama sarira dengan sthula sarira atau penunggalan rohani dan jasmani untuk dapat memusatkan pikiran kehadapan Ida Sanghyang Widhi, melalui roh suci leluhur, sedangkan kata pamrajan berasal dan kata ja dan jati yang berarti lahir. Jadi arti dari pamrajan adalah tempat mendekatkan diri pada asal kelahiran (Sangkan paran dumadi). Agaknya hal ini juga tidak menyimpang dan bangunan suci inti yang ada di Sanggah adalah Kamulan, yang juga fungsinya untuk memuja roh suci leluhur. Secara etimologi Kamulan berasal dari kata mula yang berarti asal, tempat, sehingga tempat asal yaitu leluhur.
Pengelompokkan Pura seperti itu disamping untuk menjabarkan pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya dan pemujaan leluhur, adalah juga memiliki nilai dan makna sosial budaya yang luhur. Pengelompokkan tempat pemujaan Hindu itu bukan merupakan perwujudan dan suatu kepercayaan Polytheisme. Hindu tetap monotheisme. Pengelompokkan ini hanya untuk lebih meningkatkan penghayatan umat terhadap kepercayaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Kemahakuasaan dan kesucian Ida Sanghyang Widhi Wasa benar-benar dijabarkan ke dalam kehidupan bersama sehingga langsung dapat menyentuh semua lapisan kehidupan manusia.
Adanya berbagai karakter Pura khususnya di Bali bermakna pula untuk menyatukan umat sesuai dengan pengelompokkan sosiabiya. Pura Kawitan merukunkan dan menyatukan umat menurut keluarganya. Kamulan Taksu menyatukan keluarga dalam satu pekarangan tempat tinggal dan sampada pada pura Padharman sebagai lambang persatuan sam keluarga besar yang berasal dan satu klen. Pura Kahyangan Desa menyatukan umat dalam satu desa adat atau desa pakraman. Dengan adanya pura Kahyangan Desa umat menjadi rukun dan damai dalam satu wilayah Desa Pakraman. Pura Swagina (fungsional) bermakna pula menyatukan umat yang memiliki kesamaan profesi. Seperti misal Pura Subak, untuk para petani sawah, Pura Alas arum untuk petani kebun, Pura Melanting untuk para Pedagang, Pura Kahyangan Jagat disamping fungsi utamanya, untuk memuja berbagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, juga menyatukan umat secara universal dengan tidak memandang asal keluarga, asal desanya maupun asal kekaryaannya (profesinya).
Pengelompokkan tempat pemujaan berdasarkan karakternya itu dapat disimpulkan bermakna ganda yaitu sebagai tempat memuja manifestasi Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dan leluhur serta tempat mempertemukan umat dalam satu lingkungan keluarga atau klen (clan), satu lingkungan Desa Pakraman, sam profesi dan menyatakan umat secara universal, dalam aktivitas sosial budaya.
Referensi:
Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 126-133
0 Response to "Jenis-Jenis Bangunan Suci (Pura) dan Pengelompokkannya dalam Agama Hindu"
Post a Comment