Tongkonan Simbol Alam Semesta dan Hukum Karma

HINDUALUKTA-- Pembagian rumah Tongkonan menjadi tiga secara vertikal merupakan manifestasi dari dikotomi adanya dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Terdapat pengertian yang lebih luas mengenai konsep dan struktur kosmos. Pertama “dunia atas”, berada pada tingkat tertinggi, ulunna langi’ (kepala langit) tempat bersemayam Puang Matua, yang menjaga keseimbangan siang dan malam di dunia dan diasosiasikan dengan ‟matahari”. Sesuatu yang tidak tergantung pada apapun, disebut allo (siang hari/terang) dan diidentifikasikan sebagai laki­laki, berada di atas, terang dan baik.

Kedua, ‟dunia tengah” berada di permukaan bumi tempat manusia menjalani kehidupan, dan wajib melaksanakan upacara­upacara persembahan dan pemujaan dalam tiap fase kehidupannya. Dunia tengah merupakan tempat pertemuan dunia atas dan dunia bawah. Karena itu, dikonotasikan sebagai kerukunan, gotongroyongan dan yang terpenting mewakili pengertian harmonisasi. Harmonisasi merupakan keseimbangan susunan alam, keseimbangan perintah dan pemali (larangan), yang mengatur keseimbangan sosial, keseimbangan mobilitas horizontal dan keseimbangan antara timur­barat, utaraselatan.
Pembagian Rumah Adat

Ketiga, ‟dunia bawah” berada di bawah air, diidentifikasi sebagai bawahan dan buruk (neraka). Bagian yang ditopang oleh Dewata Pong Tulak Padang (Dewa penguasa bumi dan segala isinya) yang mendukung dan memberikan kekuatan pada Tongkonan serta kehidupan manusia di bumi. Pola pikir tersebut akhirnya diwujudkan secara mikro pada rumah Tongkonan. Pembagian alam raya berdasarkan kepercayaan Aluk Todolo kemudian menjadi konsep dasar terwujudnya bentukan rumah Tongkonan.

Selain pembagian secara vertikal, terdapat aturan­aturan yang mengacu pada titik pusat atau keempat penjuru mata angin. Aturan mengenai arah mata angin dan arah gunung merupakan faktor utama dalam membangun sebuah rumah Tongkonan. Salah menentukan arah, salah menentukan hewan persembahan, salah menentukan hari baik, dan semua pemali (larangan), diyakini akan ada dampaknya dikemudian hari. Konsep tersebut relevan dengan hukum karmaphala dalam ajaran Hindu.

Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau diluar kesadaran, kesemuanya itu disebut “karma”. Ditinjau dari segi etimologinya, kata karma berasal dari kata “Kr” (bahasa Sanskerta), yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut hukum sebab akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikian sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau pahala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut hukum karmaphala.

Karma artinya bukan saja perbuatan, tetapi juga hasil dari perbuatan, sesunggunya akibat dari perbuatan bukanlah sesuatu yang terpisah dari perbuatan itu sendiri, tetapi bagian dari perbuatan. Pohon menghasilkan buah, buah tersebut kemudian menjadi benih, dikemudian hari, benih tersebut akan tumbuh kembali menjadi pohon yang nantinya akan menghasilkan buah lagi. “Karma phala ika palaning gawe hala hayu”, artinya “karmaphala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan atau karma.

Setiap orang tidak dapat menghindar dari phala perbuatannya sendiri, hanya saja waktu menerima dari hasil perbuatan sersebut berbeda, seperti yang dikenal dengan istilah: Sancita, merupakan hasil perbuatan masa lampau yang belum habis dan diterima pada kehidupan masa kini (sekarang). Prarabda, merupakan hasil perbuatan yang dilakukan sekarang, diterima habis pada kehidupan sekarang juga. Kryamana, merupakan hasil dari perbuatan yang dilakukan belum habis pada kehidupan sekarang, akan diterima di kemudian hari atau kehidupan yang akan datang
Pada pembagian rumah Tongkonan, bahwa yang di bagian utara adalah tempat suci sebagai tempat bersemayam Puang Matua, bertolak belakang dengan bagian selatan sebagai tempat hidup jiwa­jiwa yang gentayangan, yang belum selesai diupacarakan.

Sementara pada arah timur­barat juga saling bertentang. Bagian timur mempunyai makna konotasi sebagai sumber kehidupan, sedangkan bagian barat adalah asal dari kegelapan dan kematian. Aturan yang paling utama, bahwa rumah Tongkonan selalu menghadap ke utara, ke arah ulunna lino (kepala bumi). Rumah Tongkonan merupakan ungkapan simbolik sebagai penghormatan dan pemuliaan kepada Puang Matua, sang pencipta jagad raga, yang dipercaya bersemayam di bagian utara, sehingga penjuru utara tidak boleh dibelakangi, artinya rumah Tongkonan harus selalu menghadap ke Puang Matua, agar selalu mendapat berkah dari­Nya.

Mengacu pada sistem budaya Toraja, maka tata letak/posisi rumah Tongkonan menjadi tanda indeks bagi penjuru mata angin (utara, selatan, timur, dan barat), yang sekaligus bermakna simbolik sebagai penjuru utama dan sebagai pedoman untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan, para Dewata, manusia maupun dengan to lenduk membali puang (leluhur yang telah menjadi Dewa). Oleh karena itu, upacara adat untuk memuja dan memuliakan Puang Matua dilaksanakan di depan (di bagian utara) Tongkonan, seperti pada pesta adat dengan upacara penyembelihan hewan kurban sebagai sesajen dalam peresmian pembuatan atau pembaharuan (renovasi) sebuah rumah Tongkonan yang dinamakan mangrara banua. Ritual dimaksudkan sebagai ungkapan memuliakan Puang Matua dan sekaligus merupakan cara bagi penganut kepercayaan leluhur (Aluk Todolo) untuk bersyukur atas berkah­Nya.

Praktik dari ajaran Aluk Todolo tidak terlepas dari tiga oknum. Dimaksud dengan tiga oknum adalah yang dipuja oleh pengikut ajaran Aluk Todolo, yakni Puang Matua, para Dewata, dan Leluhur. Tingkat upacara pemujaan kepada tiga oknum tersebut, dibedakan atas jumlah hewan kurban yang dikurbankan dan tempat pelaksanaan upacara, seperti:

Persembahan kepada Puang Matua dengan kurban persembahan berupa kerbau, babi dan ayam dilakukan di depan rumah Tongkonan atau di tempat lain sesuai dengan oknum yang dipuja; Persembahan kepada para Dewata dengan kurban persembahan berupa babi dan ayam, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi orang yang mampu untuk menggunakan kerbau. Pemujaan dilaksanakan di bagian timur rumah Tongkonan; Persembahan kepada Tomembali Puang/leluhur dengan kurban persembahan berupa babi atau ayam, dilaksanakan di bagian barat rumah Tongkonan atau di kuburan.

Berhubungan dengan tempat melaksanakan kurban mengikuti arah mata angin, maka konsep tentang kosmologi pada rumah Tongkonan sangat berpengaruh. Kesalahan menggunakan aturan alukna bangunan banua (aturan mendirikan rumah Tongkonan), diyakini akan mendatangkan ganjaran bagi pelakunya, sesuai dengan tindakan yang dilakukannya. Sebagai pedoman dalam menjalani fase kehidupan, orang Toraja sangat menghargai, bahkan ketakutan jika melanggar yang disebut dengan pemali­pemali (larangan­larangan), terutama yang berhubungan dengan leluhur mereka. Hal tersebut merupakan keyakinan atau percaya akan adanya hasil dari perbuatan yang jika sekarang tidak diterima, dikemudian hari pasti akan diterima.


0 Response to "Tongkonan Simbol Alam Semesta dan Hukum Karma"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel