Makalah Lontar Jnana Sidhanta

BAB I
PENDAHULUAN

Kepercayaan kita terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini beserta isinya, menjadi salah satu alas an seseorang menganut suatu agama tertentu. Di dunia terdapat berbagai macam agama yang tersebar dan berkembang  hingga saat ini. Namun di Indonesia ada enam agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu agama Hindu, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Konghucu. 
            
Sama halnya dengan agama lain, agama Hindu juga memiliki kitab suci yaitu Veda. Veda merupakan wahyu Ida Sang Hyang Widhi atau pengetahuan suci yang bersumber dari Tuhan itu sendiri. Veda juga merupakan pedoman bagi umat Hindu baik itu dalam berperilaku, tata cara pembangunan tempat suci maupun dalam hal mellaksanakan ritual keagamaan.
            
Selain Veda (kitab suci) itu sendiri, umat hindu juga berpedoman pada lontar-lontar yang diyakini mengandung ajaran tertentu yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Lontar tersebut pada umumnya ditulis pada sehelai daun ental dan menggunakan aksara Bali, dan ada yang memang boleh kita pelajari tapi ada juga lontar yang diyakini memiliki nilai mistik tertentu. Ada banyak lontar yang terkenal dan sudah banyak terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan tujuan agar kita lebih mudah mempelajari dan memehami isi dari lontar tersebut. Adapun contoh-conhtonya antara lain, Bhuwana kosa, Tattwajnana, Wrhaspatitattwa, Ganapati Tattwa, Purwaka Bhumi, Sanghyang Mahajnana dan lainnya. Pada makalah ini akan dibahas sedikit mengenai lontar Jnanasiddhanta, dimana lontar ini lebih banyak membahas mengenai konsep Saivasiddhanta karena sebagian besar membahas menganai ajaran tentang Siva. Lontar ini terdiri dari 27 Bab, dimana penjelasan mengenai masing-masing bab tersebut akan dibahas ddalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN


1. Catur Viphala

Menurut pandangan doktrin ini pembebasan tercapai tingkat demi tingkat. Tingkatan-tingkatan itu dipandang sebagai konsep-konsep yang abstrak sama sekali, atau sebagai sesuatu yang terkait dengan berbagai manifestasi Mahadewa Siva. Dalam bab ini tingkatan-tingkatan itu dipandang menurut arti yang abstrak dan disebut: nihspra, nirbana, niskala dan nirasraya.

Catur Viphala yang dapat diterjemahkan sebagai Keempat Tingkat Peniadaan dan Pembebasan. Kata Viphala, secara harfiah berarti berbuah. Bila kita memahami istilah ini maka dapat diartikan sebagai suatu petunjuk, bahwa telah mencapai tingkat yang mengahiri hasil karma perbuatan seseorang semasa hidupnya yang lalu. Ini berarti bahwa telah tercapainya pembebasan sempurna.

Konsep pembebasan berkaitan erat dengan Pengetahuan yang Benar atau Pengetahauan Tertinggi, karena pengetahuan itulah yang pertama-tama diperlukan untuk mencapai suatu pembebasan. Yang dianggap pengetahuan mencakup smua pengetahuan yang kongkrit.

Dalam bagian keduan bab ini kita berjumpa dengan sloka Sansekerta pertama dalam sloka tersebut dikatakan bahwa sikap terbaik bagi seorang murid ialah pertama-tama dan terutama melakukan tata upacara yang diwajibkan sebelum ia berkonsentrasi mengnai pembebasan jiwa.

Istilah majemuk diksi-vidhi-vidhana diterjemahkan secara netral sebagai “menepati upacara penghabisan”. Di india, kata diksa dan vidhi dikenal sebagai kata-kata yang mempunyai arti sebagai contoh dapat diajukan, bahwa dalam istilah Avaidika Saiva kata diksa diartikan sebagai suatu upacara khusus tanpa melakukan upacara itu tak seorang pun dapat mencapai moksa. Dan vidhi dapat diartikan dengan kelakuan yang harus ditepati. Tradisi India yang mana mempengaruhi Indonesia sama sekali tidak pasti bahwa sekta-sekta yang ditemukan di India, juga dianut di Indonesia. Namun, segala data dari India pantas diperhatikan.

2. Prayoga-sandhi

Bab isi sangat singkat dan dalam bentuk ini hanya diketemukan dalam D dan K. Tetapi istilah prayogasandhi kita jumpai dalam berbagai teks lainnya. Dalam Vrh yang disunting oleh Sudarshana Devi misalnya, yang berbunyi : (karena ini dinamakan prayogasandhi dan dirahasiakan oleh pendeta). Dari kutipan singkat diatas ini kita memperoleh suatu gambaran jelas apa yang dimaksud dengan prayogasandhi.

Dalam Jnanasiddhanta kita melihat, bahwa seorang murid yang sejati dapat mencapai pembebasan (manemu kamoksan) untuk sementara dalam tidurnya. Ini berarti bahwa ia elah menemukan pembebasan dalam dirinya. Dengan demikian pembebasan yang dicapainya waktu tidur harus dipandang sebagai pembebasan yang sifatnya sementara saja dan seorang bijak yang sejati mencapai tingkat itu lewat pengetahuannya mengenai prayogasandhi. Prayogasandhi yang terdapat dalam TJ yang menyebut Samyag-jnana, istilah tersebut dikatikan dengan tercapainya pembebasan, namun pada saat kematian. TJ juga menyebut tujuh tingkat yoga yang terkandung dalam Prayogasandhi. Tingkat-tingkat tersebut terdiri atas keenam tingkatan yoga. Dalam bab sama TJ juga menyebut sapta-pada yaitu ketujuh tingkat jaga dan tidur, dengan demikian sapta-pada berhubungan dengn prayogasandhi.

3. San Hyan Pranavajnana Kamoksan

Dalam keseluruhannya, Bab 3 merupakan suatu kumpulan catatan menganai berbagai hal. Bab ini diawali dengan semacam kata pengantar tentang suku kata OM. Dengan singkat disebut suatu deretan nama yang memperkenalkan bunyi OM, seperti misalnya Visna, Pranawa dan seterusnya. 

Pembahasan pertama mengenai OM disusul oleh suatu bagian pendek yang rupanya tak ada hubungan dengan hal-hal lain dalam bab ini dan kelihatan tak terpadu. Seperti dibuktikan oleh Hooykaas dengan melimpah dalam teks-teksnya ditengah-tengah kita menjumpai suatu intruksi mengenai rumus AM-AH guna memperpanjang hidupnya. Di tempat lain AM-AH dalam hubungan ini disebut rva-bhineda. Rva-bhineda merupakan suatu pokok yang dibahas dalam berbagai teks dan secara menyeluruh dibicarakan oleh De Kat Angelino dan Weck. Suku kata AM-AH walaupun kadang-kadang OM pun dicantumkan. Biarpun singkat saja, bagian ini dalam teks menjelaskan, bahwa pengucapan rumus AM-AH member hidup, sedangkan kebalikannya yaitu AH-AM hendaknya dipakai bila ajal menjelang. Penting sekali mengucapkan rumus ini dengan tepat. Dalam ajaran paniva, memutarbalikkan rumus AM-AH yang memberi hidup dilakukan dengan maksud yang jahat (ajaran guna-guna). Maka dari itu sangat pentinglah agar urutan rumus itu dilakukan dengan cermat.

Seterusnya juga disajikam diagram mengenai kata suci yaitu, I-HA-KA-SA-MA-RA-LA-VA-YA-U dengan ekuivalen, yaitu pancaksara NA-MA-SI-VA-YA dan pancabrahma SA-BA-TA-A-I. Dari diagram-diagram tersebut, yang paling mencolok dalam bab ini adalah bagian rumus AM-AH. AM-AH disamakan dengan parambrahma, yaitu tingkat pembebasan tertinggi.

Bab 3 berakhir dengan tiga sloka yang menerangkan pengucapan suku kata OM. Sloka-sloka tersebut disini tidak diterjemahkan namun biarpun tidak diterjemahkan dijelaskan bahwa pranava = OM disamakan dengan prinsip-prinsip tertinggi yaitu Parambrahma dan Siva. Dengan demikian judul Nampak jelas dengan teks yang disajikan disini.

4. San Hyan Pranava-Tridevi
Bab ini terutama terdiri atas diagram-diagram yang berhubungan erat dengan pokok-pokok yang disebut dalam Bab 3 diatas yang menjelaskan tentang pembahasan Om dan selanjutnya pembahasan mengenai diagram tersebut. Berdasarkan diagram-diagram itu jelaslah bahwa semua konsep timbul dari dan larut suku kata OM.

