Jenis Persembahyangan yang Tergolong Naimitika Yadnya dalam Hindu

HINDUALUKTA -- Jenis Persembahyangan dalam Hindu. Jenis persembahyangan dimaksud disini adalah yang tergolong “Naimitika Yadnya”. Meliputi kegiatan upacara yadnya dalam bentuk “rerainan” yang dilakukan pada waktu tertentu menurut perhitungan : 1) sasih (bulan) seperti Purnama, Tilem dan khususnya lagi hari suci Siwaratri yang jatuh pada hari Catur Dasi Krsna Paksa bulan Magha (Panglong ping 14 sasih Kapitu); dan 2) pertemuan Sapta Wara dan Panca Wara serta Wuku, seperti Saraswati, yang jatuh pada setiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Adapun penjelasan selintas tentang bentuk persembahyangan pada rerainan tersebut adalah :



a) Purnama dan Tilem

Kata “Purnama” berasal dari kata “purna” yang artinya sempurna. “Purnama” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang bundar atau sempurna, sedangkan “Tilem” artinya bulan mati atau gelap. Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Ida Sanghyang Widhi. Hari Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa), sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa). Hari Purnama dan Tilem datang setiap 15 hari. Dari hari Purnama mencari Tilem ada 15 panglong atau 15 hari, sedangkan dari hari Tilem mencari Purnama ada 15 penanggal atau 15 hari. Dari Purnama mencari Purnama kembali lamanya 30 hari, begitu juga dari Tilem mencari Tilem kembali lamanya 30 hari. Sehari setelah Purnama sampai Tilem disebut panglong, sedangkan sehari setelah Tilem sampai Purnama disebut penanggal. Sehari sebelum hari Purnama disebut dengan purwaning purnama (penanggal 14), sedangkan sehari sebelum hari Tilem disebut dengan purwaning tilem (panglong 14). Hal inilah yang perlu diperhatikan dan diingat dalam menentukan hari-hari suci yang terletak pada Purnama dan Tilem tersebut (Raras, 2004: 12). 

Pada hari Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dari Ida Sanghyang Widhi yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Karena itu, pada kedua hari suci ini wajib diadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya. Pada hari Purnama dan Tilem ini umat Hindu melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping mengadakan puja bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat Hindu juga melakukan pembersihan badan dengan air (mabersih). Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan, dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha) yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungannya dengan pemujaan kepada Ida Sanghyang Widhi.

Tentang makna hari Purnama dan Tilem, antara lain disuratkan di dalam lontar Sundarigama yang menyatakan :

“Muah ana we utama parersikan nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, Sanghyang Surya Candra, atita tunggal we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana ika, para purahita kabeh tekeng wang akawangannga sayogya ahening- hening jnana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala keuannya ring sanggar, Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi"

Maknanya:

‘Ada hari-hari utama dalam penyelenggaraan upacara persembahyangan yang sama nilai keutamaanya, yaitu hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama (bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga) dan pada hari Tilem (bertepatan dengan Sanghyang Surya beyoga untuk memohon keselamatan kepada Hyang Widhi), maka pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi. Bila pada hari Purnama atau Tilem umat manusia menyucikan dirinya lahir dan batin, serta menghaturkan upakara yadnya dan persembahyangan kehadapan Hyang Widhi, nilai satu aturan (bhakti) yang dipersembahkan itu akan mendapat imbalan anugrah sempurna dari Hyang Widhi’. 

Demikianlah hari Purnama dan Tilem itu yang merupakan hari suci untuk diperingati oleh umat Hindu guna memohon anugrah berupa keselamatan dan kesucian lahir bathin. Sesungguhnya makna filosofis dari hari Purnama adalah, pada saat terjadi bulan Purnama maka air laut akan menjadi pasang (karena daya tarik bulan), maka cairan dalam tubuh pun akan ikut pasang. Karena itu, saat bulan bersinar penuh, maka ia dipandang sebagai hari suci oleh umat Hindu untuk melakukan persembahyangan. Sedangkan hari Tilem adalah saat bulan tidak memberikan sinarnya (bulan mati). Pemujaan pada hari Tilem baik dipergunakan untuk memohon pembersihan diri dengan melukat seluruh kekotoran yang berada pada anggota badan. 

Persembahyangan Purnama dan Tilem juga merupakan simbolis penerimaan Rwa Bhineda (dua sisi baik dan buruk, gelap dan terang, suka dan duka). Purnama dan Tilem mengingatkan manusia akan adanya dua sisi yang saling bertentangan dalam kehidupan ini, yaitu adanya gelap dan terang, kehidupan dan kematian, baik dan buruk, cinta dan benci, jahat dan baik, bersih dan kotor, dan sebagainya. Ini berarti makna Purnama dan Tilem adalah simbolisasi jiwa tenang dan stabil ketika menghadapi suka dan duka kehidupan. Kestabilan jiwa itu penting dimiliki oleh manusia, sebab di dunia ini semua orang pernah mengalami suka dan duka, senang dan sedih, riang dan derita. 

Purnama dan Tilem juga dianalogikan seperti halnya suasana hati atau pikiran manusia, yang sedang bergairah atau menyusut (gundah atau susah). Jika hati dan pikiran sedang cerah dan bergairah, maka semuanya tampak serba indah, seindah kecantikan Dewi Ratih. Sebaliknya, bila sedang gundah apalagi susah, suasana hati dan pikiran menjadi keruh, mudah sekali dimasuki dan dirasuki hal-hal yang bersifat negatif karena diliputi kegelapan (Tilem). Itulah sebabnya aktivitas persembahyangan yang dilaksanakan pada rerainan Purnama dan Tilem, salah tujuannya adalah mencerahkan hati dan pikiran sekaligus meredam pengaruh kegelapan yang biasanya lahir dari sad ripu yaitu : kama (hawa nafsu), kroda (kemarahan), lobha (ketamakan), moha (keterikatan), mada (kesombongan) dan matsarya (iri hati/kebencian) (Subagiasta (2006 :54). 

Melalui persembahyangan Purnama-Tilem inilah umat Hindu diharapkan mendapatkan kebahagiaan sebagaimana dinyatakan dalam salah satu sloka dalam Mahabharata : Sarwa bhawantu sukhinah, Sarwa santu niramayah, Sarwa Bhadrani pasyantu, Ma kascid dukha bag bhavet; semoga semua bahagia, semoga semua sehat dan jujur, semoga semua menjumpai kebahagiaan, dan semoga tidak ada yang sengsara. 

b) Siwaratri

Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudan Beliau sebagai Sanghyang Siwa. Hari suci Siwaratri dilaksanakan pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha (panglong ping 14 sasih Kapitu), atau tepatnya menjelang jatuhnya hari Tilem Kapitu. Ditilik dari asal usulnya, kata “Siwaratri” berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu ‘Siwa’ yang berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan, selain dapat diartikan juga sebagai gelar atau nama teologis untuk salah satu manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam Tri Murti yaitu Dewa Siwa, sebagai pamralina. Sedangkan kata ‘Ratri’ artinya malam atau gelap, yang dapat pula diartikan kegelapan (Watra, dkk, 2007: 63). 

Selanjutnya Sukayasa (2008: 33-34) menyatakan, hari suci Siwaratri sejatinya mengandung arti sebagai malam penghormatan Dewa Siwa guna melebur (mralina) kegelapan dalam diri, baik pikiran dan hati dari segala pengaruh negatif menuju penerangan atau pencerahan sehingga dapat mencapai suatu kebahagiaan lahir dan bathin. Intinya, Siwaratri itu merupakan malam perenungan Siwa, bukan peleburan apalagi penebusan dosa, sehingga “sang diri” mencapai kesadaran. Bahkan secara tatwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya ‘penyatuan’ Siwa, yaitu bersatunya Sang Atman dengan Paramaatman (Brahman) – Sang Sangkan Parananing Dumadi, sumber dari segala sumber darimana semuanya berasal mula (Sang Mulajadi).

Oleh karena sebagai malam penghormatan sekaligus perenungan, maka saat Dewa Siwa sedang beryoga di malam Siwaratri itulah umat Hindu selain melakukan pemujaan secara ritualistik simbolik melalui persembahan upakara bebanten juga sepatutnya melakukan Tri Brata yaitu Upawasa (berpuasa tidak makan minum), Mona (tidak mengucap kata/bicara) dan Majagra (selalu dalam keadaan sadar/eling). Selama proses berlangungnya Tri Brata itu disertai laku mulat sarira atau introspeksi diri, yang ujungnya bermuara pada semangat untuk selalu memperbaiki diri dalam segala sikap dan perilaku seraya memohon agar Dewa Siwa selaku penguasa jagat raya ini berkenan memberikan bimbingan dan tuntunan sehingga terhindar dari segala dosa. Atas bimbingan dan tuntunan Dewa Siwa itulah umat akan dapat mencapai kesadaran sang diri : atutur ikang atma rijatinya, yang kelak akan mengantarkannya pada tujuan tertinggi yaitu kembali bersatu pada-Nya. Hal ini dengan jelas disuratkan di dalam kitab Bhagawadgita, IX, 30-32 yang berbunyi: 

“api cet su-duracaro
bhajate mam ananya-bhak
sadhur ewa sa mantawyah
samyag wyawasito hi sah” 

Maknanya :

‘Walaupun seandainya orang yang terjahat sekalipun, memuja Aku dengan pengabdian yang tak tergoyahkan, ia harus dianggap sebagai orang bajik, karena ia telah memutuskan jalan yang benar’ (Pudja, 1981: 222). 

“ksipram bhawati dharmatma
saswac-chantim nigacchati
kaunteya pratijanihi
na me bhaktah pranasyati”

Maknanya :

‘Dengan cepat ia akan menjadi orang bajik dan memperoleh kedamaian abadi, wahai putra Kunti (Arjuna), dan ketahuilah bahwa secara pasti para bhakta-Ku tak akan pernah termusnahkan’ (Pudja, 1981: 222). 

“mam hi partha wyapasritya
ye ’pi syuh papa-yonayah
striyo waishyas tatha shudras
te ’pi yanti param gatim”

Maknanya :

‘Sebab, mereka yang berlindung pada-Ku, wahai Partha (Arjuna), walaupun mungkin berkelahiran rendah, para wanita, Waisya dan juga Sudra, mereka juga mencapai tujuan tertinggi’ (Pudja, 1981: 223). 

Satu hal yang patut diingatkan, bahwa masih terdapat salah tafsir terhadap makna hari suci Siwaratri. Misalnya, pemaknaan Siwaratri sebagaimana menjadi anggapan umum (awam) sebagai “malam penebusan dosa”. Karena hakikat dosa tidaklah bisa ditebus, hanya bisa dikurangi kadarnya dengan memperbanyak perbuatan baik (subhakarma) guna melebur perbuatan tidak baik yang berakibat dosa (asubhakarma). Hal ini dengan jelas dinyatakan di dalam suratan kitab Sarasamuuscaya, sloka 2 yang berbunyi : 

“Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumayakenikang subhāsubhakarma, kuneng panentas akena ring subhakarma juga ikang asubhakarma phalaning dadi wwang”.

Maknanya:

‘dari sekian banyaknya semua makhluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat perbuatan baik-buruk itu; Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatknya menjadi manusia’ (Pudja, 1981: 11). 

Tentang peleburan (bukan penebusan) dosa ini, dapat diibartkan seperti garam dalam gelas, jika airnya sedikit maka akan terasa sekali rasa asinnya. Namun jika volume air semakin lama diperbanyak, maka rasa asin perlahan akan berkurang bahkan bisa menghilang, meski kandungan garamnya tetap ada di dalam air gelas terdsebut. Lagi pula, secara tattwa (filosofis) hakikat Siwaratri sesungguhnya adalah sebagai malam penghormatan/pemujaan Dewa Siwa yang kala itu sedang melakukan Yoga. 

c) Saraswati

Berkaitan dengan hari suci Saraswati ini, ada tiga (3) hal penting yang patut dipahami, yaitu: 

(i) Filosofi
Kata Saraswati, berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “Saras” dan “Wati”, yang berarti sesuatu (ilmu/pengetahuan) yang memiliki sifat (terus) mengalir, bisa melalui percakapan atau kata-kata. Di dalam sastra-sastra lontar, sosok Dewi Saraswati dipandang sebagai Dewaning Pengawruh. Lalu di dalam Rg Weda, beliau disebut Dewa Sungai (selalu mengalir). Di dalam kitab Brahmana beliau di samakan dengan Vac, yaitu dewanya kata-kata. Begitu pula di dalam Mahabharata beliau dihormati sebagai Dewa Kebijaksanaan. Selanjutnya di dalam konsep Tri Murti, Dewi Saraswati lebih dikenal sebagai sakti-nya Brahma. Akhirnya dalam pendangan kebanyakan umat terutama kalangan terpelajar dan cendikiawan Saraswati dipuja sebagai Istadewata, manifestasi Tuhan (Hyang Widhi) sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan. Pendek kata, simbolisasi dalam Saraswati merupakan refleksi Sraddha umat untuk selalu mencintai ilmu pengetahuan guna kesempurnaan hidupnya (Titib, 2009: 127). 

(ii) Simbolisasi
Saraswati dalam ikonografi digambarkan sebagai sosok wanita cantik, pertanda ilmu pengetahuan itu selalu menarik untuk dipelajari. Semakin diselami kian menarik untuk didalami. Mengacu Titib (1994: 98) secara ikonik gambaran Dewi saraswati memiliki beberapa atribut, yaitu : Pada tangantangannya. masing-masing menggenggam (a) Ganitri, lambang kekekalan ilmu pengetahuan yang tak mengenal batas akhir untuk dipelajarii; (b) Keropak lontar simbol sumber ilmu pengetahuan; (c) Wina, bahwa ilmu pengetahuan itu dapat memengaruhui estetika seni budaya menuju pengagungan nilai luhur; dan (d) Teratai adalah gambaran tentang kesucian ilmu pengetahuan. Kemudian pada bagian samping berjajar (e) sepasang angsa putih, menandakan bahwa orang berilmu senantiasa berpenampilan tenang, penuh kewaspadaan dan mampu membaca situasi bisa membedakan antara kebaikan dengan keburukan; (f) Burung Merak yang juga menyatu dalam lukisan Saraswati adalah simbol bahwa dengan ilmu pengetahuan seseorang tampak agung dan diliputi sikap penuh kewibawaan. 

(iii) Ritualisasi
Kongkritisasi kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dari aspek ritual tampak terlihat pada pelaksanaan perayaan Piodalan Sanghyang Aji Saraswati. Pelaksanaannya dimulai pada pagi hari sampai menjelang malam. Saat itu, semua pustaka keagamaan dan buku pengetahuan lainnya diatur sedemikian rupa di tempat yang telah disediakan, lalu diupacarai dengan upakara seperti yang tersurat di dalam lontar Sundarigama 14: "Saniscara umanis Watugunung, pujawali bhatari Saraswati, Widhi widhananya; suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cane, kembang biasa, banten sesayut Saraswati prangkatan putih kuning saha raka tan sah wangi-wangi saha dulurannya.". 

Sekurang-kurangnya upacara dan upakara Saraswati itu terdiri atas Banten Saraswati, sodaan putih kuning dan canang selengkapnya. Lalu tirtha yang dipergunakan hanyalah tirtha Saraswati yang diperoleh dengan jalan memohon kehadapan Hyang Surya. Pelaksanaannya didahului dengan menghaturkan pasucian, ngayabang aturan, memusatkan bhakti pada Sanghyang Aji Saraswati agar menganugerahi keselamatan. kebahagiaan, kemajuan melalui ilmu pengetahuan dan ajaranajaran suci kerohanian. Lalu dilanjutkan dengan acara muspa dan matirtha serta bija/wija. Upacara Piodalan Sanghyang Aji Saraswati itu sendiri berlangsung (nyejer) selama sehari. 

Kemudian pada malam harinya melakukan samadi, mengheningkan cipta, rasa dan karsa atau membaca kitab-kitab Itihasa seperti pustaka Ramayana, epos Mahabharata dan lain sebagainya. Keesokan harinya aed Saraswati dilanjutkan dengan Banyu Pinaruh, yang oleh lontar Sundarigama, 15 disebutkan: 

"Pada hari redite paing, pagi-pagi disebut banyu pinaruh, saat membersihkan diri ke tempat-tempat permandian, kemudian menyucikan diri dengan memercikkan air kumkuman di lanjutkan dengan menghaturkan labaan kepada bhatara di Sanggar: sega prajnan kuning dan jajamu serba harum untuk tiap-tiap orang. Setelah selesai muspa matirthha, nunas jamu dan labaan Saraswati/nasi prajnan barulah upacara Saraswati ngalebar”. 

Ada siratan makna terungkap dari Piodalan Sanghyang Aji Saraswati itu, bahwa keyakinan umat tentang turunnya ilmu pengetahuan suci saat itu merupakan petunjuk bahwa eksistensi diri manusia harus selalu diisi dengan keprajnanan -- penguasaan ilmu pengetahuan. Sebab itulah satu-satunya kata kunci melenyapkan Awidya, kegelapan dan/atau kebodohan seperti tersurat pada kitab Sarasamuscaya, 399, dan 402 yang terjemahannya menyatakan : 

"Hanya satulah sesungguhnya yang disebut musuh itu yakni kebodohan. Tidak ada yang dapat menyaingi pengaruh kebodohan. Sebab orang yang dicengkeram kebodohan niscaya ia akan cenderung melakukan perbuatan salah atau buruk; Oleh karenanya, kebodohan itu haruslah dilenyapkan, yakni dengan keprajnanan. Prajna artinya kesadaran atau pengetahuan tentang hakikat hidup. Dengan keprajnanan, maka akan terseberang samudra kelahiran dengan perahu kepandaiaannya. Sedangkan orang bodoh yang tiada memiliki kepandaian tak akan mampu menyeberangi samudra kehidupan” (Pudja, 1981 : 218). 

Selanjutnya di dalam kitab suci Bhagawadgita, IV.34, juga mengamanatkan : 

“Tad widdhi pranipatena
paripprasnena sewaya
upadek syanti te jnanam
jnaninas tattwadarsinah”

Maknanya :

‘Pelajarilah itu dengan sujud, disiplin, dengan bertanya dan kerja berbhakti, orang yang berilmu mereka melihat kebenaran, akan mengajarkan kepadamu pengetahuan itu’ (Pudja, 1981: 116). 

Senada dengan itu, kitab Rgveda XVII.100.2 menyuratkan :

“Tvam visno sumatim visvajanyam,
Aprayutam evayavo matimmdah”

Maknanya :

‘Ya, Sang Hyang Visnu yang meliputi semuanya, semoga Engkau melimpahkan intelek kepada kami. Ya kebajikan, limpahkanlah kekuatan membedakan baik-buruk dan benar salah kepada kami’ (Titib, 1996: 445). 

Ternyata intelektualitas itu sangat penting untuk mencerdaskan diri lewat pembelajaran, pengkajian dan pendalaman agar tidak berkeadaan awidya (bohoh) atau mengalami kegelapan (pikiran dan hati nurani, termasuk imani). Perihal kebodohan itu sendiri, di dalam kitab Vayu Purana I.20 dan didukung sloka Sarasamuscaya, 39 dengan tegas dijelaskan maknanya : 

“Hendaknya Veda dijelaskan melalui sejarah/Itihasa dan Purana/sejarah dan mitologi kuna. Veda merasa takut kalau seseorang yang bodoh membacanya. Veda berpikir bahwa dia (orang yang) akan memukulku); Veda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui mempelajari Itihasa dan Purana, sebab Veda itu merasa takut terhadap orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya wahai tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang padaku, demikian konon sabdanya karena takut” (Titib, 1996 : 4-5).

Dari cukilan sloka kitab-kitab suci di atas tersirat makna bahwa Weda dalam pengertian sebagai ilmu pengetahuan memang wajib dipelajari, bahkan dikaji sedalam-dalamnya untuk memperoleh ketinggian intelek (kecerdasan) termasuk kemampuan menganalisis secara kritis terhadap apa yang selama ini dijalankan, tak terkecuali dalam urusan mayadnya. Sehingga daripadanya dapat diketahui apakah praktik yadnya dalam bentuk ritual semata sudah berjalan benar dan baik sesuai konsep, dan berhasil mencapai tujuan atau mungkin ada “sesuatu’ yang salah dan perlu dievaluasi lalu direvitalisasi agar aktualisasinya dalam konteks kekinian tetap relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman (Widana, 2018: 115). 

0 Response to "Jenis Persembahyangan yang Tergolong Naimitika Yadnya dalam Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel