Jenis-Jenis Pelaksanaan Upacara Dewa Yajña dalam Agama Hindu
HINDUALUKTA -- Jenis-Jenis Pelaksanaan Upacara Dewa Yajña. Upacara Dewa Yajña merupakan persembahan atau korban suci yang ikhlas kehadapan Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) beserta semua manifestasinya dengan jalan cinta bakti sujud memuja dan mengikuti segala ajaran-ajarannya yang suci serta melakukan tirtha yatra (mengadakan kunjungan keagamaan ke tempat-tempat suci). Dewa Yajña ini dilaksanakan di Sanggah Pemerajan dan di Pura-pura. Secara garis besarnya pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi:
- Membuat sesajen dan persembahyangan.
- Memelihara bangunan suci tempat kita melaksanakan Yajña.
- Mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran sucinya, serta melakukan penyucian diri lahir batin.
Membuat sajen itu tidak diperlukan secara besar-besaran atau yang serba mewah yang maksudnya hanya untuk menghilangkan atau menutupi rasa malu saja atau sebaliknya ingin menunjukkan rasa yang sombong. Banyak terjadi salah pengertian bahwa dalam beryajña diperlukan sarana yang serba banyak, mewah, besar-besar, dan yang lainnya.
Hal itu amatlah keliru atau suatu anggapan yang salah, yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana kita sebagai umat dapat mempersembahkan sajen yang kita buat dapat memenuhi inti/hakikat/makna dari sajen atau Yajña itu yang tiada lain adalah:
- Simbol Brahma ialah berupa agni (dupa) sebagai saksi dan pengantar persembahyangan kita.
- Simbol Siwa adalah bunga yang segar dan harum sebagai sarinya bumi yang kita persembahkan dan juga sebagai pernyataan rasa terima kasih atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang dilimpahkan kepada umat sedharma (umat Hindu).
- Simbol Wisnu ialah air suci (tirtha sebagai alat pembersihan atau penyucian jiwa). Dari keseluruhan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi tentunya timbul dari hati yang tulus ikhlas dan penuh kesucian.
Hal ini ada dinyatakan dalam kitab suci Bhagawadgita, IX. 26, yang bunyinya sebagai berikut:
“patram puspam phalam toyam
Yo me bhaktya prayachati
Tad aham bhakryupahritam
Asnami prayatatmanah”
Terjemahan:
Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekumtum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air. Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci (Pudja, 2001:220).
Setangkai daun, sekumtum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air adalah persembahan yang bersifat simbolik, yang terutama adalah hati suci, pikiran terpusatkan dan jiwa dalam keseimbangan tertuju kepada-Nya. Jadi, jelaslah bahwa didalam membuat sajen itu tidak tergantung pada besarnya upakara, tetapi yang penting ialah inti Yajña dan hati yang tulus ikhlas.
Selanjutnya dalam upaya pemeliharaan tempat suci atau memelihara Pura, dan dalam pemeliharaan bangunan suci tersebut tidak dapat terlepas dengan rangkaian Yajña atau Dewa Yajña, sebab walaupun bagaimana besarnya, indahnya, peliknya sajen yang kita persembahkan, juga bagaimanapun mewahnya pakaian yang kita pakai, kalau tempat suci kita sebagai tempat memuja (Pura) itu rusak dan kotor tentu batin kita tidak merasa hening dan suci, hal semacam itu sangat pincang dan tidak mantap (khidmat), oleh karena itu pun sinar suci tidak mungkin akan tercapai, sebab sinar suci dari Tuhan baru akan didapat di tempat yang suci.
Maka dari itu pemeliharaan dan pembangunan tempat suci (Pura) itu perlu diperhatikan betul-betul, supaya jalannya pelaksanaan upacara Dewa Yajña sesuai dengan jalannya ajaran-ajaran agama Hindu dengan baik dan khidmat. Sebaiknya melaksanakan Dewa Yajña dengan cara membuat banten haturan (sajen) dan dengan memelihara bangunan suci (Pura), dengan mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran suci Tuhan (Weda), dengan melaksanakan penyucian lahir batin (asucilaksana), serta kunjungan ke tempat-tempat suci (tirtha yatra), termasuk juga pelaksanaan Dewa Yajña, karena termasuk untuk memperoleh penerangan dan sinar-sinar sucinya Tuhan karena sinar suci akan kita peroleh bila lahir batin kita jernih dan suci.
Mengenai cara-cara pelaksanaan upacara Dewa Yajña sebagai berikut:
- Tempatnya di Pura atau ditempat yang baik, bersih, dan mempunyai suasana kesesuaian bila untuk melaksanakan Puja Trisandhya dapat dilakukan dalam rumah ataupun di luar rumah di tempat yang dianggap bersih dan wajar.
- Adanya Sanggah Surya sebagai syarat minimal yaitu sebagai pengganti Padmasana tempat beristananya Sang Hyang Widhi (Tuhan).
- Adanya sesajen atau suguhan yang terbuat dari bahan terutama yang terbuat dari api (dupa), air bersih (tirtha), dan bunga yang masih segar dan harum-haruman.
- Tempat-tempat sajen dibuat seindah mungkin sesuai dengan bahan yang ada dengan seni budaya setempat, tetapi agar dapat menimbulkan suasana kesucian.
- Diantarkan dengan puja dan doa sulinggih atau pemuka agama setempat.
- Disudahi dengan sembahyang serta diakhiri dengan memohon air suci (tirtha) yang dipercikkan dan diminum masing-masing tiga kali.
Selanjutnya upacara Dewa Yajña dalam pelaksanaannya dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:
- Upacara yang tergolong upacara peringatan hari-hari suci keagamaan atau peringatan hari-hari raya keagamaan yang secara umum dilaksanakan oleh seluruh Umat Hindu, seperti halnya: Purnama, Tilem, Kliwon, hari raya Saraswati, hari raya Galungan, hari raya Kuningan, hari raya Nyepi, hari raya Siwaratri, Upacara Nugsabha Desa, Upacara Ngusabha Nini, dan lain-lainnya.
- Upacara penyucian serta penyelesaian terhadap bangunan tempat suci atau tempat pemujaan (Pura), misalnya Melaspas, dan sebagainya.
- Upacara peringatan disucikannya bangunan tempat pemujaan (Pura) yang disebut dengan “Piodalan”.
Berikut ini akan diuraikan upacara yang tergolong pelaksanaan Dewa Yajña sesuai dengan maknanya masing-masing.
a. Purnama, Tilem dan Kliwon
Pada hari Purnama (bulan penuh), Tilem (bulan mati), dan Kliwon merupakan hari-hari yang dianggap baik oleh umat Hindu untuk melakukan penyucian lahir batin dan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa, serta menyampaikan rasa terima kasih kehadapan unsur-unsur kekuatan alam yang telah membantu kehidupan di dunia ini.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan melaksanakan yoga semadhi, tapa, brata, ataupun menghaturkan sesajen di tempat-tempat pemujaan dan di halaman Pura.
Sesajen-sesajen yang umum dipersembahkan adalah berupa canang, terkecuali pada Kajeng Kliwon dapat ditambah dengan segehan. Banten ini dipersembahkan pada kekuatan alam yang ikut menjaga ketentraman keluarga atau rumah tangga yang dikenal dengan Penunggun Karang atau Pengijeng.
Sedangkan segehan kepel dan segehan cacahan yang nasinya berwarna putih atau manca warna atau nasi berwarna lima, dihaturkan di halaman yang ditujukan kepada para Bhutakala, yaitu:
- Menghaturkan segehan/suguhan bertempat di halaman Sanggah/Merajan ditujukan kehadapan Sang Bhuta.
- Menghaturkan segehan/suguhan yang bertempat di halaman rumah ditujukan ke hadapan Sang Butha Bucari.
- Menghaturkan segehan/suguhan yang bertempat di halaman luar/dijabaan ditujukan kehadapan Sang Durga Bucari serta yang bertempat pada pengapit lawang hanya menghaturkan canang yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Durga Dewi. Demikianlah sekilas mengenai pelaksanaan upacara pada hari Purnama, Tilem dan Kliwon atau Kajeng Kliwon.
b. Rabu Kliwon Sinta
Saat hari Rabu Kliwon Sinta atau juga dapat disebut Buda Kliwon Sinta merupakan peringatan hari Raya Pagerwesi untuk memohon kehadapan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Paramesti Guru (Dewa Siwa) beserta dengan Dewa yang lainnya saat melakukan yoga yang memberikan perlindungan (kekuatan iman) kepada semua umatnya, termasuk pula segenap tumbuh-tumbuhan beserta makhluk lainnya agar mencapai kesejahteraan di dunia ini.
Pada dasarnya yoga bertujuan untuk memperoleh kesucian diri sendiri, sehingga dapatlah terwujud keseimbangan dan kesempurnaan hidup, oleh karena manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Mulia, maka sepatutnyalah manusia dapat mengikuti perbuatan para Dewa yaitu mewujudkan serta memelihara kesejahteraan dunia atau di alam semesta ini.
Mengingat pada hari raya Pagerwesi ini merupakan saat yang tepat bagi umat dan juga para sujana untuk melakukan yoga dan semadhi dalam usaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesempurnaan hidup, baik bagi dirinya sendiri maupun sesama ciptaan Tuhan, selain itu secara umum masyarakat diwajibkan menghaturkan Yajña pada tempat-tempat pemujaan.
c. Tumpek Landep
Dinamakan Tumpek karena peringatannya jatuh pada hari Sabtu wara Kliwon, sehingga perayaan yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon disebut Tumpek.
Juga halnya bahwa Tumpek Landep merupakan perayaan yang jatuhnya pada hari Sabtu wara Kliwon wuku Landep, merupakan saat untuk memuja Dewa Siwa terutama dengan sebutan Sang Hyang Pasupati.
Tuhan dalam sebutannya sebagai Sanghyang Pasupati adalah sebagai penguasa yang memberi kejayaan pada sarwa landep atau benda-benda lancip.
Pengertian landep disini tidak hanya terbatas pada alat-alat perang berupa keris, tombak, serta alat-alat yang dibuat dari besi saja atau baja dan sejenisnya, tetapi juga meliputi semua alat yang digunakan untuk mempertahankan hidup bagi diri manusia yakni pikirannya.
Tempat yang terpenting maknanya dalam upacara ini adalah pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi dengan sebutan Sang Hyang Pasupati, dapat menuntut pikiran manusia ke arah jalan yang baik dan memberikan kejayaan serta mencapai keberhasilan dalam hidup maupun kehidupannya.
Upacara pada saat Tumpek Landep ini dapat dilaksanakan pada tempat pemujaan (Sanggah, Kemulan) dan juga pada senjata atau alat-alat yang dipandang perlu pada saat itu dilaksanakan upacara mabyakala (menghilangkan segala kekotoran atau gangguan yang merusak).
Sedangkan pemujaan yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Pasupati dapat dilaksanakan pada tempat pemujaan (di Merajan) maupun pada tempat penyimpanan senjata atau alat tersebut. Sebelum diupacarai, maka terlebih dahulu senjata-senjata dibersihkan selanjutnya disuguhkan sajen byakala dan prayascita yang diikuti oleh anggota keluarga.
Persembahan yang disuguhkan kehadapan Sanghyang Siwa Raditya, Sang Hyang Guru (di Sanggah Kemulan) dan Sang Hyang Pasupati bertujuan untuk memohon kejayaan serta keberhasilan dalam perjuangan hidup sesuai dengan dharma dan sebagai manusia.
d. Tumpek Wariga
Dua puluh lima hari sebelum hari raya Galungan, maka dikenal dengan perayaan Tumpek Wariga yang jatuhnya pada hari Sabtu Kliwon Wariga, merupakan saat yang baik untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, yang merupakan sinar suci Tuhan untuk memelihara tumbuh-tumbuhan yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh dengan baik, berkembang biak dengan baik, berbunga, berbuah, dan berdaun yang lebat sesuai dengan kegunaannya.
Melaksanakan pemujaan kehadapan manifestasi Tuhan yaitu Dewa Sangkara, maka yang dijadikan objeknya adalah segala tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan manfaat atau yang menjadi sumber kehidupan bagi manusia, seperti halnya : pohon kelapa, pohon wani, pohon durian, pohon manggis, pohon nangka, pohon duku, pohon rambutan, pohon mangga dan tumbuhan lainnya.
Tumpek Wariga sering pula dikenal dengan nama Tumpek Pengarah, Tumpek Ngatag, tumpek Penguduh, dan Tumpek Bubuh. Oleh karena umat Hindu pada saat Tumpek Wariga tersebut menyuguhkan sajen yang berupa bubur dan bubur mengandung makna spiritual yaitu dapat memberikan kehidupan dan menyuburkan tumbuh-tumbuhan yang telah ditanamnya. Setiap tumbuhan diberikan suguhan sajen dengan harapan dapat menghasilkan dengan baik.
Lebih jauh bahwa Tumpek Wariga pelaksanaannya bertujuan untuk menghaturkan rasa terima kasih kehadapan Sang Hyang Widhi/Dewa Sangkara, yang telah menciptakan tumbuh-tumbuhan serta memohon agar tumbuh-tumbuhan dimaksud dapat tumbuh dengan baik dan tentunya lingkungan tumbuhan tersebut menjadi asri dan lestari.
Pelaksanaan upacara Tumpek Wariga ini bertempat pada pohon yang akan diupacarai yang sebelumnya telah ditempeli sapsap, caniga dan dapat dilengkapi dengan kain serta dibuatkan tempat sajen. Upacara yang akan disuguhkan berupa sajen dan tirtha dihaturkan pada tempat tersebut, dilanjutkan dengan pengeresikan atau pembersihan, penyeneng, tirtha pengelukatan, serta sajen-sajen lainnya.
Kemudian bubur dioleskan atau ditempetkan pada batang pohon tertentu yang penting-penting selanjutnya dibawah pohon disuguhkan segehan dan tetabuhan. Setelah selesai pelaksanaan upacara, maka banten peras dilebarkan (pertanda upacara telah selesai) dan banten penyeneng digantungkan pada pohon yang bersangkutan.
e. Hari Raya Galungan
Hari Raya ini jatuh pada hari Rabu Kliwon Dunggulan, tetapi kegiatankegiatannya dapat dimulai dari hari Kamis Wage Sungsang sampai dengan hari Rabu Kliwon Paing yang dikenal dengan Pegatwakan.
Adapun rangkaian dari hari raya Galungan sebagai berikut:
1. Sugihan Jawa
Sugihan Jawa jatuh pada Hari Kamis Wage Sungsang yaitu enam hari sebelum hari raya Galungan dan merupakan hari penyucian terhadap tempat-tempat suci dan perumahan. Penyucian disini dilaksanakan secara sekala dan niskala. Secara sekala dilaksanakan pembersihan di sekitar tempat-tempat suci atau tempat pemujaan seperti dihalaman Pura, Pemerajan, Sanggah Kemulan dan Perumahan. Jika dipandang perlu juga membersihkan sarana atau alat yang sudah kotor sekali atau menggantinya dengan alat yang baru terutama bagi sarana yang telah usang. Selanjutnya dilaksanakan pula pembersihan secara niskala yaitu dengan menghaturkan sajen kehadapan Ida Sang Hyang widhi Wasa yaitu berupa sajen Perebuan seperti pada Padmasana atau di sekitar Pura, menyuguhkan segehan serta tetabuhan.
Setelah selesai melaksanakan pererebuan, barulah dilanjutkan dengan sajen yang lainnya dan diikuti dengan persembahyangan bersama sekalian mohon tirtha dan selesailah pelaksanaan upacara Sugihan Jawa.
2. Sugihan Bali
Datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari) yaitu sehari setelah Sugihan jawa, yang jatuhnya pada hari Jumat Kliwon Sungsang. Saat ini merupakan saat yang baik untuk melaksanakan penyucian terhadap diri sendiri atau bhuwana alit.
Upacara Sugihan Bali ini dilaksanakan dengan mohon tirtha pengelukatan pada Sang Sadaka atau Sulinggih sesuai persembahyangan.
Setelah pelaksanaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, maka rangkaian pelaksanaan hari Raya Galungan meliputi : Penyekeban, upacara Penyajanan upacara Penampahan, puncak perayaan Galungan, upacara Pemaridan Guru, upacara Ulihan, dan upacara Pemacekan Agung.
3. Hari Penyekeban
Tiga hari menjelang Galungan yaitu hari Minggu Pahing Dungulan disebut hari Penyekeban. Pada hari ini Sang Hyang Tiga Wisesa yang berwujud sang Kala Tiga turun ke dunia untuk mengganggu manusia atau menggoda umatnya yang tidak mampu mengendalikan dirinya. Yang disebut Sangkala Tiga adalah wujud krodanya Sang Hyang Rudra.
Oleh karena itu setiap umat hendaknya selalu waspada dan berusaha menyucikan serta mengendalikan dirinya dari berbagai godaan dan kesusahan (pratyaksa anyekung ikang adnyana nirmala). Saat ini baik sekali, untuk melaksanakan tapa, brata, yoga, semadhi terutama bagi umat yang mampu (para sujana, sulinggih dan yang lainnya) melaksanakannya.
Sedangkan umat yang lainnya dapat menyimpan buah-buahan untuk kepentingan Yajna dan pada saat itulah mereka dapat mengkonsentrasikan diri menuju ke arah kesucian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa guna mereka dapat terhindar dari gangguan dan cobaan dari Sang Kala Tiga.
Memang di lain pihak Sang Kala Tiga bukan semata mengganggu kehidupan manusia, tetapi juga, bertujuan untuk menguji kekuatan imannya dalam menegakkan dharma (kebenaran dan kebajikan). Apabila umatnya terlena akan ajaran kebenaran (dharma) ataupun melanggar norma-norma agama Hindu, maka Tuhan turun menampakkan diri melalui awataranya di dunia guna menuntun umat manusia ke arah yang benar.
Jadi, makna dari Penyekeban sangatlah mulia sekali dalam tujuan hidup manusia yakni sebagai usaha untuk mengendalikan diri agar dapat menegakkan dharma yang merupakan perahu (pengantar) untuk mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
4. Hari Penyajaan Galungan
Jatuhnya pada hari Senin Pon Dunggulan. Pada saat ini umat mulai mempersiapkan diri untuk membuat sajen/banten dengan harapan bahwa kegiatan ini dapat lebih meningkatkan daya konsentrasi diri ke hal-hal yang bersifat suci guna dalam kewaspadaan selalu terkendali menundukkan atau mengalahkan Sang Kala Tiga, tentunya agar tidak menggoda umat manusia tetapi selalu memberikan perlindungannya.
Secara umum umat biasanya mempersiapkan diri untuk membuat jajan, membuat kacang-kacangan, saur, serundeng, serta membuat jejahitan sekaligus menata sesajen untuk hari raya Galungan. Pada hari penyajaan ini pulalah diusahakan sekali agar tidak terjadi pertengkaran, karena makna utama penyajahan tiada lain adalah kesungguhan atau keseriusan hati untuk menyambut Galungan.
Melakukan kerja atau usaha yang positif guna mempersiapkan diri menyambut perayaan Galungan adalah suatu hal yang mulia dan terpuji, karena juga dapat memusatkan pikiran yang tertuju pada Ida Sang Hyang Widhi, hal ini ditegaskan dalam kitab suci Bhagawadgita, IX.24, yang berbunyi:
Brahman, rpanam brahma havir
Brahmagnan brahmana hutam
Brahmai ya tena gantavyam
Brahmakarma samadhina”
Terjemahan:
Dipujanya Brahman, persembahannya
Brahman oleh Brahman dipersembahkan
Dalam api Brahman dengan memusatkan
Meditasinya kepada Brahman
Dalam kerja ia mencapai brahman
Justru itu ciptakanlah suasana yang tentram, kedamaian, kesabaran dan
pengendalian diri untuk mengalahkan godaan yang timbul dalam diri.
5. Hari Penampahan Galungan
Sehari sebelum perayaan Galungan dilaksanakan perayaan Penampahan Galungan yang jatuhnya pada hari Selasa Wage Dunggulan. Pada saat ini dilaksanakan kegiatan memotong hewan, seperti: babi, ayam itik, dan hewan yang lainnya sebagai sarana Yajña. Hari Penampahan Galungan ini bermakna untuk menaklukan godaan Sang Kala Tiga, serta menjauhkan segala sifat-sifat negatif, agar tercipta keharmonisan, ketentraman dan kesejahteraan bhuwana agung dan bhuwana alit, yang secara simbolis diwujudkan dengan kemenangan dharma (satyam eva jayate na anrtam).
Pada saat ini pula dilaksanakan pemasangan busana, gantungan-gantungan serta perlengkapan lainnya untuk hari esoknya. Kemudian sore harinya dilakukan pemasangan Penjor Galungan sebagai simbol cetusan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penjor Galungan ini dilengkapi dengan Sanggahnya, sampyan, lamak, gantunggantungan, tetandingan dengan pala bungkah, pala gantung, buah-buahan, jajan dan hiasan lainnya. Sedangkan mengenai upakaranya dapat disuguhkan sajen berupa: byakala, prayascita, sesayut dan suguhan segehan agung serta nasi sasahan berwarna putih lima, sembilan tanding warna merah, empat tanding warna hitam dengan ikatannya berisi uraburaban, kemudian diisi canang genten, toya anyar, dupa dan tetabuhan.
6. Hari Raya Galungan
Setelah semua persiapan menyambut perayaan Galungan telah dapat dilaksanakan pada hari-hari sebelumnya, maka tibalah saatnya pada hari Rabu Kliwon Dunggulan sebagai puncak perayaan. Hari Raya Galungan datangnya setiap enam bulan sekali atau 210 hari.
Pada hari inilah merupakan perayaan kemenangan dharma melawan adharma. Kemenangan dharma dapat berarti telah terlaksananya kewajiban dan pekerjaan-pekerjaan yang baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat dan juga bagi bangsa Indonesia tercinta dalam upaya turut mensukseskan pembangunan Nasional. Bagi umat Hindu pekerjaan-pekerjaan yang baik itu merupakan suatu Yajña, sebab Yajña merupakan perbuatan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang harus diikuti oleh sedharma (umat Hindu). Oleh sebab itu dalam perayaan hari raya Galungan, maka persembahan Yajña mengandung tujuan yang utama yang telah dilaksanakan oleh setiap umat. Melaksanakan Yajña dengan materi yang berbeda-beda tetapi Sang Hyang Widhi tetap menerimanya, berikut ini ada ditegaskan dalam Bhagawadgita yaitu:
“ye yatha mam praphadyante
Tams tathat ya bhajamy aham
Mamyartma ‘nuvartante
Manushyah patha sarvasah”
Terjemahan:
Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati dengan jalan yang sama itu. Aku memenuhi keinginan mereka, melalui banyak jalan manusia mengikuti jalanku, O. Partha.
Dari kutipan di atas tentunya dapat memberikan semangat untuk berusaha beryajña yang sebanyak-banyaknya sesuai kemampuannya yang diwujudkan berupa sesajen-sesajen yang ditujukan kehadapan Hyang Widhi, para Dewa, leluhur, semua makhluk yang dianggap membantu dalam kehidupan.
Persembahyangan dilaksanakan dengan tujuan untuk memusatkan pikiran menuju kesucian dan menghilangkan sifat keragu-raguan dan memacu sifat keberanian dari kebenaran. Mengingat bahwa pada hari raya Galungan juga dikenal sebagai kemenangan dharma atau paWedalan jagat. Pelaksanaan perayaan sedapat mungkin agar dilaksanakan sejak pagi hari.
Adapun jenis sesajen yang dihaturkan pada tempat pemujaan meliputi: tumpeng penyajaan, jerimpen Dewa, ajuman, canang meraka, pesucian, canang burat wangi, dan yang lainnya disesuaikan dengan keadaan masing-masing. Sedangkan pada tempat-tempat yang lainnya, seperti di perumahan, subak, di ladang hewan peliharaan, disesuaikan dengan desa, kala patra. Sehari setelah hari raya Galungan yaitu pada hari Kamis Umanis Dungulan, lebih dikenal dengan nama Umanis Galungan. Pada saat ini umat sedharma yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan kekeluargaan juga bersama anggota keluarga yang lainnya saling kunjung mengunjungi berbagi suka atas keberhasilannya menegakkan dharma, selalu mencapai kejayaan dalam usahanya, serta pada kesempatan ini satu dengan yang lainnya saling memohon maaf atas segala kekeliruan yang telah diperbuatnya, baik yang timbul dari pikiran, perkataan, maupun perbuatan yang tentunya dapat mengganggu ketentraman pihak lain.
7. Hari Pemaridan Guru, Ulihan dan Pemacekan Agung
Beberapa hari setelah hari raya Galungan yaitu pada hari Sabtu Pon Dunggulan disebut hari Pemaridan Guru yang bertujuan untuk penyucian terhadap diri sendiri dengan jalan memohon tirtha pebersihan dan dilanjutkan dengan mohon sisa Yajña. Sisa Yajña berupa tumpeng guru untuk dimakan bersama sanak keluarga yang maknanya agar seluruh anggota keluarga mendapatkan kebahagiaan lahir batin dari Hyang Guru yang dipuja ditempat pemujaan masing-masing keluarga.
Pada saat ini dihaturkan sajen ketupat banjotan dan ketupat dampulan, banten meraka, wangi-wangian serta memohon tirtha pebersihan.
Kemudian pada hari Minggu Wage Kuningan tibalah hari Ulihan. Makna dan hakikat dari Ulihan ini adalah suatu saat kembalinya para Dewata menuju Kahyangan dan tentunya kita sebagai umatnya senantiasa dianugerahi kesejahteraan dan umur panjang dalam menempuh masa hidup di dunia ini.
Lima hari setelah hari raya Galungan yaitu pada hari Senin Kliwon Kuningan merupakan hari Pemacekan Agung. Saat ini merupakan tonggak batas antara permulaan dan berakhirnya kegiatan hari Galungan yakni 30 (tiga puluh) hari ke depan dan ke belakang, yang dimulai dari hari Tumpek Wariga dan berakhir pada Rabu Kliwon pahang.
Upacara Pemacekan Agung ini tujuannya untuk mengembalikan Sang Bhuta Galungan beserta para pengikutnya kembali ke asalnya masing-masing. Saat ini disuguhkan Segehan Agung yang memakai penyambleh ayam samalulung. Adapun pelaksanaan pada sore hari bertempat di depan pintu masuk pekarangan atau lebih.
8. Hari Kuningan
Suatu upacara untuk menyongsong hari Kuningan, maka persiapannya dimulai sejak hari Rabu Pahing Kuningan yaitu tiga hari sebelum hari Kuningan dilaksanakan pemujaan kehadapan Dewa Wisnu dengan mempersembahkan sajen ditempat-tempat pemujaan.
Kemudian pada hari Jumat Wage Kuningan merupakan hari penampahan Kuningan sekalian mempersiapkan sajen dan sarana lainnya untuk keesokan harinya.
Pada hari Sabtu Kliwon Kuningan tibalah hari raya Kuningan yaitu sepuluh hari setelah Galungan. Pada hari ini para Dewa serta pitara melakukan penyucian serta menikmati pesembahan yang dipersembahkan dan kemudian kembali ke kahyangan dengan memberkahi kekayaan, kejayaan, kedamaian (kedirgayusaan) kepada umatnya. Sajen yang dipersembahkan berisi yang berwarna kuning, lauk pauk dan wayangwayangan. Sedangkan tamiang kolem digantungkan pada bangunan-bangunan, baik bangunan tempat tinggal maupun tempat pemujaan.
Persembahan sajen endongan yang dilakukan pada hari raya Kuningan bermakna sebagai bekal yang dipersembahkan oleh manusia menuju ke kahyangan. Sedangkan tamiang kolem bermakna untuk melindungi manusia dan tempat-tempat pemujaan, tempat tinggalnya, agar tidak diganggu, oleh para bhuta kala atau kekuatan lainnya yang dapat mengacaukan ketentraman umatnya, dengan harapan kedamaian dan kebenaran tetap ditegakkan.
Penggunaan bija kuning mempunyai persamaan dengan nasi kuning yaitu untuk penyucian terhadap Dewi Durga serta buta kala lainnya. Pelaksanaan persembahan dilakukan pada pagi hari yang dimulai dengan permbersihan tempat pelaksanaan upacara dan menghaturkan sajen pengeresikan, dilanjutkan pemasangan sarana perlengkapan busana pelinggih serta menghaturkan sesajen pada masing-masing pemujaan yang dihaturkan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, juga kehadapan Sang Dumadi untuk memohon berkahnya melalui persembahyangan bersama dengan sanak keluarga, agar memperoleh perlindungan, keselamatan, kesehatan jasmani dan rohani untuk selalu tabah dalam menghadapi hidup ini.
9. Rabu Kliwon Pahang atau Upacara Akhir Galungan
Rangkaian pelaksanaan hari raya Galungan berakhir pada hari Rabu Kliwon Pahanga yang dikenal dengan nama Buda Kliwon Pegatwakan. Pegatwakan maknanya bahwa rangkaian upacara Galungan sudah berakhir. Secara etimologis kata pegatwakan berasal dari kata pegat dan wakan, kata pegat artinya putus atau bebas, wakan atau warah artinya bicara. Makna pegatwakan maksudnya berakhirlah rangkaian atau runtutan Galungan dan bebas dari pantangan-pantangan yang berlaku saat ini sesuai dengan warah-warah Hyang Widhi dalam manifestasinya Hyang Durga.
Antara wuku Dunggulan sampai dengan Rabu Kliwon Pahang disebut Nguncal balung yang lamanya tiga puluh lima hari. Nguncal artinya melepas. Balung artinya tulang. Jadi, Nguncal balung artinya melepas atau membuang tulang atau melepaskan kekuatan atau telah dilepasnya kekuatan-kekuatan sifat-sifat kala dari Sang Hyang Kala Tiga, baik dalam wujud Purusa maupun pradhana yang tujuannya untuk kembali ke alam semia yaitu alam ketenangan.
Secara sekala semua sarana upakara diambil dilepas kembali, seperti lamak, candiga, gantung-gantungan, tamiang, endongan, dan sebagainya dikumpulkan dan dibakar, abunya dimasukkan pada sebuah kelapa gading (kelapa yang berkulit kuning) yang muda dan dikasturi kemudian ditanam di tengah-tengah halaman rumah sebagai simbol kekuatan hidup.
Mengenai upakaranya seperti tumpeng, ajuman, canang lenga wangi, canang burat wangi, kwangen, dan segehan manca warna.
Pelaksanaannya dimulai membersihkan sarana upakara yang telah dipakai, dilanjutkan menghaturkan sajen di Sanggah Penjor yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Tiga Wisesa, kemudian penjor dapat dicabut sekalian dibakar serta abunya ditanam dihalaman rumah dengan memohon kehadapan Ibu Pertiwi agar memberikan perlindungan, keselamatan, dan kekuatan hidup. Sebagai acara terakhir adalah melaksanakan persembahan yang bersama mohon tirtha serta bija.
Dengan berakhirnya pelaksanaan upacara pegatwakan maka berakhir pulalah rangkaian upacara hari raya Galungan, pelaksanaan seperti ini secara berkala dirayakan setiap enam bulan sekali atau setiap dua ratus sepuluh hari sekali.
Perlu diingat bahwa dari semua rangkaian hari raya Galungan yang telah diuraikan di atas mengandung makna yang luhur dalam upaya meningkatkan pembinaan mental spiritual umat sedharma, guna terwujudnya umat yang tangguh dan tahan uji serta penuh tanggung jawab dalam menunaikan dharma agama dan dharma negara.
10. Tumpek Uye
Tumpek Uye jatuh pada hari Sabtu Kliwon Uye yang lebih dikenal dengan sebutan Tumpek Kandang. Pada saat ini merupakan saat untuk melakukan hal kebaikan kepada segala jenis binatang dan perbuatan ini adalah sebagai perwujudan rasa timbal balik antara manusia dengan binatang yang telah banyak membantu manusia.
Manusia wajib melakukan hal yang baik terhadap binatang, dengan demikian binatang-binatang yang ada tidak akan terjadi kepunahan atau kelangkaan. Umat Hindu secara tradisi wajib menyelaraskan kehidupan binatang melalui persembahan Yajña-yajña pada hari Tumpek Kandang tersebut.
Secara sekala kita memelihara kehidupan binatang dengan membuatkan kandang, memberikan makan, membersihkan kotorannya dengan maksud agar binatang tersebut cepat dan menghasilkan, kalau sudah menghasilkan yang banyak maka kehidupan manusia pun menjadi tenteram dan bahagia. Suguhan upacara Nyaag yaitu memberikan makan berupa ketupat, lauk pauk yang ada pada sajen tersebut.
Upacara Tumpek Kandang tergolong pelaksanaan Dewa Yajña karena yang dipuja adalah Sang Hyang Rare Angon yaitu Hyang Siwa dalam manifestasinya sebagai pengembala.
Namun secara kenyataan dapat digolongkan dalam pelaksanaan Butha Yajña, karena umat berupaya menselaraskan kehidupan binatang itu sendiri dengan jalan memelihara binatang atau mengandangkannya secara teratur.
11. Hari Tumpek Wayang
Setiap hari Sabtu Kliwon Wayang umat Hindu melaksanakan perayaan hari Tumpek Wayang, karena saat ini merupakan hari yang baik untuk menghaturkan rasa bakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Iswara.
Sang Hyang Iswara sebagai penguasa bunyi-bunyian yang bernilai seni budaya dan
yang berkaitan dengan upacara keagamaan seperti halnya: gong, gender, angklung,
gambang, wayang, genta dan lain-lainnya yang bersifat sakral.
Saat ini biasanya umat menghaturkan upacara pujawali dengan maksud dapat memberikan kedamaian bathin serta dapat membangkitkan semangat dan kegairahan hidup dalam suasana penuh kesucian. Perayaan Tumpek Wayang juga dikenal dengan mama Tumpek Ringgit.
12. Piodalan Sang Hyang Saraswati
Setiap hari Sabtu Umanis Watugunung diperingati hari raya Saraswati. Perayaan Saraswati merupakan peringatan turunnya ilmu pengetahuan. Pemujaan yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Aji Saraswati sebagai sumber ilmu pengetahuan. Kata Saraswati berasal dari kata Saras artinya sesuatu yang mengalir, percakapan, kata-kata atau pengetahuan dan wati artinya yang memiliki. Jadi Saraswati bermakna Dewanya kata-kata, pengetahuan dan kebijaksanaan.
Perayaan Saraswati umumnya dirayakan oleh seluruh umat Hindu, para belajar, guruguru, cendekiawan, warga masyarakat baik di sekolah-sekolah, kantor-kantor. Rumahrumah maupun dalam lingkungan masyarakat setempat.
Upacara pemujaan Saraswati dilaksanakan pada pagi hari atau sebelum tengah hari dan apabila dilaksanakan pada siang hari adalah kurang bermanfaat, karena Hyang Saraswati sudah kembali ke tempatnya. Pula sebelum tengah hari tidak diperkenankan untuk membaca dan menulis mantra atau kesusastraan, dimaksudkan agar Hyang Saraswati senantiasa menganugrahkan sinar pengetahuan sucinya pada kita.
Dewi Saraswati diwujudkan dengan aksara “OM Kara” dan dipersonifikasikan sebagai wanita cantik bertangan empat memegang wina, genitri, kropak, disekitarnya ada merak dan angsa. Adapun makna simbolis yang terkandung didalamnya adalah:
- Wanita cantik bermakna bahwa ilmu pengetahuan memberi daya tarik dan disenangi oleh setiap orang.
- Bertangan empat maknanya adalah sebagai kekuatan atau kemampuan untuk menjangkau segala arah.
- Kropak atau cakepan maknanya adalah sebagai sumber ilmu pengetahuan suci.
- Wina bermakna bahwa pengetahuan itu dapat memberikan rasa indah, menarik estetis.
- Genitri bermakna bahwa pengetahuan itu tiada habis-habisnya untuk dipelajari, karena tiada berawal dan tiada berakhir.
- Angsa bermakna sebagai suatu ketenangan dan kewaspadaan atau dengan pengetahuan dapat meningkatkan ketenangan dan kesadaran atau kewaspadaan diri.
- Burung Merak sebagai lambang keagungan, kewibawaan, martabat yang mulia yang dapat membantu dan membahagiakan makhluk ciptaan Tuhan.
Semua kitab suci, buku-buku, lontar-lontar, maupun buku pengetahuan lainnya dikumpulkan pada suatu tempat untuk diupacarai dengan maksud agar Hyang Saraswati memberikan sinar sucinya dengan menganugrahkan pengetahuan suci.
Setelah upacara selesai maka pada hari Minggu Pahing Sinta dilanjutkan dengan upacara Banyu Pinaruh yang bertujuan untuk penyucian diri lahir bathin. Biasanya dilakukan penyucian secara lahir dengan mandi di sungai, danau, laut, di tempat-tempat yang suci atau dengan menggunakan air kumkuman. Sedang penyucian batinnya yaitu dengan mohon tirtha Saraswati. Surudan yang maknanya bahwa kita mendapatkan anugerah kebijaksanaan dan terbebas dari kebodohan.
13. Upacara Siwaratri
Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sanghyang Siwa sedang beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pemusatan pikiran kehadapan Sang Hyang Siwa dalam usaha menemukan kesadaran diri atau atutur ikang atma ri jatinya, dan hal ini diwujudkan dengan melaksanakan brata Siwaratri.
Adapun Brata Siwaratri terdiri dari:
- Yang tergolong pelaksanaan utama seperti: Monabrata yaitu berdiam diri dan tidak berbicara sambil memusatkan pikiran kehadapan Hyang siwa.
- Upawasa yaitu berusaha untuk tidak makan dan minum.
- Jagra atau Tan Aturu / Tan Mrema yaitu selalu berjaga, begadang, tidak tidur sambil mempelajari ajaran Agama Hindu dan memusatkan pikiran pada hal-hal kesucian.
- Yang tergolong pelaksanaan madhya adalah upawasa dan jagra.
- Sedangkan yang tergolong pelaksanaan nista adalah jagra.
Dari beberapa pelaksanaan Brata Siwaratri di atas dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang sifatnya tidak memaksa atau mengikat, disini dituntut kesadaran diri dari masing-masing umat Hindu dalam melaksanakan brata tersebut dan tentunya pula disesuaikan dengan situasi setempat atau desa kala patra.
Mengenai waktu pelaksanaan hari Siwaratri jatuh pada hari Catur dasi krsnapaksa bulan Magha atau pada Panglong paing 14 sasih Kapitu.
Bulan Magha atau sasih Kapitu ini merupakan malam yang tergelap dalam satu tahun dan umat Hindu diingatkan untuk dapat menemukan kesadaran dirinya walaupun saat itu merupakan malam yang tergelap.
Lebih jauh bahwa Siwaratri merupakan malamnya Siwa sebagai suatu saat yang baik memberikan penghormatan kehadapan Hyang Siwa. Dewa Siwa dalam kekuatannya sebagai melebur atau pralina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk bahagia. Kata Ratri artinya malam dan juga diartikan kegelapan. Jadi, Siwaratri suatu malam untuk melenyapkan kegelapan hati menuju jalan yang terang atau benar.
Upacara Siwaratri bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada manusia untuk menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada pertarungan antara sifat kebenaran dan ketidakbenaran atau sifat kedewataan dan sifat keraksasaan (Suri Sampad atau Asuri Sampad) Atau kalau dikaitkan dengan perilaku manusia maka adanya pertentangan antara perbuatan yang baik dengan perbuatan yang buruk (subhakarma dan asubhakarma).
14. Upacara Hari Raya Nyepi
Hari Raya Nyepi adalah perayaan hari tahun baru Saka yang jatuh pada penanggal apisan sasih kedasa (eka sukla paksa waisak) sehari setelah tilem Kesanga (Pana Dasi Krsna Paksa Caitra).
Penyucian Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit (makrokosmos dan mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa), terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaran (keharmonisan/keindahan).
Untuk merayakan hari raya Nyepi atau Tuhan Baru Caka, maka ada dua kegiatan penting, yaitu: upacara Melasti dan upacara Pecaruan. Lebih lanjut dalam model ini dibicarakan mengenai pelaksanaan upacara melasti yang ada kaitannya dengan upacara Dewa Yajña. Sedangkan mengenai upacara pecaruan merupakan pelaksanaan upacara Bhuta Yajña yang nantinya akan diuraikan dalam modul berikutnya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa rangkaian perayaan hari raya Nyepi dimulai dengan acara melasti yang dikenal juga dengan nama melis atau mekiyis. Upacara melasti ini mempunyai makna untuk menyucikan Arca, Pratima, Nyasa atau Pralingga, karena kesemua sarana ini sebagai media untuk memusatkan pikiran dalam rangka memuja Sang Hyang Widhi, para Dewa-dewi, Bhatara-bhatari, Leluhur. Upacara melasti ini dilaksanakan tiga atau empat hari sebelum hari Raya Nyepi.
Pada saat melasti inilah semua Arca. Pratima dan yang lainnya disucikan ke laut ke mata air terdekat yang dianggap suci seperti: danau, sungai, atau tempat pesucian khusus yang ada sesuai dengan tradisi setempat.
Upacara melasti maknanya yaitu melenyapkan penderitaan masyarakat dan kekotoran dunia serta untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah-tengah lautan.
Saat sehari sebelum hari raya Nyepi juga dikenal pangerupukan, yang secara simbolis diwujudkan dengan pelaksanaan meobor-obor dan mengarak ogoh-ogoh keliling desa dan juga di sekitar pekarangan rumah sebagai simbolis untuk mengusir pada bhuta kala atau makhluk jahat yang mengganggu kehidupan manusia.
Kemudian pada puncak hari raya Nyepi, maka seluruh umat Hindu wajib melaksanakan catur brata Nyepi atau melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi. Adapun catur brata Nyepi yang dimaksudkan yaitu:
- Amati Geni yakni tidak menyalahgunakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu.
- Amati karya yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani.
- Amati lelunganan yaitu tidak bepergian melainkan melakukan mawas diri/ introspeksi diri.
- Amati lelanguan yaitu tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Sang Hyang Widhi Wasa.
Catur Brata Nyepi ini dilaksanakan selama sehari penuh atau selama 24 jam. Sehari setelah perayaan Nyepi, maka dilanjutkan dengan Ngembak Agni (labuh brata/lebar puasa) sebagai hari selesainya melakukan berbagai bentuk brata atau upawasa.
Pada saat Ngembak Agni ini umat melaksanakan kunjungan untuk “Upaksana” (saling memaafkan dan melaksanakan dharma Shanti baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat). Dalam lingkungan keluarga dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan dalam keluarga dan menyampaikan ucapan selamat tahun baru atas terbinanya kerukunan dan perdamaian dalam keluarga. Mengenai pelaksanaannya dapat dilaksanakan pada saat ngembak agni dan beberapa hari sesudah itu.
Selanjutnya Dharma Santhi dalam lingkungan masyarakat ataupun pada instansi tertentu disesuaikan dengan tradisi setempat. Pelaksanan dalam lingkungan masyarakat dapat diisi kegiatan dharma wacana, dharma gita (lagu-lagu keagamaan/kidung, kekawin, pembacaan sloka), dharma tula (diskkusi), persembahyangan bersama, pentas seni yang bernapaskan keagamaan, serta memberikan dana punia kepada yang patut menerimanya.
15. Upacara Ngusaba Nini dan Ngusaba Desa
Di sini perlu juga kami ketengahkan uraian tentang “ngusaba nini ngusaba desa” yang juga merupakan salah satu kegiatan upacara Dewa Yajña. Walaupun pelaksanaan upacara Ngusaba Nini dan Ngusaba Desa masih dirasakan belum populer bagi umat Hindu di Indonesia, maka ada baiknya juga kami uraikan sekilas mengenai makna pelaksanaannya.
Upacara Ngusaba Nini merupakan suatu perayaan/peringatan yang dilakukan pada tempat pemujaan yang berhubungan dengan masalah pertanian atau subak. Upacara selamatan untuk lahan pertanian yang basah terutama yang menghasilkan padi dan yang lainnya disebut dengan Ngusaba Nini.
Sedangkan yang berkenaan dengan upacara selamatan pada lahan kering (ladang) dikenal dengan nama Ngusaba Desa. Upacara Ngusaba Nini dan Ngusaba Desa bertujuan agar kegiatan pertanian dapat menghasilkan dengan baik dan tidak diganggu oleh segala hama dan penyakit yang dapat merugikan pertanian, seperti: tikus, walang sangit, ulat, wereng, dan hama serta penyakit lainnya.
Pelaksanaan upacara ngusaba nini dan ngusaba desa memiliki keterkaitan yang bertujuan agar terwujud kesucian terus menerus yang tentunya bumi atau wilayah pertanian itu dapat menjadi subur dan dapat menghasilkan dengan baik. Ngusaba Desa dapat juga diartikan sebagai suatu upacara yang berfungsi untuk penyucian/samskara terhadap karang desa itu sendiri termasuk juga perumahan-perumahan yang ada didalamnya.
Adapun pendukung pelaksanan upacara ini adalah kerama desa atau warga desa itu sendiri yang pelaksanaannya langsung selamatan pada suatu pura yang satu dengan yang lainnya kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri (saktinya Dewa Wisnu) sebagai penguasa kesuburan dan kemakuran. Dewa Wisnu sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran yang diwujudkan dengan Dewa Nini atau Bhatari Sri yang selalu dipuja oleh umat Hindu Khususnya para Petani.
Mengenai pelaksanaan upacara Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini agar dipilih waktuwaktu yang baik, seperti pada Purnama Kedasa (10) yang dikenal dengan nama Merthabumi, karena pada saat ini air terus mengalir atau murah serta saat itu hasil pertanian menghasilkan dengan baik. Juga pada Tilem dan Purnama sasih Kapat (4) merupakan juga hari yang baik sekali, sedangkan pada sasih Kasa (1) adalah madya (sedang), tetapi kalau pada saat sasih Desta (11) menyebabkan munculnya hama dan penyakit terus-menerus. Hari baik buruknya inilah perlu diperhatikan, jangan sampai dilanggarnya.
16. Upacara Melaspas
Upacara melaspas merupakan rangkaian dari mendirikan adanya bangunan-bangunan suci yaitu dengan mempersembahkan sesajen-sesajen pada bangunan tersebut, yang bertujuan untuk menyucikan semua bangunan dan menstanakan Dewa atau Bhatara-Bhatari yang dimaksud, atau juga ingin mempertemukan adanya unsur sekala (nyata) dengan unsur niskala (tidak nyata). Sebagai unsur sekalanya berupa bangunan dan pada penyungsungnya sedangkan unsur niskalanya adalah Ida Bhatara-Bhatari yang distanakan.
Upacara Melaspas ini sebelumnya sudah dilaksanakan peletakan batu pertama serta oleh Sulinggih atau Pandita dilakukan pemendeman atau pengisian pedagingan. Setelah persiapan sesajen yang akan disuguhkan ditempatkan di sekitar bangunan suci, maka dilanjutkan dengan menghaturkan upacara pesaksian ke surya, nunas tirtha pengelukatan/ pebersihan dan melakukan pengurip-uripan. Semua bangunan diperciki tirtha dilanjutkan dengan pemujaan pemakuhan (pendirian bangunan suci) dan juga pemujaan pemelaspasan (penyucian), kemudian dilanjutkan dengan sembahyang bersama sekaligus mohon tirtha.
17. Upacara Piodalan
Upacara piodalan merupakan rangkaian upacara peringatan kembali untuk memuja manifestasi Ida Sang Hyang widhi pada suatu pura atau tempat-tempat pemujaan tertentu yang pelaksanaannya dilakukan setiap waktu yang telah ditentukan (setiap enam bulan atau setahun sekali).
Upacara Piodalan bertujuan untuk menyampaikan rasa terima kasih atau rasa angayubagia atas keselamatan dan kesejahteraan yang dianugerahkan Tuhan melalui persembahan sesajen-sesajen. Upacara piodalan pada tempat suci tertentu biasanya dituntun langsung oleh Sulinggih (oleh Pandita dan Pinandita) pura setempat.
Referensi:
Sukrawati, Ni Made. 2019. Acara Agama Hindu. Denpasar: UNHI Press.
Dikutib Dari Buku: Acara Agama Hindu Karya Dr. Ni Made Sukrawati, S.Ag., M.Si halaman 133-162
0 Response to "Jenis-Jenis Pelaksanaan Upacara Dewa Yajña dalam Agama Hindu"
Post a Comment