5. San Hyan Kahuvusan Jati Vivesa

Dalam bab ini kita melihat dengan parallel Buddhis, yaitu pada bagian terakhir. Yang teks tersebut menyajikan bagian dengan istilah Buddhis, terdapat di dalam Kalpabuddha naskah no. K776 dalam perpustakaan Kirtya, sebuah salinan teks ini tersimpan. Tetapi seluruh teks ini juga disajikan dalam naskah no. K 777 yang memperlihatkan sifat-sifat Sivais. 

Perbedaan-perbedaan tersebut hanya menyangkut nama yang diberikan jepada Dhat Tertinggi, tetapi pada awal bagian parallel rupanya kelihatan suatu perbedaan kecil dalam ungkapannnya. Metode yang diajarakan oleh Buddha dan metode seorang yang mencapai Siva, pada prinsipnya nama Buddha diganti dengan nama Siva saja. Perbedaan- perbedaan ini hanya akan berarti,di saat nama-nama Dhat Tertinggi diganti dengan padanan Buddhisnya.

Seperti yang telah kita lihat dalam Bab 1, Pengetahuan Yang Benar juga meliputi pengetahuan mengenai tatanan upacara yang tepat.  Tatanan upacara itu memang dianggap maha penting karena di dalam upacara itu pertama-tama pertemuan dengan Dhat yaitu pembebasan jiwa untuk sementara.

Kepercayaan bahwa jiwa yang sedangberangkat dapat dibimbing menuju pembebasan, secara singkat disebut oleh Weck berhubungan dengan dengan rva-bhineda (suku kata AM-AH). Sang bijak sejati yang maklum akan Pengetahuan Yang benar dapat juga memusatkan batin nya sedemikian rupa, sehingga pada saat kematian jiwanya dituntun langsung menuju Pembebasan, tanpa kembali kepada lingkaran inkarnasi. Berhubungan dengan pembebasan berarti penyatuan jiwa dengan Dhat Tertinggi, maka manusia harus tahu apa jiwa itu, apa Dhat Tertinggi, dan bagaimana sebenarnya hubungan antara keduanya. Keterangan deiberikan dengan perumpamaan-perumpamaan. Pertemuan jiwa dengan Dhat Tertinggi tersebut misalnya di umpamakan dengan Matahari yang bersinar dalam sejumlah tempayan yang penuh dengan air, sehingga citra matahari dapat dilipatgandakan. Perumpamaan mengenai matahari yang bersinar di tempaya ini di India sudah cukup umum. Menurut anggapan dalam kalangan ini Sang bijak sejati mampu juga menahan jiwanya bila keadaan kurang menguntungkan untuk mencapai pembebasan total. Pembebasan total itu akan menampakkan suatu cahaya yang putih bersih. Seketika jiwa dapat dibebaskan dari dalam tubuh menuju cahaya putih. Tetapi kalau perlu manusia yang sedang meninggal dapat juga menuntun jiwanya menuju ubun-ubun dan dari sanalah jiwa itu akan berlarut, dalam Agama Hindu disebut dengan marga.

Jiwa erat hubungan nya dengan bunyi OM dan yang terakhir memang keberangkatan jiwa hendaklah bersama-sama dengan pengucapan bunyi OM. Maka dari itu teramat pentinglah agar manusia memusatkan batinnya pada bunyi OM itu. Ini tidak mengherankan, karena OM merupakan lambing Dhat Tertinggi dan dengan Dhat Tertinggi itulah jiwa dipersatukan setelah mencapai pembebasan sempurna. Sampai hari ini, kepercayaan rakyat di Indonesia member suatu pengertian mistik kepada sebuah symbol tertulus yang mengahadirkan suatu prinsip sakral, entah itu huruf kudus atau nama Tuhan. Dengan demikian, jelaslah setiap huruf dianggap keramat.

Suatu hal yang menarik juga dalam bab ini ialah istilah Saiva Buddha yang disebut sampai tiga kali, tetapi hanya dalam teks –teks aliran Siva, bukannya dalam Kalpabuddha yang terpangkal pada Agama Buddha. Para pendeta bodha dalam upacara-upacara di bali pertama-tama mengurusi kematian, sedangkan yang dibicarakan dalam bab ini justru kematian dan cara meninggal dunia. Pada bab ini teks aslinya terdapat pada Buddhis, namun ditegaskan bagi para pemeluk agama Buddihs dan Siva teks tersebut amatlah penting bagi Agama Buddhis dan Siva tersebut.

6. Nirmala- jnana-sastra

Selama yang masih ada (san hyan mahan) tidak ingat akan kodratnya yang sejati, yaitu tubuhnya merupakan pramana visena (dan) ditaklukan oleh kehidupannya sehingga menjadi manusia, ia trus menurus hidup dalam semua makhluk hidup. Dan selama itu dia kena kotoran, noda, siklus kehidupan kembali, kejahatan dan kesalahan. Dari semua kotoran tersebut yang sesungguhnya yaitu bahwa ia merupakan Kenyataan mutlak, ia berhasil menghilangkan noda-noda kepapaan, kejahatan, dan kesalahanNya. Semuanya itu akan disingkirkan seluruhnya tanpa bekas, yaitu bila ia ingat bahwa ia merupakan aturan ilahi. Bukti bahwa ia ingat akan kenyataan mutlak yakni bahwa hasil pengetahuan benar disadari olehNya. 

Pengetahuan itu melaksanakan pengasingan-pengasingan ( kesunyian), tanpa memikirkan sesuatupun yang ditangkap oleh panca indera.  Bila keadaannya demikian, ia tidak lagi terkena kesusahan, kelahiran kembali, maupun oleh noda-noda, kejahatran dan kesalahan.  Seperti contoh laksana air dimasukan ke dalam sebuah periuk, air itu akan menguap dan tidak meninggalkan bekas apapun. Dapat dikatakan bahwa air tersebut menghilang tanpa bekas dan tidak dapat ditemukan lagi. Umpama dengan api? Pengetahuan benar. Apa yang dapat diumpamakan dengan memasak? Demikianlah pengetahuan tepat lenyap dan terlebur dalam San Hyan Visesa. Terdapat empat tujuan tertinggi Adhisthaana, pratisthaa, saanti dan saantyatitaa. 

Dimana Adhisthaana berarti kelepasan, pratisthaa berarti penebusan, Saanti berarti pembebasan, saantyatitaa berarti penyelenyapan sempurna. Itulah yang dinamakan keempat tujuan tertinggi yaitu ajaran bagi San Hyan Aadipramaana untuk kembali ke San Hyan Nisvabhava. Maka dari itu dia akan kembali ke kodratnya yang sejati yang dimiliki dahulu kala.  Maka dari itu keempat tujuan tertinggi diterangkan sebagai berikut : artha berarti tujuan, parama berarti tertinggi. Maka dari  itu paramartha berarti tujuan tertinggi itu merupakan tujuan tertgi aturan ilahi itulah sebabnya dinamakan ke empat tujuan tertinggi oleh Pendeta. Dijelaskan mengenai yoga dimana membayangkan Tuhan memiliki Tangan, kaki, kepala, tiga mata, empat lengan dan lima wajah. Yga yang seperti ini merupakan suatu hal yang salah apabila dilakukan oleh seorang pendeta, dan menyebabkan pendeta itu mengalami siklus kelahiran kembali.  

Namun apabila pendeta ilahi diliputi cahaya (jyotmaya) dan Vindudeva, itu berarti bahwa ia mencapai alam dewata. Akan menyebabkan seorang pendeta menuju tempat para dewa. Bila tuhan itu para yogi ditemukan pada tingkat pengetahuan mengenai anugrah tidur maka dinamakan perjumpaan dengan isvara kesunyian sempurna (Isvara Kailvalya), mendekati San Hyan Aadipramaana , tetapi bila tuhan para yogi terdapat pada tingkat Nissvabhava, itu disebut perjumpaan dengan yang ada yang tidak berasal, tidak berada, tidak bersama, tidak bersisa, tidak bertujuan dan yidak berarti. Itulah perjumpaan dengan yang ada.

7. Panca Paramartha

Ada suatu jalan yang tidak menuju kelahiran kembali. Itulah jalan lima Paramertha yang suci. Apakah lima paramertha itu? Pusat, jantung, tenggorokan, langit-langit mulut serta hidung. Kelima ini masing-masing seperti brahman tersebut pada berbagai tempat. Artinya : tempat sang pendeta pada saat kematian memperoleh pembasan merupakan tempat kediaman yang maha tinggi. Dalam pusat, dalam jantung, dalam tenggorokan, dalam langit-langit mulut, pada ujung hidung. Yang bertujuan untuk menemukan Bhattara visesa. Yaitu salah satu dari kelima tempat itu yang kelihatan bagaikan langit bersinar hendaknya diikuti dengan anugrah tuhan. Jika seseorang mengitung adanya enam paramertha, maka tempat dan mulut. Istilah Paramartha digunakan untuk menyatakan kenyataan yang tertinggi, yaitu sebagai tempat atau jalan keluar untuk mencapai pembebasan.

8. Sang Hyang Naisthika-Jnana

Guru yang suci yang tak ada tandingannya mengajarkan koderat ilahi sejati Sang Siva (San Hyan Siva-Tattwa). Sehingga mereka yang tidak memahami dan tidak dapat mengerti kesempurnaan Sang siva bisa menjadi memahami. Apa yang dinamakan pengetahuan tentang Siva tak ada tandingannya, Siva sangat luhur. Karena pengetahuan tentang dirinya menyebabkan kebebasan, menemukan kodrat yang sejati. Jadi keunggulan manusia adalah mengetahui Bhattara siva adalah Esa.

Siva bersifat Eka bukan dua atau tiga, Siva ada didalam Sthula Sarira, Suksma Sarira, dan dalam sunya. Ia disebut dalam pengucapan mantra-mantra, berbentuk dialam pikiran da diwujudkan ddalam pengetahuan yang sejati, tidak berbentuk dan maha tunggal. Kerahasiaan tentang kemahakuasaannya tidak dapat dipahami, ia maha sempurna, tak dapat digenggam ataupun disakiti, ia maha unggul tak ada satupun yang dapat mengunggulinya karena ia adalah Sada Siva. Lepaskanlah keterikatan akan segala maya dan ikatn dunia semasa kita hidup dan setelah berada di alam Niskala, karena dengan itu dapat mengetahui pengetahuan yang sempurna, menyatakan kesadaran yang tertinggi itulah yang dinamakan Pengetahuan Sempurna.

9. Sang Hyang Mahavindu

Mahavindu dipandang sebagai suatu yang esa, namun dipisahkan oleh Para dan Apara, sekala dan niskala. Segala yang baik dan buruk, besar dan kecil, kesempurnaan dan kegelapan, semua itu merupakan ciptaan Parama Siva itu sendiri, unsur dari Mahabhuta merupakan pembentuk dari seorang manusia. Ia yang lahir kembali sebagai manusia atau para dewa, merupaka berasal dari iunsur sekala atau masih terikat dengan duniawi, yang terus mengalir dari Siva. Sangnhyang Mahavindu jika diandaikan dengan tubuh ini Apara, dan bersifat Niskala. Ia melihat, mendengar, berfikir dan mengetahui, meliputi pengetahuan agung, suatu keutamaan yang tak dapat diubah, demikianlah ia adalah sumber kehidupan, awal dan ahir dari segala yang ada dan tiada serta yang akan ada.

10. Sang Hyang SaptOMkara

Tubuh ini merpakan perapian, batin adalah keharuman, batin adalah bunga, batin adalah dupa,roh yang tertinggi, organ tubuh merupakan kayu bakar yang dapat di gunakan untuk menyalakan perapian dan menciptakan api, atau batin yang sempurna. Sapta Devata Brahma, Visnu, Iswara, mahadewa, Rudra dan Sadasiva, dan Paramsarva, dikenal dengan ketujuh deva. Ketujuh deva membentuk Saptaaksara yaitu bunyi A, U, MA dan O. Ketujuh tempat tinggal didalam tubuh pusat, jantung, tenggorokan, ketujuh lubang, ditengah-tengah alis, tangan dan kepala itulah ketujuh tempat tinggal. Ketujuh dev juga memiliki waryang mewakili masing-masing dari tempal tinggalnya didalam tubuh. Sanghyang Visnu di dalam jantung, warnanya hitam, Isvara tinggal didalam tenggorokan warnanya putih, mahadeva di tujuh lobang yang ada berwarn kuning. 

11. San Hyan Pancavimsati  (Dua Puluh Luna) 

Disini dijelaskan bahwa, ada duapuluh luna (obyek kudus dalam bunyi OM). Bunyi A mempunyai sepuluh matra, U memiliki sepuluh sepuluh matra dan MA mempunyai tiga matra. Matra dalam hal ini merupakan tubuh bunyi OM. Tempat sumber bunyi dari kaki sampai ke kepala, kakinya seolah-olah dalam gegana (tempat pertemuan antara sayap hidung, mulut dan mata). Bentuknya yaitu; mempunyai sepuluh tubuh, sepuluh pembuluh darah dan tiga sakti. Sedangkan Ia juga ada di dalam Brahma; berwarna merah dan mempunyai bumi sebagai unsurnya, itulah wujud suara A.

a. Telah dikatakan bahwa;
Bila kita memulai di bumi dan berakhir diangkasa, maka inilah yang dinamakan kelima (maha)-bhuta (unsur); Bila kita memulai dengan bunyi dan berakhir dengan harum, maka itulah yang dinamakan (kelima) tan matra (unsur purba). 

Dan artinya adalah; kelima unsur ialah: bumi, air, cahaya,angin dan angkasa. Sedangkan yang dinamakan unsur purba ialah: bunyi,sentuhan,bentuk,rasa dan bau. Itulah kelima unsur dan kelima unsur purba. Mereka merupakan tubuh dari bunyi A, kelima unsur dan kelima unsur purba. Pembuluh dalam bunyi A adalah; vijaya, saumyamsu ,samjna, vrti, madanatmika, vardhani, mocani, maya, mohami, vodhani. Itulah kesepuluh pembuluh yang meliputi bunyi A. Lalu saktinya merupakan berdampingan, kecepatan batin, kemampuan untuk mengenakan setiap bentuk menurut kehendaknya, serta keutamaan yang tidak dapat diubah, itulah yang dinamakan ketiga sakti. Wilayah bunyi A ialah daerah yang berawal dari kaki sampai kepusat. Disitulah tempat tinggalnya. Dewanya ialah Brahma, warnanya merah, bumi adalah unsurnya dan AN merupakan rumus dasarnya. 

b. Disebutkan bunyi U mempunyai sepuluh tubuh dan oleh teradisi diajarkan, bahwa ia mempunyai sepuluh pembuluh; Dilengkapi dengan lima sakti. Itulah ciri  khasnya bunyi U. Seperti yang telah dikatakan bahwa;

Berawal pada telinga dan berakhir pada mata, inilah indera pencerapannya. Berawal pada tangan dan berakhir pada alat kelamin, itulah indera perbuatan.

Seperti yang dijelaskan diatas bahwa bagaimanakah kesepuluh tubuh itu menampakkan diri secara khas. Indera pencerapan ialah; srotra; telinga, tvak; kulit, jihva; lidah, ghrana; yaitu hidung, dan caksu; mata. Kesemuanya itu disebut indera pencerapan. Adapun indera perbuatan ialah; pani; tangan, pada; kaki, vak; mulut, payu; dubur, upastha; alat kelamin. Dan itulah kelimanya itulah disebut indera perbuatan. Indera perbuatan bersama dengan indera pencerapan merupakan kesepuluh obyek di dunia luar. Itulah tubuh-tubuh bunyi U. 

Sedangkan pembuluhnya ada enembelas yaitu; guha, manorama, dipta, sudipta, bhimakalika, sudhumra, pingala, pita, varumi, sigragacala, sasanka,  susupta, jnanana, dan moksadarma. Sedangkan sifatnya ialah seorang dewi. Dan kelima saktinya adalah; melihat, mendengar, berfikir, mengetahui serta Pengetahuan Maha Agung yang meliputi segala-galanya. Bunyi U mempunyai Visnu sebagai dewanya. Bunyi U mempunyai wilayah dari jantung sampai ke tenggorokan. Sang Hyang Visnu adalah dewanya, warnanya hitam, air adalah unsurnya, dan UN intinya.

c. Bunyi MA memiliki ciri-ciri ialah; ia bersifat tri-matra, mempunyai tiga tubuh , jumlah pembuluhnya 24, saktinya delapan. Itulah ciri khas bunyi AM. Dan yang dinamakan organ dalam oleh sang murid diketahui sebagai berganda tiga; maham, ahamkara, dan manah, itulah disebut ketiga anggota dalam. Dan ada 24 pembuluh darahnya yaitu; sravana, sravani, jagra, tat-trsna, ghranavartini,susabda, vahani, vodhri, manani, dhavani, subha, ahladani, pradanakhya, viyoktra, reta-vahini, pitr-marganuga, deva-marga-pradarsini, akarsani, karmani, pranada, prana-vardhani, citta-samstha, susamstha, dhumra. Itulah ke 24 pembuluh di dalam bunyi MA. Dan kedelapan saktinya ialah; ajara, amara, aksaya, apratihata-gatih, baddhya, abaddhya, vasya, dan anavasya. Bunyi MA diketahui bertempat tinggal di langit-langit mulut, sedangkan Rudra adalah dewanya, warnanya kuning, cahaya adalah unsurnya, itulah ciri-ciri bunyi MA.

d. Bunyi OM mempunyai dua tubuh, sedangkan 25 benda termasuk di dalamnya, selubung atau kotaknya berjumlah 25, dan mempunyai 4 pembuluh, 8 sakti.

Purusa dan Predana, itulah merupakan bagian dari bunyi OM.

Dikenal sebagai berganda, sedangkan apabila dirangkum ada 25 bagian.

Yang dimaksudkan diatas adalah bunyi OM mempunyai 2 tubuh yaitu; purusa dan predana. Purusa berarti nafas yang naik ke atas, sedangkan predana berarti nafas yang turun. Jumlah benda yang berkaitan dengan bunyi OM itu ialah 23 tambah 2, jumlahnya 25, itulah sebabnya mengapa dikatakan, bahwa 25 benda dihitung sebagai bungkusnya. Selanjutnya ada empat pembuluh darahnya yaitu; nivrtti, pratistha, vidya, dan santi. 

Dan saktinya ialah; pengetahuan, pikiran, berada di dunia ciptaan, anugerah, buah-buahan, dorongan, sambil membawa dan serba mengacaukan. Dan itulah sakti yang terbungkus didalamnya. Sang Mahadewa yang meliputi tentang Rudra dan dewa-dewa lainnya dan bersemayam di dahi. Berwarna putih dan berunsurkan angin, itulah yang dinamakan bunyi OM. Dan wilayah bunyi OM ada disekitar dahi. Bhattara Isvara adalah dewanya. Warnanya putih. Angin adalah unsurnya. Ia menciptakan dunia yang nampak. OM adalah rumus intinya.

12.  San Hyan Dasatma-San Hyan Vindu-Prakriya (Sepuluh Atma-Tata Upacara Vindu)

Suku kata OM yang suci itu mempunyai empat wujud, yaitu Dvipana, Brahmanaga, Sivanga dan Amrta-Kundalini. Perkambangannya ialah kasar-halus-tertinggi-hampa. Wujud Dvipana adalah kasar, ditujukan kepada Isvara, ia merupakan baik pradhana (materi tertinggi) maupun purusa (jiwa tertinggi) dan itulah suku kata OM yang diucapkan.tetapi Brahmanga dan (kedua) suku kata lainnya, ketiga itu tidak diucapkan. Sifat Brahmanga adalah halus, ia dilengkapi dengan empat pembuluh, ia menyerupai sebuah lentera, dilengkapi dengan sembilan sakti dan dewanya ialah sada siwa yang bertempat di helai-helai rambut. Jumlah pembuluhnya empat yaitu yang ditempatkan pada akar bunga padma dilengkapi dengan empat pembuluh : indhika, diptika, rocika dan mocika. Dan kesembilan sakti adalah : Bami, Jysthi, Raudri, Kala, Kalavikirani, Balavikirani, Bala-pramathani, Sarva-Buthadamani dan Manonmani. Mereka ialah Gayatri, sakti utamanya. Tempat tinggalnya pada akar helai rambut. Itulah manifestasi Brahmanga dari suku kata suci OM. OM yang disebut penampakan Sivanga suku kata suci itu ialah kenyataan yang paling luhur, atau dengan para-sunya (Kehampaan Tertinggi).

Dan yang disebut Kesepuluh Angin Suci ialah; prana, apana, samana, udana, byana, naga, kurmara, krkara, devadatta dan dhananjaya. Itulah yang dinamakan Kesepuluh Angin. Mereka juga disebut Kesepuluh Nafas-Pemberi-Hidup. Kesepuluh Angin  ini menampilkan wataknya di dalam Kesepuluh Suku Kata dan terwujud di dalam Ketujuh Pembuluh Suci. Yang dinamakan Kesepuluh Suku kata ialah: bunyi I, HA, KA, dan SA, dan juga MA, RA dan LA, VA, YA dan U dinamkan suku kata berlipat sepuluh.dan yang dinamakan Kesepuluh suku kata suci ialah; IN-HAN-KAN-SAN-MAN-RAN-LAN-VAN-YAN-UN. Itulah yang dinamakan Kesepuluh suku kata suci. Mereka terjelma ke dalam Kesepuluh Tubuh. Mereka juga disebut Vindudeva Suci. 

Sedangkan Ketujuh Jiwa Suci, yakni: sang pengorban, pendukung, penikmat, pemberi perintah, pendorong, majikan, peramal. Tiga diantaranya termasuk Dunia yang tak nampak (niskala), keempat lainnya termasuk Dunia yang nampak (sakala). Sang penikmat (bhoktatma) yang terwuju dalam pranabayu dan devadattabayu. Sang pendorong (pravartatma) dalam apanabayu dan krkarabayu. Sang pengorban (yajvatma) dalam samanabayu dan kurmarabayu. Sang majikan (prayoktatma) dalam udana (ka)bayu dan nagabayu. Sang peramal (drastatma) dalam byanabayu dan dhananjayabayu.

Dan jiwa yang sedang menikmati (bhoktatma) terdapat dalam bunyi LA-VA-YA-UN; jiwa yang sedang berkorban (yajvatma) terdapat dalam bunyi RA; sang pendukung (dhartatma) bermukim didalam bunyi Hadan Sa; sang majikan (prayoktatma) terdapat di dalam vikrta-vindu, sedangkan sang pemberi perintah (niyoktatma) tinggal di dalam vasat-vindu; yang bertempat paling tinggi ialah sang peramal (drastatma) yang dikenal sebagai kehampaan.; di dalam niskala-vindulah niskala ditempatkan dalam vasa (tvindu); vasat tinggal di dalam vikrta-vindu dan viktra di dalam viktra-vindu dan viktra di dalam rumus suci.  Bunyi LA, VA, YA dan U merupakan jiwa yang sedang manikmati (bhoktatma). 

Bunyi SA dan RA merupakan jiwa yang sedang berkorban (yajvatma). Bunyi MA adalah sang pendorong (pravartatma). Bunyi KA, HA dan I merupakan sang pendukung (dhartatma), sedangkan diatas ini terdapat kodrat sejati San Hyan Hamisu yang terdiri atas vikriavindu, niskalavindu dan sunyavindu. Singkatnya ; vikrtavindu adalah sang pendukung (dhartatma), vasatvindu  adalah sang pemberi perintah (niyoktatma), sedangkan niskalavindu dan sunyavindu adalah sang peramal (drastatma). Demikianlah susunan ketujuh Jiwa suci (Saptatma).

Prana (angin) bertakhta dua belas inci di atas kepala, turun ke dalam ubun-ubun, bertambah besar sambil memasuki dan meluas dalam alis, ke dalam kedua telinga, kedua mata, memasuki lubang hadung, turun dibelakang telinga sampai ke lidah. Saktinya sepuluh yang bertempat tinggal di dalam anusvara bunyi UN. Rupanya seperti sinar cahaya, Sukra-tara-sannibhah, seperti cahaya planet Sukra (Venus), tempat tinggalnya di dahi, naik ke tempat vindu duabelas inci di atas kepala. Dewanya Paramasiva. Ia juga dinamakan Mahanatha (Raja Agung). Berikut angin yang bertempat tinggal dalam tubuh;

a. Angin udana bertempat tinggal di dalam kepala, turun sampai ke tenggorokan, turn lagi sampai ke dada. Ia membagikan diri menjadi 30 bagian, kemudian membagikan diri lagi menjadi 65 bagian, bunyi IN, memenuhi anusvara. Di langit-langit mulut ia bertambah besar, maju ke ujung hidung dibarengi cahaya. Itulah pradipavat nampaknya seperti sebuah lampu di waktu malam.

b. Angin samana bertempat tinggal dari langit-langit mulut sampai ke jantung. Lewat ketiga pembuluh darah yang merupakan dasarnya ia meluas dan membagikan diri sebagai penghancuran segala rintangan. Isvaralah dewanya.

c. Angin apana  bertempat tinggal di dalam perut sampai ke dubur dan alat kelamin. Ia menyerap kellima pembuluh darah yang merupakan dasarnya. Ia membagikan diri menjadi 50 bagian, merebes alat kelamin dan sampai pada kedua lutut. Ia tinggal dalam anusvara bunyi SUN; ia bertambah besar di pusat. Ia menyerupai cahaya (jyotirupa); cahayanya seperti percikan api yang keluar dari sebatang tongkat besi yang ditempa. Ia nampak dalam bentuk lidah-lidah abadi; Dewanya ialah Rudra.

d. Angin byana bertempat tinggal di semua anggota tubuh. Tempatnya di dalam ketiga pembuluh darah. Ia membagikan diri menjadi 50 bagian. Ia bertambah besar di dalam ketiga pembuluh. Ia tinggal di dalam anusvara bunyi MUN. Ia membawa kehidupan maupun mati. Mahadewa adalah dewanya.

e. Angin naga bertempat tinggal  naik keatas sampai ke langit-langit mulut, lalu berupa serdawa (ujud=bunyi serdawa) dan membagi diri menjadi 60 bagian; ia tinggal di dalam anusvara buni RUN.

f. Angin kurmara bertempat tinggal di langit-langit dan di hati dan menyebabkan mata dibuka dan ditutup, ia membagi diri menjadi 70 bagian dan tinggal di anusvara bunyi LUN.

g. Angin krkara bertempat tinggal di buah pelir, di limpa, di hati dan di langit-langit. Ia menyebabkan orang dapat menelan sesuatu, ia membagi diri menjadi 80 bagian; ia tinggal di anusvara bunyi VUN.

h. Angin devadatta bertempat tinggal di seluruh daging dan di dalam lipatan perut dan menyebabkan kita batuk; ia membagi diri menjadi 90 bagian, ia tinggal dalam anusvara bunyi YUN.

i. Angin dhananjaya bertempat tinggal dalam meresapi darah, daging dan kulit serta seluruh tubuh, sampai ujung-ujung tubuh, menerobos seluruh rongga tubuh. Ia berbunyi dan membagi diri menjadi 1000 bagian dan tinggal di anusvara bunyi UN.

13.  Pancaatma (Panca Atma)

Susunan Sang Hyang Pancatma di dalam tubuh adalah sebagai berikut; prana, apana, samana, udana, dan byana. Inilah yang dinamakan Kelima Angin. Atma, paratma, antaratma, paramatma dan niratma dinamakan Kelima Atma. Kelima Angin Suci berdasarkan Panca Atma. Sungguh, diantara para atma niratmalah yang pertama; susunannya adalah sebagai berikut;

a. Angin prana adalah niratma, VYON adalah inti suku katanya.
b. Angin udana adalah paramatma, MAN adalah suku katanya.
c. Angin samana adalah antaratma, VYAN adalah suku katanya.
d.  Angin apana adalah paratma, PIN adalah suku katanya.
e. Angin byana adalah atma, NEN adalah suku katanya.

14. San Hyan Upadesa-samhita (Keseluruhan Jumalah Ajaran Suci)
            
Susunan Sang Hyang Tryatma, yakni: suasa, nihsvasa dan samyoga. Yang dinamakan svasa merupakan bila nafas itu naik, nihsvasa bila nafas turun, sedangkan samyoga bila kedua nafas itu saling berjumpa. Ketiganya bersama-sama disebut Tryatma. Ini juga Trisiva, dan juga Tripurusa. Selain itu ini juga Ekatma serta Kehampaan Agung dan ketiga itu menjadi tunggal. Bila nafas dan pengetahuan dilebur juga menjadi tunggal. Dan itulah yang dinamakan Ekatma. Demikianlah tamatlah keseluruhan Jumlah Ajaran Suci.

15. Sad-anga-yoga (Yoga Yang Berganda Enam)

Yoga yang berganda enam terdiri atas; Pratyaharayoga, Dhyanayoga, Dharanayoga, Tarkayoga dan Samadhiyoga.

a. Yang dinamakan Pratyaharayoga ialah; semua indera hendaknya ditarik dan tidak diserahkan kepada kekuatan panca indera. Indera itu hendaknya dipusatkan di dalam batin yang haning, yang kemungkinannya menyenangkan, sedangkan indera-indera itu tidak aktif lagi.
b. Yang dinamkan Dhyana ialah; batin hendaknya tak terbagikan, tak terubah, dalam kemurniannya menyenangkan, tak dapat digerahkan, tetap teguh, tak terhalang, sedangkan cirinya yang khas yaitu dalam konsentrasinya ekacita.
c. Yang dinamakan Pranayama; tutuplah semua lubang: mata, hidung, telinga dan mulut. Sesudahnya nafas harap dihirup sebelum dikeluarkan lewat ubun-ubun. Tetapi bila ini tidak dapat ditahan, boleh juga nafas dikeluarkan lewat hidung perlahan-lahan.
d. Yang dinamakan Dharanayoga: suku kata OM yang suci ditempatkan di dalam jantung. Batin lalu harap dipusatkan di sana. Bila ia lenyap dan tak didengar lagi pada saat yoga dilaksanakan, maka ia menjadi Kehampaan, Sivatma yang terwujud oleh Bhattara.
e. Yang dinamakan Tarkayoga ialah: memang San Hyan Paramartha itu bagaikan langit, tetapi sebetulnya bukan langit, karena tak terdapat suara di dalamnya. Itulah arti Paramartha, berada dengan cakrawala, sekalipun terangnya sama.
f. Yang dinamakan Samadhiyoga ialah: batin tidak cemas, tidak mempunyai konsep-konsep, tidak memiliki sesuatu, tak ada keinginan, tak ada obyek, jerih tanpa halangan.

16.  Sang Hyang Atma-lingga, Lingodbhava
             
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa, yang pada hakekatnya mempunyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Hindu jaman dahulu. Hal ini terbukti dengan peninggalan lingga yang pada umumnya kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno di Bali. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat.

Dalam masyarakat Bali, lingga diidentikkan dengan linggih, yang artinya tempat duduk. Lingga dikatakan sebagai linggih Dewa Siwa. Selain itu dalam paham Hindu lingga juga merupakan lambang kesuburan.

Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura. Kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat Bali hingga sekarang, dimana lingga tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan serta kesuburan. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah.

Menurut paham Siwa Lingga, semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa. Kita disarankan untuk selalu memuja perwujudan Hyang Siwa dalam “Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa. Bisa diartikan bahwa lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber siwa. Lingga mempunyai aspek ganda yaitu: siwalingga dan atmalingga. Kedua aspek tersebut adalah proses arah penyatuan dengan Dewa Siwa dalam meditasi ataupun dalam upacara ritual. Siwalingga merupakan tahap di mana Dewa Siwa memasuki badan manusia melalui ubun-ubun, sedangkan atmalingga merupakan tahap ketika jiwa bersatu dengan dewa Siwa. Pada saat – saat tersebut di hadapan Bhakta atau pemuja ditempatkan ” Lingga” dan 14 aksara suci yaitu : SAṄ – BAṄ – TAṄ – AṄ – IṄ – NAṄ – MAṄ – SIṄ – VAṄ – YAṄ – AṄ – UṄ – MAṄ - OṂ.

17.  Utpatti-Sthiti-Pralina Sang Hyang Pranava

Aum atau Om adalah suku kata suci dan keramat dalam agama Hindu. Aum biasanya dilafalkan sebagai vokal bulat hampir tertutup panjang atau lantang yang disengaukan. Kata Om tersebut terkandung pada bagian awal mantra-mantra Hindu sebagai kata yang paling suci yang dilantunkan pada pendahuluan dan akhir pembacaan Weda' atau sebelum memulai doa atau mantra. Kata tersebut terdiri dari tiga huruf, yaitu [a], [u] dan [m], yang melambangkan Trimurti atau tiga jenjang kehidupan (kelahiran atau Utpatti, kehidupan atau Sthiti dan kematian atau Pralina). Oleh para leluhur kita Om atau Aum merupakan suara awal Pranava (Gema). Dalam bahasa fisika modern, disebut The Big Bang, (Dentuman Besar.) Sebagian besar orang jaman sekarang percaya bahwa Dentuman ini hanya terjadi sekali dahulu kala, akan tetapi sebenarnya, sampai saat inipun Dentuman itu masih terjadi.

Secara kasat, kita dapat mendengar jelas suara ini. Suara tersebut adalah suara sepoi-sepoi angin, suara udara yang jernih, serta suara gemercik aliran air. Perlu upaya khusus untuk mendengarnya karena ini sejatinya berasal dari lubuk hati yang terdalam. "A" merupakan simbol atau mewakili keadaan jaga (Jagra), "U" mewakili keadaan tidur (Nidra), "M" mewakili keadaan tidur yang dalam/pulas (Sushupti). gabungan dari AUM mewakili seluruh kesadaran. Karena Gema berawal dari sesuatu yang tak kasat maka ia akan kembali kepada kehampaan.

18. Caturdasaksara-pinda, Utpatti-Sthiti-Pralina

Atma merupakan percikan kecil dari Siva (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Dalam 14 aksara suci yaitu: SAṄ – BAṄ – TAṄ – AṄ – IṄ – NAṄ – MAṄ – SIṄ – VAṄ – YAṄ – AṄ – UṄ – MAṄ - OṂ, Siva dilambangkan dengan IṄ, kemudian dari Siva lahir Atma yang dilambangkan dengan BAṄ, dari atma muncul Prakrti (bulan) dengan lambang SAṄ, dan dari prakrti muncul matahari yang dilambangkan dengan TAṄ, kemudian dari matahari datanglah api yang dilambangkan dengan aksara AṄ. Ini merupakan urutan kelahiran (Utpatti) dari Sang Hyang Pacabrahma.

Orang bijak mengatakan bahwa penggabungan dari aksara suci dari Bulan (SAṄ) dengan atma (BAṄ) dapat menghasilkan bunyi “A”. Sedangkan dengan menggabungkan aksara suci dari Matahari (TAṄ) dengan Api (AṄ) maka muncullah bunyi “U”. Aksara-aksara tersebut yang kemudian menjadi bunyi OM. Ini merupakan urutan perkembangan (shtitti) dari aksara suci OM.

Aksara – aksara suci tersebut kemudian lebur dan lenyap dalam titik, kemudian titik lenyap dalam gema dan gema kemudian lenyap dalam kehampaan. Itulah peleburan (pralina) dari ke-14 aksara suci tersebut.

19.   Sang Hyang Bhedajnana

Dalam agama Hindu, kita percaya dengan adanya moksa (bersatunya atma dengan sang pencipta). Jika seseorang sudah mengalami moksa maka dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma serta bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi/punarbhawa) dan akan mengalami Sat, Cit, Ananda (kebenaran, kesadaran, kebahagian) yang abadi. 

Untuk mencapai moksa seseorang harus menjalani kehidupan ini sesuai dengan mengikuti norma2 ajaran agama Hindu dan setiap tindakannya harus berdasarkan atas kebenaran (dharma). Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai kesempurnaan Moksa, yaitu dengan menghubungkan diri dan memusatkan pikiran kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Cara – cara atau jalan yang demikian itu disebut dengan Catur Marga Yoga, yaitu Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, Raja Marga Yoga.

a. Bhakti Marga Yoga adalah suatu proses atau cara mempersatukan Atman dengan Brahman yang berlandaskan atas cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “Bhakti” berarti hormat, taat, sujud, meyembah persembahan, kasih. Bhakti Marga Yoga dapat diartikan sebagai jalan cinta kasih atau jalan persembahan. Seorang Bhakta dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai Yajna kepada Sang Hyang Widhi. Cinta kasih yang mendalam adalah suatu cinta kasih yang bersifat umum dan mendalam yang disebut Maitri. Semangat Tat Twam Asi sangat subur di dalam hati sanubarinya.

b. Karma Marga Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Hal yang paling utama dari Karma Marga Yoga ialah melepaskan semua hasil dari segala perbuatan. Bagi seorang Karma, penyerahan hasil pekerjaan kepada Tuhan bukan berarti kehilangan bahkan akan datang berlipat ganda.

c. Jnana Marga Yoga artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan – ikatan keduniawian.

d. Raja Marga Yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa. Melalui Raja Marga Yoga seseorang akan lebih cepat mencapai Moksa, tetapi tantangan yang dihadapinya lebih berat, orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru Kerohanian yang sempurna untuk dapat menuntun dirinya kearah tersebut. Adapun tiga tingkatan yang ditempuh oleh para Raja Yogin yaitu melekukan tapa, brata, yoga samadhi.

Menjalankan Spiritual dalam kehidupan sehari hari lebih-lebih pada jaman sekarang memang sering mengalami kendala. Kadangkala kita agak sulit melepaskan keterikatan-keterikatan keduniawian, dan melakukan pengendalian diri dari Sad Ripu. Akan tetapi apabila kita sabar dan tekun serta selalu melakukan introspeksi terhadap diri kita sendiri bukan tidak mungkin moksa dapat dicapai meskipun di jaman kaliyuga seperti sekarang ini. (Yayasan Sanatana Dharma:2003:133)

20.  Sang Hyang Mahajnana

Tujuan akhir umat Hindu adalah agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan serta kebebasan yang abadi. Pengetahuan Hindu tidak hanya mengajarkan tentang kehidupan dan kelanjutan kehidupan setelah kematian tetapi juga mengajarkan pengetahuan tentang proses kematian. Ketika seseorang mendengar suara bulan sabit, titik dan gema, ketika itu pula dikatakan bahwa dia mendekati kelepasan duniawi. Kemudian disertai dengan menutup serta menghalangi semua lubang dan menahan nafas (yang dalam hal ini disebut sebagai pranayama). Pada keadaan seperti ini seseorang disarankan agar melepaskan segala ikatan duniawinya. Dan pada saat itu juga atma akan meninggalkan badan kasar lewat bunyi aksara suci OM menerobos ubun-ubun. Kehampaan total inilah yang dinamakan kelepasan Niskala (tak nampak).

21.  Sang Hyang Benem Vunkal

Setelah mengalami kelepasan Atma dikatakan bersifat tenang, terang bagaikan pelita, cerah bagaikan panah indra (pelangi) dan beranekaragam wujud dalam urutan pembauran unsur-unsur. Ketika memcapai kehampaan ini maka atma telah kembali pada sang pencipta. Dan badan kasar telah kembali pada unsur-unsur pembentuknya. Menyatu dengan tanah, api, air dan udara.

22. Pranayama – Samksiptapuja

Pada BAB ini diuraikan mengenai tata cara pernafasan yang sangat penting diketahui oleh seorang yang mengabdi menurut kewajibannya (dharma-sevaka), agar ia mampu melaksanakan apa saja yang diperintahkan oleh gurunya. Pada BAB ini juga disebutkan adanya istilah-istilah tentang latihan-latihan pernafasan tersebut, meliputi: 1. Vahya : yakni nafas yang keluar dari lubang (cuping) hidung kiri; 2. Abhyantara : yakni nafas yang keluar dari lubang hidung kanan; dan 3. Dvara : nafas yang keluar dari kedua lubang hidung. Kedua jenis yang pertama dianggap menguntungkan, sedangkan jenis ketiga dianggap tidak menguntungkan. Adapun keistimawaan dari nafas vahya antara lain disebutkan sebagai berikut:

Bila nafas keluar dari hidung yang kiri, itu disebut nafas vahya. Ia berguna dan menguntungkan. Kau akan berhasil dalam upayamu, kau akan bbas dari penyakit, dan kau akan menikmati hasil (daya upayamu): emas dan wanita akan diperoleh; bila kau berperang, kau akan menaklukan musuh-musuhmu,  seteru akan lenyapdan kau akan dihormati dan dipuji oleh musuh-musuhmu. Itulah keistimewaannya.

Kemudian disebutkan pula bulan-bulan yang dianggap membawa keuntungan karena nafas vahya itu, yaitu: phalguna (Februari-Maret), jyaistha (Mei-Juni), bhadrapada (Aguustus-September) dan margasirsa (November-Desember).

Sedangkan keistimewaan dari nafas abhyantara disebutkan sebagai berikut:

Bila nafas keluar dari lubang hidung yang kanan, itu disebut nafas abhyantara. Itu pun membawa keuntungan. Adapun pahalanya: kesehatan dalam keluarga, banyak anak laki-laki, emas yang murah, banyak pelayan dan hidup panjang. Itulah keistimewaannya.

Adapun bulan-bulannya: vaisakha (April-Mei), sravana (Juli-Agustus), karttika (Oktober-November), dan magha (Januari-Februari).

Dan yang ketiga yaitu nafas dvara dikatakan tidak menguntungkan dan mendatangkan mara bahaya. Adapun bulan-bulannya: caitra (Maret-April), asadha (Juni-Juli), asuji (September-Oktober), pausa (Desember-Januari).

Dari uraian singkat di atas, jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang ini sepertinya sudah tidak relevan lagi dan tidak dipermasalahkan lagi bernafas dengan lubang hidung kanan, kiri maupun keduanya. Namun yang ada saat kita melakukan pranayama yaitu mengenai pengaturan nafas dari menarik nafas (puraka), menahan nafas (kumbaka), dan menghembuskan nafas (recaka). Dengan mengucapkan mantra Om Ang Namah saat menarik nafas, Om Ung Namah saat menahan nafas dan Om Mang Namah saat menghembuskan nafas. Dimana ketiga aksara suci tersebut melambangkan Sang Hyang Tri Murti sebagai pencipta (Brahma), pemelihara (Wisnu) dan pelebur (Siwa). Adapun perbandingan yang umumnya dilakukan antara puraka, kumbaka dan recaka yaitu 1:4:2.

22a.  Apendiks pada Pranayama, Samskipta-puja

Pada BAB ini, secara garis besarnya merupakan lanjutan dari BAB sebelumnya. Namun disini dibahas mengenai mantra-mantra yang dihubungkan berbagai tempat dalam tubuh. Adapun mantra-mantra tersebut antara lain sebagai berikut:

 OM-OM hormat kepada Sadasiva                : di tengah alis
OM-OM hormat kepada Suksmasiva                        : di tengah dada
OM-OM hormat kepadaSuksmasivatma       : di telinga kanan
OM-OM hormat kepada Suksmatarasiva      : di telinga kiri
OM-OM hormat kepada Paramasuksmasiva : di mata kanan
OM-OM hormat kepada Atisuksmasiva       : di mata kiri
OM-OM hormat kepada Mahasuksmasiva   : di pusar
OM-OM hormat kepada Kalakutasiva          : di kandungan empedu
OM-OM hormat kepada Antahkalasiva        : di tangan kanan
OM-OM hormat kepada Adikalasiva                       : di tangan kiri
OM-OM hormat kepada Prasadakalasiva     : di kaki kanan
OM-OM hormat kepada Sthitikalasiva         : di kaki kiri


23. Sang Hyang Kaka-Hamsa

Disini dipaparkan pasangan-pasangan yang berlawanan, seperti misalnya antara sekala dan niskala. Dimana Sang Hyang Kaka-Hamsa ini merupakan Dewa yang bermuka dua. Kaka (gagak, jahat) dan Hamsa ( angsa, baik). Kata Siddhanta pun terdiri dari kata ‘siddha’ dan ‘anta’. Kata ‘siddha’ dihubungkan dengan kekotoran, bentuknya seperti gagak, konon kabarnya ia bergerak, ia dinamakan Raja para Burung, ia merupakan Pradhana dan ia merupakan Sadasiva. Kemudian kata ‘anta’ merupakan kenyataan tertinggi tanpa noda, tenang, bentuknya seperti seekor angsa, ia tidak bergerak, ia Raja segala Burung,ia merupakan jiwa (Purusa) dan ia merupakan Paramasiva. 

