Sarana Persembahyangan Umat Hindu

HINDUALUKTA -- Sarana Persembahyangan Umat Hindu. Aktivitas bhakti persembahyangan selalu disertai dengan perlengkapan berupa sarana untuk menghaturkan sembah. Adapun sarana persembahyangan pokok atau yang selau ada dan digunakan adalah : 


a) Bunga (Sekar)
Bunga (sekar) mempunyai dua fungsi penting dalam agama Hindu yaitu sebagai simbol Tuhan (Dewa Siwa) dan sebagai sarana persembahyangan. Sebagai simbol Tuhan, bunga diletakkan tersembul pada ujung kedua telapak tangan yang dicakupkan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah, bunga biasanya ditajukkan diatas kepala (rambut) atau disumpangkan ditelinga. Arti bunga menurut lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci (sekare pinaka katulusan pikayunane suci) (Wiana, : 1992: 24).

Bunga juga sebagai lambang restu dari Ida Sanghyang Widhi, sebagaimana disebutkan di dalam kakawin Ramayana ketika Sang Rama berperang melawan Rahwana, dilukiskan bahwa Rama mendapat restu dari Dewa-Dewa :

“anantara narendra putra ring rato tama paweh Hyang Indra risira, watek resi ring antariksa anumoda manghudanaken ta gandha kusuma”

Maknanya :

‘tidak berapa lama raja putra telah berada di kereta utama pemberioan Hyang Indra. Para Dewa di angkasa memberikan restu dan menghujani dengan bunga wangi’ 

Begitu juga ketika Arjuna mendapat anugrah panah Pasopati, dilukiskan juga di dalam bait kakawin Arjuna Wiwaha : “sanyasa mbat sireng jambhakena rilangikang jang pajamuga, samyuktang muspa warsa parengi jaya astungkara karengo” (sedianya beliau akan membanting musnah kaki itu dengan tiba-tiba jatuh berhamburan hujan bunga disertai dengan puja mantra kedengarannya). Di dalam Weda Pangasthana, Tuhan juga dilambangkan berbadan bunga : “Om puspa lingga maha dewyam, maha pataka nasanam, Somastanam sthito dewam, lalata Brahma sarwapi” (Oh, Hyang Widhi yang berbadan bunga, sangat suci tiada ternoda, maha pelebur daripada dosa-dosa, Hyang Widhi berdiri di tempat soma dan di dahi para pendeta (Brahmana) (Wiana, : 1992: 24). 

Singkat kata, keberadaan bunga pada intinya adalah sebagai sarana persembahyangan yang selalu dipakai untuk mengisi upacara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur. Bagi umat Hindu, bunga dipakai untuk menunjukkan kesucian hati untuk memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa serta sinar suci-Nya, para leluhur dan para Rsi. Menyangkut soal bunga (puspam), meskipun adakalanya disebutkan tentang warnanya, namun sebenarnya yang terpenting adalah umat mampu menyiapkan sebatas bunga dengan warna yang didapat, asal masih segar (sukla). 

Menurut kitab Agastyaparwa ada beberapa bunga yang tidak baik dipergunakan untuk sembahyang, yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa digoncang, bunga-bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan. 

b) Kawangen/Kwangen
Bagi umat Hindu khususnya di Bali, kawangen merupakan perlengkapan sembahyang yang penting. Dari puja pengantarnya dapat diketahui bahwa kawangen dipakai untuk memuja Ida Sanghyang Widhi dalam wujud Purusha- Pradana /Ardanareswari dan pemberi anugerah.

Kawangen dibuat dari daun pisang atau janur yang berbentuk kojong. Didalamnya diisi perlengkapan berupa daun-daunan, hiasan dari rangkaian janur yang disebut sampian kewangen, bunga, uang kepeng dan porosan yang disebut silih asih. Adapun yang dimaksud dengan porosan silih asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga bila digulung akan tampak bolak-balik, yaitu yang satu potong tampak bagian perutnya dan satu bagian lagi tampak bagian punggungnya. Cara menggunakannya, hendaknya, muka kawangen berhadapan muka dengan penyembahnya/pemujanya. Maksudnya, agar antara yang menyembah dengan yang disembah berhadap-hadapan (Sudharta, dkk. 1992/1993: 56). Sehingga terjadi pertemuan antara “bhakti kalawan sueca”, yaitu sembah umat dengan berkah anugrah yang akan diturunkan oleh Ida Sanghyang Widhi atas persembahan dan persembahyangan yang sudah dilakukan. 

c) Api (Dupa)
Kaler (1983: 11) mengemukakan, secara kasat mata dupa adalah sejenis hio yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum. Wangi dupa dengan nyala apinya adalah lambang Dewa Agni yang berfungsi sebagai : (a) pendeta pemimpin upacara; (b) perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja(manusia dengan Tuhan); (c) pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat; dan (d) saksi upacara. 

Api mempunyai peranan penting dalam setiap aktivitas ritual yadnya Hindu. Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi masing-masing unsurnya memiliki sifat-sifat, yaitu : (a) Panas api meresap kesegala arah baik air, tanah, udara, tumbuh-tumbuhan ataupun mahkluk hidup lainnya; dan (b) asapnya membubung terangkat ke angkasa tampak berwarna putih berkilauan, dan menyebar kesegala penjuru. Sifat-sifat demikian menyebabkan api dipakai sebagai perantara antara bumi dan langit, manusia dengan Tuhan, sesama ciptaan Tuhan dan sebagai pembawa persembahan. Sinar cahayanya memancar ke segala penjuru menyebabkan api dipakai sebagai penerangan dalam kegelapan. Nyala dan panasnya dapat membakar sehingga dianggap sebagai pembasmi noda, malapetaka dan penderitaan (Suandra, 1993: 8). 

Api dengan sebutan sebagai Dewa Agni adalah Dewa atau sinar suci Tuhan yang selalu dekat, dapat dilihat dengan nyata oleh manusia menyebabkan api dianggap sebagai saksi dalam kehidupan. Api yang selalu dinyalakan dalam rumah tangga disebut Grhapati yang artinya pimpinan atau raja dalam rumah tangga. Dalam Reg Weda dan Sama Weda api memiliki peranan : (a) Api adalah pengantar upacara, penghubung manusia dengan Brahman (Regweda X, 80 : 4); (b) Api (Agni) adalah Dewa pengusir Raksasa dan membakar habis semua mala dan dijadikannya suci. (Regweda VII 15: 10); dan (c) Hanya Agni (api) pimpinan upacara Yadnya yang sejati menurut Weda (Regweda VIII 15 : 2).

Kesemua sarana persembahyangan di atas, meskipun hanya berupa bunga, kewangen dan api (dupa), sebagimana halnya sarana persembahan upakara bebanten, juga perlu dibersihsucikan. Hal ini dengan jelas disuratkan di dalam Lontar Yadnya Prakerti :

“Kunang yen durungdiniksan Brahmana putus risalwiring yadnyayadnya swaraja karya kerti-kertining wang ring para Ioka tan sida putus, nga putus tan wedagnia ikang sarwa bhuta yuga wibhuh harep nira amukti bebanten”.

Maknanya :

‘Apabila belum disucikan oleh Sang Brahmana dan segala perbuatan agung dari yadnya-yadnyanya yang dilakukan oleh yajamana di dunia belum dikatakan berhasil malahan sang bhutakala akan menerima dan makan persembahan yadnya tersebut’. 

Penjelasan yadnya dalam lontar Yadnya Prakerti ini dimaksudkan, kalau sembahyang atau menyembah hendaknya bahanbahan yang dipersembahkan itu disucikan terlebih dahulu. Pengertian suci di sini adalah suci lahir bathin. Dimulai dari umat yang hendak sembahyang agar dalam keadaan bersih lahiriah baik badan maupun pakaian/busana yang dikenakan. Demikian pula lingkungan tempat sembahyang yang harus bersih, dengan selalu menjaga keasrian dan keindahannya. Setelah bersih lahiriah, yang tak kalah pentingnya adalah mengondisikan batiniah agar tetap bersih dan suci juga. 

Perihal kebersihan dan kesucian diri ini, dengan jelas juga disuratkan di dalam kitab Manawadharmasastra, V. 109 : 

“Adbhir gatrani suddhyanti manah satyena sudhhyati, cityatapobhyam buddhir jnanena suddhyatir”

Maknanya :

‘Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan’ (Pudja, dan Sudharta, 1977/1988: 313). 

Selain dengan cara seperti disuratkan di dalam kitab Manawadharmasastra di atas, pembersihan dan penyucian diri juga bisa dilakukan secara ritual, antara lain dengan nunas ”tirtha panglukatan”, termasuk sarana upakara lainnya, dan juga area lingkungan (mandala) dapat disucikan dengan suatu upacara dan upakara bebanten tertentu. 




0 Response to "Sarana Persembahyangan Umat Hindu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel