Daratan pulau ini dilalui rentangan pegunungan pada bagian tengah dengan arah timur-barat. Di sela-sela pegunungan itu mencuat beberapa puncak, misalnya dengan dua gunung berapi, yaitu gunung Agung (3.124 m), gunung Batur (1.717 m), dan lainnya adalah gunung Batukaru (2.276 m), gunung Merbuk, gunung Sangiang, gunung Catur, dan gunung Pohen. Di bagian utara, pesisir barat dan selatan merupakan dataran rendah, di mana yang di bagian selatan lebih luas daripada yang di bagian utara. Sedangkan pesisir paling selatan umumnya berpantai terjal. Pada tahun 1975 luas hutan adalah 158.999 hektar atau sekitar 22 persen dari luas pulau Bali itu. Hutan itu menjadi sumber sejumlah sungai yang sebagian besar mengalir ke arah selatan. Di antara sungai-sungai itu adalah sungai Unda, sungai Daya, sungai Petanu, sungai Ayung, sungai Pulukan, sungai Loloan, sungai Sabah, sungai Pangi, sungai Pakerisan, dan sungai Sangsang. Di pulau Bali juga ada beberapa danau, yaitu danau Batur, danau Bratan, danau Tamblingan, dan danau Buyan. Selain hutan tersebut di atas, bagian lain pulau ini merupakan daerah perkebunan (31 %), sawah (17 %), tegalan (10 %), perkarnpungan (9 %), tanah yang kurang produktif (5 %), kota, jalan, sungai, dan danau tadi.
Jumlah orang Bali hanya dapat diketahui dari sensus penduduk tahun 1930, yaitu sebanyak 1.101.029 jiwa. Data sensus yang diadakan kemudian hanya diketahui jumlah penduduk Propinsi Bali yang tentunya bukan seluruhnya orang Bali. Sensus penduduk tahun 1961 menunjukkan angka : 1.782.529 jiwa, sensus penduduk 1971 : 2.120.091 jiwa, sensus penduduk tahun 1980 : 2.469.930 jiwa. Sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan jumlah penduduk Propinsi Bali adalah 2.777.811 jiwa. Dari jumlah ini 2.043.224 jiwa berada di kota. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun antara tahun 1980 dan tahun 1990 adalah 1,18 % (Biro Pusat Statistik, 1992).
Sedangkan berdasarkan data BPS Provinsi Bali tahun 2013, jumlah penduduk Bali adalah 4.056.300 jiwa yang terdiri dari 2.042.000 pria dan 2.014.300 wanita, dengan pertumbuhan penduduk 3% per tahun.
Kepadatan penduduk dalam wilayah propinsi ini di sebagian besar kabupaten tampak merata, kecuali pada kabupaten tertentu cukup padat dan kabupaten lain relatif kecil. Kabupaten Badung merupakan kabupaten terpadat, yaitu 969 per kilometer persegi, sedangkan paling jarang adalah Kabupaten Jembrana yaitu 248 per kilometer persegi. Pemukiman mereka di daerah tetangga terutama di Jawa dan Lombok Barat, guna mencari pekerjaan dan pendidikan. Selain itu antara tahun 1953-1976 mereka meninggalkan Bali sebagai transmigran, dengan urutan jumlah yang terbesar sampai dengan jumlah yang kecil adalah ke daerah Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatra Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah. Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Jumlah keseluruhan transmigran Bali selama jangka waktu tersebut adalah 74.391 jiwa. Di antara daerah yang jumlah terbesar adalah Lampung (28.067 jiwa), Sulawesi Tengah (14.361 jiwa) (Abu, 1981).
Bahasa Masyarakat Bali
Orang Bali mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Bali, merupakan kelompok bahasa Bali-Sasak termasuk keluarga bahasa Indonesia Barat, termasuk subkelompok bahasa Austronesia yang tergolong bahasa Melayu-Polinesia Barat (Bellwood,2000:153). Bahasa Bali mempunyai aksara sendiri (aksara Bali). Peninggalan prasasti dari zaman Bali-Hindu menunjukkan adanya bahasa Bali Kuno yang agak berbeda dengan bahasa Bali sekarang . Bahasa Bali Kuno itu di samping banyak mengandung kosakata Sansekerta, pada masa kemudian dipengaruhi pula oleh bahasa Jawa Kuno dari zaman Majapahit, yaitu waktu pengaruh Jawa cukup besar kepada kebudayaan Bali. Di bawah suntingan I Gusti Ngurah Bagus telah disusun Kamus Indonesia-Bali dan diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975).
Bahasa Bali dapat dibedakan atas dialek Bali Aga dan dialek Bali Dataran atau Bali Umum. Dialek Bali Aga dipakai oleh penutur yang sebagian besar berada di desa-desa pegunungan, misalnya Sembiran, Sidatapa, Pedawa, Cempaga, Tigawasa di Kabupaten Buleleng, dan desa-desa di beberapa kabupaten lain. Dialek Bali Dataran dipakai di daerah dataran atau pesisir. Dialek ini dipakai oleh penutur yang lebih banyak mendapat pengaruh Hindu dengan jumlah penutur yang lebih besar dari penutur dialek yang satunya (lihat misalnya Melalatoa Ed, 1977). Bahasa Bali memiliki ragam bahasa atau tingkatan, yaitu (1) bahasa kasar, (2) bahasa alus madia, dan (3) bahasa alus.
Latar Belakang Sejarah Pulau Bali
Rentang sejarah kebudayan Bali dibuktikan dengan temuantemuan prasejarah sebagai hasil kebudayaan leluhur, kemudian datang pengaruh Hindu, Islam, dan pengaruh yang datang kemudian dari Barat. Bukti budaya pra-sejarah itu ada yang berasal dari zaman Paleolitik, seperti kapak genggam temuan di tepi sebelah Timur dan Tenggara danau Batur, Kintamani dan di desa Sembiran, Singaraja; alat-alat dari zaman Neolitik seperti kapak, pahat, beliung yang telah dihaluskan tersebar diberbagai tempat di pulau Bali; sisa tradisi Megaiitik seperti tahta batu, punden berundak undak sebagai simbol kepercayaan bahwa roh orang yang telah meninggalkan naik ke tempat yang tinggi melalui tingkatan-tingkatan itu.
Temuan yang berasal dari zaman logam misalnya berupa nekara dengan motif hiasan kodok, pilin berganda, lingkaran matahari, tumpal. Temuan-temuan tersebut diperkirakan dibuat oleh orang-orang Austronesia yang berasal dari Tonkin (Kochin China). Orang-orang Austronesia tersebut sudah hidup teratur, berkelompok dan membentuk suatu persekutuan yang disebut thani atau banua yang dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umum disebut Sahing 16. Pemimpin tertinggi disebut Jro Gde. Penunjukkan anggota sahing 16 dilakukan dengan sistem hulu apad. Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali, dan manusia pendukung kebudayaan tersebut menjadi leluhur sebagian orang Bali yang keturunannya disebut sebagai orang Bali Mula atau Bali asli. Para ketua kelompok Bali Mula ini kemudian disebut Pasek Bali (Wikarman,1998:9-13).
Pengaruh Hindu datang ke Bali sekitar tahun 700 masehi. Bekas pengaruh Hindu ini ada pada masyarakat Bali Aga, yang dimulai dari kedatangan Rsi Maharkandya untuk menyebarkan agama Hindu dari sekte Waisnawa. Awalnya Rsi Maharkandya yang berasal dari India itu mendirikan padepokan di wilayah pegunungan Dieng, kemudian membuka padepokan pula di wilayah gunung Raung, Jawa Timur dengan murid-murid beliau dari Wong Aga (orang Aga), dan selanjutnya ke pulau Bali. Untuk beberapa masa lamanya beliau menyebarkan ajaran agama Hindu beserta murid-muridnya di Bali. Orang-orang Wong Aga murid Sang Rsi menetap di desa-desa dan hidup bercampur-baur dengan orang-orang Bali Mula. Sejak terjadi percampuran itulah diperkirakan timbulnya sebutan Bali Aga. Keturunan orang-orang Aga, Bali Mula dan Rsi Maharkandya sendiri dikenal sebagai warga Bujangga Waisnawa (Wikarman,1998:14-19).
Kemudian pengaruh Jawa-Hindu (Mataram, Majapahit) masuk pula ke Bali. Pengaruh ini begitu meluas meliputi berbagai aspek, seperti agama, seni rupa, arsitektur, kesusasteraan, dan lain-lain. Pengaruh Islam masuk dari Jawa, Madura, Bugis, dan Sasak yang dimulai sejak abad ke-14. Persebaran agama Islam di Bali meliputi beberapa kabupaten, yakni Kabupaten Jembrana, Buleleng, Karangasem, dan Badung. Namun demikian, bisa dikatakan Bali menolak Islamisasi. Sejarahnya sampai abad ke-16 hampir tidak diketahui. Di bawah kepemimpinan raja Dalem Waturenggong dan pedanda Hindu bernama Dang Hyang Nirartha, Kerajaan Gelgel merupakan penguasa di Bali yang pengaruhnya meliputi pula ujung timur pulau Jawa, Lombok dan Sumbawa hingga sekitar tahun 1650. Pada tahun 1660-an Kerajaan Buleleng mengukuhkan diri sebagai penguasa di Bali Utara. Kerajaan Karangasem di Bali Timur meluaskan kekuasaannya ke Lombok. Di Bali Selatan, Kerajaan Mengwi pada sekitar tahun 1700 sebagai pemegang kekuasaan. Buleleng dan Mengwi saling bersaing menancapkan pengaruh di Jawa Timur yang dipercaya dari wilalayah itulah trah mereka berakar. Tetapi pada abad ke-18 wilayah tersebut direbut VOC (Ricklefs dkk,2013:172,252-253). Pengaruh kebudayaan Barat baru mulai sejak abad ke-20 (Geriya, 1988).
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan Bali menyebabkan timbulnya variasi ciri-ciri budaya pada sub-sub kelompok Bali, sehingga ada ahli yang membaginya menjadi kelompok "tradisi kecil", “tradisi besar" dan "tradisi modern". "Tradisi kecil" dengan sejumlah cirinya tampak pada masyarakat desa kuno di daerah pegunungan (Bali Aga), misalnya di desa Tenganan di Kabupaten Karangasem, desa Trunyan di Kabupaten Bangli. "Tradisi besar" yang berkembang seiring dengan ajaran agama Hindu dengan persebarannya yang luas di daerah Bali Dataran. “Tradisi modern" yang bermula dan masa pemerintah jajahan, zaman kemerdekaan yang telah merasuk ke dalam berbagai kehidupan masyarakat Bali (lihal Abu, 1981; Geriya, 1988).
|
| Barogan, bagian dari gamelan Gong Kebyar dengan ukiran yang indah
|
Konsep Desa di BaliPada masyarakat Bali konsep desa mempunyai dua pengertian dan nama, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan wilayah di mana para warganya secara bersama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan, kegialan-kegiatan sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya. Desa dinas adalah kesatuan wilayah adminisiratif yang berhubungan dengan pcmerintahan formal, yang dikepalai oleh kepala desa (Perbekel) dan statusnya berada di bawah kecamatan. Kedua lembaga ini terjalin secara fungsional-struktural, tetapi menunjukkan beberapa variasi, misalnya satu desa dinas mencakup beberapa desa adat; satu desa dinas juga merupakan satu desa adat; satu desa adat mencakup beberapa desa dinas; satu desa adat terbagi ke dalam beberapa desa dinas. Kedua macam desa ini mempunyai bagian yang lebih kecil, sebagai sub-komunitas, yang masing-masing disebut banjar adat yang berperan dalam bidang adat dan keagamaan, dan banjar dinas yang berperan dalam bidang administratif. Jumlah desa adat jauh lebih banyak dibandingkan dengan desa dinas. Pada tahun 1980 desa dinas berjumlah 564 buah, dan desa adat berjumlah 1.610. Dalam sistem pemerintahan Indonesia sekarang desa adat tidak terjalin secara struktural dengan desa dinas, tetapi ada hubungan fungsional yaitu bidang adat dan agama (Abu. 1981).
Pola perkampungan yang menyebar adalah pola yang umum pada desa-desa di daerah dataran. Pola mengelompok umumnya terdapat pada desa-desa di pegunungan, yaitu desa-desa Bali Aga. Desa di daerah dataran terbagi dalam kesatuan banjar yang terdiri dari sejumlah keluarga yang menempati rumah-rumah dalam satu pekarangan yang ditutup dengan pagar. Selain itu ada bangunan tempat pemujaan yang disebut pura dengan bermacam jenisnya, yaitu Pura Desa, pura keluarga, pura klen, dan Iain-lain; bangunan umum misalnya balai banjar, dan lain-lain.
Tiap desa biasanya memiliki perempatan desa yang biasanya terdapat di pusat desa. Perempatan ini juga merupakan tempat untuk upacara tertentu, misalnya upacara pecaruan desa yang ditujukan kepada makhluk halus. Batas antara satu desa dengan desa lain atau batas antara banjar biasanya merupakan batas alam.
Dalam sistem kepercayaan orang Bali, konsep mengenai arah adalah sangat penting. Hal-hal yang keramat atau sakral dilelakkan pada arah gunung (kaja), sedangkan yang biasa atau tak kerabat diletakkan pada arah laut (kelod). Untuk orang Bali Selatan, kaja berarti "utara", dan untuk orang Bali Utara, kaja berarti "selatan", dan demikian sebaliknya tentang kelod. Klasifikasi dualistik ini tercermin pula pada letak susunan rumah dan bangunan-bangunan pusat dari desa. Pura desa dilelakkan pada arah gunung, sedangkan pura dalem pada arah laut. Daerah yang mengenal sistem banjar ada bale banjar sebagai tempat warga banjar mengadakan rapat dan kegiatan lainnya; dan di sekelilingnya terdapat perumahan warga. Kompleks bangunan (bale) yang ditempati keluarga inti maupun keluarga luas dibangun di atas suatu pekarangan yang biasanya dikelilingi dinding dengan gapura sempit (Bagus, 1983).
Dalam kehidupan masyarakat Bali, sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan normanorma keagamaannya mempunyai kaitan yang kompleks dengan arsitektur rumah tinggalnya. Mereka percaya bahwa arsitektur rumah tinggal itu sebagai bangunan yang hidup, bukan sebagai benda mati. Bangunan itu sebagai simbol bhuana agung yang mengayomi manusia sebagai bhuana alit, yang keduanya mempunyai hubungan dengan Sang Hyang Widhi. Bhuana Agung terdiri dari tiga dunia (tri loka), yaitu (1) alam atas (swah loka) merupakan kehidupan para dewa; (2) alam tengah (bwah loka) merupakan kehidupan manusia, dan (3) alam bawah (bhur loka) merupakan kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bhuana alit pun terdiri dari tiga bagian (tri angga), yaitu (1) kaki (nista angga), (2) badan (madya angga), dan (3) kepala (utama angga). Tata ruang denah pekarangan terbagi pula atas tiga bagian, yaitu (1) parhyangan, tempat suci keluarga seperti merajan atau sanggah diletakkan di bagian yang sakral, yang mewakili swah loka; (2) pawongan sebagai tempat kegiatan kehidupan rumah tangga, yang mewikili bwah loka; dan (3) palemahan sebagai tempat kegiatan umum dan pelayanan yang mewakili bhur loka (Paira. 1985; Sulistyawati, 1989).
Orang Bali yang terdiri atas lapisan sosial atau kasta: brahmana, ksatria, weysya, sudra. masing-masing mempunyai istilah tersendiri untuk menyebut rumah, yaitu masing-masing : geria, puri, jero, dan umah. Kompleks rumah tradisional Bali, misalnya pada lapisan sudra berkaitan dengan mata pencaharian dan fungsi lainnya dalam kehidupan masyarakat umumnya : sembahyang, tidur, mempersiapkan sesaji, menerima tamu, memasak, dan sebagainya. Berikut ini adalah contoh massa bangunan dalam sebuah pekarangan.
Pekarangan dibatasi oleh tembok penyengker (a) dengan pintu masuk yang disebut pemesuan (b.1) atau angkul-angkul (b.2) dengan aling-aling berfungsi sebagai penghalang, sehingga keadaan di dalam pekarangan tidak langsung kelihatan. Massa bangunan lain adalah paon (c) atau dapur, jineng atau kelumpu (d) atau lumbung untuk menyimpan hasil bumi. Bale dauh (e) untuk tempat pertemuan keluarga dan sebagai ruang tidur para pemuda; letaknya dekat dengan pintu masuk dengan pertimbangan sekalian berfungsi sebagai penjaga. Bale delod (f) berfungsi sebagai tempat persiapan upacara dan tempat berlangsungya acara yang berhubungan dengan daur hidup seperti potong gigi dan pernikahan. Bale daja (g) sebagai ruang tidur ayah, ibu, atau anak gadisnya. Bale dangin (h) yang letaknya dekat dengan daerah suci (i) tempat sembahyang (sanggah) dipakai sebagai ruang tidur orang tua, hingga tercermin bahwa orang tua lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Tempat sembahyang (sanggah) terletak di daerah paling suci (utama ning mama). Selain itu di daerah madya ning utama (i. 1) yang terletak di ruang yang ada antara massa bangunan sebagai ruang tengah yang dijadikan orientasi bangunan sekelilingnya yang disebut natah (j) dan bangunan tempat sesaji di daerah palemahan disebut dengan penunggu karang (i. 2) (Sulistyawati, 1989) (Lihat Denah Massa Bangunan).
Sebenarnya di Bali tidak ada satu kesatuan sosial yang dapat dicakup oleh istilah "desa" itu, kalau orang memandang akan jaringan-jaringan hubungan sosial yang nyata, dan tidak hanya menggunakan sebuah konsep abstrak yang hidup dalam bayangan umum. Meskipun perkampungan-perkampungan di Bali itu tampak seragam wujudnya, tetapi dalam jaringan-jaringan susunan kemasyarakatannya terdapat suatu aneka warna yang besar dengan banyak kekecualian-kekecualian di berbagai tempat (Geertz, 1984).
Mata Pencaharian Masyarakt Bali
Bertani adalah mata pencaharian pokok dari sebagian besar anggota masyarakat Bali, dan yang terpenting adalah bercocok tanam di sawah. Usaha pertanian lain adalah perkebunan yang menghasilkan kelapa, topi, cengkeh, kapok, jambu mete, dan tembakau. Jenis mata pencahrian lain adalah industri rumah tangga, nelayan, dan perdagangan. Pariwisata suatu sektor yang berkembang pesat sejak tahun 1969, sebagai contoh data tahun 1974 saju telah mampu menyerap sebesar 34.485 tenaga kerja. Tenaga kerja itu meliputi bidang pekerjaan perhotelan, restoran, biro perjalanan, pramuwisata, art shop, transportasi, pertunjukan kesenian, pengrajin, dan yang terbesar di antaranya adalah pengrajin (Abu, 1981).
Dalam hal pertanian sawah, mereka membedakan menjadi dua macam sistem penanaman, yaiiu sistem tulak sumur dan sistem kerta masa. Sistem pertama dengan menanami padi secara terus menerus karena air mencukupi tanpa diselingi tanaman lain seperti palawija. Sistem kedua penanaman padi diselingi tanaman palawija karena sewaktu-waktu kekurangan air.
Dalam usaha tani sebagian besar dikerjakan oleh anggota keluarga inti atau keluarga luas sebagai kesatuan kerja. Dalam tahap pekerjaan tertentu terkadang diperlukan tenaga dari luar keluarga tadi, misalnya untuk mengolah tanah, menanam, atau panen, yang. dilakukan dengan gotong-royong (ngajakang) atau dengan upahan (ngupahang). Sistem bagi hasil antara penggarap dan petani pemilik dengan pembagian separo-separo yang disebut nadu pada, atau 3/5:2/5 (nelon). 2/3:1/3 (ngapit), 3/4:1/4 (merapat.) Ada pula lingkup pekerjaan pertanian yang menjadi tanggung jawab bersama di kalangan petani itu, misalnya memperbaiki saluran air, berburu tikus, mengaktifkan upacara, dan lain-lain. Untuk aktivitas semacam ini peranan dari organisasi yang disebut subak sangat penting.
Subak adalah organisasi petani terutama dalam hal pengairan sawah yang jumlahnya sekitar 1.240 buah di desa-desa seluruh Bali. Dalam setiap desa ada beberapa subak yang anggotanya tidak harus warga desa setempat, sebaliknya seseorang bisa menjadi anggota subak dibeberapa desa, karena ia memiliki sawah di sana. Batas satu subak adalah semua sawah yang diairi yang berasal dari sebuah bendungan (empelan) dan satu saluran utama (tetabah gede). Air dari saluran utama ini terbagi ke dalam puluhan saluran kecil yang akan masuk ke sawah-sawah.
Subak mempunyai pengurus yang diketuai oleh klian subak, yang membawahi sejumlah klian tempek yang mengurus bidang administratif, sejumlah pekaseh yang mengurus pembagian air, memelihara irigasi, membersikan saluran. Pekaseh diberi upah yang berasal dari para anggota subak itu. Subak ini pun merupakan kelompok keagamaan dimana mereka melaksanakan sejumlah upacara sehubungan dengan kegiatan pertanian itu. Di tengah sawah itu sendiri memang ada sejumlah pura misalnya pura masceti, pura ulun sawi. Upacara iui dilaksanakan sesuai dengan sistem waktu yang digilir yang disebut sistem masa untuk mencegah permintaan air yang beriebihan pada masa yang sama.
Selain subak seperti tersebut di atas, yang disebut "subak tanah basah”, ada pula"subak tanah kering”. Subak yang terakhir ini biasanya disebut subak abian, dimana kata abian berarti "kebun". Subak abian ini dilakukan oleh petani-petani yang menanam cengkeh seperti yang dilakukan di desa Asah Duren, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Subak itu diwujudkan sesuai dengan falsafah hidup Tri Hita Karana atau "tiga penyebab kebajikan", dan prinsip Desa kala Patra, artinya dimana pun berada hendaknya menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan subak abian itu mereka bekerja sama mengusahakan pipa air, bekerja sama pula menyiram cengkeh terutama pada musim kemarau. Pengurus subak juga mengadakan penyuluhan tentang fungsi hutan, pembukaan hutan dan akibat yang ditimbulkannya. Semua itu menyangkut pembinaan keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang menunjang kehidupan, seperti kebutuhan mereka akan air. Usaha yang juga dilakukan dalam kebersamaan dengan subak ini adalah pemupukan, pembersihan kebun, pemberantasan hama. Aspek lain yang sangat penting adalah upacara keagamaan dengan mensyukuri karunia yang diberikan oleh Tuhan (Utomo, 1989).
Organisasi Sosial Masyarakt Bali
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang disebut kuren. Keluarga batih itu pada mulanya mcngikuti adat menetap sesudah kawin virilokal atau neolokal. Adat juga membenarkan perkawinan poligini, meskipun jumlahnya tidak banyak. Kelompok yang lebih besar adalah keluarga luas virilokal, yaitu gabungan dari keluarga batih senior dengan keluarga batih anak laki-lakinya. Kelompok kerabat ini biasa disebut pekurenan, dimana mereka berada dalam satu kesatuan ekonomi atau makan dari satu dapur. Satu keluarga batih yang sudah berdiri sendiri pindah ke tempat tinggal yang baru. Salah satu keluarga batih anak laki-laki akan tetap berdiam di rumah keluarga batih orang tuanya, untuk dapat nanti membantu orang tuanya kalau sudah tidak berdaya. Keluarga ini berfungsi untuk pengasuhan anak, melaksanakan aktivitas ekonomi, melaksanakan upacara adat dan agama dan lain-lain (Abu, 1981; Bagus, 1983).
Masyarakat Bali juga mengenal klen (clan) yang disebut tunggal dadia. Struktur klen berbeda di desa-desa pegunungan dan di desa-desa dataran. Di desa pegunungan orang-orang dari dadia yang tinggal memencar, karena adat neolokal tidak usah mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. Di desadesa tanah datar orang-orang dari dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan di masing-masing tempat kediamannya, yang disebut kemuta taksu, Satu kuil di tingkat dadia merayakan upacara-upacara daur hidup dari semua warganya. Dengan demikian satu kuil serupa itu mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritas klen. Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang memuja kuil leluhur yang disebut paibon atau panti, yang dapat disebut klen besar, Klen besar itu sering mempunyai sejarah asal usul yang ditulis dalam bentuk babad yang disimpan sebagai pusaka oleh keluarga yang senior (Bagus, 1983).
Anggota satu klen adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama dan juga dalam kasta. Klen ini berfungsi memelihara norma-norma adat, mengaktifkan upacara-upacara, memelihara pusaka klen. Menurut aturan adat lama, perkawinan sedapat mungkin dilakukan antara anggota satu klen (endogami klen), atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. sehingga terjaga kemungkinan terjadi ketegangan. Yang harus dijaga agar tidak rerjadi perkawinan anak wanita dari kasta yang tinggi dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya. Perkawinan ideal adalah antara anak dari dua orang laki-laki bersaudara. Di masa lalu, perkawinan campuran antar kasta akan diberi sanksi dikeluarkan dari dadianya dan hukum buang (maselong) ke tempat yang jauh. Sejak tahun 1951 hukuman semacam itu tidak pernah dijalankan lagi, pada waktu ini perkawinan campuran sudah banyak terjadi (Bagus,1983).
Kesenian. Bali merupakan suatu kompleks unsur kebudayaan yang sangat dominan, sehingga dapat di katakan sebagai satu fokus kebudayaan Bali. Dalam kehidupan sehari-harinya, orang Bali selalu terkait dengan lingkungan dan alam sekelilingnya ditandai berbagai upacara ritual dan bentuk-bentuk keindahan yang dimanifestasikan ke dalam bentuk-bentuk kesenian. Seni sebagai sarana penunjang upacara keagamaan mempunyai nilai sakral, dan pada bentuk-bentuk tertentu kemudian mengalami perkembangan. Seni murni yang berunsur sakral kebanyakan merupakan peninggalan kuno yang tersebar di berbagai tempat di Bali (Patra, 1985).
Sub unsur keseniannya adalah seni rupa, seni suara, seni tari, seni sastra, dan seni drama, yang mempunyai kedudukan dan fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Seni rupa Bali terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis, seni rias. Seni patung telah mengalami perkembangan yang panjang, dari patung-patung nenek moyang yang bercorak "primitif" yang berasal dari zaman Hindu, dan dipandang sebagai penghubung manusia dengan alam gaib, patung dewa Hindu (area), patung tokoh Ramayana dan Mahabrata, patung natura-fistik atau stilistik. (Geriya, 1988).
Ragam hias di Bali hampir sejalan dengan perkembangan ragam hias di Indonesia lainnya. Bentuk ragam hias ada yang berasal dari zaman awal bercocok tanam dan perundagian. Bentuk peninggalan dari zaman perunggu terlihat pada alat upacara, seperti nekara, tajak perunggu, tombak, benda tembikar, dengan motif geometris, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia (lihat Dharmika et.al, 1988). Kemudian masuk pula pengaruh Hindu, Cina, Mesir, India, dan lain-lain. Pada kain tenunan Bali terdapat berbagai macam ragam hias yang tak terpisahkan dengan sistem kepercayaan, sosial, ekonomi, Ragam hias tumbuh-tumbuban antara lain berupa hiasan yang disebut patra (Sansekerta) artinya "daun". Hasil kreasi dengan mengatur komposisi pada bidang yang dihias lahirlah macam-macam patra, seperti patra punggel, patra sari, patra gemulung, patra cina, patra wulanda, patra samblung, patra kuwung. dan lain-lain (lihat contoh gambar).
Ragam hias berbentuk binatang sesuai dengan bentuk binatang yang dikehendaki disebut kekarangan atau karang. Ragam hias ini biasanya ditiru dari bentuk binatang yang mempunyai arti mitologis dan legendaris yang dianggap sebagai kendaraan dewa-dewa. Bentuk binatang itu disteril sedemikian rupa sehingga tampak indah dan ada bermacam-macam karang, misalnya karang Boma, karang Bentulu, karang Sae, karang Gajah, karang Gegunungan. Yang paling menonjol adalah karang Boma yang diletakkan di bagian alas pintu pura-pura dan puri-puri yang menghadap ke luar. Akan tetapi pada perkembangan kemudian muncul juga sebagai hiasan keris, cincin gelang sebagai pakaian tradisional. Kata sae dihubungkan dengan kata saih yang artinya" menyesuaikan". Pengertian ini berkembang karena orang tidak berani menempalkan Boma untuk rumah tempat tinggal, dan mungkin juga sebagai ragam hias pakaian. Karena itu dibuat bentuk tiruan (sai-saihan) yang agak mirip dengan Boma yang kemudian disebut Sae (lihat contoh karang) (Dharmika. 1988).
|
Dua pemain topeng Bail yang tampil begitu elegan |
Ragam hias berbentuk geometris pada mulanya dikembangkan pada barang-barang anyaman, kain songket, dan kemudian pada seni bangunan, misalnya yang berbentuk huruf T dan swastika yang dikenal dengan nama kuta Mesir. Hiasan geometris yang lain adalah motif rumah siput (talu kakuh), pilinan tali (tali Hut), segi tiga (bibir ingkel), kotak-kotak (poleng), belah ketupat, garis silang (tapak dara), segi enam, segi tiga, dll. Motif kotak-kotak hitam putih (poleng) melambangkan persatuan dua unsur yang berlawanan (rwabhineda) yang ada di alam ini, yang menimbulkan kekuatan magis untuk menghalau semua kekuatan negatif yang merugikan masyarakat. Aspek dualistik ini antara lain adalah laki-laki dan perempuan, siang dan malam, luandan teben. Ragam hias tubuh manusia sudah ada sejak zaman prasejarah, misalnya pada tutup peti mayat (sarkopag), motif kain songket dan sebagainya (Dharmika. 1988).
Seni relief tradisional dan baru pada dinding-dinding bangunan dan gapura pekarangan telah lama hidup dalam kebudayaan Bali. Seni ukir terdapat pada tiang-tiang dan balok-balok atap rumah, kusen, dan pintu. Seni ukir topeng mencapai perkembangan yang canggih. Seni lukis pun mempunyai riwayat yang panjang, mulai dari yang bersifat simbolik, bersifat keagamaan, lukisan naturalistrik dengan nilai-nilai sekuler.
Seni suara meliputi seni instrumental dan seni vokal. Seni instrumental, atau gamelan Bali, dapat digolong-kan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) seni gamelan tua, seperti slonding, gambang, (2) seni gamelan madia, misalnya semar pegulingan. dan (3) seni gamelan baru, misalnya gong kebyar, joget bumbung. Seni vokal terdiri dari kekawin, kidung, dan geguritan. Seni tari tradisional menurut fungsinya dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : (1) Tari wali, tari keramat yang berfungsi sebagai pengiring upacara di pura atau diantaranya tari Sanghyang, tari Rejang, tari Baris Upacara, dan tari Pendet; (2) Tari Bebali, tari upacara yang berfungsi sebagai pengiring upacara di pura atau di luar pura, seperti tari Wayang, tari Gambuh, dan tari Topeng. (3) Tari Balih-balihan, atau tari-tari sekuler yang berfungsi sebagai hiburan, misalnya tari Joged, tari Gandrung, tari Janger.
Seni sastra merupakan warisan budaya yang merupakan referensi serta sumber ilham bagi jenis-jenis seni lainnya. Keseluruhan kesusastraan Bali dapat di bagi dalam beberapa zaman, yaitu zaman kesusastraan Bali-Hindu, Bali-Jawa, Bali Baru, dan Bali Modem. Seni drama dalam masyarakat Bali merupakan campuran dari unsur beberapa jenis kesenian, meliputi seni rias, seni vokal, seni instrumental, seni sastra, dan seni tari. Pertumbuhan drama tradisional Bali dimulai dari munculnya lakon Wayang Wong dan Parwa, yang kedua- duanya bersumber pada seni pewayangan (wayang kulit), yakni Wayang Ramayana dan Wayang Parwa. Di samping itu ada drama yang mengambil lakon dari ceritera Panji, yaitu Gambuh yang merupakan drama tradisonal dan terwujud sebagai teater total. Arja. yang timbul setelah Topeng, adalah suatu drama nyanyian (opera), yang kemudian disusul dengan drama Prembon. Drama modern juga mendapat tempat dalam kesenian Bali, misalnya drama Gong yang sangat populer, yang timbul sejak tahun 1960 (Geriya, 1988).
|
Gadis Bali dengan muhkotanya |
Religi Masyarakat Bali
Orang Bali umumnya memeluk agama Hindu. Pada tahun 1980, dari jumlah 2.469.000 jiwa penduduk Propinsi Bali sebagian besar: 2.304.925jiwa (93,3 %) beragama Hindu. Selebihnya beragama Islam (5.23 %), Buddha (0,58 %), Protestan (0,51 %), Katolik (0,33 %). Walaupun demikian, menurut Munoz (2009:423) Hinduisasi di Bali masih menjadi obyek yang kabur, dan jejak pertama Budhisme di pulau itu baru bisa dilacak sampai abad ke-8 dan 9, yang cukup terlambat dibandingkan Sumatra dan Jawa. Pada saat ini dipercaya bahwa Hinduisasi di Bali disebabkan oleh pertukaran budaya dan perdagangan dengan Jawa sejak masa lampau.
Agama Hindu yang dianut oleh orang Bali berpangkal pada kitab suci Wedha, yang merupakan wahyu dari Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu terdapat pula buku-buku dalam bentuk lontar yang menganut banyak tuntunan mengenai pelaksanaan agama, kumpulan mantra-mantra, pelbagai undang-undang, prosa dan puisi yang diambil dari epos Maha-barata dan Ramayana, dan sebagainya. Tuhan Yang Maha Esa itu dikenal dalam konsep Trimurti yang mempunyai tiga wujud, yaitu wujud Brahmana yang menciptakan, Wisnu yang melindungi serta memelihara, Siwa yang melebur segala yang ada. Di samping itu orang Bali percaya pula pada macam-macam dewa dan ruh yang dihormati dalam berbagai upacara bersaji. Agama Hindu juga menganggap penting konsepsi ruh abadi (atman), adanya buah dari setiap perbuatan (karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (punarbawa), dan kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali (moksa), yang semuanya termaktub dalam kitab Wedha (Bagus, 1983).
Tempat memuja Hyang Widhi termasuk penjelmaannya disebut Pura. Menurut fungsinya dibedakan atas pura umum dan pura pemujaan roh suci leluhur sesuatu keluarga yang bersifat genealogis. Pura umum yang disebut pertama mempunyai tingkatan menurut kesatuan tentorial, mulai tingkat daerah, kabupaten, kecamatan, dan tingkat desa adat. Pura leluhur juga mempunyai tingkatan berdasarkan susunan genealogi suatu keluarga atau klen. Tingkat terendah adalah sanggah atau merajan dan seterusnya tingkat atas adalah paibon, dadia, panti, dan terakhir padharman. Demikian di Bali terdapat ribuan pura, masing-masing dengan perayaannya (odolan) sendiri-sendiri menurut sistem penanggalan Hindu Bali atau Hindu Jawa. Agama Hindu-Dharma mengandung banyak unsur lokal yang merasuk ke dalamnya sejak dahulu kala, sehingga di berbagai daerah tambah ada variasi lokal. Namun variasi ini semakin berkurang dengan adanya pengaturan melalui majelis agama dari agama tersebut (Geriya. 1988).
Orang Bali mengenal banyak upacara yang amat kompleks, yang tidak mungkin dideskripsikan satu persatu. Secara keseluruhan dapat dibagi menjadi lima macam upacara (panca yadnya) berdasarkan sistem penanggalan tertentu, yaitu:
- Manusia yadnya,meliputi upacara siklus hidup dari masa kecil sampai dewasa. Maksudnya adalah agar manusia selamat sejahtera, menjadi manusia yang luhur budi dan susila, sehingga kemudian dapat membentuk masyarakat susila.
- Putra yadnya, upacara yang ditujukan kepada ruh-ruh leluhur dan meliputi upacara-upacara kematian sampai pada upacara penyucian ruh leluhur (nyekah, memukur). Upacara itu merupakan penghormatan kepada leluhur yang mengadakan atau melahirkan serta memelihara manusia dari bayi sampai dewasa. Disamping itu mendoakan leluhur agar mendapat tempat yang sebaik-baiknya di alam baka.
- Dewa yadnya, upacara-upacara persembahyangan pada para Dewa-Dewa yang dipercayai menyelamatkan dunia yang bersemayam di pura-pura, sanggah atau pemerajan.
- Resi yadnya, upacara-upacara berkenaan dengan pentahbisan pendeta (mediksa) yang telah memimpin upacara yadnya demi untuk keselamatan bersama.
- Buta yadnya upacara-upacara yang ditujukan kepada kala dan buta, yaitu ruh-ruh yang sifatnya mengganggu (Melalatoa, Ed., 1977; Bagus, 1983).
Upacara daur hidup bisa berbeda menurut tempat dan golongan kasta, letapi semua melewati tahap-tahap penting seperti berikut ini. Di antara upacara itu adalah (a) upacara lepas tali pusat (kepus pungsed); (b) pada saat bayi berumur 12 hari; (c) bayi berusia 42 hari (tutug akambuh) untuk mengakhiri masa cemar dari sang bayi dan orang tuanya; (d) pada saat bayi berusia 105 hari (tiga sasih) di mana pada saat itu bayi diberi nama; (e) ketika sang bayi berusia 210 hari (paweton atau own) di mana rambutnya dipotong untuk pertama kalinya. Upacara lain seielah dewasa antara lain upacara menginjak dewasa (upacara nenek kelih), upacara potong gigi (metatah). Upacara potong gigi ini untuk menghilangkan keangkaramurkaan dan keserakahan, dengan enam sifat negatif, yaitu nafsu (kama), marah (krada), loba (loba), durhaka (mada), mabuk (moha), dan iri hati (irsia). Upacara perkawinan yang disebut masa kapan diwarnai dengan upacara-upacara sakral dan pesta meriah, merupakan upacara daur hidup yang dianggap sangat penting dalam kehidupan mereka (Melalatoa Ed., 1977).
Kematian seseorang mengakibatkan keluarga si mati itu berada dalam keadaan cemar (sebel). Keadaan cemar itu berlaku juga bagi sejumlah kerabat dekat, tetangga tertentu, dan warga banjar dari desa-desa yang mengenal sistem banjar karena banjar terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara kematian itu. Warga banjar itu ikut mempersiapkan dan melaksanakan pemakaman sampai kepada upacara pembakaran mayat atau ngaben. Tidak semua pemeluk agama Hindu membakar mayat dengan beberapa alasan seperti pencemaran dan alasan ekonomi. Upacara ngaben dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) membakar mayat orang yang meninggal itu, dan (2) membakar suatu "simbol" (adegan) dari yang meninggal. Baik mayat yang akan dimakamkan maupun yang akan dibakar memerlukan suatu rangkaian perawatan mayat yang disebut sawa preteka dan rangkaian upacara lainnya. Menurut kepercayaan agama Hindu perlu diadakan pengembalian manusia kepada sumber Nya. Jasad manusia yang kasar terdiri dari lima unsur, yaitu zat tanah (pertiwi), air (apah), angin (bayu), panas (teja), dan akasa (akasa). Pengembalian jasad kasar ini dilakukan dengan upacara ngaben dengan suasana yang gegap gempita. Pengembalian jiwa (atma) yang sudah disucikan kehadapan seru sekalian alam dilaksanakan dengan upacara nyekah dengan suasana suasana yang penuh kasih sayang, yang disertai dengan gamelan angklung, gending tantri, dan sebagainya. Deskripsi yang rinci tentang upacara kematian ini telah ditulis oleh Ni Luh Swarsi dkk dalam sebuah buku berjudul Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985).
|
Pedanda memberikan air suci kepada sekelompok anak gadis sebelum acara potong gigi |
Umat Hindu Bali mengenal Hari Raya Nyepi, yaitu pergantian tahun Saka. yang diperingati setiap tahun sejak tahun 78 Masehi. Sejak tahun 1983 Hari Raya Nyepi oleh pemerintah Indonesia dinyatakan sebagai hari libur nasional. Rangkaian upacara peringatan hari raya itu bertujuan memarisudha bumi, menjadikan alam semesta bersih, serasi, selaras, dan seimbang. Dengan upacara itu dunia diharapkan bebas dari malapetaka. kekacauan, dan perang, sehingga manusia hidup sejahtera, terbebas dari kebodohan dan kemiskinan.
Rangkaian upacara adalah (1) Mekiis atau Melasti, mensucikan segala sarana dan prasarana prangkat sembahyang dilakukan dua hari sebelum hari raya; (2) Taur Agung atau Mecaru, korban suci dengan memotong kerbau, bebek, atau ayam. sebagai persembahan bagi ruh-ruh yang membahayakan, yang dilakukan sehari sebelum hari raya; (3) Nyepi pada tahun baru Saka dengan melakukan pantangan (berata), yaitu (a) tidak menyalakan api atau lampu (amati geni), (b) tidak bekerja (amati karya), (c) tidak bepergian (amati lalunganan. (d) tidak mengadakan hiburan atau bersukaria (amati telalungan). Arti dari semua ini adalah sunyi dari pikiran buruk, perkataan buruk, sepi dari birahi, sepi dari amarah, sepi dari loba, tamak, rakus, Di tempat yang damai, lenang, dan suci, orang memandang cahaya ilahi, mendengarkan suara hati, suarasuara alam hakiki, jiwa kembali kepada Hyang Widhi, Tuhan Yang Esa (Nyoman S.Pendit, ENI, 1990). Dengan kata lain setiap orang dengan khusuk menilai diri sendiri, melakukan introspeksi serta bersiap untuk menghadapi tugas-tugas yang lebih berat pada tahun mendatang. Keesokan harinya mereka kembali melakukan kegiatan seperti biasanya.
Perubahan dan Pariwisata di Bali
Sejak sebelum Perang Dunia yang lalu pulau Bali dan masyarakat Bali telah menjadi tujuan wisata yang penting di Indonesia. Di samping itu C. Geerts (2984) menyatakan Bali adalah pulau di Indonesia yang paling terkenal. Sebagai satu-satunya daerah di Nusantara tempat sisa-sisa kebudayaan IndonesiaHindu masih tampak jelas. Balai-balai pemujaannya telah banyak dipotret, upacara-upacara keagamaannya telah banyak dilukiskan, keseniannya telah banyak dianalisis, cara berfikir rakyatnya telah banyak dikupas secara mendalam, dan kecantikan wanitanya telah banyak dipuji oleh para ahli etnografi. Sampai sekarang, karangan-karangan antropologi mengenai daerah ini adalah yang paling lengkap dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Karangan-karangan tentang manusia dan kebudayaan Bali sebelum Perang Dunia yang lalu dapat dilihat dalam karya Raymond Kennedy. Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures (New Haven, Yale University Press, 1945). Sebagian dari karangan atau buku yang menyangkut budaya atau folklor Bali khususnya (tidak kurang dari 340 karangan) telah dikumpulkan dan dibuat anotasinya oleh I Gusti Ngurah Arinton, "Bibliografi Berorientasi Folklor Bali", Berita Antropologi No. 40, XII, OKtober 1985).
Selama ini Bali telah disentuh oleh industri pariwisata. Sehubungan dengan hal itu telah muncul berbagai pendapat yang sebagian mengkhawatirkan kelestarian budaya Bali itu, tetapi sementara yang lain berpendapat sebaliknya. Umar Kayam (1981) mengemukakan bahwa selama ini sedang terjadi "tawar menawar" antara nilainilai setempat dengan nilai-nilai modern dari sentuhan tangan raksasa pariwisata itu. Industri pariwisata itu dalam masyarakat yang relatif masih homogen dan tradisional, di samping kemungkinan perkembangan baru juga bisa menumbuhkan suatu situasi yang rawan. Ada gejala timbulnya perubahan dari gaya hidup total dan homogen, lalu muncul bibit individualisasi.
Gelombang pengaruh luar yang amat besar, yang dikhawatirkan akan mengikis budaya dari satu kelompok etnik tertentu, ternyata tidaklah terjadi pada masyarakat Bali. Hubungan dengan dunia luar itu menyebabkan semakin gairahnya mereka mencari dan mempertahankan identitasnya yang ditunjang oleh unsure kepercayaan, system pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma dari budaya lamanya. Sementara itu, kesenian mereka mempunyai arti ekonomis sebagai fungsi baru, yang menunjang kreativitas guna melahirkan mutu estetik dan memantapkan pesan budaya yang tersirat di dalamnya (Sulistyawati,1989). Hampir senada dengan pendapat di atas, Selo Soemardjan (1987) menyatakan, kekhawatiran bahwa kebudayaan dan kesenian Bali akan tercemar karena arus wisatawan internasional, ternyata sampai sekarang tidak banyak terwujud. Masyarakat Bali sendiri karena pengalaman sejarahnya mampu mengukir kebudayaan yang dengan kuat mengkait adat, agama, dan seni, sehingga sukar sekali dapat dicemarkan oleh pengaruh budaya luar.
Pandangan yang lebih akhir dari S. Budhisantoso dinyatakan, bahwa tidak ada alasan untuk terlalu curiga terhadap pengaruh kebudayaan asing, apalagi yang terbawa serta oleh kegiatan pariwisata. Selama masyarakat tetah dipersiapkan secara kultural, mereka akan sanggup meyerap unsur-unsur seni kebudayaan baru secara selektif dalam mengembangkan kebudayaan masing-masing. Betapa besar peranan sentuhan budaya dalam perkembangan kebudayaan lewat pariwisata, tercermin dalam perkembangan kebudayaan di Bali. Masyarakat Bali dengan cakapnya memanfaatkan peluang yang terbuka untuk memperoleh keuntungan materi dan kultural. Berkat pengalamannya, mereka tahu apa yang boleh dijual sebagai tontonan, kemasan untuk menarik perhatian wisatawan, dan apa yang harus dipertahankan keasliannya sebagai kekayaan budaya yang bersifat luhur dan sakral. Mereka juga tahu bagaimana mengambil alih dan menyerap unsur-unsur kebudayaan baru dalam mengembangkan kebudayaan mereka tanpa harus mengorbankan kepribadiannya (Suara Pembaruan. 11-11-1992).
Wayan Geriya (1988) semacam memberi beberapa kesimpulan tentang keajegan dari perjalanan sejarah kebudayaan Bali dalam berkomunikasi dengan kebudayaan luar. Butir-butir simpulan itu adalah (1) kebudayaan Bali bersifat terbuka dengan fleksibel dan adaptatif; (2) kebudayaan Bali senantiasa mampu menerima. mengolah dan memperkaya kebudayaan sendiri tanpa hilangnya identitas; (3) terwujudnya satu ketahanan budaya dan lokal genius, kebudayaan Bali cukup jelas menampilkan diri secara potensial.
Referensi:
Abu, Rivai (Ed.) 1981 Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagus, I.G.N. 1983 "Kebudayaan Bali", d a l a m Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Koentjaraningrat, Ed.), Jakarta : Djambatan.
Bellwood, Peter 2000 Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Edisi Revisi, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Biro Pusat Statistik 1991 Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 1990, Jakarta: Biro Pusat Statistik
Dharmika, Ida Bagus et al 1988 Pakaian Adat Tradisional Daerah Bali, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Geertz, C. 1983 "Tihingan: Sebuah Desa di Bali", Masyarakat Desa di Indonesia (Koentjaraningrat, Ed.), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Geriya, W. 1988 Kebudayaan Suku-bangsa Bali, Denpasar (Naskah ketik).
Kayam, U. 1981 Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.
Melalatoa, Y. (Ed). 1977 Adat Istiadat Daerah Bali, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Munoz, Paul Michel. 2009 Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, 20 Yogyakarta : Mitra Abadi.
Patra Made Susila. 1985 Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal Adati Bali, Jakarta : PN Balai Pustaka.
Sulistyawati. 1989 Berbagai Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Wujud Arsitektur, Jakarta : Fakultas Pasca sarjana UI (Tesis)
Utomo Srie Saadah. 1989 Sistem Subak di Bali, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wikarman, I Nyoman Singgih 1998 Leluhur Orang Bali : Dari Dunia Babad dan Sejarah, Surabaya : Penerbit Paramita.
Tulisan: Dr. Purwadi Soeriadiredja, M.Hum. JAKARTA 2015
0 Response to "Sejarah Bali dari Tahun 700 Masehi"
Post a Comment