Dari ketiga kerangka di atas maka Tattwa Darsana dan Sila Sesana merupakan unsur yang terpenting dan bersifat kekal serta universal. Sedangkan upacara Yajña merupakan wujud pelaksanaan lahir upacara keagamaan Hindu yang menampakkan bentuk (wujud) yang berbeda-beda serta bervariasi sesuai dengan kemampuan imajinasi dan budaya umat setempat dalam mempersiapkan dan mengamalkan ajaran suci Weda yang mereka yakini. Disamping itu perbedaan bentuk tata upacara juga dipengaruhi oleh dresta (adat-istiadat) masyarakat penganutnya. Perbedaan-perbedaan ini terutama tampak dalam bentuk tata cara pelaksanaan upacara keagamaan (yajña), walaupun hakikat sraddha (keimanannya) yang dimilikinya tetap abadi (sanatana) dan sama (universal).
Hal ini disebabkan Agama Hindu mengakui dan memberi tempat yang layak bagi pertumbuhan kebudayaan dan tradisi-tradisi (acara) setempat yang telah berlaku, sepanjang tradisi dan kebudayaan itu tidak bertentangan dengan dharma agama (ajaran Hindu).
Dalam bahasan ini khusus akan membicarakan tentang bagaimana hakikat Yajña dalam pelaksanaannya baik dalam pelaksanaan sehari-hari maupun dalam waktu tertentu yang menyangkut tentang materi Dewa Yajña dan Rsi Yajña.
Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) merupakan pencipta seluruh alam semesta dengan segala isinya termasuk pula umat manusia. Penjelasan tersebut dapat dijumpai dalam kitab Suci Weda, yang berbunyi sebagai berikut :
“purusa Wedam sarwam
Yad butham yasca bahwyam
Uta’mrtatwas yecam
Yudam’nena’ti rohati”
Terjemahan:
Sang Hyang Widhi adalah pencipta alam semesta, baik yang telah ada maupun yang akan ada. Sang Hyang Widhi adalah yang kekal abadi, yang hidup tanpa makan. (Sudharta, 2003:52)
Selanjutnya pula bahwa Sang Hyang Widhi dapat menciptakan alam semesta ini didasarkan atas Yajña. Kata Yajña berasal dari akar kata “Yaj” (yang berasal dari bahasa Sansekerta) yang artinya berkorban. Jadi, kata Yajña berarti pengorbanan yang dilandasi keikhlasan hati atau ketulusan hati tanpa mengharapkan adanya pembalasan. Kalau kita simak salah satu bait sloka dalam kitab Suci Bhagawadgita, tentang hal ini ada ditegaskan yaitu :
sahayajnah prajah srstwa
Puro’wasa prajapatih
Anena prasawisyadhwam
Esa we’stw istakamadhuk”
Terjemahan:
Pada zaman dahulu kala Prajapati / Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta dan manusia atas dasar Yajña dan bersabda: “dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi Kamadhuk bagi keinginanmu”. (Pudja, 2001:72)
Kamadhuk adalah sapi Dewa Indra yang dapat memberikan/memenuhi segala keinginan dan dalam hal ini yang dimaksud adalah bumi tempat manusia hidup. Kutipan sloka di atas menjelaskan bahwa alam semesta diciptakan atas dasar Yajña dan untuk kelangsungan hidup alam semesta dan manusia, maka manusia (umat Hindu) wajib memelihara dan melestarikan alam ini atas dasar Yajña pula. Begitulah besar sekali manfaat serta pentingnya kita melaksanakan Yajña termasuk disini melaksanakan Dewa Yajña dengan hati yang tulus ikhlas pula.
Mengingat bahwa pelaksanaan Yajña tersebut sangat penting sekali dalam kehidupan keagamaan umat Hindu, maka lebih jauh kalau kita simak kitab Suci Manawadharmasastra, ada sloka yang menegaskan tentang beberapa jenis Yajña yang disebut dengan Panca Yajña, dengan rincian sebagai berikut:
“adhyapanom brahma yajnah
Pitr yajnastu tarpanam
Homo daiwao balibhaurto
Uryajno tithi pujanam”
Terjemahan:
Mengajar dan belajar adalah Yajña bagi Brahmana, menghaturkan tarpana dan air suci adalah Yajña untuk leluhur, menghaturkan minyak dan susu adalah Yajña untuk para Dewa, mempersembahkan Bali adalah Yajña untuk Bhuta, dan penerimaan tamu dengan ramah adalah Yajña untuk manusia. (Sudharta,2003;152).
“dewatatithi bhrtyanam
Pitr nam atmanas ca yah
Na nirwapati pancanam
Ucchwasanna sa jwati”
Terjemahan:
Tetapi ia yang tidak memberikan persembahan kepada kelima macam tadi, yaitu kepada para Dewa, para tamunya, mereka yang harus pelihara, para leluhur dan ia sendiri, pada hakikatnya ia tidak hidup walaupun bernapas. (Sudharta, 2001:157)
Kitab suci Agastya Parwa menjelaskan rincian Panca Yajña termasuk juga pengertian Dewa Yajña, yang bunyinya sebagai berikut:
“Kunang ikang yajna lima pratekanya, lwirnya: dewa yajna, rsi yajña, putra yajña bhuta
yajña, manusa yajña. Nahan tang panca yajña ring loka. Dewa Yajña ngararya pwa
krama ri bhattara Siwagni, maka gelaran ring mandala ring bhattara, yeka dewa yajña
ngaranya, dan seterusnya”. (Agastya Parwa, 35.b)
Terjemahan:
Adapun yang disebut Panca Yajña, perinciannya sebagai berikut: Dewa Yajña, Rsi Yajña, Pitra Yajña, Bhuta Yajña, Manusa Yajña. Demikianlah Panca Yajña di dalam masyarakat. Dewa Yajña adalah persembahan wijen kehadapan Bhattara Siwagni, yang dipersembahkan di atas altar pemujaan, itu disebut Dewa Yajña….dan seterusnya.
Sesuai dengan kutipan sloka di atas, maka dengan jelas kita dapat menyimak makna atau pengertian Dewa Yajña. Sloka Manawadharmasastra di atas menegaskan bahwa Dewa Yajña adalah suatu persembahan yang ditujukan kepada para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tentunya persembahan yang dimaksudkan adalah suatu persembahan yang disuguhkan dengan penuh keikhlasan atau ketulusan hati. Demikian jugalah halnya yang ditegaskan dalam kitab Agastya Parwa, bahwa Dewa Yajña adalah suatu persembahan yang ditujukan pada para Dewa, juga kehadapan para bhattara Siwagni sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disuguhkan di atas altar pemujaan.
Melaksanakan Yajña atau pengorbanan atau persembahan yang dilandasi hari yang suci merupakan suatu kewajiban dalam hidup manusia, dan hal ini jangan sampai dilalaikan oleh umat sedharma (umat Hindu).
“isi yajnam dewa yajnam
bhuta yajnam ca sarwada
nryajnam pitra yajnam ca
yatha sakti na bapayet”
Terjemahan:
Hendaknya jangan sampai lupa, jika mampu laksanakanlah Rsi Yajña, Dewa Yajña, Bhuta Yajña, Manusa Yajña dan Pitra Yajña. (Sudharta, 2001:158)
Berdasarkan penjelasan tersebut Dewa Yajña adalah Yajña yang ditujukan sebagai penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa. Istilah Dewa mengandung arti sebagai sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa dan dalam hal ini disebut Dewata. Kata Dewa berasal dari akar kata Div yang artinya sinar, sehingga Dewa itu sebagai sebutan untuk segala jenis makhluk Tuhan yang dijadikan sinar sucinya (dewa) atau makhluk cahaya.
Menurut ajaran Agama Hindu Dewa merupakan wujud sifat kemahakuasaan yang bersifat khas atau khusus. Ini berarti bahwa Tuhan tidak memegang peranan, justru adanya dan bentuk sifat kemahakuasaan itulah yang diibaratkan sebagai salah satu bentuk kekuasaan Tuhan. Dewa merupakan bentuk perwujudan kekuasaan Tuhan, karena itu cara penghormatannya yang dikaitkan pada salah satu sifat kekuasaan Tuhan akan menimbulkan cara penghormatan yang berlainan pula. Harus diingat pula bahwa walaupun Dewa-dewa itu banyak, tetapi apabila kita sampai pada pemujaan Tuhan, maka yang dipuja sesungguhnya adalah Tuhan Yang Maha Esa itu juga. Hal ini ditegaskan dalam kitab suci Weda yaitu pada kitab suci Rg Weda C.121.8, yang bunyinya sebagai berikut (terjemahannya):
“Siapakah sesungguhnya Dewata yang kita sembah dengan segala persembahan itu? Ia, yang kemuliaannya menguasai banjir, pemberi kekuatan spiritual dan menyebabkan Ia dipuja. Ia Yang Maha Esa, itulah Dewa di atas segala Dewa-dewa”
Sesuai dengan penjelasan tersebut Dewa Yajña adalah pemujaan atau sembahyang yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada segala bentuk perwujudan (manifestasinya) atau pemujaan serta persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan sinar-sinar Suci-Nya yang disebut Dewa-Dewi. Adanya pemujaan kehdapan Dewa-dewi atau para dewa, karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini. Sebagaimana halnya matahari menerangi serta mempengaruhi kehidupan di dunia dengan sinarnya, demikian pula Ida Sang Hyang Widhi menerangi serta mengatur gerak kehidupan dialam semesta dengan sinar-sinar suci-Nya. Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa setiap umat sedharma senantiasa menginginkan hasil di dunia ini yang tentunya dibarengi dengan pelaksanaan Yajña atau mengadakan persembahan atau pemujaan kepada para Dewa, sedangkan bagi mereka yang sudah melepaskan keinginan duniawi akan memusatkan persembahannya atau pemujaannya kehadapan Ida Sanghyang Widhi. Berikut ini ada ditegaskan dalam kitab suci Bhagawadgita Bab IV sloka 12 yakni :
“kanksantah karmanam siddhim
Yajaniha ih devatah
Ksipram hi manuse loke
Siddir bhavati karmaja”
Terjemahan:
Mereka yang menginginkan hasil dari pekerjaannya di atas dunia ini menyembah para dewa, karena hasil dari sesuatu pekerjaan adalah mudah sekali didapat di atas dunia ini.
“daivam eva para Yajnam
Yoginah paryuparate
Brahmagnav apare yajnam
Yanjenai’vo vajuvhati” (Bhagavadgita, IV.25 )
Terjemahan:
Beberapa para yogi beryajña hanya kepada para Dewa. Tetapi yang lainnya beryajña dengan Yajña-yajña sendiri di dalam api dari Brahman (Ida Sang Hyang Widhi / Tuhan) (Pudja, 2001:76).
Adanya pemujaan maupun persembahan kehadapan para dewa dapat menumbuhkan kesadaran para sedharma (umat Hindu) untuk melaksanakan upacara Dewa yajña, serta dapat menyebabkan adanya upacara dewa Yajña itu sendiri bagi umat Hindu dimana pun berada di jagat raya ini, walaupun dalam pelaksanaannya tidak terlalu mengikat yang tentunya disesuaikan dengan tradisi atau adat-istiadat setempat, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran kitab suci Weda.
#Tujuan Dewa Yajña
Setiap pelaksanaan upacara Yajña dalam agama Hindu memiliki maksud dan tujuannya yang tertentu. Upakara sebagai sarana dalam pelaksanaan suatu upacara agama memiliki makna-makna tertentu pula yang digambarkan secara simbolis melalui bagian bahan, bentuk atau wujud maupun warna tertentu yang digunakan. Makna Nyasa atau simbolis yang dibawakan oleh masing-masing upakara disesuaikan pula dengan maksud dan tujuan secara umum daripada upacara yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara Dewa Yajña secara umum menggunakan sarana berupa upakara-upakara yang memiliki makna antara lain:
- Sebagai lukisan rasa angayu bagia atau rasa terima kasih yang ingin dicetuskan kehadapan Sang Hyang Widhi, atas segala anugerah yang telah kita nikmati. Seperti halnya yang telah kita lukiskan dalam sarana sesajen, dalam hal ini banten dapetan, canang sari, dan lain-lain.
- Sebagai lukisan permohonan, misalnya permohonan untuk memperoleh umur panjang dilukiskan dalam sesajen/banten sesayut dirgayusa.
- Sebagai lukisan permohonan maaf atau mohon maaf untuk diampuni atas segala kesalahan atau kekeliruan yang telah diperbuat, seperti yang dilukiskan dalam bentuk sesajen/banten guru piduka.
- Sebagai sarana untuk melukiskan atau menggambarkan secara simbolis wujud Tuhan yang akan disembah atau yang dipuja saat itu. Sarana sesajen/banten yang digunakan sebagai simbolisnya biasanya digunakan sarana banten berupa daksina tapakan palinggih.
- Untuk melukiskan suatu harapan yang berkaitan dengan sikap mental dalam memuja atau menyembah Tuhan Yang Maha Esa, misalnya ketulusan, keheningan, dan kesucian hati yang patut dipersembahkan dalam memuja Tuhan, dilukiskan dalam wujud upakara seperti canang sari maupun bunga-bungaan yang serba harum dan segar.
- Merupakan wujud persembahan, nampaknya paling banyak dijumpai khususnya dalam kaitannya dengan upakara Dewa Yajña termasuk juga Yajña yang lainnya.
Sangat utama sekali makna yang terkandung dalam berbagai upakara serangkaian dengan pelaksanaan Yajña termasuk juga disini pelaksanaan Dewa Yajña, dan perlu disadari bahwa Sang Hyang Widhi menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas Yajña, maka hendaklah manusia hidup selalu dapat memelihara dan mengembangkan dirinya juga atas dasar Yajña, sebagai jalan yang benar untuk mengembalikan hutang terutama hutang berupa Dewa Rna yaitu hutang yang harus dikembalikan kehadapan Tuhan dan para Dewa.
Kalau kita perhatikan sloka Bhagavadgita Bab III, nomor 11, maka dengan jelas diisyaratkan kepada kita betapa pentingnya dan sangatlah mulianya yang terkandung dalam pelaksanaan Dewa Yajña, yang ditegaskan sebagai berikut:
“devan bhavayata nena
Te deva bhavayantu vah
Parasparam bhawayantah
Sreyah para ayap syatha”
Terjemahan:
Dengan ini (Yajña) kamu berbakti kepada Hyang Widhi dan dengan ini pula para Dewa (Hyang Widhi) memelihara dan mengasihi kamu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi (Pudja, 2001:77).
Kalau kita bandingkan dengan aspek samskara dan yajña itu sendiri, maka dari masing-masing aspek itu mempunyai tujuan masing-masing, dimana samskara atau karma yang lebih mempunyai pengertian sifat perbuatan keagamaan yang tampak secara lahiriah atau ritualitas, yang antara lain tujuannya:
- Tujuan yang sifatnya umum dan superstiti (kepercayaan) meliputi beberapa hal yaitu untuk melenyapkan pengaruh yang kurang baik, mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan yang memberi kekuatan. Untuk memperoleh tujuan material, dan sebagai pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan upacara itu sendiri.
- Tujuan yang bersifat moral yakni suatu yajña yang juga bertujuan untuk pembinaan moral, misalnya untuk pensucian jasmaniah dan batin, tetapi juga untuk mengembangkan sifat-sifat seperti: sifat pengampun atau welas asih, sifat tahan uji, sifat bebas dari iri hati, sifat-sifat yang membina kesucian rohani, sifat-sifat wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan atau rintangan, dan sifat-sifat liberal, suka berdana punia dan tidak loba.
- Yang bertujuan untuk pengembangan kepribadian yaitu sebagai salah satu tujuan yajña yang bertujuan untuk membina kepribadian yang mandiri. Ini berarti bahwa yajña mengandung arti mendidik dan membudayakan tingkah laku manusia agar tercipta suasana kesucian, keagungan dan kemuliaan.
- Yang bertujuan untuk spiritual, karena Yajña juga mengandung pengertian untuk tujuan spiritual atau kerohanian.
Yajña merupakan lembaga ritualia dan bertujuan untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara langsung ataupun tidak langsung. Yajña juga sebagai upaya untuk penyucian atau prayascita. Yajña merupakan wujud ekspresi pikiran dalam bentuk budaya sehingga tujuan pokok daripada yajña antara lain:
- Untuk menyebarluaskan ajaran kitab suci Weda.
- Sebagai sarana untuk menyeberangkan atma untuk mencapai moksa.
- Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa.
- Sebagai sarana untuk menciptakan kesimbangan atau keselarasan antara tujuan jasmani dan rohani.
- Sebagai sarana mendidik yang bersifat praktis dalam tata laku pengamalan ajaran agama.
Berdasarkan uraian di atas, sesungguhnya upacara Dewa Yajña merupakan
persembahan sebagai perwujudan bakti manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
berbagai manifestasinya. Baktinya itu diwujudkan untuk mengucapkan atau menyampaikan
rasa terima kasih melalui sarana upakara-upakara, serta baktinya mempunyai tujuan untuk
mengucapkan terima kasih kepada Tuhan terhadap hamba-Nya dan memohon kasih-Nya
agar hamba-Nya itu mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan mencapai kerahayuan
dan menempuh hidup dan kehidupan di alam raya ini.
Jadi, tujuan utama upacara Dewa Yajña adalah:
- Menyampaikan hormat dan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan nikmat yang diberikan setiap hari yang diwujudkan dalam bentuk tri sandhya dan pada hari-hari tertentu.
- Memohon perlindungan, berkah, kesejahteraan, umur panjang, kesaksian, kemuliaan, bimbingan, petunjuk-petunjuk yang dibenarkan, keselamatan untuk diri sendiri (keluarga, orang lain yang minta, dan semua makhluk hidup), kesucian, kesempurnaan, keberhasilan dalam segala usaha, dan kekuatan lahir dan bathin.
- Menyampaikan rasa terima kasih dan rasa puja-puji syukur atas limpahan anugerah Tuhan.
- Serta tujuan yang lainnya dari masing-masing rangkaian upacara Dewa Yajña dan tujuan yang dapat menyenangkan kita bersama.
0 Response to "Pengertian dan Tujuan Dewa Yajña"
Post a Comment