Sehingga Kaka merupakan Sang Hyang Sadasiva dan Hamsa merupakan Sang Hyang Paramasiva. Di dalam konsep ketuhanan Hindu, Sadasiva merupakan Tuhan yang Saguna Brahman, Tuhan yang berwujud dan dipengaruhi oleh guna. Sedangkan Paramasiva merupakan Tuhan yang Nirguna Brahman, tidak berwujud dan tidak dipengaruhi oleh guna.

24. Sang Hyang Tirtha, Sapta-samudra, Sapta-patala

Pada BAB ini akn dibahas mengenai makrokosmos (bhuana agung) dan mikrokosmos(bhuana alit), namun disini hanya khusus membahas mengenai Sapta Tirtha, Sapta Samudra dan Sapta Patala dalam tubuh kita. Berikut uraian singkatnya; Batin adalah air suci sungai Narmada, akal budi air suci dari Sindhu, dasar tenggorokan air suci sungai Gangga, lidah air suci sungai Sarasvati, hidung adalah Airavata, mata adalah Nadi-srestha, telinga adalah Siva-prstha, itu semua disebut Sapta Tirtha. 

Kemudian keringat adalah samudra air asin, sumsum adalah danau susu segar, daging adalah danau susu asam, otak adalah danau minyak, darah adalah danau perasan tebu, air seni adalah danau cuka, dan lidah adalah danau air tawar, demikian uraian mengenai Sapta Samudra. Dan yang terakhir mengenai Sapta Patala (neraka) dalam tubuh yaitu; tala adalah tenggorokanmu, akalbudi adalah sutala, batin (manas) adalah nitala, organ ego (ahamkara) adalah santala, pusar adalah atala, alat kelamin adalah vaitala dan patala adalah dubur, demikian uraian singkat mengenai Sapta Patala dalam tubuh. Dalam konsep penciptaan Bhuana Agung, Sapta Patala ini ndikatan sebagai tingkatan-tingkatan lapisan bumi yang terjadi sebagai akibat dari kuat atau lemahnya menuju panas inti bumi atau Kalagni Rudra.

25. Sang Hyang Saiva-Siddhanta

Bab ini dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan bahan yang dibicarakan. Bagian pertama berlangsung dari sloka 1 sampai 5, yang kedua dari sloka 6 sampai 8, yang ketiga meliputi sloka 9 dan 10, yang keempat dari sloka 11 sampai 16, dan yang kelima dari sloka 17 sampai 21. Bagian pertama disebutkan mengenai sifat Sddhanta, diantaranya disebut Svetarupa yakni yang berwarna putih dan meresapi segala makhluk. Kemudian disebut juga sang Hyang Kamoksan yakni bahwa Siddhanta itu sama dengan pembebasan itu sendiri. Juga disebut Sang Hyang Aksobhya yakni Dia yang tidak berubah, tidak tergoyahkan. Dan yang terakhir disebut Sang Hyang Sunya-Nirmala yakni kehampaan yang tidak bernoda, suci murni.

Kemudian pada bagian kedua diterangkan apa sebenarnya tujuan dari yoga tersebut, yaitu menemukan Tuhan. Jika tujuan ini telah tercapai, maka enam noda telah lenyap dari tubuhnya.

Pada bgian yang ketiga, ketiga deva, Siva, Brahma dan Isvara yang dipandang sebagai wujud Siva, disamakan dengan api persembahan dan anggota-anggota tubuh, yaitu:

                        Siva (Hara)                 = garhapatyagni          = raut muka
                        Brahma                       = ahavaniyagni           = jantung
                        Mahesvara  (Isvara)    = daksinagni               = lambung

Pada bagian keempat, dibahas mengenai abu suci (bhasma), yang merupakan abu yang tinggal sesudah badan diperabukan, dan terdiri dari empat warna. Namun disini hanya disebutkan tiga warna yaitu putih, merah dan hitam, sedangkan warna keempat kemudian dihilangkan. 

Ketiga jenis abu tersebut yakni; Sang Hyang Sarira yang disamakan dengan jnana, Sang Hyang Bhasma disamakan dengan vedamantra, dan Sang Hyang sangkara disamakan dengan niskala. Dalam sloka 13 disebutkan ada bagian-bagian tubuh yangmenimbulkan warna yang berbeda, yaitu;

                        Tulang belulang          : menghasilkan abu putih
                        Cairan dalam tubuh    : menghasilkan abu yang hitam
                        Daging                                   : menghasilkan abu merah
                        Empedu                      : menghasilkan abu yang hitam tua

Kemudian dikatakan bahwa Sang Hyang Bhasma, abu yang suci itu merupakan Sang Hynag Nitya, Keabadian dan juga Sang Hyang Kaivalya, Isolasi yang sempurna. Selanjutnya dikatakan, bhwa Sang Hyang Bhasma merupakan penyebab pembebasan atau bahkan merupakan pembebasan itu sendiri.
Kemudian dalam sloka 18 disebutkan mengenai pranala yang berkaitan dengan lingga, dimana lingga tersebut dihubungkan dengan Tri Purusa: Brahma, Visnu dan Siva. Dimana Siva dinamakan lingga, Brahma dan Visnu bersama-sama disebut pranala. Tetapi, di dalam sloka istilah Lingg-pranala tidak dipakai, melainkan lingotpada.

Dalam bahasa Sansekerta pranala berarti ‘saluran air’, dan dalam arsitektur India istilah pranalaka diartikan sebagai saluran yang dipahat di dalam dasar, yaitu yoni, yang mendasari lingga. Berkaitan dengan Brahma, Visnu dan Siva, dimana Siva dinamakan lingga sedangkan Brahma dan Visnu bersama-sama dinamakan pranala, dianggap sebagai dasar, yaitu yoni bagi lingga.

Bab ini berakhir dengan keterangan, bahwa Siddhanta harus diketahui oleh orang yang ingin mencapai persatuan suci dengan Tuhan. Dan aksara suci OM merupakan mantra yang oleh seorang murid hendaknya diterapkan terhadap lingga suci yang tidak dapat dilihat.

26. Uttpati-Sthti-Pralina Sang Hyang Vidu-Abhyantara

Bab ini menguraikan tentang uraian-uraian yang diberikan oleh Siva kepada istrinya, Uma dan putranya, Kumara. Siddhanta, yaitu rahasia semua rahasiia, terdiri atas tujuh suku kata, yaitu SA-I-DA-DHA-A-NA-TA yang tersembunyi di dalam tubuh Siiva, di dalamnya tersembunyi pula tujuh jenis air suci, tujuh neraka dan tujuh samudra. Namun dalam sloka 4, yang diajarkan adalah ketujuh dunia: 
  1. bhurloka, 
  2. bhuvarloka, 
  3. svarloka, 
  4. maharloka, 
  5. janaloka, 
  6. tapaloka dan 
  7. satyaloka. 

Dimana bhurloka terdapat pada kaki kanan, bhuvarloka terdapat padasisi kiri, svarloka dalam alat kelamin, itulah yang dinamakan Tiga Dunia. Kemudian maharloka terdapat dalam tangan kanan, janaloka terdapat dalam tangan kiri, tapaloka terdapat dalam raut muka dan satyaloka dalam kepala. Kemudian mengenai suku kata-suku kata Sang Hyang Siddhanta yang terdapat dalam tubuh adalah sebagai berikut; bunyi SA terdapat dalam kaki kanan, I dalam kaki kiri, DA dalam alat kelamin, DHA dalam tangan kanan, A Dallam tangan kiri, dan NA dalam muka. Serta TA dikenal sebagai kepala.

Kemudian mengenai Sang Hyang Vindu yang Abhyantara, artinya halus, kecil, ‘dalam batin’, trayam yang berarti bahwa tubuhnya tiga: A-U-MA, Brahma-Visnu-Isvara. Demilkianlah tiga tubuh, tiga suku kata yang merupakan bunyi OM. Sang Hyang Akara Vindu di sebelah kanan ialah Brahma, Sang Hyang Ukara Vindu di sebelah kiri ialah Visnu, Sang Hyang Makara Vindu di tengah ialah Isvara, sedangkan seluruh bunyi suci OM itu (Sang Hyang Pranava) ialah Siva.

Kemudian menyusul mengenai penampakan, kehadiran dan leburnya Sang Hyang Vindu Abhyantara, dimana Brahma ialah batin (manas), Visnu ialah akal budi (buddhi) dan Siva ialah sarana individualisasi (ahamkara). Demikianlah manifestasi bila Vindu terwujud dalam Penampakan, Kehadiran dan Leburnya.

27. Jnana-Siddhanta

Bab ini menyatakan bahwa Siddhanta demikian besar saktinya, sehingga orang yang memakluminya akan dianggap dewasa, biarpun ia baru seorang anak kecil. Kedewasaan sejati tidak bergantung pada usia, kelakuan atau tapa-brata. Bahkan seorang yang tahu segala teks suci, tetapi tidak memahami Siddhanta, tidak dapat dikatakan terpelajar sungguh-sungguh, karena hanya Siddhantalah pengetahuan yang tertinggi. 

Dan dengan memaklumi ajarannya, hidup seseorangg baru berbuah sungguh-sungguh, baik di dunia maupun di akhirat. Guna memperoleh hak mempelajari ajarann yang demikian penting itu seorang murid harus mencari seorang guru yang tepat yang bersedia menjadi gurunya, kepada sang guru harus disserahkan dulu guruyaga, lalu ia akan menerima sebuah penugrahan. Ini merupakan suatu transaksi yang mengikat guru dan murid seumur hidup. Guruyaga disini merupakan persembahan nyang amat penting dari seorang murid kepada gurunya.



BAB III
PENUTUP

SIMPULAN

Lontar Jnanasiddhanta di bagi atas beberapa bab yaitu 27 bab. Dan isinya membahas sifat-sifat terpenting ajaran Saivasiddhanta. Isi dari lontar ini pada prinsipnya adalah tentang “Kamoksaan”  (pengetahuan tertinggi untuk mencapai tujuan akhir berupa kelepasan yang abadi) menurut ajaran Saiwasiddhanta. Keseluruhan isinya terdiri dari 27 bab (judul), yaitu; 

1. Catur Viphala ; Empat viphala yang intinya membahas empat tingkat peniadaan dan pembebasan. Yaitu; Nihsprha(tanpa keinginan), nirbana (peleburan atau larutnya jasmani),  niskala (tahap dimana jiwa manunggal tak terpisahkan dari kehampaan total), nirasraya (kelepasan sempurna).
2. Prayoga-sandhi ; Pengetahuan rahasia mengenai cara mencapai kelepasan.
3. Sang Hyang Pranawa-Jnana Kamoksan ; Pengetahuan rahasia mengenai suku kata OM
4. Sang Hyang Branava-Tridevi ; menjelaskan tentang pokok-pokok bab 3 (semua konsep timbul dan melebur dalam suku kata OM).
5. Sang Hyang Kahuwusan Jati-visesa ; realisasi mengenai tujuan sejati umat Hindu.
6. Nirmala-jnana-sastra ; ajaran tentang pengetahuan murni.
7. Panca Paramartha ; lima paramartha (jalan yang tidak menuju kelahiran kembali atau moksa).
8. Sang Hyang Naisthika-Jnana ; pengetahuan yang bersifat sempurna. Disini dijelaskan mengenai Siwatattwa dan Siwajnana yang masing-masing merupakan pengetahuan sejati tentang Siva yang sangat sulit dimengerti.
9. Sang Hyang Maha Vindu ; dalam bab ini dijelaskan teori-teori mengenai tanda anusuara yaitu huruf vindu yang ditulis seperti sebuah titik yang diperpanjang dan kalau diperbesar menjadi suatu tanda yang menyerupai sebuah tetes.
10. Sang Hyang Saptongkara ; tujuh bagian bunyi suci OM, ketujuh bunyi OM merupakan api (untuk membakar korban). Dan yang dimaksud ketujuh bunyi OM adalah; empat bagian dalam tulisan bali, dan ketiga suku kata A-U-MA.
11. Sang Hyang Pancavim sati ; disini menjelaskan tentang bunyi OM, dimana bunyi OM terdiri dari tiga suku kata masing-masing,A,U,MA.
12. Sang Hyang Dasatma-Sang Hyang Vindu-Prakriya ; merupakan suatu diagram mistik seperti dipergunakan dalam salah satu upacara tertentu.
13. Pancatma ; yaitu tentang lima angin (angin prana, angin udana, angin samana, angin apana, angin byana), lima atma (byana, atma, paratma, antaratma, dan niratma), lima Aksara (VYO,MA,VYA,PI,NE).
14. Sang Hyang Upadesa-Samuha ; keseluruhan jumlah ajaran suci yaitu dalam Tryatma (svasa; nafas ke atas, nihvasa; nafas ke bawah, samyoga; perpaduan kedua nafas tersebut).
15. Sad-angga-yoga ; merupakan yoga yang berbentuk enam yaitu, Pratyahara, Dhyana, Pranayama, Dharana, Tarka, dan Samadhi.
16. Sang Hyang Atma-Lingga, Lingodbhava ; merupakan puncak ajaran Siddhanta, yang menjelaskan lingga itu merupakan lambang dewa Siva.
17. Utpetti-Sthiti-Pralina Sang Hyang Pranava ; menjelaskan tentang spekulasi-spekulasi mengenai susunan bunyi OM yang berpusar pada rumus niskala-nada-vindu-ardhacandra-visva.
18. Caturdasaksara-pindha, Utpatti-sthiti-pralina ; menjelaskan tentang keempat belas suku kata. Yang terdiri atas pancabrahma (SA-BA-TA-A-I), pancaksara (NA-MA-SI-VA-YA), dan akhirnya suku kata OM itu sendiri.
19. Sang Hyang Bhedajnana ;  merupakan suatu doktrin yang unggul dan rahasia.
20. Sang Hyang Mahajnana ; merupakan spekulasi tentang pembebasan, yang diwujudkan dalam suku kata AM-AH, sebuah mantra yang dikaitkan dengan hidup dan kematian, dan lain tempat disebut rva bhineda.
21. Sang Hyang Benem Vungkal ; dijelaskan bahwa kelepasan terjadi dari tubuh, bukan keatas, bukan kebawah, bukan ke timur, bukan bukan keutara, bukan maupun bukan keselatan.
22. Pranayama, Sangksipta-puja ; bab ini menguraikan pentingnya pernafasan yang seharusnya diketahui oleh seorang yang mengabdi menurut kewajibannya.
23. Sang Hyang Kaka-Hamsa ; menjelaskan tentang perlawanan Sadasiva dengan Paramasiva, yang sama seperti  sekala berlawan dengan niskala.
24. Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudra-Sapta-Patala ; dalam bab ini menyebutkan spekulasi-spekulasi tentang makrokosmos dan mikrokosmos.
25. Sang Hyang Saiwasiddhanta ; bab ini menjelaskan ajaran suci dari Siva, dan ajaran suci ini pada hakekatnya memang putih.
26. Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Vindu, Abhyantara ; menjelaskan tentang penampakan, kehadiran dan leburnya San Hyan Vindu Abhyantara.
27. Jnanasiddhanta ; merupakan ajaran tentang Siddhanta (pendidikan seorang pendeta). Dimana siswa baru dapat memperoleh pendidikan dari gurunya setelah dilangsungkan suatu upacara tertentu. 

Dan muridharus memberikan kepada gurunya sebuah guruya atau penguruyaga, lalu ia akan menerima dari guru sebuah pengaugrahan.

Pada intinya dalam lontar ini Tuhan disebut Bhatara Siva. Bhatara Siva ada dimana-mana dan sekaligus mengatasi segala yang terjadi di dunia ini. Bhatara Sivalah yang menjadi sumber segalanya dan menjadi segalanya serta tempat kembalinya segala itu. Kebebasan  badannya yang tampak, sedangkan Bhatara Siva sendiri pada hakikatnya tak nampak oleh manusia, tapi sejatinya Siva berada disekeliling manusia diseluruh alam semesta ini. 

Dalam lontar ini juga dijelaskan bahwa hanya seorang Yogi denngan Jnana Wisesa yang tinggi beliau akan bisa menemukan-Nya. Keadaan inilah yang disebut dengan moksa atau kelepasan yang menjadi tujuan hidup dari setiap manusia khususnya umat Hindu. Karena tujuan tertinggi menurut Agama Hindu yakni mencapai kebebasan abadi yang dalam bahasa Agama disebut dengan moksha pada tiap zaman atau yuga berbeda (Wayan Jendra:1998.170).

0 Response to "Makalah Lontar Jnana Sidhanta"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel